Part 14

Pagi hari berikutnya, matahari belum terlalu tinggi saat Zavian keluar dari rumah dengan pakaian rapi, mengenakan jam tangan hitam elegan dan sepatu yang mengilap. Ia tampak terburu-buru, ponsel menempel di telinga.

“Iya Kek, bentar lagi sampai… Bubur ayam, iya, yang biasa. Iya, pakai cakwe, gak pedes, oke,” ucapnya sambil menuruni anak tangga kecil di teras rumah.

Ia menutup telepon dengan satu helaan napas. Hari ini jadwalnya padat, dan kakeknya tiba-tiba ingin sarapan bubur ayam yang tidak bisa ditunda, apalagi jika sang kakek sudah mulai merengek seperti anak kecil.

Namun langkahnya terhenti begitu melihat sosok di halaman sebelah.

Renatta. Gadis itu sedang keluar rumah sambil menjinjing plastik sampah besar, masih mengenakan kaus longgar dan celana pendek. Rambutnya dikuncir asal-asalan, wajahnya masih setengah mengantuk.

Hmm… harusnya ini kesempatan bagus buat menyapa pikir Zavian dalam hati.

Tapi sebelum sempat ia buka suara, kejadian tak terduga terjadi.

Plastik sampah di tangan Renatta bocor.

Plastik itu terjatuh, dan isinya—kulit pisang, tisu bekas, dan satu bungkus makanan basi yang terbuka tumpah berserakan di jalan kecil depan rumah.

Renatta melongo sebentar sebelum buru-buru jongkok dan panik memunguti isinya.

Zavian yang tadinya sudah sempat mengangkat tangan untuk menyapa… langsung diam membatu.

Wajahnya berubah dingin. Sorot matanya mengeras. Ia memandangi tumpukan sampah yang berserakan, lalu menoleh ke arah Renatta yang sibuk mengumpulkannya dengan tangan kosong.

Tanpa sepatah kata pun, Zavian membuang pandang, membenarkan letak tas kerjanya, lalu berbalik.

Ia melangkah cepat ke arah mobilnya, meninggalkan aroma plastik sobek dan tumpahan isi tempat sampah tanpa menoleh sedikit pun.

Renatta yang baru saja selesai membersihkan, mendongak dan sempat melihat punggung Zavian menjauh.

Dia lihat, kan? Tapi… kok cuek banget sih…

Renatta mengerucutkan bibirnya, merasa malu sekaligus kesal pada dirinya sendiri.

***

Zavian memasuki ruang rawat inap dengan langkah tenang namun tergesa. Di tangannya ada kantong kertas berisi bubur ayam hangat yang baru saja dibelinya.

"Ini bubur sesuai dengan request kakek," katanya, meletakkan kantong tersebut di meja kecil di samping tempat tidur.

"Cepat, cepat Zavi, siapkan untuk kakek. Kakek udah sangat lapar!" sahut sang kakek sambil menepuk-nepuk perutnya yang keroncongan.

Zavian membuka bungkus bubur dan menyiapkannya di atas nampan, lengkap dengan sendok, tisu, dan segelas air putih.

"Bukankah seharusnya kakek nggak makan ini?" tanyanya sambil mengerutkan dahi.

"Ah Zavi, kakek bosan makan makanan rumah sakit terus. Lagipula ini juga bergizi kan? Ada karbohidrat, protein dari ayam, serat dari daun bawang..." sang kakek menjawab santai dengan mata berbinar.

Zavian mendesah pelan, "Hmm, cepatlah kakek makan."

Tanpa menunggu dua kali, si kakek mulai melahap bubur ayam itu dengan lahap, seperti anak kecil yang mendapatkan permen favoritnya. Di sela-sela suapan, ia sempat melirik Zavian yang tiba-tiba berdiri dari kursi dan mulai merapikan meja di pojok ruangan. Ada majalah yang sedikit miring, botol obat yang tidak tersusun berdasarkan tinggi, dan bahkan selimut cadangan yang dilipat tidak simetris.

Astaga Zavi…" gumam sang kakek, sambil tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya, "Kebiasaanmu dari kecil memang nggak pernah berubah."

Zavian tidak menanggapi, tetap sibuk menyusun botol-botol itu berdasarkan warna label dan ukuran. Tatapannya fokus, alis sedikit berkerut.

"Kalau ada benda berantakan sedikit aja, tangan kamu langsung gatal ya..." sang kakek lanjut sambil menyuap sendok terakhir.

Zavian menoleh sebentar, hanya untuk mengangkat bahu kecil, "Nggak enak aja dilihat, Kek."

"Dasar... si paling perfeksionis"

Zavian hanya tersenyum kecil, lalu kembali melipat tisu yang diletakkan sembarangan di meja. Rapi. Selalu rapi.

Selesai merapikan semua benda di ruangan, Zavian kembali duduk di kursinya. Baru saja ia hendak mengecek pesan di ponselnya, kakek membuka suara sambil menatap cucunya itu penuh makna.

"Zavi… Zavi…" ucap sang kakek sambil menyeka sudut bibirnya dengan tisu, "Kalau kamu seperti itu terus, gimana bisa dapat pacar?"

Zavian mengerutkan alis, "Kakek ngomong apa sih?" ujarnya datar.

"Ya itu… kamu terlalu rapi, terlalu detail. Lihat dikit yang nggak sesuai, langsung menjauh. Dikit-dikit ilfeel. Padahal jodoh itu nggak bisa kamu atur kayak susunan botol vitamin, Zavi."

Zavian menghela napas pelan, lalu menatap kakeknya, "Aku bukan ilfeel, Kek. Aku cuma... nggak nyaman kalau sesuatu terlalu berantakan. Itu aja."

"Justru itu!" potong sang kakek cepat, "Hidup itu nggak bisa kamu kendalikan semuanya, apalagi orang lain. Kalau kamu cari pasangan yang 'sempurna' versi kamu, apa harus kayak malaikat? Atau bidadari dari langit? Yang tiap langkahnya presisi, tiap kata-katanya terukur?"

Zavian terdiam, menatap lantai sejenak.

"Kamu tahu, jodoh itu bukan tentang cocok di atas kertas, Zavi. Kadang yang paling cocok itu justru yang bikin kamu keluar dari zona nyaman. Yang berantakan sedikit, tapi bikin kamu senyum. Yang nyebelin, tapi bikin kamu mikir. Yang... beda."

Zavian terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata pelan, "Jadi maksud kakek, aku harus jodoh sama orang yang... nggak sesuai ekspektasi aku?"

Kakek tertawa kecil, "Bukan gitu. Tapi coba buka hati. Jangan langsung nolak cuma seseorang yang kamu lihat itu tidak disiplin, atau dia ceroboh dan sedikit bodoh."

Zavian melirik kakeknya tajam.

Kakek terkekeh, "Kenapa kamu tatap kakek begitu?"

Zavian hanya geleng-geleng kepala, tapi ada sudut bibirnya yang terangkat sedikit. Kakeknya memang selalu tahu cara menyentilnya dengan cara yang tepat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!