Kebodohan yang dilakukan oleh lidahmu, itulah yang menuai kontra antara dirimu dengan orang-orang sekitarmu.
---
----
Bibi Ruth nampak gelisah. Raut wajahnya berubah sendu saat menatap keluarga besarnya bersantap ria menyantap masakan buatanku. Berkali-kali bibi Ruth menelan salivanya sendiri, karena menahan lapar di perutnya. Ya ampun bibi, sudah di peringatkan jaga lidah, tapi bibi masih saja seperti tukang gosip murahan.
Aku menatap bibi Ruth yang terlihat seperti orang tak berdaya. Sikapnya yang cuek dan sinis padaku, berubah manakala aku melihatnya. Ia seolah-olah mengatakan, " Aku lapar, Daisy. Beri aku makan."
" Bibi, kenapa masih di situ? Kemarilah kita makan bersama." sahutku, pada bibi. Aku yang memang tidak tega melihat bibi Ruth seperti itu, berniat mengajaknya makan.
Alvin menahan lenganku saat aku hendak berdiri mendekati bibi Ruth. Alvin memberiku kode dengan kedua matanya agar aku segera duduk kembali.
" Tuan, tolonglah jangan bersikap seperti itu pada bibi Ruth. Lihatlah, bibi sepertinya lapar." ujarku dengan wajah memelas.
Namun, Alvin tetap dalam pendiriannya. Sekali dia bilang tidak, maka selamanya akan tidak. Semua orangpun tahu akan hal itu.
Aku mengalah padanya. Aku biarkan ia puas menyiksa bibinya sendiri. Dan aku lihat, paman Kim santai-santai saja. Tak ada rasa khawatir dengan istrinya. Buktinya ia dengan lahapnya menyantap hidangan pagi ini.
Akhirnya aku tak tega juga melihat bibi Ruth seperti itu. Aku menyudahi makanku. Kemudian beranjak dari tempatku.
" Kau mau kemana?" tanya Alvin, matanya tajam sekali.
" Aku tidak lapar." sahutku malas.
" Duduk! Lanjutkan makanmu, setelah itu baru kau bisa pergi." ucap Alvin, tegas.
" Tapikan, bibi Ruth. Lihatlah tuan, dia kelaparan." aku tetap bersikeras memohon pada Alvin.
" Itu hukuman dariku untuk bibi. Supaya dia bisa menjaga lidahnya biar tidak menjelekkan oranglain lagi." jelasnya. Dan suaranya itu loh. Mengerikan sekali.
Aku fikir dia orang baik, ternyata kejam juga. Aku tidak bisa membayangkan jika aku yang kena hukuman, aku pasti merana.
Tiba-tiba, Dave sekretaris Alvin datang dengan tergesa-gesa. Dan langsung mendekati Alvin.
Dave membungkukkan badannya, kemudian ia berbicara dengan berbisik di telinga Alvin.
" Maaf tuan saya mengganggu tuan sarapan. Ada hal yang ingin saya sampaikan pada tuan." ujar Dave. Alvin mengangguk. Ia paham jika Dave datang pasti ada sesuatu yang penting.
Dave segera membawa Alvin menjauh dari meja makan. Akan tetapi, Alvin meminta Dave berhenti sejenak. Alvin menoleh kearahku dan juga kearah bibi Ruth.
" Tetap di situ bibi, dan jangan beranjak dari posisimu! Dan kau, Daisy. Lanjutkan sarapanmu. Jangan berikan apapun pada bibi Ruth. Aku masih menghukumnya!" sahut Alvin sedikit mengancam.
Aku beserta yang lainnya hanya bisa ternganga. Alvin ternyata tidak pernah main-main dengan ucapannya. Sekali lagi, aku kasihan pada bibi Ruth. Aku takut dia pingsan atau dehidrasi jika tidak makan apapun pagi ini.
" Ayah, ibu, paman. Pokoknya jangan katakan apapun pada tuan ya? Aku akan memberikan bibi makanan walau secuil." ujarku, nekat.
" Jangan sayang, nanti Alvin marah." bu Mega melarang.
" Tapikan bu, bibi sepertinya sudah lemah tak berdaya itu loh. Aku kasihan pada bibi, Bu." kataku, ngotot.
" Biarkan saja. Dia memang pantas di hukum." ujar paman Kim, menimpali.
Aku menoleh kearah paman. Kulihat wajahnya yang menunjukkan rasa tak bersalah membuatku dongkol dan ingin mencubit ginjalnya.
" Ish, paman ... Kau tega sekali pada Bibi," sungutku. Sambil merajuk manja.
🍁🍁🍁
Aku, Ayah, ibu, paman dan bibi terlihat tegang saat Alvin menatap wajah kami satu persatu. Jika Alvin marah, wajahnya yang buruk rupa itu terlihat seribu kali lebih menyeramkan di banding saat aku membuka mataku tadi pagi.
Aku menundukkan kepalaku. Aku tahu, aku salah sudah memberi bibi makanan dan minuman. Hingga saat Alvin tiba, ia melihat bibi sedang makan dengan lahap, dan aku tersenyum melihat bibi Ruth menerima makananku.
Seperti anak kecil yang sedang di hukum, kami berempat pun hanya bisa pasrah menerima hukuman dari Alvin. Ini rumahnya, dan Alvin berhak menghukum siapa saja yang melanggar aturannya. Bahkan sekalipun kedua orang tuanya bersalah, Alvin tetap memberikan hukuman.
" Kalian tahu, kenapa aku menghukum bibi seperti tadi?" tanyanya memulai pembicaraan. Kami semua menggelengkan kepala, secara serempak.
Alvin menghela nafas. Ia terlihat kesal yang teramat sangat pada bibi dan padaku.
" Agar aku mengajarkan bibi untuk bisa lebih menghormati orang lain, tanpa melihat status sosialnya, paham kan?!" ucap Alvin, tegas.
" Tapi kan tuan bibi --," baru saja aku ingin menyanggahi, Alvin sudah menatapku duluan. Aku pun akhirnya diam dan tertunduk.
Sial! Ternyata aku kena damprat suamiku sendiri. Padahal niatku itu baik. Dasar lelaki gila! umpatku dalam hati.
" Berhenti bergumam dalam hati, Daisy! Aku bisa mendengarnya!" tegur Alvin. Aku ternganga mendengar.
Bagaimana bisa? fikirku.
Kami semua larut dalam kedukaan yang sama di mana kami pagi ini di bentak, di hukum dan di ceramahi oleh Alvin. Lengkap sudah penderitaan kami.
🍁🍁🍁
Di dapur umum ...
Aku menceritakan habis uneg-unegku pada dua pelayan yang bekerja di dapur. Mereka tersenyum geli mendengarnya.
" Kenapa kalian tertawa?" aku bertanya pada mereka.
" tidak apa-apa Nona, kami hanya merasa lucu saja. Karena tidak biasanya tuan muda seperti anak kecil." jawab pelayan itu.
" Anak kecil? Maksud kalian apa?" tanyaku polos.
" Tuan tidak pernah marah seperti itu, Nona. Jika tuan sudah marah, maka tidak ada yang bisa menolongnya. Walaupun ia memohon pada tuan agar di bebaskan dari hukuman. " kedua pelayan itu menjelaskan.
" Upst, benarkah itu?"
Mereka mengangguk. Aku paham sekarang tentang sifat Alvin. Rupanya ia sudah menyukai diriku. Aaah, aku senang mendengarnya.
Eh tapi, aduh jangan bodoh Daisy. Dia itu buruk rupa. Kau tahu itu kan? Jangan terlalu pede kamu! batinku bergejolak.
Aku terus bergumam dalam hati, hingga tidak sadar aku memukul kepalaku sendiri.
" Aduh! Sakit." Rintihku, sambil mengusap kepala yang kupukul tadi.
🍁🍁🍁
Di dalam kamar ...
Alvin sudah merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk miliknya. Saat aku masuk ke dalam kamar. Aku tidak berani menatap wajahnya ketika sedang marah.
" Hari ini jadwalku chekup ke rumah sakit." tutur Alvin.
Aku mengangguk. Dan tidak berani menatap wajahnya.
" Hei! Aku sedang bicara padamu. Lihatlah kearahku!" tegur Alvin.
" Iya, tuan." ujarku gemetar.
" Anda masih marahkah, Tuan?" sambungku, dengan nada ketakutan.
Alvin tersenyum. Benar-benar polos sekali kamu, Daisy.
" Tidak. Aku tidak pernah marah pada siapapun. Tadi aku hanya menasehati saja." ujarnya, datar.
" Oh," jawabku simple.
" Hari ini bisa kah kamu menemaniku ke rumah sakit?" Alvin mengulangi perkataannya tadi.
" Bisa tuan. Kapan anda berangkat?" tanyaku.
" Hari ini, kita berangkat. Stok obat sudah habis. Oleh sebab itu, aku harus pergi ke rumah sakit hari ini juga."
" Baiklah tuan. Bolehkah aku mengganti bajuku?"
" Tentu saja. Tapi, tak perlu berdandan cantik. Aku tidak mau, orang lain melihat kecantikan wajahmu."
" I, iya tuan. Aku mengerti. " sahutku kemudian pergi meninggalkannya.
🍁🍁🍁
Suasana di rumah sakit ...
Dokter memperhatikan hasil laboratorium yang di berikan oleh petugas laboratorium. Wajahnya tampak berkerut sambil membolak balik catatan diagnosa Alvin, suamiku.
" Hari ini, perkembangan kesehatan tuan Alvin sudah menunjukkan hasil yang baik. Tulang kaki kanannya yang patah, sepertinya sudah kuat kembali. Itu artinya tuan Alvin ada kesempatan untuk bisa berjalan normal lagi." Dokter Frans menjelaskan secara rinci.
Ada semburat senyuman di wajah Alvin saat Dokter Frans menerangkan keadaannya. Ia sudah rindu berjalan normal tanpa menggunakan bantuan apapun.
" Bagaimana dengan wajahnya, Dokter? Apa suamiku bisa di perbaiki? Maksudku, normal lagi seperti biasa." aku bertanya. Pertanyaan konyol yang terlintas begitu saja. Aku tidak memikirkan perasaan sakit saat aku mengucapkan kata itu.
Dokter menatapku tajam. Sesekali, ia betulkan letak kacamatanya yang tampak mulai turun ke hidungnya.
" Bisa. Seratus persen bahkan bisa. Dengan cara di operasi wajah. Dan itu biayanya mahal sekali loh." ucap Dokter Frans.
Sepertinya Dokter Frans ingin berduel dengan Alvin. Secara terang-terangan dokter Frans, menghina Alvin.
---
-----
" Kau benar-benar ingin aku normal kembali?" Tanya Alvin saat berada di dalam mobil.
" Iya, tuan." jawabku pelan.
" Kenapa?" Alvin bertanya kembali. Kali ini kami berbincang di dalam mobil. Ia merebahkan kepalanya di pundakku. Sementara Dave, asik menyetir sambil menggunakan headset.
" Sebab, aku ingin tuan muda Alvin kembali seperti dulu lagi. Yang Arogan, Galak, Gagah dan juga Tampan. Biar nanti banyak yang melirik tuan muda lagi." jawabku asal. Tak apa yang penting alasanku di terima dan masuk di akal.
Alvin melirik kearahku. Tatapan matanya itu tajam tapi membuatku selalu merindukannya.
Eeh!
Gak boleh baper ah, Daisy!!!
Alvin langsung menyentil bibirku yang nakal. Rupanya ia geram mendengar kata-kata konyolku tadi. Dan itulah hukuman yang pantas untukku. Dan aku merasakan sakit yang begitu sangat.
" Aduh, sakit tuan." desisku. Sementara tangan kiriku mengusap bibir yang sakit.
" Masa segitu saja sudah ngeluh sakit? Kamu wanita lemah." dia mencibirku.
Apa? Enak saja kamu bicara tuan Alvin!
Aku tahan sekuat tenaga agar tidak lemah di hadapannya. Aku tidak mau di katakan sebagai wanita lemah. Aku harus menjadi wanita yang kuat, Strong!
Namun, sekuat-kuatnya aku tahan. Ternyata, airmataku ini yang lemah. Malah semakin memaksa untuk keluar walaupun hanya secuil.
Alvin terkejut saat melihat setitik airmata di pelupuk mataku. Ya, aku menangis karena Alvin menyentil bibirku.
" Kamu menangis?" tanya Alvin, sedikit panik.
" Tidak tuan. Aku wanita kuat, aku tidak lemah." Aku menjawab, sambil ku gigit bibir bawahku. Menahan nyeri. Kualihkan pandanganku kearah luar. Melihat pemandangan mobil yang berlalu lalang.
Tiba-tiba saja, aku merasakan bibirku hangat. Ada sentuhan lembut menempel bibirku. Tapi, apa?
Saat aku sadar, ternyata Alvin mencium bibirku dengan ciuman hangat. Kedua bola mataku terbelalak. Jantungku berhenti berdetak, bahkan aku mengira ini akan kiamat.
Oooh tidak, aku akan hamil!!!
Otakku menyuruhku untuk menghentikan permainan Alvin. Namun, saat aku menolaknya. Ia semakin berani menciumku. Bahkan Alvin merengkuh tengkuk leherku. Agar aku tidak bisa berkutik.
Satu detik ...
Dua detik ...
Tiga detik ...
Aku benar-benar kehilangan nafasku kalau begini. Bahkan Alvin pun tidak memberikan aku kesempatan untuk bernafas.
" Bernafaslah sayang, kamu bisa-bisa mati nanti." Alvin berkata, sambil memegang tengkuk leherku. Sejenak kedua mata kami bertatapan.
" Kau milikku, paham!" bisiknya.
Membuat bulu kudukku merinding. Jantungku berhenti berdetak. Oh Alvin, tolong jaga sikapmu, jangan sampai aku jatuh cinta padamu.
" I, iya tuan. Aku milikmu, hanya milik tuan seorang." ucapku terbata-bata.
Ia tersenyum puas padaku.
Di kejauhan, Dave hanya bisa tersenyum saat melihat tuannya telah membuka hatinya untuk wanita lain. Meskipun wanita itu wanita yang selalu membangkang pada aturan yang di buat tuannya. Hanya dengan melihat tuannya tersenyum, itu cukup membuat hati Dave ikut bahagia. Karena kebahagiaan tuannya. Adalah kebahagiaannya juga.
" Ehem!" Dave berdehem. Di saat Alvin mulai melancarkan aksinya lagi.
Dengan kesal ia menoleh kearah Dave yang sedang tersenyum padanya.
" Maaf tuan, kita sudah sampai di rumah." tutur Dave, tersenyum.
Alvin melirik malas. Ternyata benar, mereka sudah sampai di depan rumah.
Dave keluar dari dalam mobil. Sementara Alvin dan aku masih di dalam mobil. Kami membereskan pakaian yang di pakai dan membetulkan posisi rambut yang nampak berantakan akibat insiden tak berdarah itu.
Alvin menatapku lagi. Kali ini tatapan wajahnya seakan-akan menggodaku. Walaupun wajahnya terlihat mengerikan, namun saat ia seperti itu, aku malah nyaman melihatnya. Sungguh aku tidak bohong, buat apa aku berbohong? Bohong itu kan Dosa!
" Ada apa tuan?" aku gemetar.
Alvin mendekat padaku, dia berbisik di telingaku. Kini terdengar suara desakan nafasnya.
" Kita lanjutkan di kamar!" bisiknya pelan.
Aku ternganga, benar-benar hari ini hari terburuk dalam sejarah kehidupanku. Aku rasanya ingin kabur dari rumah ini.
" Tapi tuan, tunggu!" aku berteriak. Alvin tidak mendengar kata-kataku.
" Apalagi? Kau mau aku melakukan itu sekarang? Di sini?" pertanyaan macam apa itu.
" Tidak, bukan itu." sanggahku.
" Lalu apa? Hem."
" Apa aku tidak akan hamil saat tuan mencium bibirku?" tanyaku polos. Benar-benar polos.
Dave terkejut, begitu juga dengan Alvin. Kemudian mereka berdua tertawa mendengar ucapan konyol yang keluar dari mulutku.
" Aku serius tuan!" ujarku kesal. Sambil menghentakkan kedua kakiku seperti anak kecil yang sedang merajuk. Tak lama kemudian aku pergi meninggalkan mereka yang masih tertawa terbahak-bahak. Dengan perasaan kesal.
" Tuan, sepertinya dia benar-benar gadis yang polos." Dave berkata.
" Iya, kau benar. Maka dari itu, aku mulai menyukainya, Dave. Sangat menyukainya."
Sekali lagi, cinta berhasil mematahkan dinding batu yang kokoh. Melebur asa menjadi bahagia. Dan inilah cinta yang di rasakan oleh tuan Alvin Media Utomo.
Bersambung....
🍁🍁🍁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Cut Yusmanita
jadi ingat pesan almh. mama ..awas hati" jangan dekat" jangan mau dicium nti hamil😂😂😂
2021-07-06
1
Rizka Susanto
karakter daisy nggemesin...
lucu bgd..
2020-10-22
2
Armisyah1
kalau ciuman bisa hamil berarti iler itu anak doank. berapa kali beranak aku ya tiap malam???😁
2020-10-16
1