#19 - Putusan dan Peringatan

Setelah perdebatan panjang, akhirnya keputusan dijatuhkan.

"Setelah mempertimbangkan seluruh bukti, Dewan menyatakan bahwa Selene d’Aragon tidak sepenuhnya bersalah. Tindakannya merupakan bentuk pembelaan diri… Namun, karena dianggap berlebihan, ia tetap akan menerima sanksi."

Ruangan aula yang semula hening dipenuhi bisikan. Para murid elite menunggu vonis berikutnya dengan napas tertahan.

"Selene d’Aragon akan menjalani pekerjaan sukarela di akademi selama satu bulan."

Suasana berubah tegang. Murid-murid elite yang berharap Selene dikeluarkan tampak kesal, sementara murid-murid biasa saling bertukar pandang, lega.

Namun sebelum kegaduhan benar-benar meledak, Ketua Dewan melanjutkan dengan suara tegas.

"Adapun Kris dan antek-anteknya… mereka akan diskors selama enam bulan, terhitung mulai hari ini."

Hening.

Lalu—

"APA?!"

Keriuhan langsung pecah. Para pendukung Kris terbelalak, tak percaya seorang murid elite bisa dijatuhi hukuman seberat ini. Sepanjang sejarah akademi, belum pernah ada hukuman yang begitu keras bagi kaum aristokrat.

"Ini tidak adil!" seru seseorang dari barisan murid elite.

"Mereka hanya bercanda! Hukuman ini keterlaluan!"

Namun, Dewan tetap kukuh pada keputusan mereka.

Hari ini, akademi akhirnya menunjukkan bahwa keadilan bisa ditegakkan tanpa memandang status sosial.

***

Janji yang Tak Terucap

Selene menghela napas. Bagi dirinya, urusan di sini sudah selesai. Tanpa menunggu lebih lama, ia berbalik dan melangkah keluar. Masih ada hal lain yang lebih penting.

Arena gladiator menunggunya.

Namun, baru saja ia melangkah keluar dari aula—

"Nona Selene!"

Sebuah suara memanggilnya.

Selene menoleh. Seorang gadis berlari kecil ke arahnya—Adeline. Wajahnya masih sedikit pucat, tetapi ada tekad yang terpancar dari matanya.

"Ada apa?" tanyanya datar.

Adeline menggenggam ujung rok seragamnya, menatap Selene dengan sungguh-sungguh.

"Terima kasih… karena telah menolongku. Aku berjanji akan membalasnya suatu hari nanti."

Selene menatapnya sejenak, lalu bibirnya melengkung dalam senyum tipis—bukan senyum hangat, tetapi lebih seperti sebuah penegasan.

"Jika kau ingin berterima kasih, jadilah kuat. Lawan mereka saat kau ditindas."

Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan melanjutkan langkahnya menuju arena gladiator.

Adeline tetap berdiri di tempat, mengepalkan tangannya, menyimpan tekad baru dalam hatinya.

Dari balik jendela aula, seseorang memperhatikan adegan itu dalam diam. Regis, dengan tatapan penuh arti, mengamati kepergian Selene.

"Ini benar-benar dirimu"

***

Panggilan dari Kaisar

Selene baru saja tiba di depan arena gladiator. Ia tersenyum kecil, matanya berbinar penuh antusias. Setelah semua drama di akademi, akhirnya ia bisa melakukan sesuatu yang benar-benar menyenangkan: bertarung.

Namun, sebelum sempat melangkah lebih jauh—

"Nona Selene d’Aragon,"

Sebuah suara dalam nada tegas menghentikannya. Seorang prajurit istana berdiri di hadapannya, ekspresinya dingin dan penuh wibawa.

"Yang Mulia Kaisar ingin bertemu dengan Anda."

Selene menghela napas panjang.

"Baru satu hari di sini, dan pria itu sudah memanggilku?" gumamnya dalam hati.

Namun, ia tahu bahwa menolak bukanlah pilihan. Dengan santai, ia memasukkan tangannya ke dalam saku dan berbalik.

"Baiklah, ayo pergi."

***

Percakapan dengan Kaisar

Ruangan pribadi Kaisar jauh lebih santai dibandingkan aula resmi. Tak ada hiasan mewah berlebihan, hanya perabotan elegan yang mencerminkan selera tinggi. Saat Selene masuk, Kaisar Magnus sudah menunggunya, duduk dengan sikap tenang namun penuh pengaruh.

Mata pria itu mengamatinya dengan minat, seolah menilai sesuatu yang tak terlihat.

"Selene," katanya akhirnya. "Ayahmu pergi ke luar kota, ibumu ikut bersamanya."

Selene mengangkat alis.

"Jadi?"

"Selama mereka pergi, kau menjadi tanggung jawabku."

Selene menyandarkan tubuh ke kursinya. "Kedengarannya seperti hukuman."

Kaisar tersenyum tipis. "Atau keuntungan?"

Pelayan datang membawa teh dan makanan. Namun, Selene tanpa ragu mengangkat tangan, menolak.

"Berikan aku kopi hitam, sedikit gula. Pastikan airnya mendidih sempurna."

Pelayan itu terdiam sejenak sebelum menunduk, lalu segera berbalik untuk memenuhi permintaannya.

Kaisar menatapnya dengan ketertarikan yang makin dalam. "Kau suka kopi?"

Selene mengangkat bahu. "Kopi membuatku tetap bertenaga."

Kaisar berpikir sejenak. Biasanya, gadis-gadis seusia Selene lebih menyukai teh manis atau susu. Setidaknya ada satu orang yang sangat menyukai kopi hitam seperti ini…

Ia tersenyum kecil, tetapi tak melanjutkan pikirannya. Mungkin mereka hanya mirip...

Percakapan mereka berlanjut dari hal-hal ringan hingga politik. Awalnya, Kaisar hanya ingin memberi tahu tentang orang tua Selene, tetapi semakin lama mereka berbicara, semakin ia terkejut.

Selene bukan hanya cerdas—pemahamannya tentang politik tajam, nyaris berbahaya.

"Kau masih sangat muda, tetapi cara berpikirmu… luar biasa," gumam Kaisar.

Selene menyeringai. "Ibuku adalah Isolde. Ayahku mungkin kuat di medan perang, tetapi ibuku adalah otak Kekaisaran."

Kaisar terdiam. Itu benar. Isolde adalah wanita yang menaklukkan dunia dengan pikirannya.

Namun berbeda dengan Regis, yang kepintarannya terkenal elegan dan strategis, kecerdasan Selene lebih tajam dan praktis—bahkan sedikit liar.

Tanpa sadar, Kaisar mulai merasa nyaman berbicara dengannya. Aneh. Biasanya, ia menjaga citranya sebagai Kaisar, sebagai pemimpin yang tak tersentuh. Namun dengan Selene, percakapan mengalir begitu alami, seperti berbicara dengan teman lama.

***

Kedatangan Lucian & Adu Mulut

Tanpa aba-aba, pintu terbuka.

Lucian masuk dengan ekspresi lelah, rambutnya masih sedikit basah oleh keringat. Ia baru saja selesai berlatih saat mendengar kabar bahwa Selene berada di istana.

"Putraku," Kaisar menoleh santai. "Kenapa kau kembali?"

"Aku dengar kau mengundang seseorang. Aku hanya ingin tahu."

Kaisar tersenyum penuh arti. Lucian langsung merinding melihat ekspresi ayahnya.

"Ayah, kau tahu? Gadis ini baru satu hari di akademi dan sudah membuat kehebohan," keluhnya.

Selene menyesap kopinya, lalu menoleh tanpa ekspresi. "Aku belum melakukan apa-apa. Mereka yang cari masalah denganku."

Lucian mendengus. "Itu tidak mengubah fakta kalau kau masalah berjalan."

Kaisar tertawa pelan. "Putraku juga bisa frustrasi, ternyata."

Lucian melirik tajam. "Ayah, aku ini putramu."

***

Peringatan dari Lucian

Saat matahari mulai tenggelam, Selene bersiap pergi. Namun sebelum ia melewati lorong istana, suara Lucian menghentikannya.

"Besok adalah acara penerimaan. Murid-murid elite mengincarmu. Kau mungkin akan mendapat tantangan duel."

Selene menoleh, senyum penuh arti di wajahnya. "Apa kau mengkhawatirkanku?"

Lucian mendecak. "Aku hanya memberitahumu. Kau terlalu kuat untuk dilindungi, tetapi terlalu berbahaya jika dibiarkan begitu saja."

Selene tertawa pelan, lalu melangkah pergi.

"Selene..."

Lucian memanggilnya lagi, "Duel ini bukan sekadar adu kekuatan. Jika kau menang, kau akan jadi target yang lebih besar. Jika kau kalah, reputasimu akan hancur. Kau siap menerima konsekuensinya?"

Selene tidak menjawab dan terus berjalan pergi...

Murid elite? Mereka hanya anak-anak di matanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!