Setelah dua bulan perjalanan, akhirnya Selene sampai di Ibu Kota Kekaisaran. Kereta mereka berhenti di depan gerbang besar yang menjulang tinggi, dijaga oleh barisan prajurit bersenjata lengkap.
"Sayang, kita sampai di Ibu Kota," ucap Isolde dengan lembut.
"Ya, Ibu..." Selene menjawab dengan senyum tipis, namun tatapannya tetap tertuju ke luar jendela.
Seorang prajurit mendekat untuk memeriksa identitas mereka.
"Mohon berikan identitas kalian."
Gideon mengeluarkan lencana miliknya—sebuah lencana yang hanya ada lima di seluruh kekaisaran.
"Lima... Pi...lar..."
"LIMA PILAR!"
Prajurit itu terkejut seketika. Itu adalah lencana dengan lambang singa hitam dan empat pedang—singa melambangkan kepemimpinan, sedangkan empat pedang melambangkan perlindungan. Sebuah simbol yang mengingatkan semua orang pada legenda Lima Pilar Kekaisaran.
Selene hanya tersenyum tipis mendengar suara gugup prajurit itu. Setidaknya pria itu tahu apa arti lencana tersebut. Sungguh sebuah kemajuan.
Dengan buru-buru, prajurit itu berlari ke dalam pos jaga, memberi perintah agar gerbang segera dibuka. Perlahan, pintu raksasa itu bergeser, memperlihatkan jalan setapak yang membentang menuju pusat ibu kota.
Dari jendela kereta yang masih terbuka, Selene mengamati kota yang dulu pernah menjadi rumahnya. Pohon-pohon rindang berjajar di sepanjang jalan, bunga-bunga mulai bermekaran di taman-taman kota. Prajurit berpatroli dengan disiplin, anak-anak bermain dengan tawa riang, dan semakin jauh mereka melaju, pusat pertokoan yang ramai mulai terlihat.
Kota ini… jauh lebih baik dibanding saat dia masih hidup.
Lalu, pandangannya jatuh pada sebuah kedai anggur tua di sudut jalan.
Di sana…
Selene menatap bangunan itu dengan mata yang sedikit melembut. Dulu, setiap kali dia merasa kesal atau lelah, dia akan menghabiskan malamnya di sana, duduk di sudut ruangan dengan segelas anggur di tangan. Sekarang, kedai itu masih sama—masih ramai, masih hidup.
Namun dirinya tidak lagi ada di sana.
Kereta terus berjalan, dan bayangan kedai itu perlahan menghilang dari pandangannya. Ada sesuatu yang mengendap di hatinya.
Dulu, dia berpikir bahwa tanpa dirinya, dunia akan berhenti. Bahwa tanpa Selene Everhart, kekaisaran akan kehilangan pelindungnya. Namun sekarang, semuanya tetap berjalan seperti biasa. Kehidupan tetap berlanjut, seolah kehadirannya dulu tidak lebih dari angin lalu.
Untuk pertama kalinya, dia merasa seperti hantu yang kembali ke tempat yang telah melupakannya.
Namun saat kesedihan mulai menyelinap masuk, sesuatu menarik perhatiannya.
Sebuah patung besar berdiri megah di tengah pusat kota.
Kereta berhenti tepat di depannya. Gideon turun lebih dulu, berdiri di depan patung itu dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Selene... Aku kembali..." ucapnya lirih.
Isolde turun dan menggenggam tangan suaminya, memahami perasaan yang tengah melanda hatinya.
Selene sendiri melangkah perlahan, mendekati patung itu. Dia menatapnya dalam diam.
Patung itu… adalah dirinya.
Sosok seorang prajurit dengan baju besi yang kokoh, pedang tergenggam erat di tangannya, tatapan tajam seolah masih berdiri melindungi kota ini. Di bawahnya, sebuah monumen batu kecil terukir dengan kata-kata:
"Yang terkuat akan selalu di hati. Yang terbaik akan selalu dikenang. Yang tersayang akan selalu dicintai. Yang terbaik hanya, Selene Everhart."
Selene menghirup napas dalam-dalam.
Jadi… dia tidak dilupakan.
Mata Selene mulai berkaca-kaca, tetapi dia menahannya. Saat itu, angin berhembus lembut, membawa sebuah bunga kecil yang jatuh di kakinya.
"Ah, maaf, Kakak. Itu bungaku. Bolehkah aku mengambilnya?"
Selene menoleh dan melihat seorang gadis kecil berpakaian sederhana berdiri di depannya. Mata bulatnya memancarkan keberanian dan kepolosan, senyumnya cerah seperti matahari pagi.
Selene membungkuk, mengambil bunga itu, lalu memberikannya pada gadis kecil itu.
Dengan rasa penasaran, dia bertanya, "Gadis kecil, untuk siapa bunga ini?"
"Untuk pahlawanku, Nona Selene Everhart," jawabnya dengan semangat.
Selene tertegun. "...Kau mengenalnya?"
Gadis itu tertawa, menunjukkan deretan giginya yang mungil, lalu bercerita dengan penuh semangat, "Dulu, saat ibuku mengandung kakakku, dia diserang oleh bandit di hutan. Tapi Nona Selene menyelamatkannya. Karena itu, kakakku bisa lahir dengan selamat!"
Ia menepuk dadanya dengan bangga. "Sejak kecil, ibuku selalu bercerita tentang betapa hebatnya dia. Dia seorang wanita, tapi begitu kuat! Aku mengaguminya!"
Mata gadis itu berbinar-binar penuh kekaguman.
Lalu, dengan penuh percaya diri, dia meletakkan tangannya di pinggang dan menyatakan, "Aku akan menjadi seperti dia. Kakak, aku akan jadi jenderal!"
Selene tersenyum, tapi dadanya terasa sesak.
Gadis itu tidak pernah bertemu dengannya. Dia hanya mendengar cerita. Namun, meski Selene telah lama pergi, namanya masih hidup.
Tiba-tiba, air mata jatuh dari matanya.
Gadis kecil itu terkejut. "Eh? Kakak… kenapa menangis? Kakak jangan menangis…"
Selene menutup wajahnya dengan tangan, bahunya sedikit bergetar.
Sepanjang hidupnya, dia selalu berpikir bahwa seorang prajurit tidak boleh menangis. Bahwa air mata adalah tanda kelemahan. Tapi saat ini, dia menangis—dan bukan karena kesedihan, bukan karena kehilangan.
Melainkan karena ada seseorang yang masih mengingatnya.
Dan itu cukup.
***
Aula Istana Kekaisaran
Suasana di Aula Istana begitu tegang. Para pejabat duduk di kursi masing-masing, tapi percakapan mereka lebih ramai dari biasanya. Ini karena berita kepulangan Gideon d’Aragon—sang Tangan Besi Kekaisaran, pilar terkuat setelah Selene Everhart—akhirnya kembali setelah menghilang selama lima belas tahun.
Semua orang tahu bahwa kembalinya Gideon tidak lepas dari campur tangan Cassian Rosenthal, tangan kanan Kaisar. Kaisar sendiri yang mengutusnya untuk membawa Gideon kembali. Dan kali ini, Gideon benar-benar memenuhi panggilan itu.
Berita ini mengguncang keseimbangan politik di istana. Sejak kepergian Selene, kekuatan di dalam istana terbagi rata antara dua faksi besar: faksi Putra Mahkota Lucian, dan faksi Pangeran Kedua Ditrian. Namun dengan kembalinya Gideon, faksi Lucian kini memiliki keuntungan besar, sementara posisi Ditrian menjadi semakin sulit.
Di antara para pejabat, bisik-bisik mulai terdengar.
"Jadi dia benar-benar kembali?"
"Ya, apa kau tidak dengar sendiri yang dikatakan prajurit itu?"
"Kalau begitu, pertarungan takhta akan segera dimulai..."
Salah satu penasihat dari faksi Ditrian mengepalkan tangannya, matanya berkilat dengan ketidaksenangan. Dengan nada rendah namun penuh tekanan, dia bergumam,
"Belum tentu... Putra Mahkota masih belum genap delapan belas tahun. Segalanya masih bisa berubah."
Para pejabat lain meliriknya. Bahkan beberapa anggota faksi Ditrian sendiri terlihat ragu. Mereka mulai mempertimbangkan posisi mereka, apakah tetap mendukung Ditrian atau beralih ke Lucian.
Di tengah semua kegaduhan itu, Kaisar Magnus, yang duduk di singgasana tertinggi, tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Namun, tangan kanannya mencengkeram sandaran kursinya sedikit lebih erat—sebuah tanda kecil yang menunjukkan bahwa hatinya tidak sepenuhnya tenang.
Kemudian, suara langkah tergesa-gesa terdengar di aula. Seorang prajurit masuk dengan sikap hormat, menundukkan kepalanya di hadapan Kaisar.
“Lapor, Yang Mulia Kaisar... Gideon d’Aragon dan keluarganya telah memasuki Ibukota Kekaisaran.”
Hening.
Para pejabat yang tadinya berbisik-bisik kini diam seribu bahasa. Kaisar Magnus masih tampak tenang, tapi jika diperhatikan lebih saksama, ada sedikit cahaya di matanya. Seperti kelegaan yang sudah lama tertahan.
Mata beberapa pejabat saling bertukar pandang, menilai reaksi Kaisar. Mereka tahu betapa berharganya Gideon bagi Kekaisaran—bukan hanya sebagai pilar kekuatan, tetapi juga sebagai salah satu sahabat Selene Everhart.
"Jadi mereka berhenti di mana?" suara Kaisar terdengar, nadanya dalam dan penuh wibawa.
“Mereka sedang berhenti di depan patung Jenderal Selene Everhart.”
Hening kembali melanda ruangan.
Beberapa pejabat tertua yang dulu pernah berjuang bersama Selene Everhart menundukkan kepala mereka. Ada rasa hormat, ada nostalgia, dan ada sesuatu yang lain—kesadaran bahwa tanpa Selene, mereka telah terpecah belah selama bertahun-tahun.
Meski begitu, dengan kembalinya Gideon, ada harapan bahwa kepingan-kepingan yang hilang bisa tersatukan kembali.
Dan saat suasana hening itu masih terasa, tiba-tiba...
KRAK!
Pintu utama aula terbuka dengan keras, suara dentuman kayu bergema di seluruh ruangan. Para prajurit yang berjaga segera membungkukkan badan mereka dalam-dalam.
Lalu, suara lantang terdengar memenuhi aula:
“Gideon d’Aragon dan Isolde d’Aragon memasuki Aula Istana!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments