Langkah kaki Renatta terdengar pelan di jalan setapak menuju rumahnya. Wajahnya murung, tatapannya kosong. Ia bahkan tak menyadari bahwa Zavian sedang berdiri di depan rumah, dengan satu tangan memegang plastik hitam yang tampaknya dijadikan alasan semata.
Zavian yang semula hanya berniat membuang sampah, tiba-tiba mengernyit heran melihat sosok gadis itu. Renatta… terlihat berbeda. Tidak seperti biasanya yang selalu ceria atau penuh drama kecil yang lucu. Kali ini, matanya… bengkak. Seperti habis menangis.
Zavian perlahan membuka pagar dan pura-pura melangkah ke luar, tetap membawa plastik kosong di tangannya.
"Renatta?"
Langkah Renatta terhenti. Ia menoleh cepat, matanya bertemu pandang dengan dosennya yang kini jadi tetangga. "Pak Zavian?"
"Kamu baru pulang?"
Renatta mengangguk lemah, suaranya pelan dan sedikit bergetar, "Iya… aku baru pulang. Dan sangat lelah. Aku masuk duluan ya, Pak Zavian."
Zavian belum sempat bertanya lebih jauh saat Renatta buru-buru masuk ke rumahnya. Pintu tertutup. Hening kembali mengisi udara sore yang tadinya hangat.
Zavian masih berdiri di tempat, plastik hitam masih di tangannya. Padahal tak ada sampah di dalamnya. Hanya alasan agar bisa memperhatikan Renatta dari dekat. Tapi kini ia hanya bisa menatap pintu rumah gadis itu dengan pandangan bingung.
“Ada apa sebenarnya dengan kamu, Renatta?” gumamnya lirih.
***
Suasana ruang tamu rumah baru Renatta dipenuhi aroma hangat teh manis dan bantal-bantal empuk yang berserakan di lantai. Mira duduk di karpet, memeluk lututnya sambil sesekali melirik Renatta yang masih duduk diam di sofa, wajahnya sembab. Sela mondar-mandir dengan kesal, sedangkan Arya bersandar di dinding, tangannya menyilang di dada.
Sela memukul bantal yang ada di dekatnya dengan kesal. “Gue sumpah ya, kalau Bastian ada di depan gue sekarang, udah gue gampar! Cowok macam apa yang bisa ngomong kayak gitu ke ceweknya sendiri? ‘Muak’? Emangnya lo siapa, Bas?!”
Mira ikut mengangguk setuju. “Iya, parah banget. Nggak ada empatinya sama sekali. Mentang-mentang udah sukses, jadi ngerasa bisa kontrol hidup orang lain?”
Sela makin naik pitam, dia berdiri di hadapan Renatta dan berhenti mondar-mandir. “Dia pikir dia Tuhan apa? Seenaknya nyuruh orang ninggalin mimpi! Lo tuh bukan properti, Nat. Lo manusia, punya cita-cita juga, punya mimpi! Bukannya didukung, malah dijatuhin…”
Renatta hanya menunduk, suara tangisnya makin terdengar lirih.
Arya menoleh ke arah Sela, menahan agar gadis itu nggak makin emosi. “Sel, udahan dulu, dia udah cukup kepikiran.”
Tapi Sela masih terus bergumam dengan marah, “Kalau gue jadi lo, Nat, gue blok semua kontaknya. Cowok kayak gitu nggak layak dapetin lo.”
“Jadi, apa keputusan lo, Nat?” tanya Arya, Suaranya pelan tapi tegas.
Renatta menghela napas dalam. “Gue bingung... Dulu Bastian nggak kayak gitu… dia selalu dukung apapun keputusan gue. Tapi sekarang dia… beda. Dia bahkan kayak... gak kenal gue.”
Sela mendengus, tangannya berkacak pinggang. “Kalau lo nggak nyaman, mending putus aja, Nat. Dia udah gak pengertian banget. Perkataan dia ke lo itu parah banget.”
Renatta menggeleng cepat, air mata kembali membasahi pipinya. “Gimana bisa gue putus gitu aja sama dia? Gue sama dia kenal udah lama banget… Dari kecil. Dia yang selalu lindungi gue, dia selalu ada buat gue…”
“Tapi sekarang Bastian bukan kayak gitu lagi, Natta,” sela Mira pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. “Dia cuma mikirin dirinya sendiri. Jahat banget loh perkataan dia… Tega banget dia ngomong kayak gitu.”
Renatta tak sanggup menahan tangis. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya bergetar. “Gue sayang banget sama Bastian…”
Mira, Sela, dan Arya saling berpandangan. Tatapan mereka sama bingung, khawatir, dan sedikit putus asa. Mereka tahu hubungan Renatta dan Bastian bukan sekadar pacaran biasa. Mereka tumbuh bersama, melewati banyak hal bersama. Tapi sekarang, semuanya terasa berantakan.
Mira pelan-pelan mendekat, duduk di samping Renatta dan memeluknya erat. “Lo nggak sendiri, Nat. Kita semua ada di sini. Tapi lo juga harus sayang sama diri lo sendiri…”
Renatta tak menjawab, hanya membalas pelukan Mira dengan erat. Untuk sekarang, ia hanya ingin menangis sepuasnya.
***
Zavian duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang sudah sejak tadi menyala tapi tak disentuh. Tangannya menopang dagu, sementara matanya menatap kosong ke arah luar jendela. Hatinya gelisah. Entah kenapa, sejak melihat wajah Renatta yang murung tadi sore, pikirannya tak bisa tenang.
Gadis itu memang… berbeda.
Sejak pertemuan pertama mereka yang menurutnya kacau dengan kopi yang tumpah, saat dimata kuliahnya Renatta tidak mendengarkan penjelasan nya dan malah asik menggambar, Rambut nya yang selalu berantakan, dan mulut yang cerewet. Renatta sudah meninggalkan kesan yang aneh di benaknya. Zavian, yang terbiasa dengan ketenangan, keteraturan, dan batasan yang jelas, justru merasa terganggu… tapi dengan cara yang menyenangkan.
"Kenapa dia terus ada di pikiranku?" gumamnya pelan.
Ia mengingat lagi momen ketika Renatta dengan polosnya memberitahu jumlah uang yang dia punya ke agen properti abal-abal, ketika gadis itu memanggilnya "Pak Zavian" dengan nada takut-takut, dan ketika matanya membulat malu saat mereka tanpa sengaja bertatapan di pagi hari.
Zavian menghela napas. Bahkan sampai sekarang, ia masih ingat ekspresi canggung gadis itu saat mengucapkan terima kasih karena diberi makanan.
"Apa aku... suka dia?" tanyanya pada diri sendiri.
Zavian menggeleng pelan, seperti ingin menepis pikirannya sendiri. “Tapi kenapa harus dia?”
Gadis itu ceroboh, berisik, dan terlalu apa adanya. Sifat yang bertolak belakang dengan dirinya. Tapi justru di situlah daya tariknya Renatta seperti kekacauan kecil yang menyelinap masuk ke dalam dunianya yang terlalu rapi.
Zavian menatap jendela yang mulai berkabut oleh embun malam. Ia belum punya jawaban pasti. Tapi satu hal yang pasti sejak kedatangan Renatta, hatinya tidak lagi tenang seperti sebelumnya.
Zavian baru saja mencoba kembali fokus ke laptopnya ketika suara tawa dan obrolan dari arah rumah sebelah menarik perhatiannya. Ia mengangkat alis, lalu berdiri pelan, berjalan ke dinding dan menempelkan telinganya.
Apa dia sedang ada tamu?
Rasa penasaran menuntunnya untuk mengenakan hoodie hitam, dan ia membuka pintu dengan sangat santai seolah hanya ingin menikmati udara malam. Tepat saat itu, tawa berhenti, dan empat pasang mata langsung menoleh ke arahnya.
“Eh itu pak dosen ganteng kan?” bisik Mira pada Sela, cukup keras untuk didengar Zavian.
Zavian menahan senyum, memasang wajah datar pura-pura tak mendengar apa-apa, matanya tertuju pada layar ponsel yang bahkan tidak aktif.
“Selamat malam, Pak Zavian,” sapa Mira dengan suara pelan.
Zavian menoleh dan mengangguk pelan. “Oh, hai. Selamat malam.”
Mira menyikut Renatta dengan nakal. “Ternyata Pak Zavian dan Renatta tetanggaan, ya…”
“Ah, iya. Kami tetangga,” jawab Zavian santai.
“Renatta bilang Pak Zavian jago masak, ya? Kita pengen coba juga dong,” celetuk Sela tanpa malu-malu.
Wajah Renatta langsung merah padam. “Sela!” gumamnya sambil menahan napas, ingin sekali menyumpal mulut sahabatnya itu.
Zavian menahan tawa dan menjawab santai, “Ah, itu…”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Renatta memotong, “Ehh, kalian katanya mau pulang, kan? Kok malah ngobrol sih?”
Sela makin menjadi. “Pak Zavian, saya juga mau dong dimasakin pasta. Pakai kasih sayang, yang rasanya susah dilupain…”
Renatta panik dan langsung menutup mulut Sela. “Maaf ya, Pak… mulutnya suka ngawur.”
Arya malah ikut-ikutan. “Pak Zavian, kapan-kapan gabung aja sama kita, ngobrol-ngobrol.”
Satu mulut ditutup, mulut lain malah menembak.
Zavian tersenyum tipis. “Ah, itu bisa diatur. Memangnya kapan kalian akan ketemuan lagi?”
Mira, Sela, dan Arya saling pandang, lalu menatap Renatta, menunggu jawaban.
Renatta menggaruk kepala, canggung. “Ah, itu… kapan ya?”
“Sok mikir lu, Natta. Lusa aja gimana, Pak Zavian?”
“Boleh,” jawab Zavian cepat.
“Pak, tapi nggak apa-apa kan? Takutnya kita nggak sopan gitu… kan Bapak dosen,” ujar Arya sambil terkekeh.
Zavian mengangkat bahu. “Nggak masalah.”
Mira, Sela, dan Arya terlihat girang seperti anak kecil dapat permen.
“Yaudah kalau gitu, saya pergi dulu. Selamat malam,” ucap Zavian sambil pamit.
“Selamat malam, Pak Zavian,” jawab mereka serempak.
Zavian pergi keluar dari pintu gerbang dengan senyum tak bisa disembunyikan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments