Entah kenapa sudah seminggu ini Aldo menjadi lebih cuek dari biasanya. Meskipun acara jemput dan mengantar pulang masih menjadi rutinitas seperti biasanya, tapi Nana merasa kekasihnya itu berbeda seminggu belakangan ini. Sudah jarang mengirim pesan dan saat di sekolah pun sudah jarang kumpul bersama Nana dan sahabat-sahabatnya di kelas Nana atau pun di kantin, dan ternyata bukan hanya Nana yang merasakan perubahan dari Aldo itu, tapi juga Dino, Sisil bahkan Dava yang notabenya teman satu kelas Aldo juga merasakan perubahan sahabatnya tersebut.
Pagi tadi lebih parah lagi, jika biasanya Aldo selalu mengantar Nana hingga ke kelas dan mengobrol sebentar bersama sahabat-sahabatnya, kali ini tidak. Bahkan Aldo langsung pamit menuju kelasnya setelah mengantar Nana, tidak ada kata-kata penyemangat dan pesan-pesan posesifnya seperti biasa hingga membuat Nana bingung dengan perubahan sikap kekasihnya itu.
Nana memang terkadang bisa membaca pikiran orang, tapi jika dirinya terlalu banyak berpikir maka kelebihannya itu tidak pernah bisa Nana gunakan, karena jika di paksakan pun itu akan percuma, yang ada kepalanya akan sakit.
“Pacar lo mana, Na?” tanya Sisil pada Nana yang baru saja duduk di kursi sebelahnya, yang hanya di balas dengan kedikan bahu.
“Lo berantem sama dia?” Dino yanv kali ini bertanya. Nana menggeleng menjawab pertanyaan sepupunya itu.
“Terus kenapa Aldo jarang kumpul bareng kita? Apa dia lagi punya masalah sama salah satu diantara kita?” Alvin menatap satu-satu sahabatnya. Semua menggeleng, sementara Nan menghela napas lelah lalu menelungkupkan wajahnya di lipatan tangan di atas meja.
“Gue gak ngerti sama sikap dia sekarang, udah seminggu ini dia cuek banget. Udah jarang ngehubungin gue, pesan gue aja udah jarang dia bales, setiap nganterin gue pulang juga dia udah gak pernah mampir ke kumah,” keluh Nana kepada sahabat-sahabatnya.
“Lo udah coba tanya sama dia?” Nana menggelengkan kepala menjawab pertnyaan yang di layangkan Rizki, lalu kembali menelungkupkan kepala di lipatan tangannya.
“Kalian berdua 'kan teman satu kelasnya, apa kalian tahu sesuatu yang membuat Aldo kayak gini?” tanya Alvin. Dava Dan Rizki menggelengkan kepalanya tanda tidak tahu.
“Gue gak tahu, bahkan saat gue ajak ke kantin aja dia cuma jawab lagi malas,” jawab Dava mengatakan yang sesungguhnya.
“Ki," ucap Nana memicingkan matanya curiga.
“Gu- gue gak tahu, Na,” Rizki gelagapan dan memalingkan muka.
“Gak usah bohong, gue tahu lo nyembunyiin sesuatu,” ujat Nana tajam.
Rizki menghela napasnya berat. “Sebenarnya gue juga gak tahu. Tapi emang beberapa hari ini Aldo lebih sering di kelas, gue juga sering perhatiin dia selalu asik ngobrol sama Luna, tapi gue gak tahu ada hubungan apa di antara mereka.”
“Yakin, lo gak tahu mereka punya hubungan apa?” mata Dino memicing curiga.
“Suer gue gak tahu, gue cuma tahu itu doang.” Jawab Rizki cepat seraya mengacungkan jari tengah dan telunjuknya membentuk huruf 'v'.
Nana menghela napasnya, ia sudah bisa menebak kenapa kekasihnya itu berubah cuek seperti ini. Nana tertawa dalam hatinya, ia sudah menyangka ini akan terjadi dan bodohnya Nana sudah percaya pada laki-laki itu.
Ucapan manis yang pernah keluar dari mulutnya ternyata tidak lebih busuk dari sampah. Janji yang dia ucapkan untuk selalu setia dan selalu berada disampingnya ternyata hanyalah bualan.
Nana sebenarnya ingin menangis, tapi ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan semua orang termasuk sahabat-sahabatnya. Ia juga belum mengetahui kebenarannya, Nana tidak mau hanya menduga-duga dan berpikir negatif dulu. Nana ingin memastikannya terlebih dulu, siapa tahu kekasihnya itu hanya main-main seperti dulu. Nana terus meyakinkan dirinya sendiri. Namun entah kenapa kali ini hatinya merasa sangat sakit tidak seperti saat menyaksikan Aldo bersama perempuan-perempuan lain yang mengaku-ngaku sebagai pacarnya, kali ini lebih sakit padahal hanya baru mendengar namanya saja.
Selama pelajaran berlangsung Nana sudah berkali kali di tegur oleh guru karena ketahuan melamun, membuat Sisil, Dino bahkan yang lainnya memperhatikan Nana. Alvin bahkan sempat bertanya tentang keadaan Nana, tapi ia hanya menjawab dengan gelengan kepala begitupun saat Sisil bertanya. Dino yang paham dengan perasaan sepupunya itu hanya bisa menatapnya prihatin.
Bel istirahat sudah berbunyi dari lima menit lalu, sedangkan Nana dan sahabat-sahabatnya masih berkumpul di kelas sekalian menunggu Dava, Rizki dan juga Aldo yang berada di kelas lain.
Tidak berapa lama Dava dan Rizki datang. Namun tidak dengan satu orang yang sangat Nana tunggu-tunggu, siapa lagi jika bukan Aldo, kekasihnya.
“Aldo mana?” tanya Nana kepada dua sahabat kekasihnya itu
“Dikelas.” Jawab Dava seadanya. Nana mengerutkan dahinya mendengar jawaban Dava.
“Tadi udah gue ajak buat kesini, tapi Aldo bilang mau nyalin PR,” ucap Rizki.
“Oh gitu, yaudah gue mau nyamperin Aldo ke kelasnya dulu, kalian kekantin duluan aja nanti gue nyusul sama Aldo.”
Nana berjalan santai menuju kelas Aldo, tapi saat sampai di depan kelas kekasihnya tersebut, Nana bisa mendengar suara tawa ringan dari dalam kelas itu. Nana hapal suara tawa itu. Siapa lagi kalau bukan Aldo. Berjalan mendekati pintu berniat untuk masuk, tapi apa yang dilihatnya membuat hati Nana sesak, dan tanpa disangka air matanya menetes begitu saja. Sebelum melangkah pergi, Nana lebih dulu menyeka air matanya, tidak ingin ada orang lain yang melihat kerapuhannya.
Nana mengurungkan niat untuk menyusul sahabat-sahabatnya di kantin dan malah memilih pergi menuju atap sekolah. Ia ingin sendiri dan menenangkan dirinya. Sesampainya di atap, Nana kembali menangis meluapkan emosi dan sakit hatinya. Bel tanda berakhirnya istirahat berbunyi, namun tangis Nana belum juga surut.
Mungkin selama ini Nana terlihat kuat dan tegar, tapi sebenarnya ia sama seperti perempuan lainnya, rapuh, hanya saja Nana mampu menyembunyikannya. Namun sepertinya tidak untuk saat ini. Ponselnya sedari tadi bergetar tanda adanya pesan yang masuk, tapi Nana mengabaikan itu, ia yakin bahwa itu pasti dari sahabat-sahabatnya yang menanyakan keberadaan dirinya.
Hingga bel pulang berbunyi Nana baru memutuskan untuk turun dan kembali ke kelasnya, hingga satu pesan kembali masuk pada ponselnya. Nana merongoh saku dan mengambil ponselnya, melihat banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari sahabat dan juga sepupunya, hanya ada satu yang membuat Nana cepat-cepat membuka pesan tersebut, pesan dari Aldo. Wajah Nana bertambah murung saat membaca pesan dari kekasihnya itu, pesan yang berisi bahwa Aldo tidak dapat mengantar dirinya pulang dengan alasan sang Mama menyuruhnya untuk cepat pulang.
Nana dengan cepat berlari menuju parkiran di mana motor Aldo di simpan, dan apa yang dilihatnya membuat luka di hatinya bertambah. Nana tersenyum miris melihat pemandangan di depan sana, di mana Aldo menggandeng tangan seorang perempuan menuju motornya dan juga memakaikan helm yang biasa ia gunakan pada perempuan itu. Air mata itu kembali menetes bersamaan dengan melajunya motor yang dikendarai Aldo dan wanita bernama Luna itu keluar dari area parkir.
Nana menyeka kasar air mata tersebut lalu berjalan menuju kelasnya untuk mengambil tas yang ia tinggalkan sedari istirahat tadi. Biasanya Aldo selalu bilang langsung dan jujur jika akan mengantarkan perempuan lain, tapi sekarang Aldo berbohong. Bahkan dia tidak lagi menghampirinya untuk meminta izin langsung, dan malah mengiriminya pesan.
“Na, lo dari mana aja sih, dari istirahat kita tungguin dikantin gak ada. Gue kira lo di kelas, tapi malah gak ada juga. Lo dari mana? Bolos lo sama Aldo?” tanya Sisil bertubi-tubi saat melihat Nana memasuki kelas. Semua orang menatap Nana yang sedari tadi hanya menunduk.
“Lo dari mana, Na?” kali ini Dino bertanya. Nana hanya menggelengkan kepalanya lalu menelengkupkan wajahnya pada lipatan tangan di atas meja. Membuat semua sahabat-sahabatnya saling pandang lalu mengedikan bahu.
“Lo kenapa?” Alvin bertanya pelan sambil mengelus lembut rambut Nana.
“No, gue nebeng pulang ya,” ucap Nana menghiraukan pertanyaan sahabatnya itu.
“Gak bareng Aldo?”
“Aldo udah pulang duluan disuruh Mamanya.” Jawab Nana seperti apa yang Aldo bilang lewat pesan tadi, meskipun ia tahu kebenarannya, tapi Nana tidak mau sahabat-sahabatnya itu tahu dan nantinya malah marah pada Aldo.
“Ya udah, yuk pulang sekarang aja.” Ajak Dino.
Nana mengangguk dan bangkit dari duduknya berjalan bersama sahabat-sahabat yang lainnya menuju parkiran.
Setelah sampai di depan motor sepupunya itu Nana dan juga Dino pamit pada yang lain, lalu melesat pergi meninggalkan area parkir. tidak ada percakapan apa pun diantara keduanya, Nana yang sibuk dengan pemikirannya tentang Aldo dan Dino yang sibuk dengan laju motornya, meski ia tahu ada yang tidak beres dengan sepupunya itu. Namun Dino mencoba menahan rasa penasaran, setidaknya hingga sampai di rumah Nana.
Beberapa menit kemudian Dino sudah memarkirkan motornya dipekarangan rumah Nana, dan masuk mengikuti langkah kaki sepupunya yang sedang dilanda galau itu. Nana merebahkan diri di atas sofa ruang tengah sedangkan Dino melangkah pergi menuju dapur mengambil minuman untuk dirinya dan juga untuk Nana.
“Nih minum dulu,” ucap Dino menyodorkan minuman kaleng yang baru saja ia ambil dari kulkas dapur Nana, lalu ikut duduk di sebelah sepupunya.
“Lo dari istirahat kemana aja?” .
“Atap.” Singkat Nana menjawab.
“Sama Aldo?” Nana menggeleng. “Bukannya lo tadi nyamperin Aldo kekelasnya?” tanya Dino lagi dan lagi, masih penasaran.
“Ia tadi gue ke kelas Aldo, tapi gak jadi.” .
“Kenapa?”
“Aldo lagi asik sama Luna, becanda dan tertawa bareng, manis banget sampai Aldo nyubit gemas pipi dan hidung cewek itu. Ngacak-ngacak rambutnya, lalu dia rapiin lagi dengan lembut. Dia manis kan, No?” Nana tersenyum miris saat menceritakan kejadian yang ia lihat saat istirahat tadi. Dino menatap iba sepupu kesayangannya itu.
“Terus waktu bel pulang bunyi gak lama ada pesan masuk dari dia, gue udah senyum-senyum gue kira dia nyari gue buat ngajak pulang kayak biasanya, tapi ternyata gue salah," Nana tersenyum masam. "Dia kirim pesan cuma bilang gak bisa pulang bareng gue karena disuruh cepat-cepat pulang sama mamanya, tapi gue gak percaya. Gue langsung lari keparkiran dan dugaan gue benar, dia pulang sama Luna dan perlakuan manisnya itu kembali gue liat. Hati gue sakit No, gue cemburu!” cerita Nana diiringi isak tangis yang memilukan.
Dino merengkuh tubuh sepupunya itu, hatinya sakit mendengar dan menyaksikan langsung kerapuhan Nana, ia kecewa dan marah pada Aldo yang sudah membuat sepupu kesayangannya ini menangis, padahal dia sudah berjanji tidak akan menyakiti Nana, tapi buktinya sekarang Nana menangis dihadapannya, memperlihatkan sisi lemahnya.
Dino mengepalkan tangannya hingga jari-jari tangan itu memutih, wajahnya sudah memerah menahan marah, ingin sekali ia mendatangi dan meninju wajah sahabatnya itu sekarang juga, tapi ia urungkan karena Dino tahu bahwa Nana tidak akan menyukai tindakannya.
“Lo beleh nangis sepuasnya hari ini, tapi tidak untuk besok dan seterusnya. Cowok berengsek kayak dia gak pantas lo tangisin terus-terusan, air mata lo terlalu berharga, dan itu hanya membuat lo terlihat lemah,” ucap Dino sambil terus mengelus punggung Nana dan membiarkannya menangis dalam pelukannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Siti Komariah
klo gua punya cowok model ky aldo udah gua karungin wkwk
2021-07-03
0
Nani Nurhayati
Udah biarin aja cowi kaya gitu, cari ganti biar dy ngerasain sakit hati 😡😡😡😡
2021-01-24
0
Lara nada bakri Bakri
gue aja yg belom pernah pacaran pas baca ini rasanya sesek bener
2020-11-22
4