Bab 8

Renatta pulang lebih awal dari biasanya. Rumah terlihat sepi, hanya suara kipas angin tua yang berderit-derit dari ruang tamu. Ia berniat membereskan tumpukan berkas yang selama ini ia abaikan di rak tua peninggalan orang tuanya. Tapi saat sedang menyusun map-map itu, sebuah amplop besar berwarna cokelat jatuh ke lantai.

Dengan penasaran, ia membukanya.

Mata Renatta membelalak.

"Surat pencairan asuransi jiwa..." bibirnya bergetar.

Tertera nama almarhum kedua orang tuanya. Dan jumlahnya tidak main-main. Puluhan juta. Bahkan bisa mencukupi untuk biaya kuliahnya sampai selesai seandainya uang itu masih ada.

Tangannya gemetar membuka lembaran lainnya. Ada catatan transfer dan tanda tangan... milik Tante Diah.

“Astaga… ini semua... diambil Tante?”

Suara pintu depan berderit. Diah baru saja pulang, membawa kantong belanja. Tapi belum sempat menaruhnya, Renatta sudah berdiri di hadapannya sambil menggenggam map itu.

"Ini apa, Tante?" suaranya bergetar penuh amarah.

Diah menghela napas, ekspresinya datar.

“Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu acak-acak rumah ku? Kembalikan map itu, nggak usah ikut campur!!!”

"Ikut campur? Ini uang orang tuaku! Kenapa aku baru tau sekarang? Kenapa selama ini Tante diam aja?! Aku kuliah ngemis-ngemis beasiswa, kerja serabutan, sampai jatuh sakit, tapi uang ini malah Tante ambil semua?!”

“Jaga mulutmu, Renatta!” bentak Diah, wajahnya memerah.

"Atau apa?! Tante takut ketahuan? Selama ini aku pikir orang tuaku nggak peduli sama aku, sampai -sampai aku harus numpang sama Tante, aku pikir mereka nggak peduli tentang masa depanku, ternyata mereka udah mempersiapkan semuanya. Tante jahat banget ya... manfaatin kematian kakak ipar sendiri!”

PLAKK!

Satu tamparan keras mendarat di pipi Renatta. Ia terhuyung, tapi tetap berdiri tegak.

“Anak kurang ajar! Kalau tau kamu bakal kayak gini aku nggak mau urus kamu! Kalau bukan karena aku, kamu udah jadi anak panti dari dulu!”

Renatta menatap tantenya dengan air mata menggenang. Tapi kali ini bukan karena takut, melainkan karena kecewa dan marah.

“Kalau bukan karena Tante? Justru karena Tante aku nggak bisa hidup tenang! Tante rampas semua yang aku punya! Dasar rakus! Duit puluhan juta Tante habisin buat apa? Skincare? Gonta-ganti perabot rumah? Sementara aku tidur dengan perut kosong! Bahkan aku kehilangan kamar ku”

Diah mencoba menampar lagi, tapi kali ini Renatta menahan tangannya.

“Cukup!”

Renatta melepaskan tangan Diah dan gantian menampar tantenya, keras, tepat di pipi.

“Kau bukan ibuku. Jangan pernah sok jadi orang tuaku. Kau nggak pernah nyentuh aku”

Diah membelalak, kaget dan kesal setengah mati. Tapi sebelum sempat bicara lagi, suara ramai dari luar mulai terdengar. Beberapa tetangga mulai berdatangan, wajah-wajah penasaran saling menatap.

“Ada apa ini, ribut-ribut?”

“Itu si Renatta nangis-nangis, kok Diah mukul anak gitu sih?”

Renatta berdiri di tengah ruang tamu dengan wajah sembab dan napas terengah.

"Tante Diah bukan keluarga. Dia cuma parasit yang makan dari kematian orang tuaku!"

Tangisnya pecah.

Para tetangga terdiam. Diah mematung di tempatnya, malu, tapi juga terlalu marah untuk menyangkal.

Renatta menggenggam map itu erat-erat. Nafasnya memburu. Pipinya masih terasa panas akibat tamparan tadi, tapi hatinya jauh lebih terbakar.

"Pura-pura jadi orang baik biar semua orang tau bahwa Tante ngurus anak yatim piatu! Ternyata selama ini Tante cuma ngincar warisan orang tuaku!" teriak Renatta sambil menunjuk wajah Diah dengan marah.

"Apa Tante pikir aku nggak tau tentang rumah di Jogja itu? Tentang perhiasan mama yang Tante jual diam-diam? Tentang mobil papa yang katanya dijual buat bayar utang rumah sakit, padahal masuk ke rekening Tante sendiri?!"

Diah memukul meja dengan keras.

“Kamu anak kurang ajar! Berani banget kamu ngorek-ngorek masa lalu! Itu semua aku yang urus! Kalau bukan aku, kamu udah ngemis di jalan! Kamu tuh cuma beban!”

“Aku anak dari orang tua yang mati-matian kerja, bukan untuk dihabisin sama benalu kayak Tante!”

Diah mendekat dengan wajah penuh amarah, jaraknya hanya sejengkal dari Renatta.

“Kamu tuh siapa, hah?! Tinggal di rumah ini juga numpang! Makan dari dapur ini! Nggak ada kamu, aku hidup lebih enak! Semua warisan itu hak aku karena aku yang tanggung semua urusan waktu orang tua kamu mati!”

Renatta menangis, namun matanya tetap menatap tajam.

“Hak Tante? Orang tua aku nggak pernah warisin itu ke siapa-siapa! Semua itu buat masa depanku! Tapi apa? Tante habisin kayak nggak punya hati! Kalo memang niat jagain aku, kenapa semua yang bisa diuangkan Tante jual?!”

“Karena aku capek! Aku muak urus anak orang! Kamu kira gampang?!”

“Iya, Tante muak karena dari awal niatnya bukan jagain, tapi nyamperin harta! Tante emang nggak pernah sayang sama aku! Tante cuman numpang untung dari kematian mereka!”

"Ini rumah ku, Tante nggak punya hak apapun atas rumah ini"

"Aku yang berjuang jaga rumah ini, dan kamu bilang ini rumah mu? punya otak kamu? Diah tak mau kalah.

"Aku nggak mau tau, kembalikan semua uang orang tuaku, kalau nggak... Aku akan cari pengacara dan nuntut Tante atas semua yang terjadi. Semua bukti ada sama aku"

Renatta mendekat mencoba merampas map itu.

“SEKALI LAGI TANTE SENTUH AKU, AKU LAPOR POLISI!”

Tangis Renatta pecah. Ia terduduk di lantai, dadanya sesak.

Diah berteriak, dan melempar semua perabotan ke lantai. Renatta mengambil barang-barang nya dan pergi dari rumah.

Renatta menyeret koper besarnya dengan tangan gemetar, matanya sembab, wajahnya merah karena emosi dan tangis. Ia berhenti sejenak di depan gerbang rumah, menoleh sekali lagi ke arah rumah tempat ia dibesarkan namun juga tempat yang selama ini menyimpan luka yang tak pernah ia tahu.

Renatta tersengal, dengan suara lirih namun tegas

"Kalau Tante nggak mau mengakui semua kesalahan Tante, siap-siap... kita bertemu di pengadilan."

Diah hanya diam, "Pergi dari sini anak sialan"

Renatta tak menjawab lagi. Ia menarik kopernya dengan paksa, berjalan cepat menuju gang depan. Beberapa tetangga yang sudah berkumpul sejak tadi langsung mendekatinya.

"Renatta… kamu mau ke mana, nak? langit sudah mulai gelap begini… kasihan kamu…"

"Ada apa sih sebenarnya? Kenapa sampai begini?"

Namun Renatta hanya menggeleng. Bibirnya bergetar, tapi tak sepatah kata pun keluar. Air matanya kembali jatuh. Ia terus berjalan, menjauh dari keramaian, menyusuri jalanan kompleks yang semakin sepi.

Setelah melewati ujung gang, ia berhenti di sebuah halte kecil yang sepi. Ia duduk di bangku kayu yang dingin, memeluk lututnya, dan menangis tersedu.

"Kenapa hidupku selalu seperti ini? Selalu ada yang ingin mengambil apa pun yang kumiliki… Kenapa orang-orang itu terus melukai ku?"

"Aku bahkan nggak punya keberanian buat nuntut mereka"

Dadanya sesak. Untuk pertama kalinya, Renatta merasa benar-benar sendirian di dunia ini. Tidak ada rumah, tidak ada tempat kembali.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!