Keributan di kantin semakin panas. Arya tergeletak dengan pelipis berdarah, Mira dan Sela panik sambil menghentikan pendarahan di pelipis Arya. Rio kesakitan karena hidungnya terus mengeluarkan darah sedangkan Mahasiswa lain mulai mengeluarkan ponsel dan merekam.
Tiba-tiba suara tegas menggema di seluruh ruangan.
"HEI! HENTIKAN SEMUA!"
Dua orang petugas keamanan kampus muncul dari arah pintu kantin, salah satunya memegang handy-talkie, wajahnya tegang. Beberapa mahasiswa langsung menyingkir, membuka jalan.
"Kalian semua, ikut kami sekarang juga!" ujar salah satu petugas sambil menunjuk Rio dan yang lainnya termasuk Renatta.
"Tapi, Pak—" Sela mencoba menjelaskan, namun petugas segera memotong, "Nggak ada tapi-tapian. Urusan kalian nanti jelaskan di ruang pembinaan. Sekarang ikut!"
Rio mengumpat pelan. Sementara itu, Arya dipapah oleh dua mahasiswa lain, wajahnya lebam tapi ia tetap berjalan tegak. Renatta menunduk, masih menahan emosi, namun genggamannya erat pada ponsel di saku jaketnya.
Beberapa menit kemudian, di ruang pembinaan mahasiswa.
Ruangan itu terasa panas meski AC menyala. Renatta duduk dengan ekspresi dingin, Mira dan Sela di sampingnya. Arya, dengan sedikit luka di pelipis, tetap menatap lurus ke depan. Di sisi lain, Rio bersandar malas di kursinya, beberapa temannya duduk sambil sesekali menatap sinis ke arah Renatta.
Sebuah ruangan semi formal, dengan dua meja besar dan kursi berjajar. Seorang staf bagian kemahasiswaan sudah menunggu dengan wajah serius.
"Duduk semuanya," ucapnya. "Saya tidak peduli siapa yang memulai, yang jelas kalian semua terlibat dalam perkelahian di area kampus. Kalian tahu akibatnya, kan?"
Rio menyandarkan diri di kursi, wajahnya penuh kesal.
"Pak, kami diserang duluan," ucap salah satu temannya, berbohong.
Rio langsung menunjuk Renatta.
"Wah Lo pintar play victim ya, jelas-jelas Lo yang mulai duluan"
"Dia, Pak. Dia yang nguping obrolan pribadi kami lalu tiba-tiba kabur dan bikin ricuh."
Renatta mengangkat alis.
"Nguping? Saya duduk di kantin. Kalau kalian bicara seenaknya di ruang publik, jangan salahkan orang lain kalau kedengaran."
"Lo emang sengaja, kan? Buat jebak gue!" serang Rio dengan nada tinggi.
"Gue nggak jebak siapa-siapa. Lo aja yang panik sendiri," balas Renatta tenang, tapi sorot matanya tajam.
Staf kampus mengangkat tangan, berusaha meredakan.
"Oke, cukup! Jadi tidak ada yang mau mengaku siapa yang mulai menyulut keributan fisik ini?"
Arya mencoba angkat bicara, "Kami hanya ingin menjauh, tapi mereka mulai menyerang duluan."
Rio tertawa sinis, "Ceritanya dibalik ya sekarang? Gila, keren banget sih lo."
Masing-masing saling menyanggah, menyela, dan tak ada satu pun yang mau mengalah. Staf kemahasiswaan terlihat semakin geram.
"Kalau begini caranya, tidak ada titik terang. Bukti fisik tidak ada, video juga tidak ada. Maka saya putuskan semua yang terlibat mendapat sanksi."
"APA?!" beberapa suara serempak memprotes.
"Kalian semua akan mendapat pembinaan intensif selama dua minggu ke depan. Kehadiran wajib, dan akan diawasi langsung oleh pihak fakultas. Kalau ada satu insiden lagi, maka ini akan masuk ke catatan akademik kalian."
Rio mengumpat pelan. Renatta menggertakkan gigi, menahan amarah. Arya hanya mendesah, sementara Sela dan Mira saling pandang dengan wajah kecewa.
"Dan bukan hanya itu aja, Karena kalian tidak bisa menyelesaikan ini secara dewasa dan tidak ada yang mau jujur, maka kami akan berikan kalian semua hukuman yang setimpal."
Semua yang ada di ruangan langsung saling pandang.
"Kalian semua," katanya sambil menunjuk Renatta, Mira, Sela, Arya, Rio dan empat orang temannya, "Selama dua Minggu juga akan membersihkan area kampus, mulai dari taman belakang, lorong-lorong fakultas, sampai halaman depan. Dari sekarang sampai sore. Tidak ada pengecualian."
Rio berdiri dengan tidak terima.
"Pak, serius? Saya nggak salah apa-apa! Mereka duluan yang ganggu kehidupan privasi saya"
Staf itu menatap tajam.
"Kamu bahkan tidak membantu menyelesaikan masalah ini. Terlebih lagi teman-teman kamu sudah melakukan kekerasan fisik pada Arya, kamu juga harus bertanggung jawab untuk itu"
"Saya nggak mau" tolak Rio mentah-mentah.
"Oke saya cabut beasiswa kamu sekarang juga"
"Pak nggak bisa kayak gitu dong..."
"Jalani hukuman ini selama dua Minggu penuh"
Rio mengepalkan tangannya.
Renatta tetap diam. Arya menghela napas pasrah. Mira dan Sela saling pandang sama-sama tidak percaya mereka harus menjalani ini.
"Kalau kalian protes lagi, hukuman akan saya tambah, sebulan kalau perlu. Kami tidak memerlukan mahasiswa yang punya catatan kriminal di kampus ini"
Semua akhirnya terdiam.
"Sekarang keluar dan segera mulai. Peralatan kebersihan sudah disiapkan di pos satpam."
Mereka pun keluar dari ruangan dengan suasana tegang. Di depan pintu, Rio mendekat ke arah Renatta.
"Lo puas sekarang?"
Renatta menatapnya dingin.
"Belum. Tapi akan."
Rio memaki kasar, menatap Renatta dengan mata merah karena emosi dan rasa sakit.
"Gila Lo, semuanya gara-gara Lo"
Renatta masih berdiri tenang, tak ada penyesalan di wajahnya.
"Lebih baik gila daripada pengecut."
Salah satu satpam yang masih berada di lorong langsung berlari menghampiri setelah mendengar keributan.
"HEI! KALIAN MAU DIHUKUM LEBIH BERAT LAGI!?"
Semua akhirnya terdiam, walau tensi masih sangat panas. Rio menatap Renatta dengan penuh dendam sambil terus menekan hidungnya yang berdarah.
***
Setelah keributan itu, pihak kampus benar-benar tak bisa mentoleransi lagi. Akhirnya, mereka semua: Renatta, Rio, Arya, Mira, Sela, dan empat teman Rio diberi hukuman tambahan: membersihkan area kampus hingga sore hari, lengkap dengan rompi oranye bertuliskan "Kerja Sosial Mahasiswa".
Mereka diberi area taman belakang gedung utama. Sapu, alat pel, pengki, dan kantong sampah dibagikan. Kamera CCTV kampus mengawasi setiap sudut, dan seorang petugas keamanan berjaga tak jauh dari sana.
Udara panas, matahari terik, dan ketegangan terasa menusuk.
Renatta mengambil sapu dan langsung mulai bekerja. Mira dan Sela mengikutinya, mencoba fokus. Arya memungut sampah dengan penjepit panjang, sesekali meringis karena masih merasa pegal.
Sementara itu, Rio berdiri menatap Renatta dari kejauhan sambil menahan tisu ke hidungnya yang masih ada bekas darah kering.
"Ayo gerak. CCTV ngerekam," ujar Arya, dingin, saat melihat dua teman Rio malas-malasan.
Renatta menunduk menyapu daun-daun kering, namun dalam hati dia masih waspada. Rio perlahan ikut menyapu, namun matanya tak lepas dari Renatta. Bukan karena rasa kagum, tapi penuh dendam dan harga diri yang terluka.
"Lo pikir keren ya tadi?" gumam Rio, setengah berbisik, mendekat ke Renatta.
"Lebih keren daripada nabrak orang terus kabur," jawab Renatta pelan tanpa menatapnya.
Rio terdiam. Giginya bergemelutuk menahan amarah. Tapi CCTV yang menatap dari atas tiang lampu membuatnya mengurungkan niat balas dendam saat itu.
Petugas keamanan sempat berdeham dari kejauhan, memastikan semua tetap bekerja.
Sore pun makin dekat, tapi suasana tak kunjung mencair. Renatta dan Rio, meski berada dalam satu area, seperti dua kutub magnet yang sama: saling menolak, tapi tak bisa menghindar dari satu lingkaran yang sama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments