Panas.
Itu yang pertama kali ia rasakan. Bukan panas yang menyakitkan, tetapi hangat, mengalir di seluruh tubuhnya. Ada suara samar di kejauhan—suara yang familiar, penuh kecemasan dan kasih sayang.
"Selene…"
Suara itu lembut, namun bergetar. Seseorang menangis.
Kelopak matanya terasa berat saat ia mencoba membuka mata. Cahaya samar menyusup melalui jendela, menyorot wajah seorang wanita dengan mata berkaca-kaca.
"Putriku..."
Selene berkedip beberapa kali. Pandangannya masih kabur, tetapi perlahan mulai jelas. Wajah wanita itu… Isolde?
Tunggu.
Bukankah seharusnya dia sudah mati?
Kesadarannya kembali dalam hempasan gelombang kenangan. Perang, pengkhianatan, hujan deras yang membasahi tubuhnya yang bersimbah darah. Tapi sekarang, ia ada di sini.
Hidup.
Ia mengangkat tangannya yang lebih kecil, lebih halus dibanding yang ia ingat. Dada naik turun dengan cepat saat ia mencoba memahami situasi ini.
Benarkah ini? Aku... hidup kembali?
Ia mengalihkan pandangan ke cermin kecil yang diletakkan di meja di samping tempat tidurnya. Pantulan yang terlihat di sana adalah seorang gadis remaja dengan rambut keemasan dan mata emas yang sama seperti yang ia miliki dahulu. Namun, wajahnya lebih muda—tidak ada bekas luka, tidak ada jejak perang.
Tidak. Ini bukan tubuhnya.
"Sayang, kau tidak apa-apa?" suara Isolde terdengar lagi, kini lebih cemas.
Selene menatapnya. Isolde. Istri dari Gideon. Wanita yang dikenal sebagai 'Otak Kekaisaran'.
Pikirannya berputar cepat, menyusun potongan-potongan yang masih berserakan. Jika ini Isolde, dan jika ia benar-benar kembali dalam tubuh seorang gadis remaja… maka siapa dirinya sekarang?
Ia mengalihkan pandangan ke pria yang kini berdiri di samping ranjangnya. Mata abu-abu itu menatapnya dengan tajam, penuh perhatian yang tak tersembunyi.
Gideon.
Sahabatnya. Orang yang selalu berdiri di sisinya.
"Putriku akhirnya bangun," gumamnya pelan, suaranya terdengar serak, seolah berusaha menyembunyikan emosi.
Selene menggigit bibirnya. Putrinya?
Jadi… ia telah terlahir kembali sebagai anak dari teman baiknya sendiri?
Sejenak, ia ingin tertawa. Betapa ironisnya ini. Tapi alih-alih tertawa, ia hanya menghela napas pelan. Sejenak, ia menatap wajah Isolde dan Gideon yang masih tampak khawatir.
Mereka sungguh mencintai anak ini.
Maka, tak ada salahnya ia menerima cinta itu.
Dengan sedikit ragu, ia mengulurkan tangan dan menggenggam jemari Isolde. "Ibu…"
Tangis wanita itu pecah. Isolde langsung memeluknya erat, seolah takut kehilangan lagi.
Gideon mengamati keduanya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Namun, ada sedikit ketidakpastian dalam sorot matanya.
Ia merasakan ada sesuatu yang berubah dari putrinya.
***
Kunjungan Leo dan Ethan
Selene tengah duduk di kursi dekat jendela, menatap langit dengan tatapan tenang. Hari ini cukup cerah—terlalu cerah untuk seseorang yang baru saja kembali dari kematian.
Tiba-tiba, suara ribut di depan pintu membuatnya melirik malas.
"Selene!"
Dua pemuda bergegas masuk tanpa menunggu izin.
Selene mendesah, menyandarkan tubuh ke sandaran kursi dan melipat tangan. "Aku tidak ingat mengundang kalian masuk ke kamarku."
Ethan berkedip, tampak terkejut. "Uh… kami selalu datang menemuimu saat kau sakit."
Leo mengangkat alis. "Dan biasanya kau senang melihat kami."
Selene menatap mereka sebentar sebelum tersenyum tipis. "Aku masih senang. Tapi bukankah kalian sedikit terlalu percaya diri? Seharusnya aku yang memutuskan apakah ingin menerima tamu atau tidak."
Keduanya saling pandang.
Leo menyipitkan mata, seolah mencoba membaca pikirannya. Ethan, di sisi lain, hanya menatapnya dengan ekspresi penuh kebingungan.
"…Kenapa kau bicara seperti itu?" tanya Leo akhirnya.
Selene mengangkat bahu. "Bagaimana lagi? Kalian anak-anak terlalu ceroboh. Masa tidak tahu sopan santun memasuki kamar seorang gadis tanpa mengetuk?"
Leo mengerutkan dahi. "Kau bukan gadis biasa, Selene."
Selene tersenyum miring. "Betul sekali."
Ethan tetap diam, tetapi sorot matanya memperlihatkan bahwa ia sedang berpikir keras.
***
Percakapan dengan Gideon
Malamnya, Selene kembali duduk di balkon, memandangi bintang-bintang. Angin malam berembus sejuk, membawa ketenangan yang nyaris membuatnya terlena.
Langkah kaki terdengar dari belakang.
"Selene."
Ia tidak menoleh, hanya tersenyum kecil. "Ayah."
Gideon mendekat, berdiri di sampingnya. Ia terdiam sejenak, seolah sedang mengumpulkan kata-kata.
"Ayah menyesal tidak bisa melindungimu lebih baik," gumamnya akhirnya.
Selene tertawa kecil, nada suaranya ringan namun mengandung sesuatu yang lebih dalam. "Ayah, kau terdengar seperti seorang pria tua yang menyalahkan dirinya sendiri. Bukankah sudah kubilang, aku baik-baik saja?"
Gideon menatapnya. "Tetap saja… luka itu bukan sesuatu yang mudah."
Selene mendongak, memandang bintang-bintang. "Tidak ada luka yang benar-benar mudah, Ayah. Tapi seperti semua hal lain dalam hidup, manusia hanya punya dua pilihan—terus meratapi, atau melangkah maju."
Gideon terdiam, lalu menghela napas. "Kau berbicara seperti orang tua."
Selene tersenyum kecil. "Mungkin aku memang begitu."
Gideon tersenyum tipis. "Dulu, ada seorang wanita yang sering mengatakan hal itu padaku."
Selene mengangkat alis. "Oh? Wanita? Jangan bilang... ini kisah cinta lamamu?" godanya.
Gideon tertawa pelan. "Dia memang seorang wanita, tapi tidak seperti wanita pada umumnya."
Selene mengerutkan kening, merasa tersinggung. "Apa maksudmu tidak seperti wanita? Jelas dia seorang wanita!"
Gideon menghela napas, lalu melanjutkan, "Dia bernama Selene Everhart. Seorang pejuang sejati, seorang pahlawan. Tidak hanya bagi rakyat, tetapi juga bagiku."
Selene tersenyum kecil. "Katakan lebih banyak tentangnya, Ayah..."
Malam itu, Gideon menceritakan kisah masa lalunya—tentang Selene Everhart, tentang persahabatan mereka, dan tentang bagaimana wanita itu menjadi mak comblang antara dirinya dan Isolde.
Dan perlahan, di dalam hati Selene, sesuatu yang lama terlupakan mulai kembali bersemi.
***
Keesokan harinya, Selene akhirnya diperbolehkan pulang. Perjalanan kembali ke rumah terasa lebih panjang, tapi ia menikmatinya.
Namun, saat kereta berhenti, suara berwibawa Gideon terdengar.
"Cassian, lama tidak bertemu."
Selene membeku.
Cassian?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments