Bab 5

Zavian duduk di meja kerjanya dengan wajah serius. Cahaya dari layar laptop menerangi wajahnya yang tampak letih. Beberapa berkas terbuka di sebelah laptopnya, dan ia menelusuri baris demi baris data sambil mengetik dengan cepat. Di sisi lain meja, ponsel miliknya terus-menerus bergetar, panggilan masuk yang ia abaikan berkali-kali.

Tok tok tok...

Pintu ruang kerja itu diketuk pelan. Seorang pria paruh baya masuk perlahan. Rambutnya sudah memutih sebagian, namun gesturnya masih menunjukkan wibawa seorang kepala keluarga.

“Kamu masih sibuk, Nak?” tanyanya lembut.

“Iya,” jawab Zavian singkat, tanpa menoleh sedikit pun dari laptopnya.

“Ibumu mengundangmu untuk hadir makan malam besok,” ujar pria itu lagi, suaranya penuh harap.

“Aku sibuk,” jawab Zavian datar.

Pria itu menarik napas, lalu mencoba membujuk, “Setidaknya bicara lah dengannya, Zavi...”

“Tidak perlu,” potong Zavian, kali ini dengan nada yang sedikit dingin. “Ayah saja yang sampaikan padanya. Aku nggak punya waktu untuk bicara dengannya. Aku sibuk. Kalau sudah selesai, tolong tutup pintunya.”

Hening sejenak. Sang ayah menatap putranya dengan ekspresi sedih, sebelum akhirnya berkata pelan, “Baiklah, nanti ayah sampaikan pada ibumu.” Ia pun melangkah keluar ruangan dan menutup pintu perlahan.

Begitu keluar, di lorong rumah, Jaya berbicara di telfon.

“Kau sudah dengar, kan?” kata sang ayah kepada wanita itu. “Apa yang dikatakan Zavian? Dia sedang sibuk, tidak bisa bicara denganmu.”

Wanita itu Sarah mendesis kesal. “Pasti kau yang sudah menghasutnya untuk menghindariku, kan?” katanya penuh tuduhan. “Aku ini ibu kandungnya, Jaya! Jangan halangi aku untuk bertemu dengan anakku!”

Pak Jaya menatapnya dengan tatapan lelah. “Sarah, aku nggak pernah sedikit pun menghasut Zavi. Dia sudah dewasa. Dia mengerti segalanya. Bukan lagi seorang anak kecil yang bisa kau tipu.”

Sarah memukul dadanya sendiri pelan, mencoba menahan amarah. “Sudahlah, Jaya! Kau yang harus bertanggung jawab penuh atas sikap tidak hormat Zavi kepadaku!”

Pak Jaya menggeleng perlahan. “Bukan aku. Tapi masa lalu yang kau coba lupakan begitu saja. Anak kita tidak lupa, Sarah. Dan dia tidak sebodoh yang kau kira.”

Sarah menatap tajam, namun dalam hatinya, kata-kata itu membekas. Ia tahu... Zavian belum memaafkannya.

***

Setelah bergelut cukup lama dengan berbagai macam kesibukan yang menyangkut kelulusannya, akhirnya hari yang ditunggu-tunggu Renatta telah tiba. Renatta sudah menyiapkan segala rancangannya dengan sangat matang, persiapan sidang sudah ia siapkan dari jauh-jauh hari. Akhirnya ia akan segera melaksanakan wisuda dan lulus. Ia pun tak perlu bertemu dengan dosen menyebalkan itu lagi. Karena semenjak Zavian mengajar di kelasnya, pria itu selalu saja mengusilinya.

Dan hari ini adalah hari yang sangat berarti bagi Renatta. Hari sidang tesis momen puncak dari perjuangan panjangnya sebagai mahasiswi. Ia bangun lebih awal dari biasanya, mengenakan pakaian terbaik yang telah ia siapkan semalam. Riasan tipis dan senyum semangat menghiasi wajahnya saat ia bercermin.

Namun semangat itu nyaris padam saat suara Tante Diah membuyarkan pagi cerahnya.

“Ren, beliin sarapan, Tante lapar,” kata Tante Diah dari ruang tengah.

"Iya beliin ya kak cepetan, kita udah lapar. Gas habis, kita malas masak"

"Tapi aku harus ke kampus pagi ini"

"Kalau kamu pergi sekarang nggak bakal telat"

Renatta menghentikan langkahnya yang sudah menuju pintu. “Kenapa nggak suruh aja tuh dua anak Tante? Nganggur kan?” protesnya, menunjuk ke arah sepupunya yang tengah bersantai di depan TV.

Diah berdiri dari sofa, mendekat sambil membawa aura dingin yang khas. Plak! Tamparan mendarat di pipi Renatta.

“Masih mau ngomong lagi? Atau mau langsung pergi beli sekarang juga?” bentaknya.

Renatta memegang pipinya yang memerah, bibirnya sedikit sobek di sudut. Matanya berkaca, tapi tak ada air mata yang jatuh. Hanya kemarahan yang ia telan dalam diam. Ia mengangguk pelan dan berbalik, mengambil dompet dan kunci kamarnya.

“Sekalian beliin obat herbal Tante di dekat rumah sakit. Jangan pakai lama.”

Renatta menghela napas panjang. Pagi yang seharusnya penuh semangat berubah menjadi pelarian waktu. Ia melirik jam tangan. Masih ada waktu. Untungnya ia bangun lebih awal.

Ia memutuskan membeli obat herbal terlebih dahulu. Letaknya cukup jauh, dan ia tahu warung sarapan lebih banyak tersedia dalam perjalanan pulang nanti.

Setelah membeli obat, di dekat sebuah gerobak bakpao yang mengepul hangat, matanya tertuju pada seorang kakek berdiri diam sambil menatap roti dengan penuh harap. Dilihat dari pakaiannya sepertinya kakek dihadapan nya ini adalah pasien rumah sakit, kakinya gemetar, namun matanya penuh cahaya.

Renatta mendekat, “Kakek mau beli roti itu?”

Kakek itu mengangguk, “Iya... tapi... kakek lagi nggak pegang uang”

Tanpa pikir panjang, Renatta langsung berkata, “Biar aku yang bayarin ya, Kek.”

Ia membeli beberapa roti bakpao dan menyerahkannya pada sang kakek. Mereka duduk di bangku kecil tak jauh dari gerobak. Kakek membuka plastik roti pelan-pelan, seolah sedang membuka harta karun.

“Kek... kakek kabur ya dari rumah sakit?” tanya Renatta, setengah bercanda.

Kakek tertawa kecil. “Heh... kamu ini perawat ya?”

Renatta ikut tertawa. “Bukan kek, aku bukan perawat kok. Tapi tenang aja, aku juga nggak akan marahin kakek.”

“Hahaha... kamu lucu. Kayak cucuku dulu... cuma bedanya kamu jauh lebih baik.”

“Memangnya cucu kakek kenapa?”

“Cucuku? Pelitnya minta ampun. Bilangnya banyak gula, banyak pengawet, nanti bikin aku cepet mati. Padahal aku cuma pengen satu biji roti kukus,” katanya sambil terkekeh, lalu menggigit bakpao hangat itu dengan nikmat.

“Kakek suka roti ini, ya?”

“Sudah lama banget aku pengen makannya.”

“Yasudah, sekarang sudah aku beliin. Kakek makan, ya, terus lekas kembali ke rumah sakit. Jangan sampai ada yang panik nyariin.”

Kakek tersenyum tulus. “Siapa namamu, Nak?”

“Namaku Renatta kek.”

“Nama yang indah... cocok dengan wajah yang indah pula.”

Renatta tersenyum malu. “Terima kasih, Kek. Tapi aku harus segera kembali.”

Ia berdiri dan melambaikan tangan. Kakek itu pun mengangguk, mengunyah bakpao terakhirnya.

Renatta segera berlari kecil ke arah jalan pulang. Meskipun tangannya membawa plastik berat berisi obat dan sarapan, langkahnya terasa ringan. Senyum kecil muncul di wajahnya meskipun pipinya masih terasa perih.

Hari sidang tesisnya belum dimulai, tapi ia tahu... pagi ini sudah membuktikan satu hal penting:

Ia kuat.

Dan ia layak menang.

***

Setelah mengantar kakek itu kembali ke rumah sakit dan memastikan ia sampai dengan aman, Renatta berlari pulang menyusuri gang sempit tempat tinggalnya. Nafasnya memburu, keringat membasahi pelipis, namun ia tidak kembali ke rumah.

Ia tahu jika kembali, waktunya akan habis. Ia tidak ingin telat, tidak hari ini. Maka ia memutuskan untuk mengetuk pintu rumah Bu Nur, tetangga sebelah.

“Bu, titip sarapan dan obat ini buat Tante Diah ya... bilang aja saya buru-buru ke kampus,” ucapnya cepat.

“Lho, kamu nggak masuk dulu?” tanya Bu Nur heran.

“Nggak bisa Bu, saya sidang hari ini. Doakan saya ya,” katanya sambil tersenyum lelah.

“Ya Allah, semangat ya, Nak. Hati-hati di jalan!” seru Bu Nur.

Renatta berlari lagi, menyetop angkot pertama yang lewat, berharap waktu masih bersahabat. Di sepanjang perjalanan ia mencoba menenangkan diri, mengatur nafas, tapi kepalanya terasa makin berat.

 

Di kampus, suasana ruang sidang sudah mulai tegang. Mahasiswa satu per satu dipanggil untuk diuji oleh para dosen. Beberapa terlihat gugup, ada juga yang nyaris menangis karena tekanan pertanyaan dari salah satu dosen penguji—Zavian.

Zavian duduk di meja penguji dengan ekspresi tenang dan serius, seperti biasa. Ia tak banyak bicara, hanya mencatat dan sesekali melontarkan pertanyaan tajam. Dosen lain kadang melirik ke arahnya dengan segan.

Ketika giliran Renatta tiba, ruangan menjadi sedikit hening. Gadis itu masuk dengan nafas terengah-engah, rambut sedikit berantakan, keringat membasahi wajahnya. Tapi matanya tetap menunjukkan semangat, sekuat yang bisa ia pertahankan.

Seorang dosen langsung berkata, “Silakan keluarkan tesismu.”

Renatta mengangguk dan berusaha berdiri tegak, namun tubuhnya tiba-tiba limbung. Ia memegang meja, pandangannya berputar, kepala terasa seperti dihantam benda tumpul. Dalam sekejap, ia terjatuh.

Bruk!

Tubuhnya menghantam lantai dengan suara mengejutkan. Semua orang panik saat melihat darah mengalir dari hidung Renatta. Beberapa mahasiswa langsung berdiri. Salah satu dosen wanita menjerit, “Cepat panggil ambulans!”

Namun Zavian lebih sigap. Ia melompati meja, langsung menghampiri Renatta, membopongnya dengan kedua tangan. “Cepat! Kita bawa dia ke rumah sakit sekarang!” suaranya tegas dan penuh kepanikan.

Beberapa teman dekat Renatta mengikuti dari belakang, bersama dosen perempuan yang terus menggenggam tangan Renatta sepanjang jalan.

Di dalam mobil, Zavian terus memandangi wajah pucat Renatta yang terbaring lemas di pangkuannya. Jemarinya gemetar saat menyeka darah di bawah hidung gadis itu.

“Bertahanlah, Renatta... Aku mohon...” Ucap Sela.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!