Pernikahan yang di dasari bukan karena cinta. Pastinya akan menimbulkan ketidak-harmonisan dalam rumah tangga.
Kata-kata itu mewakili hatiku saat ini. Aku dipaksa menikah oleh Uncle Jo dengan seorang lelaki yang belum pernah aku temui. Lelaki asing yang sebentar lagi akan menjadi suamiku, tentunya dia juga tidak mengenal diriku sebelumnya. Kami terikat dengan pernikahan sakral. Namun, penuh dengan perjanjian hutang piutang.
"Pokoknya kamu harus menikah dengan anak sulung dari keluarga Tuan Andrean! Jika tidak, rumah peninggalan orangtuamu beserta seluruh aset kekayaan milik ayahmu, Paman jual! Tentunya kamu tidak ingin hal itu terjadi bukan?" Uncle Jo memberiku ultimatum lagi. Selalu dan selalu mengancamku ketika keinginannya tidak dikabulkan. Aku muak dengannya, yang terlalu penurut pada Bibi Mey.
"Aku tetap pada pendirianku sebelumnya. Tidak mau menikah dengan lelaki yang tidak pernah aku kenal sebelumnya!" tolakku.
"Bukankah Paman memiliki dua anak gadis? Nikahkan saja mereka, Paman! Apalagi kedua anak gadis paman itu, keduanya sama-sama menyukai harta, tahta dan kemewahan," celetukku. Kedua mataku menoleh mengarah pada Elena dan Lusiana.
"Laki-laki ini sangat istimewa. Calon yang akan menjadi suamimu nanti, dia sangat cocok jika bersanding denganmu, Daisy. Hanya kamu satu-satunya perempuan yang pantas menjadi istrinya," ujar Uncle Jo.
Dia seperti sedang menutupi suatu kebohongan. Padahal sebenarnya aku sudah mengetahui siapa dan bagaimana rupa dari calon suamiku. Sebab, tanpa sengaja aku mendengar percakapan antara Uncle Jo, Bibi Merina, Lusiana dan Elena tentang calon suamiku. Mereka semua menjadikan aku tumbal untuk melunasi semua hutang yang mereka ciptakan sendiri.
"Istimewa?" Aku mengulang ucapan Uncle Jo. Lalu melirik ke arahnya sambil tersenyum sinis. "Istimewa karena wajahnya buruk rupa? Sehingga Paman tidak ingin mengorbankan kedua anak Paman untuk dinikahi olehnya, begitu bukan Uncle Jonatan?"
Uncle Jo yang sedang menikmati kopi panas, tiba-tiba dia terbatuk. Lalu, disemburkannya kopi yang sudah dia minum.
"Itu tidak benar, Daisy. Kamu salah dengar," ujarnya. Entah itu bohong atau tidak.
"Kalau itu tidak benar, ya, sudah ... Paman nikahkan saja dengan Alea. Beres."
Bibi Mey yang tadi terlihat diam, begitu mendengar penolakanku berkali-kali, dia langsung menyela ucapanku. Bibi Mey hampir saja menampar wajahku jika saja aku tidak sigap menghindari gerakan tangannya.
"Dasar ponakan tidak tahu diuntung! Kami sudah merawatmu dengan sangat baik di sini. Harusnya kamu berterima kasih pada kami. Bukannya malah membantah perintah kami!"
Aku yang mendengar penuturan Bibi, langsung kusambut dengan kalimat menusuk hati.
"Anda tidak sedang berakting 'kan Bibi Mey? Yang harusnya bersyukur itu Anda, dan kedua anak-anak Anda, bukan aku! Ini rumah ayahku! Harus Anda ingat, yang numpang di sini itu Anda! Jadi, kalaupun yang harus berhutang Budi itu, Anda bukan aku!"
"Pokoknya, aku bilang tidak, ya ... tidak! Jangan paksa aku untuk menikah!"
"Dan untuk kalian dua sepupuku, ingat! Kalian di sini cuma menumpang. Ini rumahku, bukan rumah kalian! Paham!"
Setelah mengatakan itu, aku bergegas pergi dari hadapan mereka. Rasa kesal bercampur emosi kini dirasakan olehku. Kesal pada kenyataan kenapa ayah dan ibu harus pergi lebih dulu meninggalkan aku. Andaikan ayah dan ibu masih hidup, aku mungkin akan merasa lebih tentram.
****
Di sebuah danau kota.
Suara riak air terdengar syahdu ketika kulemparkan batu kerikil mengarah ke dasar danau. Airnya begitu jernih sehingga dari kejauhan bisa terlihat kedalaman air di danau itu. Hanya inilah tempat yang membuat hatiku damai dan bahagia. Di tempat ini, aku bisa berteriak semauku dan menangis semauku.
"Kenapa takdir ini kejam padaku?!"
"Kenapa Tuhan tidak pernah memberikan aku kebahagiaan?!"
"Kenapa harus aku yang menderita? Bukan mereka yang telah jahat padaku!"
Aku terus berteriak kencang. Menumpahkan semua perasaan marah.
"Hidup itu pilihan. Jika Tuhan memberikan kamu cobaan, maka harus kamu lalui dengan usaha. Tuhan itu tidak akan memberikan cobaan pada hambanya secara cuma-cuma. Dia hanya ingin menguji kamu seberapa kuat kamu menghadapi cobaan dari-Nya."
Seorang laki-laki bertubuh besar muncul ketika suara teriakan terakhir yang kuucapkan. Dengan refleks aku menoleh ke arah suara itu.
"Siapa kamu? Sejak kapan kamu berada di sini?!"
Laki-laki itu tersenyum manis padaku. "Sejak kedatangan kamu ke danau ini, aku lebih dulu ada di sini. Kamunya saja yang tidak melihat kanan dan kiri," jawabnya lugas.
Sial!
Berarti dia mendengar ocehanku tadi. Kamvret memang!
"Ada masalah apa? Putus dengan kekasih?" tanyanya seakan meledek padaku.
"Kepo!"
"Tidak. Aku hanya ingi tahu saja. Siapa tahu aku bisa membantumu."
"Membantu? Cih! Bisa apa kamu?"
"Bisa semuanya. Menghajar orang, membunuh atau ... memenjarakan orang yang bersalah. Tapi, asal jangan satu hal ini saja. Aku pasti nyerah."
Aku terdiam dengan alis terangkat satu. Lelaki jangkung itu menoleh dan ia seakan mengerti dengan arti kode dari alisku ini.
"Jangan bertanya padaku soal cinta. Karena aku tidak pernah jatuh cinta."
Ucapan lelaki itu membuatku tertawa terbahak-bahak. Dari caranya berbicara hingga ekspresi wajahnya yang terlihat cuek dan tampak so cool, ternyata jomlo lovers sejati.
"Ah, percuma saya bicara panjang lebar pada orang asing macam kamu. Dasar wanita aneh!" Lelaki itu berdiri. Ia hendak pergi meninggalkan aku sendiri di danau kota.
"Hati-hati, Nona. Di sini sering ada penampakan," ujarnya. Dan itu sukses membuatku merinding setengah gila.
"Kamvret kamu! Woi ... tunggu! Tanggung jawab dulu! Woi!"
Lelaki jangkung itu tetap pergi. Cara mengambil langkah kakinya itu yang tidak bisa kuimbangi. Lelaki aneh dengan paras yang tidak terlalu tampan, tetapi guratan di rahangnya membuat sebagian wanita tertarik. Terlebih lagi dengan bentuk alisnya yang simetris melengkung seperti bulan sabit. Benar-benar ciptaan Tuhan yang paling sempurna.
Kali ini aku cukup terhibur. Terhibur karena sosok lelaki asing yang tidak sengaja menghiburku. Walaupun ucapannya tidak jelas. Mungkin dia sedang berusaha untuk meredam emosiku saat ini. Ya, tetapi gimana juga dia itu tetap lelaki aneh yang belum pernah aku temui.
****
Keesokan harinya.
Uncle Jo benar-benar telah ditutupi hatinya oleh uang. Dia menepati apa yang dikatakan olehnya kemarin. Aku harus mau mengikuti semua perintahnya.
Mobil jemputan dari Tuan Andrean sudah datang. Ada dua mobil berwarna putih datang beriringan yang di dalamnya terdapat beberapa bodyguard.
"Maaf Nona. Saya orang kepercayaan Tuan Andrean, ingin menjemput Anda dan membawa Anda ke tempat butik Tuan Dewa. Bisakah Anda ikut kami sekarang?" katanya sambil berusaha menarik lenganku.
Kutepis tangan kasar itu yang berusaha memegang lenganku.
"Tidak perlu seistimewa itu! Aku bisa jalan sendiri tanpa harus diseret ataupun dipaksa!" kataku. Mencoba tegas pada mereka.
"Baik. Maafkan kami Nona. Kalau begitu, mari silakan Nona masuk ke dalam mobil."
Aku mengikuti arahan darinya. Tanpa bisa menolak ajakan mereka, aku ikuti saja kemauan dari Uncle Jo, Bibi Merina dan juga para ajudan kesayangan Tuan Andrean.
Di tengah perjalanan, aku sempat memperhatikan mereka yang duduk di samping kanan dan kiri. Mereka semua bertampang sangar. Jika aku memilih kabur, sudah pasti aku kalah cepat dari mereka.
"Berapa menit lagi kita sampai?" tanyaku tiba-tiba. Mereka berempat terkejut saat aku bertanya.
"Paling dua puluh menit lagi, Nona. Ada apa? Apa Anda membutuhkan sesuatu?"
Aku menggeleng cepat. "Ah, tidak-tidak! Aku hanya bosan saja duduk di dalam mobil," dalihku.
Kalian tahu tanggapan mereka? Mereka hanya menoleh tanpa tersenyum. Itu membuat nyaliku sedikit menciut. Terutama pada laki-laki yang sedang menyetir. Dia itukan pria yang kemarin kutemui di danau kota. Pria dingin yang tidak pernah merasakan jatuh cinta. Ya, itu dia orangnya! []
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
🌸ReeN🌸
aku mampir thor
2023-01-07
1
Tatik Purwati
ikutin dulu
2020-10-14
1
Sartini Sartini
bagus_s
2020-10-14
3