Bab 4

Siang itu jalanan cukup ramai. Beberapa orang tampak membagikan selebaran berisi iklan penjualan rumah. Renatta yang sedang berjalan sambil memainkan ponselnya tak sengaja dihampiri oleh salah satu pria berseragam rapi.

“Permisi, Mbak. Saya dari ArthaProperti, ini ada brosur penawaran rumah cluster baru. Lokasinya strategis, harga promo cuma sampai akhir bulan,” ujarnya semangat.

Renatta menatap brosur itu sejenak. Rumahnya tampak bagus, desainnya modern minimalis, halaman luas, dan katanya dekat dengan pusat kota. Ada godaan yang menggelitik hatinya.

“Beneran, Mbak. Ini kesempatan langka. Kalau Mbak minat, bisa kita atur jadwal survey hari ini juga. Kalau hari ini booking, dapet potongan dua puluh juta,” bujuk pria itu lagi.

Renatta menggigit bibir. Matanya menelusuri gambar rumah di selebaran itu. Hatinya mulai bimbang.

“Boleh saya tanya-tanya dulu?”

“Tentu, Mbak. Tanya apa saja.”

Namun belum sempat Renatta bicara, suara dingin menyela dari samping.

“Sudah selesai tesis kamu, Renatta?”

Renatta menoleh cepat. Zavian berdiri di sana, tangan di saku celana, dengan ekspresi super datar seolah-olah dunia ini hanya berisi tugas akhir dan seminar proposal.

“Pak?” Renatta memicingkan mata. “Apa hubungannya tesis saya sama rumah?”

Pria penjual properti ikut menoleh. “Tesis, Mbak?”

Zavian melangkah mendekat. “Topiknya apa? Masih pake teori lama atau kamu udah revisi berdasarkan jurnal terbaru? Jangan-jangan masih plin-plan kayak waktu sidang proposal ya?”

Renatta melongo. Penjual rumah melirik kiri kanan, lalu perlahan menurunkan brosur yang tadi ia pegang.

“Eee… jadi ini tentang jual beli rumah atau… skripsi, ya?” tanya si pria itu, bingung.

Zavian menatap pria itu dan bertanya serius, “Bapak tahu metode kuantitatif nggak?”

Pria itu nyengir kaku. “Saya sih lebih ke marketing, Pak…”

“Ah sayang sekali,” jawab Zavian cepat. “Kalau bapak ngerti metode kuantitatif, bapak pasti tahu data rumah-rumah fiktif seperti yang bapak tawarkan ini sudah banyak jadi studi kasus.”

Pria itu terbatuk gugup. “M-mohon maaf, saya nggak ngerti…”

"Abaikan aja dia. Saya mau lihat desain rumah nya dong Pak"

"Ini ada banyak model rumah modern yang pasti mbak suka"

"Saya suka yang ini, tapi mahal banget ya pak. Saya cuman punya uang 45 juta"

"Oh boleh kebetulan rumah ini sedang ada diskon... Kalau mau ambil yang ini tidak bisa bayar DP langsung kontan ya mbak. Hayoloh mbak ini tuh kesempatan emas buat beli rumah, kapan ada lagi ada rumah murah?"

Renatta sangat tergiur, namun sebelum Renatta semakin jauh tergoda Zavian mengulurkan tangan dan menarik lengan Renatta begitu saja.

“Eh! Apa-apaan sih?! Main tarik-tarik..."

"Mbak di brosur itu ada nomor telfon saya, kalau jadi hubungi saya ya mbak"

Renatta berusaha melepaskan diri, tapi langkah Zavian cepat. Mereka menjauh dari kerumunan itu, melewati beberapa toko sampai akhirnya tiba di tempat yang lebih sepi.

Renatta menatap Zavian, masih syok. “Apa-apaan sih barusan?! Siapa juga yang mau bahas tesis di tengah jalan?!”

Zavian menjawab santai, “Ya kamu yang mau beli rumah sebelum lulus. Saya cuma ingetin skala prioritas aja.”

"Apa urusannya sama bapak?"

“Kamu masih mudah dibohongi. Itu brosur palsu. Sudah banyak yang kena tipu dengan skema kayak gitu. Rumah fiktif, uang hilang, dan pelakunya lenyap.”

"Terus? Kenapa nggak teriak aja disana sekalian? kenapa cuman aku yang ditarik tarik?"

"Karena cuman kamu yang bodoh"

Renatta melotot, Zavian melanjutkan kalimatnya. "Lagian siapa yang percaya rumah kayak kerajaan gitu harganya puluhan juta? paling kamu cuman dapat pintunya doang. Lihat tuh banyak yang buang brosurnya, karena apa? Mereka nggak percaya"

Renatta mendengus, wajahnya memerah karena marah dan malu. “Ya.. Yaudah Kalau memang penipuan, ya tinggal bilang aja! Nggak usah drama narik segala! Dasar modus”

Zavian menatapnya datar, “Kalau saya cuma bilang doang, kamu pasti nggak akan dengerin. Mukamu udah kayak orang mau tanda tangan kontrak.”

Renatta mengepalkan tangan, kesal bukan main. “Sumpah, Bapak itu aneh banget. Ganggu, nyebelin, nggak jelas… Suka ngejek, suka sok tau, ”

Zavian mengangkat alis, “Tapi kamu selamat, kan?”

Renatta ingin membantah, tapi tidak jadi. Ia hanya melipat tangan dan memalingkan wajah.

“Dasar dosen nyebelin…” gumamnya pelan.

Zavian menyeringai tipis, “Tapi kamu tetap ikut saya tadi.”

Renatta meliriknya dengan kesal. Ia tak mau mengakuinya, tapi entah kenapa ia memang ikut saja waktu itu.

***

Sepanjang perjalanan pulang, Renatta tidak bisa berhenti memikirkan uang yang ditransfer pamannya. Jumlahnya tidak sedikit, cukup untuk menyewa rumah sederhana atau bahkan untuk DP rumah kecil. Tapi... apakah ia benar-benar ingin keluar dari rumah Tante Diah sekarang? Atau harusnya ia simpan saja dulu?

Langkah kakinya melambat, matanya kosong menatap trotoar yang ia injak. Pikirannya berkelana—tentang masa depan, tentang tempat tinggal, tentang rasa aman yang selama ini hilang dari hidupnya.

Tiba-tiba langkahnya terhenti saat melihat sosok yang familiar sedang berdiri di seberang jalan. Seorang pria paruh baya, mengenakan kemeja lusuh dan celana kain longgar, sedang berbincang serius dengan seseorang. Di tangan pria itu ada beberapa lembar kertas yang terlihat seperti dokumen. Dan yang paling mencolok—ia sedang menandatangani sesuatu.

Renatta memperhatikan lebih saksama. "Om Rino?" gumamnya pelan.

Pria itu menoleh seakan mendengar. Begitu melihat Renatta, ia tersenyum lebar dan melambaikan tangan. "Eh! Baru pulang kuliah kamu, Ren?"

Renatta menyebrang dengan hati-hati dan menghampiri pria itu. “Iya, Om. Tadi habis ngurus kampus.”

Om Rino memasukkan dokumen ke dalam map kusam. “Wah, hebat kamu ya. Masih semangat belajar. Om dulu juga gitu... tapi cuma seminggu,” katanya tergelak, seperti biasa, bercanda dengan nada bangga meski kenyataannya jauh dari membanggakan.

Renatta tersenyum tipis. “Tadi Om lagi tanda tangan apa?”

“Oh, ini,” jawab Om Rino sambil menepuk map di tangannya. “Om lagi bantuin bos. Lagi banyak properti mau dijual. Rumah-rumah gitu. Lumayan bantu-bantu dapet komisi.”

Renatta mengernyit. “Bantu jual rumah? Serius, Om?”

“Iya lah! Jangan salah, bisnis properti itu cuan banget, Ren. Om kenal sama orang dalam. Lagian, siapa tahu kamu juga minat beli rumah?” ujarnya menggoda.

Renatta hanya tersenyum canggung. “Hehe... belum kepikiran, Om. Saya pulang dulu ya.”

“Ya udah. Salam sama Tante Diah ya!” seru Om Rino sambil melambai.

Renatta melangkah pergi, tapi kali ini dengan alis sedikit berkerut. Tadi pria yang menawarkan rumah di jalan... dan sekarang Om Rino bilang sedang bantu menjual rumah juga? Kebetulan yang aneh.

“Apa ini kebetulan, atau…” bisik Renatta dalam hati.

Dan untuk pertama kalinya, Renatta merasa harus lebih berhati-hati.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!