.
.
Hening. Begitulah yang dapat digambarkan untuk suasana malam ini. Hanya kesunyian yang menemani kesendirian Naya di balkon kamar.
Sejujurnya ia menunggu kepulangan suaminya. Karena sudah hampir jam 10 malam, namun suaminya masih belum muncul.
Ia mendesah lelah. Ia butuh sandaran saat ini, namun sepertinya suaminya tak menyadari hal itu. Atau mungkin Faizan memang tak peduli.
Naya rapuh saat ini. Ia sangat merasa kehilangan disebabkan Alma yang sudah kembali kepada keluarganya. Biasanya anak itu akan memintanya untuk menemani belajar atau menunggunya sampai tertidur.
Tapi, kini ia hanya sendiri. Benar-benar sendiri. Bi Ani sudah pulang sore tadi karena hari ini ia pulang lebih cepat.
Sesaat terlihat kilatan di langit. Sepertinya akan turun hujan malam ini. Naya melihat jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul 10 tepat.
Ia pun memutuskan untuk masuk ke kamar dan menutup pintu balkon serta jendela yang masih tersingkap. Ia terdiam sesaat sebelum menarik gagang jendela dan menatap ke arah halaman.
"hufft.. Kayaknya kamu emang nggak peduli sama aku ya, mas." Gumamnya lirih.
Tak terasa kini setetes bulir bening telah menetes di pipinya. Hatinya semakin sesak menahan perih yang ia rasakan.
Ia kemudian memilih tidur daripada menunggu suaminya yang entah kapan akan pulang.
.
.
Di sebuah retoran yang masih ramai pengunjung terlihat beberapa orang yang tengah berbincang serius. Sepertinya mengenai pekerjaan. Karena mereka memakai seragam kantoran.
Yah, Mereka adalah Faizan, Rifan dan klien mereka yang tengah melakukan melaksanakan meeting. Sebenarnya ini adalah meeting dadakan yang diadakan Faizan karena ia harus ke luar kota besok pagi. Karena itu meetingnya ia majukan yang sebenarnya harus dilaksanakan besok jam 2 siang.
"baik. Bagaimana pak Asril?" Tanya Faizan yang baru selesai menjelaskan materi.
"Ya, saya setuju dengan pendapat yang pak Faizan sampaikan."
"oke. Kalau begitu kerja sama kita deal?" tanya Faizan lagi.
Lelaki yang ia sebut Asril itu mengangguk setuju. Mereka lalu berjabat tangan sebagai tanda sahnya kerja sama mereka.
Asril melihat jam tangannya sesaat. " wah, nggak berasa ya sudah jam 10 saja pak. Sepertinya saya mau pamit lebih dulu ya, pak Faizan. Karena istri saya pastu sudah menunggu di rumah." Kata Asril diiringi kekehan.
Faizan yang awalnya ikut terkekeh tersentak menyadari satu hal. Naya. Apa istrinya itu juga menunggunya di rumah?
Oh astaga. Ia baru ingat kalau Naya tidak sedang dalam keadaan yang baik. Pasti istrinya itu tengah kesepian.
"kalau begitu, Saya permisi ya pak Faizan, pak Rifan." Pamitnya lagi.
"ya, pak Asril." jawab Rifan dan Faizan hampir bersamaan.
Setelah kepergian Asril, Rifan menyadari kekosongan tatapan bosnya. Ia pun menyahuti Faizan yang malah tak ditanggapi lelaki itu.
"Pak. Bos.." Rifan mengernyit heran.
"Pak. Bapak......" Panggil Rifan lagi yang sedikit meninggikan suaranya.
Faizan pun tersentak. "eh. Iya. Kenapa, Fan?" tanyanya.
"Kita nggak pulang, nih, pak?" tanya Rifan dengan ekspresinya yang menurut Faizan menyebalkan.
Lelaki itu seperti sedang meledeki atasannya itu.
"ya, pulang lah. Ckk.. Ayo. Ngapain lagi disini?" ucap Faizan datar.
Rifan hanya menuruti saja. Ia menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah bosnya itu.
"Dasar bos datar gengsi akut."
Butuh setengah jam bagi Faizan untuk sampai ke rumahnya. Sesampai di halaman, ia melihat lampu ruang depan yang sudah padam. Ia pun menghela napasnya. Pasti Naya sudah tidur.
Ia pun langsung memasukkan mobil ke garasi dan memasuki rumah. Setelahnya ia menuju kamar.
"ckk. Udah tidur pasti." gumamnya.
Saat memasuki kamar, ia melihat Naya yang sudah tertidur berbaring miring menghadap pintu. Entah kenapa, timbul keinginan Faizan untuk mendekatinya. Ia berjongkok agar bisa melihat wajah damai Naya yang tertidur lebih dekat.
Faizan mengernyit tatkala melihat bekas lelehan air mata di pipi Naya yang sepertinya baru mengering. Ia merasa bersalah karena sudah mengabaikan istrinya.
"maafin aku, Nay. Maafin aku. Aku sayang sama kamu, tapi rasa sakit itu masih terasa sampai sekarang." Gumamnya yang kemudian mengecup kening Naya singkat.
Kemudian ia beranjak dan menuju kamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya yang lelah. Baru setelah itu ia menyusul sang istri untuk masuk ke alam mimpi.
.
.
Pagi menjelang tatkala Faizan terbangun dari tidurnya. Ia melihat ke samping kanannya, tak ada istrinya. Ia pun melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul setengah 6 pagi.
Faizan mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia belum memberitahu Naya kalau hari ini dirinya akan berangkat ke luar kota.
Dengan malas Faizan melangkah ke kamar mandi. Ia harus segera bersiap-siap agar tak ketinggalan pesawat. Selesai bersiap, Faizan menuju ke ruang makan untuk sarapan. Benar saja, Naya terlihat sedang menata makanan di meja makan dibantu Bi Ani.
Faizan menatap Naya. Namun, gadis itu tetap fokus pada pekerjaannya tanpa mau melihat ke arah Faizan sedikitpun. Bi Ani yang menyadari bahwa Naya sedang mengacuhkan Faizan hanya bisa mendesah pasrah.
"Silahkan sarapan, den." Ujar Bi Ani memecahkan keheningan diantara mereka.
"hmm, iya bi. Makasih, bi."
Faizan duduk di salah satu kursi yang biasa ia tempati saat sarapan. Kemudian, Naya ikut duduk di depan Faizan masih dengan wajah datarnya. Keheningan kembali menyelimuti mereka tatkala mereka mulai memakan sarapan masing-masing.
Namun, Faizan merasa tak nyaman dengan sikap istrinya saat ini. Biasanya Naya pasti akan berbicara apapun padanya, setidaknya menanyakan makanan yang mana yang ingin dirinya makan. Tapi, kini gadis itu tak berbicara sedikitpun.
Faizan pun jengah dengan sikap Naya. Dengan wajah kesal ia menghempaskan sendok dari tanganny ke piring begitu saja yang membuat Naya berhenti mengunyah. Hanya sesaat, gadis itu kembali melanjutkan makannya.
Sebenarnya ia terkejut karena suara sendok dengan piring yang beradu keras. Namun, ia berusaha mengendalikan keterkejutannya hingga Faizan tiba-tiba memukul meja makan.
"Kamu kenapa, hah??" tanya Faizan dengan suara meninggi dan wajah yang terlihat sangat kesal.
Naya beralih menatapnya. Ia dapat melihat dengan jelas kemarahan yang terpancar di wajah lelaki yang tak lain adalah suaminya itu. Naya tak menjawab pertanyaan Faizan. Ia malah mengalihkan tatapannya ke arah lain.
Faizan mendorong piring makannya tadi dengan kencang dan berlalu begitu saja meninggalkan Naya yang masih terdiam di meja makan.
"apa kamu nggak ada niat buat nanya keadaan aku gimana saat ini, mas? Dan kamu emang nggak pernah bisa ngontrol emosi. Aku nggak yakin bisa bertahan."
Bulir bening mengalir begitu saja di pipi Naya. Sakit. Itulah yang ia rasakan saat ini melihat sikap Faizan yang selalu emosi. Dari dulu ia melihat Faizan tak pernah mencoba untuk mengerti dirinya.
Naya menangis di meja makan yang disaksikan Bi Ani. Wanita paruh baya itu hanya menatap prihatin majikannya yang terlihat menyedihkan. Ia mencoba mendekati Naya.
"mbak Naya. Sabar ya, mbak." hanya itu yang keluar dari bibir Bi Ani.
Tiba-tiba terdengar bel berbunyi. Bi Ani pun segera membukakan pintu, dengan tergopoh-gopoh menuju ruang tamu.
"eh, Ibuk... Silahkan masuk, buk." Ucap Bi Ani sopan.
"iya, makasih bi. Naya ada, bi?"
"ada buk, baru aja sarapan."
"Ya udah. Saya masuk dulu, bi."
"iya, buk." Bi Ani menghembuskan napas panjang.
"Semoga aja, Bu Fara nggak liat mbak Naya lagi nangis." Harap Bi Ani membatin.
Ya, yang datang adalah mertua Naya yang tak lain adalah ibu Faizan. Wanita paruh baya itu menghampiri Naya yang masih berada di meja makan. Saat memasuki ruang makan, Naya ternyata tengah membereskan peralatan makan yang berserakan, termasuk piring yang dibuat berantakan oleh Faizan tadi.
"Mama??" Ujar Naya sedikit terkejut akan kedatangan ibu mertuanya.
"pagi, sayang.." Bu Fara memeluknya.
"pagi, Mah. Mama sama siapa kesini?" Tanya Naya.
"Mama sendiri. Udah lama mama nggak kesini. Kangen banget loh sama kamu dan Alma."
Seketika raut wajah Naya berubah sendu membuat Bu Fara kebingungan. Naya juga menunduk.
"Alma,, Alma udah kembali sama keluarganya, Mah." Kata Naya yang membuat Bu Fara terdiam tak percaya.
"maksud kamu?" Tanya Bu Fara.
"ternyata keluarga Alma masih ada. Dan mereka juga ternyata kenal sama Mas Faizan. Om nya Alma itu kliennya Mas Faizan. Mereka udah nyari Alma selama 3 tahun ini, mah dan sekarang mereka udah nemuin Alma dan ambil alih hak asuh Alma." Naya menjelaskan dengan mata berkaca-kaca.
Sedetik kemudian ia tak kuasa lagi menahan bulir bening yang hendak keluar dari matanya itu. Bu Fara melihat ketidakrelaan di mata Naya. Ia meyakini kalau menantunya yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri itu sangat menyayangi Alma.
Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa. Toh setiap orang berhak menentukan kebahagiaannya. Tapi, bukan berarti ia harus mengorbankan kebahagiaan orang lain demi menantunya.
Ia pun menarik Naya ke dalam pelukannya. Dengan penuh kasih sayang ia mengelus punggung Naya, memberikan kekuatan.
"kamu yang sabar ya, sayang. Mungkin Alma memang harus kembali kekeluarganya. Dan nanti kalian juga pasti akan punya anak sendiri."
"aku nggak yakin, mah. Tapi, semoga aja harapan mama terwujud." Batin Naya masih terisak.
.
.
Sudah 3 hari berlalu. Dan Faizan sudah kembali bekerja ke kantornya. Seperti biasa, keadaan masih sama. Ia dan saang istri masih saling diam. Meski siang setelah ia sampai di penginapan, Mamanya menelfon dan mengomelinya karena ke luar kota tak mengabarkan sang istri.
Di kantor, Faizan duduk melamun di salah satu meja kantin. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu sampai ia terkejut karena keempat lelaki yang sering bersamanya itu datang mengagetkannya.
"woiii...." teriak Gilang dan Lian hampir bersamaan.
"ckkkk.. Apaan, sih. Ganggu aja tau, nggak." dumelnya.
Gilang terkekeh melihat sahabatnya yang sepertinya tengah galau.
"ciee elah. Galau nih, ya." Sahut Gilang.
"kenapa lo, Zan?" tanya Rio.
Faizan mendesah malas. Ia menatap satu-persatu orang-orang di depannya.
"Nggak papa." jawab Faizan acuh dan tak bersemangat.
Faizan memandang ke berbagai arah. Apa mungkin ia harus mengatakan permasalahannya dengan istrinya. Mungkin saja keempat sahabatnya itu bisa memberi solusi.
"Gue yakin, nih. Pasti masalahnya sama Bu istri ya, bos." tebak Rifan yang dibalas tatapan tajam oleh Faizan. Sementara Rifan hanya menyengir.
"bener, Zan?" kali ini Lian yang bertanya.
Lian hanya ingin memastikan apakah benar masalah Faizan adalah dengan Naya atau bukan. Karena, jika ia tentu saja dirinya juga akan terkena imbasnya juga. Bumil di rumah pasti akan menyemprotnya dengan omelan pedas karena Faizan bertengkar dengan Naya lagi.
"Lo semua ngapain, sih kesini?" Faizan mulai kesal.
"Ya, gue sih cuma pengen nongkrong aja disini. Kapan lagi coba, kita bisa gangguin waktu lo ngehalu." kata Gilang yang memang suka membuat kesal.
"kalo gue sih, ikut mereka bos." Rifan berujar. "ya, mumpung lagi jam istirahat."
"Oke. Jadi, lo masih nggak mau cerita apa yang sedang lo pikirin nih, Zan? Ya, udah sih. Kalau ntar lo butuh solusi, gue juga nggak bakal peduli. Susah amat cuma mau tau lo lagi ada masalah apa." Lian mencoba memancing Faizan.
Akhirnya lelaki 25 tahun itu mendesah lelah mendengar perkataan sahabatnya yang mengandung pemaksaan.
"Rifan bener. Masalah gue ya emang Naya. Dan kalian tau kan, masalah gue itu selalu sama Naya dan tentang Naya." Faizan menjelaskan dengan wajah nada yang terdengar putus asa.
"mau sampai kapan, Zan?" Rio menatap Faizan penuh tanya.
Mereka sudah mulai jengah melihat sikap sahabat mereka yang masib saja keras kepala. Apa sebenci itu Faizan pada Naya?"
"gue nggak tau. Gue nggak tau sampai kapan bakal kayak gini. Di satu sisi gue gak tenang kalau harus diamin Naya, tapi gue juga masih sakit hati."
"Harusnya dulu lo nggak usah nikahin dia dulu, Zan. Sekarang lihat, kan. Apa yang terjadi? Lo cuma nyakitin dia, Zan." Lian mencoba memberi pengertian pads Faizan.
Faizan mulai gusar. Ia mengusap wajahnya kasar. Apa yang dikatakan Lian memang benar. Seharusnya ia tak menikah dengan Naya. Dengan begitu, Naya tak akan menangis seperti apa yang dilakukan gadis itu semenjak menikah dengannya.
Apa yang harus ia lakukan sekarang? Nasi sudah menjadi bubur.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 194 Episodes
Comments