Maora merebahkan tubuhnya di ranjang sambil memikirkan perkataan Devian. Jemari tangannya meraih guling sembari menghela nafas panjang.
"Bagaimana bisa dia berbicara tentang perasaannya begitu mudah?" gerutu Maora sambil memejamkan kedua matanya.
Namun, kedua bola manik matanya beralih saat handphone di sampingnya bergetar mengganggu ketenangannya.
"Ada apa lagi si boss aneh ini?" gumam Maora membuka chat dari Devian.
"Apakah ini caramu untuk memprotes?" Sebuah pesan Devian yang membuat Maora mengernyit heran.
"Maaf, Pak. Saya capek dan mau istirahat!" kata Maora mematikan ponselnya dan memilih untuk tidur.
Di tempat berbeda, Devian memicing menatap ke arah ponselnya. Menunggu balasan pesan dari Maora.
"Bisa-bisanya dia membuatku menunggu!" gumam Devian kesal.
Maora bergegas mandi dan harus bersiap untuk pergi ke kantor. Setelah selesai berdandan, Maora menutup pintu kamarnya dan menghampiri Devian yang sudah begitu rapi sembari menata jam tangan yang mulai melingkar di pergelangan tangannya. Dengan cepat Maora mengambil dasi dan memakaikan dasi untuk Devian.
"Tidak usah, mulai sekarang berhentilah melakukan hal-hal seperti ini lagi." Kata Devian yang begitu dingin.
"Maafkan saya Pak." Kata Maora.
"Kau benar. Saya egois dan sangat egois. Itu sebabnya Kau tidak menyukai pekerjaan yang saya berikan dan tidak menyukai diri saya." Kata Devian yang membuat Maora merasa begitu bersalah.
"Maksud saya bukan seperti itu Pak," kata Maora terputus.
"Saya akan membiarkanmu melakukan sesuai kerja apa umumnya. Dan tak ada lembur untukmu." Kata Devian tanpa memandang Maora.
"Maaf pak, mobil sudah siap." Kata Bondan yang bertugas di kantor dan juga sopir buat Devian jika di butuhkan.
"Kita berangkat." Kata Devian pergi. Maora menggigit bibirnya sembari mengambil tas dan berlari mengejar Devian yang lebih dulu masuk ke mobil. Di dalam mobil, Maora seakan-akan begitu sulit untuk menelan ludahnya sendiri. Suasana yang tak pernah terjadi pada dirinya dan Devian. Perlahan Maora melihat Devian yang begitu acuh terhadapnya. Tanpa memandang, apalagi melirik, pandangannya hanya fokus pada jendela mobilnya saja. Maora mengangkat telepon dari Ayahnya yang daritadi menelponnya.
"Maora akan kesana, setelah pulang kerja Ayah ." Lirih Maora.
"Pergilah, urusan kerja. Saya bisa atasi sendiri." Kata Devian tanpa melirik Maora sedikitpun. Maora berhenti tepat di halte bus menuju arah rumahnya. Angin berhembus menerpa rambut lurus Maora yang terurai panjang. Pandangannya tak lepas melihat mobil Devian pergi meninggalkannya.
"Kenapa hati ini terasa sesak saat dia begitu dingin terhadapku?" Ujar Maora duduk menopangkan tangan di dagunya sembari menunggu bus datang. Sesaat kemudian Bus warna biru menuju rumahnya akhirnya tiba.Maora bergegas naik dan duduk termenung sembari menyandarkan kepalanya di jendela bus tersebut. Setengah perjalanan Maora melihat lukisan yang begitu tak asing baginya di jual Pak tua yang ada di dalam bus. Lukisan yang membuat ia teringat akan sesuatu.
"Maaf, Apa Bapak tahu siapa yang melukis lukisan ini?" tanya Maora pada penjual lukisan itu.
"Saya mengambil lukisan ini dari pemuda yang melukis di trotoar tadi non." Jawab Pak tua itu. Maora melihat ke arah belakang dan menyuruh pak sopir untuk berhenti menurunkan dirinya. Maora berlari menuju tempat trotoar yang terdapat beberapa lukisan berjejer sangat rapi. Ternyata benar, dia kak Arsya. Kak Arsya merupakan seorang penyelamat Maora waktu duduk di sekolah menengah atas. Air mata yang bersembunyi di pelupuk y akhirnya tumpah begitu saja melihat Arsya kini ada di depannya.
"Kak Arsya ..." Kata Maora memanggil Arsya yang sedang melukis. Wajah manisnya, hidungnya yang mancung dan rambut gondrong telah melekat pada diri Arsya. Arsya menoleh, dilihatnya Maora dari bawah sampai atas.
"Apa ini dirimu Ra?" Tanya Arsya menghampiri Maora yang menganggukkan kepala. Arsya memeluk tubuh Maora yang langsing itu begitu erat. Hampir sepuluh tahun mereka terpisah tanpa kabar sama sekali.
"Ya Tuhan, Apakah ini benar-benar dirimu?" tanya Arsya mengoyak tubuh Maora.
"Kenapa?"
"Jujur, sekarang dirimu menjadi seorang wanita yang sesungguhnya." Ledek Arsya yang mengingat akan cupunya Maora saat SMA.
"Apaan sih, bagaimana keadaan kak Arsya dan sekarang tinggal dimana?" Tanya Maora.
"Duduklah. Apa Kau tahu selama sepuluh tahun Aku mencarimu?" Kata Arsya.
"Maaf ya Kak."
"Apa yang terjadi? Kata tetanggamu yang dulu Kau pindah rumah."
"Kak Arsya ingat di hari ulangtahunku waktu Kakak akan melukisku?" Cerita Maora yang melihat Arsya menganggukkan kepala.
"Rumah kami disita Kak, Ayah terlilit hutang."
"Maafin kakak ya. Kakak tak tahu masalah seperti ini." Kata Arsya membelai rambut Maora yang panjang. Di lain halnya Devian bergegas keluar dari ruang meeting diikuti Mike yang selalu ada di belakangnya.
"Kenapa Kau menutup rapat dengan cepat? Bukankah materinya belum Kau sampaikan semua?" Tanya Mike berlari kecil mengikuti langkah kaki Devian yang berjalan begitu cepat.
"Aku harus ke rumah mertuaku, dan sebagai menantu yang baik. Bukankah Aku harus kesana? Aku tak mau membuatnya kecewa." Gerutu Devian tersenyum dan berhenti mendadak.
"Kenapa?"
"Apa yang harus Aku bawa pada sang mertua?" tanya Devian yang membuat Mike menghela nafas panjang.
"Apa kau harus tanya hal sepele ini padaku? Bukankah Kau begitu cepat dalam mengatasi masalah perusahaan tapi mengapa tentang Maora kepintaranmu seolah-olah hilang begitu saja. Payah kau...!" Gerutu Mike yang mulai berceramah dan pergi meninggalkan Devian yang masih berpikir. Saking asyiknya melepas rindu dengan Arsya, Maora sampai lupa akan janjinya untuk bertemu dengan Ayahnya.
"Kak Arsya, maaf ya. Maora harus pergi. Maora ada janji bertemu dengan Ayah." Kata Maora.
"Ya sudah. Kakak antar ya?" Ajak Arsya.
" Kakak tau sendiri kan, sikap Ayah bagaimana?" Ujar Maora yang melihat Arsya menganggukkan kepalanya.
"Ya sudah Maora pergi ya kak. See you..." Kata Maora pergi dan menyetop taksi untuk mengantarkannya untuk pulang. Sesampai di rumah, Maora terkejut melihat mobil Devian ada di depan rumahnya. Dengan langkah perlahan Maora berjalan menuju rumahnya. Lagi-lagi seorang boss sekaligus suaminya yang sangat egois kini mau bercengkrama dengan orang yang baru ia kenal.
" Maora... Apa rapatmu sudah selesai?" Tanya Ayah mengagetkan Maora.
"Ehm...." Kata Maora melihat Devian menganggukkan kepalanya.
" Iya Ayah, Maaf Maora telat." Kata Maora yang duduk di samping Ayahnya.
"Besok libur kan?" Tanya Ayah memakan spaghetti yang di bawakan Devian.
"Kalian bermalam disini ya." Ujar Ayah membuat mereka berdua terkejut.
"Apa?" Jawab mereka serempak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Kokoy Yuhaikay
ide Ayah memang bagus,buar tidur satu kamar tuh maura sama suaminya
2022-03-08
0
Nur hikmah
yes satu kmr dong n satu ranjang......
2021-01-16
2