Siang itu, Renatta berdiri di depan gedung kantor dengan langkah berat. Wajahnya pucat dan sorot matanya kosong. Ia sudah mencoba tidur semalam, namun pikirannya tak pernah benar-benar tenang. Harapannya yang dulu begitu terang kini terasa buram.
Ia bertemu langsung dengan HRD perusahaan tempat ia diterima magang yang seharusnya minggu depan akan menjadi hari pertamanya sebagai karyawan tetap.
Renatta menunduk dalam-dalam. “Saya minta maaf… sepertinya saya tidak jadi bergabung di perusahaan ini.”
“Loh? Kenapa begitu Renatta?” tanya salah satu staf dengan ekspresi bingung.
“Saya belum bisa mendapatkan ijazah saya. Sidang saya gagal… dan harus mengulang tahun depan.” Suaranya bergetar. “Tanpa itu… saya tahu tidak bisa memenuhi syarat sebagai karyawan tetap.”
Terjadi keheningan sejenak. Ekspresi kecewa muncul di wajah HRD. “Sayang sekali, Renatta… kamu itu kreatif, punya potensi besar. Kami semua sudah melihat hasil kerjamu selama magang. Tapi prosedur tetaplah prosedur.”
Renatta menggigit bibirnya, menahan tangis yang hampir tumpah. “Saya benar-benar minta maaf. Saya tidak bermaksud mengecewakan.”
Salah satu seniornya tersenyum kecil. “Tidak apa-apa. Kami masih akan menunggumu. Jangan menyerah, ya. Kamu sudah sejauh ini, tinggal sedikit lagi.”
Renatta menunduk dalam-dalam. “Terima kasih atas pengertiannya.”
Ia keluar dari kantor dengan langkah limbung. Hatinya makin hancur. Dan saat ia tiba di depan asrama Sela, tak mampu lagi ia menahan semuanya.
Begitu pintu dibuka, Mira dan Arya sudah ada di dalam. Renatta langsung memeluk Sela, lalu menangis sejadi-jadinya. Tubuhnya gemetar, suara tangisnya pecah.
“Kerjaan itu udah di depan mata, tinggal selangkah lagi. Tapi sekarang semuanya lenyap!” isaknya.
Sela, Mira dan Arya mengelus punggungnya pelan, menahan air mata juga. “Ren… Lo masih bisa kejar lagi tahun depan. Masih ada waktu.”
Mira juga mendekat. “Nggak apa-apa gagal sekarang, masih bisa berjuang lagi. Kita pasti bantu kok Ren.”
Renatta menggeleng cepat. “Tapi tega banget Zavian giniin gue. Gue nggak terima!” Ia menatap teman-temannya dengan mata sembab. “Gue tahu dia punya kuasa buat nentuin kelulusan gue… tapi kenapa harus sekeras itu? Kenapa dia segitu teganya?”
Arya mencoba menyelipkan sedikit logika. “Mungkin dia cuma nurutin aturan, Ren…”
Renatta langsung memotong, “Iya, iya, aturan! Tapi harusnya dia ngerti perjuangan gue! Harusnya dia bisa cari jalan lain! Dia tahu gue kerja keras! Dia tahu segalanya!”
Mira dan Sela saling pandang, mencoba menenangkan Renatta. Tapi mereka juga paham ini bukan cuma soal gagal sidang. Ini soal harga diri yang runtuh. Tentang mimpi yang direnggut seketika. Mereka tahu betul bagaimana kehidupan Renatta, mereka berteman sejak SMP. Renatta ingin sekali punya rumah sendiri, menjauh dari Tante Diah yang selalu semena-mena terhadapnya.
“Ren…” Sela menggenggam tangannya. “Kalau Lo nggak bisa ngelupain ini sekarang, nggak apa-apa. Tapi jangan berhenti. Boleh marah, boleh kecewa. Tapi jangan berhenti.”
"Sebelum Lo sibuk kerja kantoran nih, berarti kita masih bisa ketemu di kampus dong" ucap Arya.
"Iya Ren, lagian kita-kita juga belum lulus, tahun depan kita lulusnya barengan. Oke?"
Renatta hanya mengangguk.
"Malam ini gue nginep disini ya..."
"Iya boleh"
"Gue juga boleh?" tanya Arya.
Sela langsung melemparkan bantal kewajahnya.
Renatta menunduk. Tubuhnya masih gemetar. Namun di balik tangisnya, ada percikan kecil dalam dadanya percikan yang entah bagaimana masih menyala, walau nyaris padam.
***
Zavian masih berada di rumah sakit, duduk termenung di ruang tunggu sambil mengecek ponselnya. Beberapa pesan dari kampus masuk, Ia terlihat santai diruangan dokter Dirga.
Tak lama kemudian dokter Dirga masuk kedalam ruangan dan menghampiri nya.
"Eh sudah lama kamu disini?" tanya dokter Dirga.
"Enggak kok om, baru aja"
“Ah iya Zavian… Aku hampir lupa memberi tahu mu"
"Apa itu?"
"Maaf, tadi sempat ada insiden. Kakek mu sempat kabur dari ruangannya. Para perawat sibuk mencari kakek kesana kemari, suasana dirumah sakit sedikit kacau”
Zavian langsung menepuk jidatnya, menghela napas panjang. “Ya ampun, lagi dan lagi…”
"Sebaiknya temui kakek, dia pasti mencari perhatian karena ingin dijenguk"
Ia segera melangkah cepat menuju kamar perawatan sang kakek.
Sesampainya di sana, ia mendapati kakeknya sedang berbaring dengan mata tertutup rapat. Nafasnya teratur, namun posisi badannya terlalu rapi untuk seseorang yang tertidur.
“Kakek, udahlah… nggak usah pura-pura. Atau aku akan benar-benar marah,” katanya sambil bersedekap di depan tempat tidur.
Kakek membuka matanya perlahan, ekspresinya seperti orang yang baru saja dibangunkan dari tidur siang. “Kau ini bising sekali. Tidak mengerti etika menjenguk pasien ya?”
Zavian menatapnya dengan wajah tak percaya. Tatapan itu membuat kakeknya mengernyit curiga.
“Apa sih? Kenapa kau tatap aku begitu? Tatapanmu itu seakan-akan bertanya, kapan aku mati?”
“Sebelum aku bertanya pun… Kakek pasti sudah tahu arah pembicaraan ini mau ke mana,” sahut Zavian tenang, sambil duduk di kursi dekat ranjang.
Kakek tertawa pendek. “Ah, Zavian… kakek cuma pengen jalan-jalan aja. Bosan di kamar terus. Kayak burung yang dikurung.”
“Kenapa nggak ada perawat yang nemenin? Kalau kakek kenapa-kenapa gimana?”
“Cuma jalan-jalan di sekitaran rumah sakit. Paling kalau pingsan juga cepat ditemukan,” jawabnya enteng.
Zavian menghela napas panjang, lelah mendengar jawaban santai itu. Ia hanya bisa menatap jendela, berusaha menahan rasa gemas yang bercampur khawatir.
Beberapa detik hening, lalu kakek menoleh dengan senyum nakal.
“Zavi, apa kau sudah punya pacar? Kakek pengen banget lihat kamu menikah.”
“Aku nggak mau menikah.”
“Eiii, Zavi… umurmu udah 29 tahun. Apa nggak pengen punya pendamping hidup?”
“Aku bisa urus diriku sendiri. Kalau butuh bantuan, aku bisa sewa asisten rumah tangga,” jawabnya, santai tapi tegas.
Kakek langsung memukul pelan bahu cucunya. “Itu beda! Aku ingin punya cucu mantu! Punya cicit!”
Zavian tersenyum tipis. “Kakek sembuh dulu, nanti aku nikah.”
“Ah kau pembohong! Nikah dulu, baru aku mau sembuh. Kalau tidak menikah, aku tidak mau sembuh! Kedepannya jangan datang ke sini, jangan lihat aku lagi!” Kakek memalingkan muka dramatis seperti anak kecil yang sedang ngambek.
“Kakek ini keras kepala sekali, ya.”
Kakek menoleh lagi sambil menyeringai. “Aku hanya mengikuti jejakmu, Profesor Zavian.”
"Kamu tahu, Kek..." Zavian menghela napas, "kalau semua pasien dirumah sakit ini seperti kakek, rumah sakit bisa bangkrut karena stres."
Kakeknya nyengir. "Ya bagus, biar kau nggak jadi dosen, pindah profesi jadi badut rumah sakit aja. Hibur pasien."
Zavian mengerutkan alis. "Kakek pikir aku ini pelawak?"
"Wajah sebagus itu kalau nggak diwariskan buat apa? Mending jadi badut aja"
Zavian tak tahan, akhirnya tertawa pelan. “Kakek ini... bikin emosi"
Kakek menyeringai bangga. “Itu bakat alami, Nak. Makanya cepat menikah, biar ada yang bisa merasakan betapa menyebalkannya kau setiap hari selain aku.”
Zavian hanya geleng-geleng kepala. “Kalau aku menikah, nanti kakek makin kesepian, nggak ada yang bisa diajak perang mulut.”
“Jangan khawatir,” kata kakek sambil berbaring lagi, “kalau aku mati, aku titipkan mulutku di mertuamu nanti.”
Zavian geleng-geleng kepala melihat kakeknya.
Kakek menyeringai. “Makanya cepat cari istri, biar ada episode baru. Ini ‘season’ kita berdua sudah mulai basi.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments