PLIISSS
❤❤❤❤❤❤
"Bu, sudah waktunya kita berangkat". Menik berbicara dengan nada suara sedikit keras di depan Feya.
"Astaga Nik, enggak bisa gomong pelan-pelan apa? Kamu ini kenapa sih?" Feya benar-benar di buat kaget oleh suara Menik barusan. "Mau buat jantung saya berhenti bekerja? Lagi pula kenapa kamu gak ketuk pintu dulu?" Ujar Feya kesal.
Tuhkan, dimarahin. Ibu yang gak dengar, aku yang salah. Ibu dari alam mana sih tadi? Bisa nggak dengar-dengar.
Sebenarnya sudah sedari tadi Menik mengetuk pintu ruang kerja Feya, tetapi Menik tidak mendapat sambutan dari dalam. Menik pun nekat masuk ke dalam tanpa permisi lagi, dan sesampainya di dalam malah mendapati Feya yang sedang terdiam sambil memejamkan mata di atas kursi kerjanya. Awal Menik mengira Feya tengah tertidur dan dia pun berencana keluar ruangan sang pimpinan untuk kembali beberapa saat lagi. Tetapi kemudian Menik sadar Feya ternyata tidak tertidur, melainkan sedang tengelam dalam pikirannya sendiri sambil memejamkan mata.
Maka Menik pun memberanikan diri berdehem sebagai tanda keberadaanya di dalam ruangan yang sama dengan Feya, tetapi lagi-lagi Feya hanya diam saja. Tidak menyadari bahwa dia telah berdiri di hadapan Feya, Menik pun melanjutkan dengan mencoba memanggil Feya, beberapa kali dengan nada suara seperti biasa. Dan tetap saja, Feya diam tanpa merespon. Merasa gagal dengan cara satu dan cara kedua, Menik pun nekad meninggikan nada suaranya untuk membuat Feya kembali lagi ke dunia nyata. Untuk membuat Feya sadar bahwa dirinya telah berdiri lebih dari tiga menit dihadapan Feya tanpa di sadari olehnya.
"Ma, maaf Bu. Bukan maksud saya membuat Ibu kaget. Saya sudah mengetuk pintu Bu, tetapi Ibu diam saja. Saya juga sudah memanggil Ibu lebih dari enam kali dan Ibu sepertinya tertidur. Jadi tidak mendengar saya". Menik mencoba sedikit berkelit agar Feya tidak merasa bersalah.
Aku yang salah, aku yang marah. Leyaaaaaaa, ini semua gara-gara kamu.
"Ooo, iya tadi saya memang sempat tertidur". Feya mengiyakan apa yang diperkirakan Menik.
"Apa Ibu mau saya batalkan saja kegiatan Ibu selanjutnya? Saya lihat Ibu sedikit lesu, apa mungkin Ibu mau demam? " Tanya Menik khawatir.
Gimana gak lesu, seharian ini Leya sukses memenuhi isi kepalaku. Sampe sakit kepalaku di buatnya.
"Enggak usah Menik, kegiatan tetap kita lanjutkan. Saya gak papah kok, cuma ya memang agak kurang vit saja". Feya sengaja menyembunyikan perasaannya dari Menik.
"Baiklah Bu, kalu begitu mari kita berangkat sekarang". Menik segera mengingatkan Feya tentang kegiatannya siang ini.
*****
"Ibu ingin saya reservasikan tempat makan siang dimana?" Tanya Menik setelah selesai mendampingi kegiatan Feya.
"Ada rekomendasi tempat gak Nik? Yang tenang tapi enak menu makanan dan suasanannya? Saya lagi gak pengen ada di tempat rame, kepala saya sesikit pusing". Feya menjelaskan.
"Ibu nggak kenapa-napa? Apa kita ke dokter dulu?" Menik sedikit khawatir dengan kesehatan Feya.
"Enggak usah Nik, cuma lagi sakit kepala saja". Feya menolak ajakan Menik.
"Kalau gituh kita makan di daerah Suripat saja Bu, di sana ada restoran yang kekinian tapi tenang dan asri, trus menu makanannya enak banget Bu". Menik memberi solusi pada Feya.
"Boleh, ayo ke sana aja". Feya setuju dengan usul Menik.
Acara makan siang berlangsung tidak seperti bayangan Menik, awal dia merasa telah merekomendasikan tempat makan yang bagus, sesuai keinginan sang majikan. Tetapi sudah hampir tiga puluh menit berlalu, Menik hanya melihat Feya memainkan makan di piring sajinya, sama sekali tidak ada niat untuk mengunyahnya.
"Ibu gak suka ya? Mau saya pesankan yang lain?" Menik mencoba menawarkan menu lain pada Feya.
"Eh, nggak usah Nik". Ujar Feya singkat. Dan Feya pun kembali ke kegiatan awalnya tadi, mengaduk-aduk makanan tanpa berkeinginan memasukkannya ke dalam mulut mungilnya.
Menik pun membiarkan Feya, dia berencana memberi wakru beberapa menit lagi untuk big bossnya itu sibuk dengan makanannya. Bu Feya kenapa ya? Kok seharian ini aneh banget, ah. Mungkin biarkan saja bentar lagi deh. Toh memang lagi enggak ada kegiatan mendesak juga.
Rasanya sudah lebih tujuh menit Menik membiarkan Feya hanya mengaduk-aduk makanannya tanpa sedikit pun menyentuhnya, rasanya sudah cukup baginya membiarkan Feya bersikap seperti itu. Baiklah, sudah waktunya kembali ke kantor, lagian kasihan itu makanan sudah lebih tiga puluh menit di aduk-aduk gak jelas.
Menik berniat mengajak Feya untuk kembali ke kantor, tetapi belum lagi dia bersuara ternyata handphone Feya yang lebih dulu bersuara.
Feya menatap layar handphone yang terletak tidak jauh dari tangan kanannya. Leya, pasti tentang semalam. Aduhh, kepalaku tambah pusing, harus jawab apa?
Feya kemudian mengangkat telepon masuk tersebut, tidak semangat, bahkan cenderung berat hati.
"Hallo, ya Le?" Tanya Feya malas.
"Kok nggak semangat gituh? Aku ganggu kamu ya?" Leya merasa sambutan Feya tidak seperti biasanya.
"Enggak kok, ada apa?" Feya malas berlama-lama berbicara dengan Leya.
"Plissss, tolong aku". Terdengar suara Leya mengiba.
"Leeeeee, permintaanmu terlalu berat. Kamu taukan, dua minggu itu lama". Feya sudah berkali-kali menjelaskan hal tersebut pada Leya.
"Ayolah Fe, kasihanilah aku. Aku sangat ingin membahagiakan suamiku nanti Fe, anak-anakku. Keponakanmu Fe, plissss". Suara Leya semakin terdengar sedih.
"Le, kepalaku pusing". Feya tidak ingin terpengaruh dengan suara iba Leya.
Lama Feya merasa tidak ada suara dari ujung teleponnya, segera Feya memperhatikan layar teleponnya. Jelas telepon tersebut belum di tutup, tetapi anehnya suara penelepon sudah hilang. Dan belum lagi keheranan Feya lenyap, tiba-tiba terdengar suara tangis di handphonenya.
"Le, kamu kenapa?" Feya mulai khawatir.
Yang di tanya diam saja, hanya menangis dan terus menangis. Sampai sesaat kemudian, suara tangis di ujung telepon benar-benar tidak terdengar lagi. Sepertinya pembicaraan mereka telah di tutup sepihak oleh Leya.
Gawat, dimatikan lagi. Leya kenapa ya? Apa dia baik-baik saja. Aku harus apa coba?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 170 Episodes
Comments