Bab 2

“Dalam sastra, simbol adalah bentuk komunikasi tak langsung antara penulis dan pembaca…”

Zavian berjalan perlahan di depan kelas, tangannya menyelip di saku celana, langkahnya tenang seperti model catwalk yang tersesat ke dalam kampus. Suaranya terdengar nyaman, ritmenya teratur, dan cara bicaranya seolah punya efek menenangkan, seperti podcast jam sepuluh malam.

Sebagian besar mahasiswi memperhatikannya dengan penuh semangat atau lebih tepatnya, memperhatikan wajah dan postur tubuhnya yang nyaris tanpa cela.

Renatta? Dia justru sedang berada di dunia lain.

Bukannya mencatat materi, tangan Renatta malah sibuk menggambar bunga matahari besar di pojok buku catatannya. Tangannya menari-nari pelan dengan pena, bibirnya sedikit mengerucut, berusaha fokus menggambar kelopak demi kelopak padahal seharusnya dia mencatat tentang simbolisme dalam puisi.

Tanpa ia sadari, langkah Zavian membawa pria itu tepat ke sebelah bangkunya.

“Kamu,” suara bariton itu menyentak kesadarannya.

Renatta mendongak cepat, mata membelalak. “Saya, Pak?”

Zavian menunduk sedikit, melihat ke arah buku catatan Renatta. “Bunga matahari?” gumamnya. “Simbol apa yang ingin kamu sampaikan dari sini?”

Kelas langsung tertawa kecil. Beberapa temannya menutup mulut agar tidak terlalu keras. Mira bahkan hampir jatuh dari kursinya.

Renatta langsung menutup bukunya dengan cepat. Wajahnya memanas.

“Maaf, Pak… saya cuma… ehm, mencoret-coret.”

Zavian menatapnya sejenak, lalu mengangguk kecil. “Tapi kamu juga mencatat, ‘kan?”

"Iya saya mencatat materi yang bapak kasih"

Renatta membuka lagi bukunya, dengan harapan ada setidaknya satu paragraf normal. Sayangnya, tulisan tangannya seperti efek gempa 6,5 skala richter.

Zavian menyipitkan mata, lalu berkata tanpa ekspresi, “Tulisannya mirip grafik detak jantung pasien IGD.”

Kelas pecah lagi. Kali ini, tawa mereka lebih tidak tertahankan.

Renatta ingin tenggelam di lantai. Ingin teleport ke zaman dinosaurus. Apa saja asal tidak di kelas itu.

“Aku sumpah, ini dosen bukan manusia biasa,” gumamnya ke Mira yang masih menahan tawa. “Baru muncul satu hari udah bikin hidup gue kayak reality show.”

“Dan gue suka banget reality show-nya,” balas Mira sambil tertawa pelan. “Lanjutkan, Ren. Dunia perlu drama seperti ini.”

Zavian yang sudah kembali ke depan kelas, tetap melanjutkan penjelasan seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi Renatta tahu… hari-hari ke depan akan sangat panjang.

Dan menyebalkan.

Apalagi kalau dosen itu terus berdiri tepat di atas garis antara menyebalkan… dan ganteng.

 

Setelah kelas berakhir, Renatta langsung tancap gas ke asrama Sela. Ia masih kepikiran dengan kejadian di kelas tadi. Rasanya seperti membawa aib nasional ke dalam kehidupan pribadinya. Begitu sampai, tanpa basa-basi, ia langsung nyelonong ke dalam kamar Sela dan menjatuhkan diri ke kasur.

"Gue habis dilecehin secara akademik,” rengek Renatta.

Sela yang sedang menyetrika baju cuma melirik. “Lha, lo kuliah di kampus atau syuting sinetron?”

Renatta duduk dengan dramatis, meletakkan tangannya di dada. “Sela, gue dihina. Di depan seluruh kelas. Sama dosen kulkas itu.”

“Oh my God, lo kenapa?” Sela langsung duduk di tepi kasur. “Dia ngapain?”

Renatta langsung menirukan adegan tadi, lengkap dengan nada suara Zavian yang cool dan menyebalkan itu. “‘Tulisannya mirip grafik detak jantung pasien IGD.’ Dia bilang gitu! Dan semua orang ketawa! Termasuk si Mira yang tertawa kayak burung gagak!”

Sela langsung ngakak. “HAHAHAHA! Sumpah, itu lucu sih! Ya ampun, kenapa lo bisa seapes itu sih?”

Renatta membulatkan bibir, matanya nyaris berair. “Sela… dia bukan cuma nyebelin tapi dia juga Dia jahat. Nyebelin dan jahat. Kombinasi paling mematikan!”

“Lo sadar nggak sih,” kata Sela sambil menahan tawa, “kapan lagi lo dapet kelas sama Pak Zavian? Harusnya mah ya.. Lo itu bersyukur! Harusnya ajak gue, biar gue juga bisa menikmati panorama edukatif itu.”

“Lo gila. Lo bukan anak sastra.”

“Siapa peduli jurusan, Ren! Demi Pak Zavian, gue pindah prodi juga nggak masalah. Bahkan nggak lulus pun rela, asal dosennya dia.”

Renatta menatap sahabatnya itu dengan ekspresi jijik. “Oke. Gue pergi. Teman kayak lo cuma bikin luka batin makin dalam.”

Sela mencubit pipinya. “Yaelah drama queen. Muka lo tuh lucu banget loh pas lo tiruin ekspresi dia.”

Renatta menepis tangan Sela. “Gue berharap cepat lulus biar gak usah ketemu lagi sama dosen kayak dia. Serius.”

Sela tertawa lagi. “Kayaknya lo harus mulai berkelakuan baik deh, supaya masa depan lo nggak dalam bahaya.”

Renatta langsung berdiri dan menegakkan badan dengan gaya sok elegan. “Please, masa depan gue tuh udah terang banget ya.”

“Oh ya?”

“Gue tinggal ngerjain tesis seminggu lagi, habis itu ijazah di tangan, lalu kerja di perusahaan impian gue, gaji dua digit, terus gue beli rumah dengan desain ala Pinterest, halaman belakang buat nanem lavender, dapur warna putih, dan...”

Sela ngangguk sambil tepuk tangan pelan. “Wah, wah, calon bintang TikTok sukses. Hidup lo udah kayak slide PowerPoint seminar motivasi.”

Renatta menatap langit-langit kamar. “Pokoknya... Zavian itu cuma figuran di masa depan gue. Paling bentar lagi juga dia lupa sama kejadian tadi.”

Sela nyengir. “Atau... jangan-jangan justru dia bakal jadi plot twist-nya?”

Renatta mendengus. “Enggak. No. Not in a million years.”

Dan saat itu juga, di grup chat angkatan, muncul pengumuman:

"Info: Pak Zavian akan mengajar Kelas Sastra Lanjut setiap Senin dan Kamis selama beberapa hari ke depan."

Renatta menatap layar ponselnya.

Sela menahan tawa.

Renatta teriak, “TIDAAAAK!!!”

Sela menepuk-nepuk punggung Renatta dengan lembut, seperti sedang menenangkan anak kecil yang habis kehilangan balon. “Udahlah, Ren. Gue yakin lo bakal survive kok walau ketemu dosen itu tiap minggu. Anggap aja itu ujian kesabaran.”

Renatta masih meringkuk dengan wajah menyedihkan. “Gue gak kuat, Sel… bayangin muka dia terus-terusan. Kayak... kayak kutukan yang berbahaya. Gue nggak mau kenak sial...”

“Daripada mikirin dosen itu terus,” kata Sela sambil tersenyum jahil, “mending lo mikirin interview lo hari ini, deh.”

Renatta langsung mendongak, matanya membelalak. “OH MY GOD!”

Ia panik, buru-buru mengelap ingusnya dengan ujung lengan sweater. “Gue lupa! Astaga, kenapa gue bisa lupa?! Interview kerja pertama gue, dan... GUE NGGAK BAWA BAJU!!!”

Sela refleks mundur dan menyingkirkan wajah Renatta yang mendadak mendekat dengan ekspresi seperti zombie kelaparan. “Eh, eh, Lo jangan dekat-dekat sama gue! Ingus Lo tuh"

Renatta nyengjr bagai kuda.

"Pinjemin gue baju Lo ya sel, please..."

"Lo tuh ya, kebiasaan banget...”

Renatta merengek, “Selaaa… pinjemin bajuuu… plis… gue udah stress!”

Sela mendengus pelan, lalu berdiri sambil membuka lemari. “Udah deh, mending lo mandi dulu. Masalah baju buat interview, biar gue yang atur. Tapi jangan salahin gue kalo lo tampil kayak calon model majalah anak kampus.”

Renatta langsung berdiri dan menuju kamar mandi sambil masih mengomel, “Asal jangan kayak anak pramuka aja, Sel…”

Sela hanya terkekeh melihat kelakuan sahabatnya. Ya, begitulah Renatta. Drama tiap hari, tapi selalu berhasil bikin hari-hari Sela nggak ngebosenin.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!