Bab 12

Ruangan kelas mulai ramai saat para mahasiswa berdatangan. Renatta duduk di barisan tengah, berusaha menghindari sorotan langsung Zavian dari depan. Namun begitu Zavian masuk, suasana langsung hening. Aura "dosen killer tapi ganteng" langsung memenuhi ruangan.

Zavian berjalan tenang ke meja dosen, meletakkan laptop dan beberapa lembar kertas. Tanpa menatap siapa pun, ia mulai bicara, “Pagi,” sapa Zavian singkat “Kita mulai kuliah sekarang, Silakan buka catatan kalian. Hari ini kita bahas evaluasi dari tugas sebelumnya.”

Renatta pura-pura sibuk membuka buku, berharap Zavian tidak menyapanya. Tapi harapannya sirna saat Zavian melirik sejenak ke arah tempat duduknya.

“Renatta,” panggil Zavian datar tapi tegas.

Renatta nyaris menjatuhkan pulpen dari tangannya. “I-iya, Pak?” jawabnya gugup.

“Kamu udah siap kalau saya minta kamu presentasi tugasmu hari ini?”

Beberapa teman di sekitarnya melirik penuh simpati dan bisik-bisik mulai terdengar.

Renatta menelan ludah. “Saya kira itu dikumpul, bukan dipresentasikan, Pak…”

Zavian menyilangkan tangan di dada. “Saya ubah aturannya. Kamu yang pertama. Ke depan.”

Renatta menatapnya tak percaya. “Ini kayaknya personal, deh,” gumamnya pelan sambil berdiri.

“Apa kamu bilang?” tanya Zavian dari depan kelas.

“Nggak, Pak. Saya bilang siap,” katanya sambil menggigit bibir bawah. Ia berjalan ke depan dengan malas.

"Eh dia mahasiswi yang nggak lulus itu kan?" bisik-bisik mulai terdengar dari beberapa orang di belakang.

"Yang lain tolong diam, saya tidak minta kalian untuk berbicara dibelakang"

Dengan langkah berat dan dagu sedikit terangkat untuk menjaga harga diri, Renatta maju ke depan. Sambil menyalakan proyektor, ia berkata pelan, “Tega banget sih…”

Zavian duduk tenang di kursinya, menatap Renatta sambil menopang dagu. “Biar kamu cepat lulus, bukan karena tega.”

Renatta langsung melirik tajam. “Saya lebih cepat lulus kalau Bapak nggak gangguin hidup saya.”

Zavian hampir tersenyum, tapi buru-buru mengalihkan pandangan. “Mulai presentasinya.”

Renatta menarik napas panjang, lalu mulai menjelaskan. Suaranya awalnya pelan, tapi perlahan mulai percaya diri.

Sementara itu, Zavian hanya mengangguk pelan dan sesekali memberikan catatan. Tapi dari raut wajahnya, jelas terlihat kalau ia diam-diam menikmati momen bisa "menyiksa" Renatta seperti ini.

Saat presentasi selesai, Zavian menatapnya lama. “Good. Tapi terlalu banyak basa-basi.”

Renatta mendelik. “Kayak yang ngasih tugas nggak pernah basa-basi aja.”

Zavian berdiri dari kursinya dan berjalan kembali ke depan. Ia menatap Renatta sambil berkata, “Kembali ke tempat dudukmu. Tapi jangan lupa, saya masih dosenmu.”

Renatta langsung memalingkan wajah dan berjalan cepat ke bangkunya.

“Dasar dosen nyebelin,” gumamnya pelan.

***

Di sebuah kafe bergaya modern dengan sentuhan hangat kayu dan alunan musik pelan, seorang pria berpakaian rapi duduk sendiri di pojokan. Jam tangannya menunjukkan waktu yang hampir lewat dari janji. Sesekali ia melirik layar ponselnya, entah untuk mengecek waktu, atau memastikan pesan terakhir yang ia kirim sudah dibaca. Sorot matanya mulai terlihat bosan. Rahangnya mengeras. Kesabaran pria itu sudah nyaris habis.

Tak lama kemudian, seorang gadis dengan rambut digerai panjang bergegas masuk ke dalam kafe. Napasnya sedikit memburu. Ia langsung menuju ke meja pria itu.

"Maaf, Bastian... aku telat," ucapnya dengan suara pelan namun jelas. Ada penyesalan di nada suaranya.

Bastian menatapnya tajam. "Kenapa kamu terlambat, Renatta?"

"Maaf... jalanan macet," jawab Renatta canggung.

Sorot mata Bastian tidak melunak. Masih menusuk.

"Jangan marah ya, Bas... Pas tahu jalanan macet, aku langsung turun dari taksi yang kamu pesan, terus aku lari ke sini," tambah Renatta mencoba meredakan suasana.

Bastian menghela napas berat. "Seharusnya kamu siap-siap dua jam sebelum ketemu sama aku, Renatta."

"Iya... maafin aku, Bas. Tadi aku ada kerjaan."

"Kamu udah nggak memprioritaskan aku lagi ya Renatta"

"Bastian... kenapa kamu ngomong gitu?"

Bastian tidak langsung menjawab. Tapi Renatta tahu, ia sedang menahan emosi. Sudah lima tahun mereka berpacaran sejak SMA. Kini, Bastian telah menjadi seorang pengusaha sukses. Sedangkan Renatta... ia masih berjuang menyelesaikan kuliah yang belum juga rampung. Dan ia belum pernah sekalipun mengatakan hal itu pada Bastian. Ia tahu, jika Bastian tahu... dia pasti akan sangat kecewa mungkin marah besar.

Di tengah keheningan, Bastian membuka pembicaraan yang membuat jantung Renatta hampir berhenti.

“Renatta, jadi kapan kita akan menikah?”

Renatta membeku. Napasnya tercekat.

Menikah? Sekarang?

Bastian menatapnya dalam. Serius. Namun Renatta hanya bisa menggigit bibir, mencari jawaban yang tak kunjung datang. Ia masih punya cita-cita. Masih ingin menyelesaikan semuanya. Menikah bukanlah pilihan yang bisa diambil begitu saja.

"Bastian, apa nggak terlalu cepat bertanya soal pernikahan?"

Bastian tampak kecewa. Ia meletakkan pisau dan garpu dengan kasar di atas piring.

“Bastian… dengarkan aku dulu ya…” ucap Renatta perlahan.

“Kamu nggak mau nikah sama aku, Renatta? Aku udah sukses sekarang. Aku bisa beliin kamu rumah, kamu nggak perlu kerja setelah menikah. Kamu bebas melakukan apa pun yang kamu mau. Aku akan ngasih kamu uang yang banyak…”

"Bukan masalah itu Bas"

"Lalu apa?"

"Bastian aku sayang banget sama kamu, menikah sama kamu adalah hal yang aku mau, tapi tidak untuk saat ini. Aku masih ingin melanjutkan cita-cita ku, bekerja di perusahaan impian ku"

"Kamu ingin jadi populer? Terus dikenal banyak orang, lalu melupakan ku?"

"Nggak bas, kenapa kamu ngomong gitu sih? Aku itu sayang banget sama kamu"

"Aku nggak suka perempuan yang terlalu obsesi dengan cita-cita nya, bagiku itu sangat menyebalkan. kamu sangat menyebalkan, dan aku muak"

Tanpa menunggu jawaban, Bastian bangkit dari kursinya. Langkahnya cepat dan tegas meninggalkan kafe, tanpa menoleh sedikit pun.

Renatta menunduk. Hatinya sesak. Ia tahu Bastian mencintainya. Tapi… kenapa semuanya terasa begitu rumit sekarang?

Kata-kata itu menghantam Renatta seperti badai. Tidak ada jeda, tidak ada ruang untuk pembelaan. Suara Bastian dingin, tajam, dan penuh kemarahan yang tidak bisa ia redam lagi.

Renatta tetap duduk di tempatnya. Matanya menatap kosong ke arah pintu yang baru saja tertutup. Dadanya sesak. Rasanya seperti ada beban berat yang menghantam dada tanpa ampun. Suara di sekelilingnya seakan menghilang, berganti dengan gema kalimat yang terus terulang di kepalanya.

“Kamu sangat menyebalkan... dan aku muak.”

Tangannya mengepal di atas meja. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat agar tak ada air mata yang tumpah di tempat umum.

Renatta menunduk dalam-dalam, menyembunyikan air mata yang akhirnya jatuh juga. Perih. Sakit. Tapi di tengah luka itu, satu hal mulai muncul pelan-pelan dalam benaknya bahwa mungkin, mencintai diri sendiri dan mengejar mimpi... bukanlah sesuatu yang salah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!