.
.
.
.
.
.
Naya menatap gemas pada Alma yang tengah fokus menyantap buah mangga di piring yang sudah Naya kupas dan potong-potong. Gadis kecil itu sepertinya lidahnya sudah benar-benar jatuh hati pada buah berdaging orange itu.
Bagaimana tidak? Ia kini dengan lahapnya memakan satu persatu potongan mangga tanpa mengalihkan perhatiannya pada sang Ibu. Menggemaskan sekali gayanya yang khas anak kecil.
Terlihat bibir anak itu sudah sangat berantakan oleh sisa-sisa gigitan mangga. Naya yang melihatnya tersenyum gemas. Ia lalu mengambil tisu dan mengelap pinggir bibir sang anak dengan sayang.
"uuhh, belepotan banget sayang." ujar Naya gemas.
Alma hanya menatapnya sesaat. Lalu ia lanjut menyuap dua potong mangga yang masih tersisa. Setelahnya, gadis kecil itu berdiri dan mendekat ke Naya.
"udah, bunda. Ama mau main di depan. Boleh nggak, bunda?" tanyanya masih dengan logat sedikit cadel.
"boleh, sayang. Tapi bersihin dulu nih sisa makanannya. Lihat belepotan banget tangan sama bibir Alma." Naya mengusapkan sapu tangan ke sekitar bibir dan tangan Alma.
"ya udah. Sana main. Tapi hati-hati. Jangan jauh-jauh ya, sayang." Pesan Naya sambil mengelus kepala Alma dengan sayang.
"iya, bunda."
Alma mengambil boneka beruang kecil di atas meja. Boneka kesayangannya yang selalu dibawa kemanapun. Boneka tersebut adalah hadiah pertama dari Naya beberapa tahun lalu.
Setelah Alma berlalu pergi, Naya masih terdiam namun dengan pandangan menerawang. Senyum gemas itu perlahan menghilang dari wajahnya berganti dengan wajah datar.
"Seenggaknya, bunda punya kamu yang selalu bikin bunda kuat dan tetap sabar, sayang." Gumamnya lirih.
Ia sadar betul bahwa dirinya mungkin bukan orang penting bagi suaminya. Dan ia salah jika mengharapkan pernikahannya berjalan baik. Karena suaminya sendiri malah mengabaikannya.
Tak ada sedikitpun terlihat oleh Naya raut bahagia atau pun ramah yang ditampilkan Faizan jika hanya berdua. Perlakuannya pun kentara bahwa ia memiliki kebencian pada Naya.
Bahkan sudah hampir sebulan mereka menikah, suaminya belum menyentuhnya. Lalu untuk apa pernikahan itu?
Naya tertawa hambar meratapi kemirisan hidupnya. Ia hanya ingin bahagia, dicintai oleh orang yang ia cinta, dan disayangi oleh suaminya. Karena itu ia menerima lamaran orang tua Faizan kala itu.
Namun, harapan tak sesuai kenyataan. Ia kira dengan menjadi istri Faizan, ia akan bisa mengambil hati suaminya kembali. Tapi nyatanya tidak.
.
.
Hiruk pikuk kendaraan selalu saja meramaikan keadaan kota. Semua orang sibuk berlalu lalang. Dan disinilah Faizan saat ini, Cafetaria istrinya bersama Rio dan Gilang.
Mereka turun dari mobil setelah memarkirkan mobilnya. Kemudian mereka berjalan memasuki Cafetaria.
Baru beberapa langkah, gerak kaki Faizan terhenti melihat sebuah pemandangan yang menurutnya sangat memprihatinkan.
Alma yang tengah berjongkok dengan pandangan sendu menatap dua orang laki-laki beda generasi di depannya. Faizan tebak, mereka adalah ayah dan anak. Terlihat dari bagaimana perhatiannya lelaki dewasa tersebut kepada si anak.
Faizan pun menghampiri mereka bersamaan dengan Rio dan Gilang di belakangnya.
"Alma." panggil Faizan yang langsung membuat Alma menoleh. Begitu juga dengan dua orang itu.
"ada apa, sayang?" tanya Faizan perhatian karena melihat Alma yang terlihat bersedih.
"Maaf, mas. Ini anaknya?" tanya lelaki tadi yang terlihat kesal.
"Iya. Kenapa, pak?"
"Anak mas ini sudah bikin anak saya jatuh. Main kok di tengah jalan begini. Jagain dong anaknya, mas." serobot si lelaki tersebut.
Faizan yang mendengar perkataan lelaki itu merasa tersulut. Ia tak terima dengan perlakuan lelaki itu yang menyalahkan Alma.
"maaf, ya pak. Tapi, sepertinya anak bapak tidak kenapa-napa. Terus ngapain bapak marah-marah begini? Bisa kan masalahnya dibicarakan baik-baik. Lagi pula anak saya masih kecil, jangan dibentak-bentak seperti tadi. Kalau anak saya mentalnya terganggu nanti, bapak bisa saya tuntut." Faizan balas menyinyiri si lelaki.
"Alma nggak kenapa-napa, kan?" tanya Faizan yang sudah berjongkok mensejajarkan tingginya dengan Alma.
Gadis kecil itu hanya menggeleng pelan dan menatap Faizan dalam. Matanya sudah terlihat berkaca-kaca. Sepertinya ia ingin menangis.
Faizan pun menari Alma kedalam pelukannya. "udah, ya. Nggak apa-apa." Faizan mencoba menenangkan.
Melihat hal itu, Lelaki yang memarahi Alma tadi melenggang pergi begitu saja setelah mendengus kesal mendengar penuturan Faizan yang lembut pada sang anak.
Rio dan Gilang yang melihat itu hanya saling pandang dengan senyum misterius. Mereka tersentuh melihat interaksi antara Faizan dan Alma yang sudah seperti Ayah dan anak kandung.
"kalian masuk duluan aja. Terus pesan. Ntar gue nyusul." Intrupsi Faizan yang diiyakan oleh kedua pemuda itu.
Setelah mereka masuk, Faizan membawa Alma duduk di salah satu kursi yang ada di luar Cafetaria. Entah kenapa ia sangat ingin berbicara dengan bocah itu.
Alma masih menunduk tatkala Faizan sudah bersiap ingin buka suara. Ia lalu tersenyum simpul melihatnya.
"Alma." panggilnya lembut sambil menyentuh pundak gadis kecil itu.
Perlahan Alma mengangkat kepalanya dan beralih menatap Faizan.
"Alma kenapa? Kok cemberut gitu? Nggak usah dipikirin yang tadi, ya." Bujuk Faizan.
"Om, kalau ayah Ama ada, pasti ayah Ama marah juga sama bapak itu." Ucap Alma polos.
Faizan tersentak mendengar penuturan Alma yang menurutnya sangat menyedihkan untuk anak seusianya yang ditinggal orang tuanya.
"tapi, Ama udah nggak punya ayah." katanya lagi.
Faizan menghembuskan napas panjang. Kasihan sekali anak itu.
"mm, Alma. Alma boleh kok, anggap om ayah Alma. Dan mulai sekarang Alma bisa panggil om dengan sebutan ayah." Kata Faizan yang membuat Alma berubah bahagia dan sangat antusias.
"beneran, om?"
Faizan menggangguk sambil tersenyum tulus. Tiba-tiba Alma memeluknya sangat erat seakan tak ingin melepaskan dirinya.
"makasih ya, om. Eh, ayah.." ucapnya masih dengan memeluk Faizan.
"iya. Sama-sama."
Setelahnya Faizan mengajak Alma memasuki Cafetaria dengan Alma digendongannya. Gadis kecil itu terlihat sangat bahagia.
Faizan yang berjalan sambil menggendong anak kecil, menjadi tontonan bagi para pengunjung Cafetaria yang sedang makan siang. Faizan benae-benar terlihat sebagai Papa muda ideal.
Ia berusaha mengabaikan tatapan takjub, iri, tak suka dan bahkan ada teriakan tertahan dari beberapa pengunjung yang menyorakinya.
Sedangkan, Rio dan Gilang hanya tersenyum senang melihat sahabatnya itu.
.
.
Naya yang baru saja selesai membereskan perlengkapan Alma di ruangannya mencari keberadaan sang anak. Ia mengedarkan pandangannya ke penjuru Cafetaria. Dan matanya terhenti di salah satu meja yang dekat dengan jendela. Disanalah Alma sedang duduk bersama....
Naya mengernyit bingung, bagaimana bisa anaknya bersama suaminya?
Naya memperhatikan setiap gerak Alma yang tengah disuapi oleh Faizan. Hingga matanya dan sang anak bertemu, langsung ia melambaikan tangan mengisyaratkan agar Alma menghampirinya. Dengan senang hati, si gadis kecil langsung mematuhinya.
"Alma, sayang. Kamu ngapain disana?" tanya Naya saat Alma sudah berada dihadapannya.
"Ama lagi ma'am, bun. Sama Ayah." jawab Alma polos.
Naya mengernyit heran. "A,,Ayah??" gumam Naya yang terdengar seperti pertanyaan.
"iya. Ayah. Itu." tunjuknya pada Faizan yang tengah menoleh padanya.
"what???" Dalam hati ia terkejut. Bagaimana mungkin Alma menyebut suaminya Ayah?
Apa maksudnya ini? Apa Faizan yang menyuruhnya atau Alma sendiri yang memanggil Faizan dengan sebutan Ayah. Ahh, sudah lah. Itu tidak penting. Yang penting sekarang anaknya aman dan tidak bermain jauh-jauh.
"ya, sudah. Alma lanjut lagi makannya ya." titah Naya yang diangguki oleh Alma dan bocah itu langsung bergegaa kembali menghampiri sang Ayah.
.
.
Bersambung..
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 184 Episodes
Comments
Quora_youtixs🖋️
like hadir
2021-07-10
1