#2 - Bayangan dari Masa Lalu

Di sebuah kota kecil, yang jauh dari hiruk-pikuk istana, Gideon dan Isolde hidup dalam ketenangan yang sederhana. Rumah mereka kecil tapi hangat, dengan dinding batu kokoh dan halaman yang dipenuhi bunga liar.

Tapi yang paling berharga bagi mereka bukanlah rumah itu.

Melainkan seorang gadis kecil bernama Selene.

Ceria, cerdas... dan obsesif terhadap pedang.

Di usia lima tahun, dia lebih suka mengasah belati ketimbang bermain boneka, lebih sering mengayunkan tongkat kayu seolah itu pedang dibandingkan berlari di taman bunga.

Isolde sering mendapati dirinya melotot ke arah suaminya, setiap kali melihat putri mereka lebih tertarik pada besi tajam dibandingkan pita sutra.

"Apa yang kau ajarkan pada putrimu, huh?!" Isolde berkacak pinggang, ekspresi galaknya tak main-main. "Anak perempuan lain bermain boneka, sementara anak kita sibuk membersihkan belati! GIDEON, AKU SERIUS!"

Gideon hanya tertawa kecil, meskipun di dalam hatinya, dia tahu alasan sebenarnya.

Dia melihatnya dalam mata putrinya.

Mata yang sama.

Mata yang pernah dimiliki Selene Everhart.

Gadis itu… yang hanya tinggal dalam ingatan.

Saat Gideon bertemu Selene Everhart, dia bukan siapa-siapa. Hanya anak haram dari seorang bangsawan, seorang gadis kecil yang kehilangan ibunya di usia lima tahun. Sejak itu, hidupnya menjadi neraka. Tapi satu hal yang tidak pernah berubah—matanya selalu menyala saat melihat pedang.

Dan kini, dia melihat nyala yang sama dalam diri putrinya.

Sebuah suara kecil membuyarkan lamunannya.

"Ayah... ayah..."

Gideon tersentak, langsung menggendong putrinya ke dalam pelukannya.

"Ohh, putri kecilku yang cantik, apa kau memanggil ayah?"

Selene kecil menempelkan kedua tangan mungilnya di pipi ayahnya, matanya berbinar-binar.

"Ayah melamun."

Gideon terkekeh. Ya, buat apa mengingat masa lalu? Sekarang, dia memiliki keluarga. Itu yang terpenting.

***

Matahari cerah bersinar, Gideon sedang bermain bersama Selene ditaman. Karena kemarahan istrinya terakhir kali, dia membujuk putrinya untuk bermain boneka selayaknya anak seumurannya.

Suasana mereka begitu harmonis, selene cukup tertarik dengan boneka berbaju perang mini dengan jubah merah hasil karyanya.

Sampai suara derap kuda di halaman depan memecah kedamaian...

Gideon menoleh, ekspresinya langsung berubah tajam.

Sebuah kereta mewah berhenti di depan rumah mereka. Dua pria turun—seorang pria dewasa yang flamboyan, mengenakan pakaian mencolok dengan permata berlebihan. Dan pria kecil yang wajahnya penuh kesombongan.

Sebelum Gideon sempat bicara, Selene menunjuk mereka dan berkata dengan polos,

"Badut."

Hening...

Gideon hampir tertawa. Lupa bahwa beberapa saat lalu tatapan nya masih begitu tajam.

Sementara itu, pria kecil itu memerah, "Hei, jalang kecil! Siapa yang kau panggil badut?!"

Jalang kecil?

Gideon hampir melemparkan belati ke tenggorokan pria kecil itu.

Namun, sebelum dia sempat bergerak— Selene sudah bangkit secepat kilat, dia berdiri didepan pria kecil itu, menarik roknya sedikit, lalu mengangkat kaki kanannya, dan...

BAM!!!

Selene menendang pria kecil itu tepat di dadanya.

Pria kecil itu terhuyung, terjatuh ke tanah dengan wajah penuh keterkejutan.

Suasana hening... seolah semua orang sedang memproses apa yang sedang terjadi.

Lalu—

"ARGHHHHHHH...!!"

Pria kecil itu meraung, sementara ayahnya, Stefan Hansson, langsung melompat ke arahnya Selene.

"Apa yang kau lakukan pada putraku?!"

Dia mencoba meraih Selene, tapi gadis kecil itu dengan gesit menggigit tangannya.

KRAK!

"ARGHHHHHHH...!!" Darah mengucur dari tangannya.

Gideon buru-buru menarik putrinya kembali. Tapi Selene malah memuntahkan darah yang menempel di bibirnya dengan ekspresi jijik.

"Huwek... pahit!"

Gideon... tertawa terbahak-bahak.

Dia mengusap kepala putrinya dan berkata dengan bangga, "Lain kali, biarkan ayah yang menjadi pahlawan, Nak."

***

Di dalam rumah, Isolde menatap suaminya dengan ekspresi yang campur aduk antara syok, bangga, dan frustasi.

"Maksudmu, pria banci itu menyebut putriku jalang?!"

Gideon mengangkat tangan, "Sayang, tenang dulu. Ceritaku belum selesai."

Saat dia menceritakan bagaimana Selene menendang pria itu dan menggigit tangannya, mata Isolde melebar.

Lalu dia perlahan... tersenyum.

"Ya Tuhan."

Dia menatap putrinya yang masih mengunyah pie apel di meja makan, dengan kaki kecil bergoyang-goyang santai.

"Putriku luar biasa."

Gideon tersenyum puas. "Tentu saja. Dia putriku."

Isolde langsung mencubit wajah suaminya. "Dia juga putriku, dasar!"

Selene menyendok pie ke mulutnya tanpa peduli, lalu menyela, "Aku putri kalian."

Mereka tertawa.

Untuk saat ini, kebahagiaan itu terasa sempurna.

Namun, malam itu, Selene bermimpi.

Dalam kegelapan, dia mendengar suara yang bergema—

"Angkat pedang kalian. Lindungi kekaisaran..."

Teriakan. Deru perang. Cahaya pedang yang berkilat di bawah sinar bulan.

Lalu—

PRANG! PRANG!

Selene tersentak bangun, keringat dingin membasahi dahinya. Dadanya naik turun. Matanya membelalak menatap langit-langit.

Mimpi itu... kenapa terasa begitu nyata?

Sementara itu, di kamar lain, Isolde menatap suaminya dengan mata penuh kekhawatiran.

"Gideon... katakan sejujurnya alasan mereka kemari?"

Gideon menghela napas berat. "Kekaisaran memintaku kembali."

Isolde menegang. "Kembali? Untuk apa?"

Gideon menatapnya dalam. "Lucian telah ditunjuk sebagai putra mahkota."

Sebagai pewaris takhta, Lucian akan menjadi target. Kekaisaran ingin Gideon melindunginya.

Isolde terdiam. Lalu bertanya dengan pelan, "Apa kau menerimanya?"

Gideon menggeleng. "Tidak. Aku belum siap kembali ke sana."

Isolde menghela napas lega...

Dia tahu, kembali ke istana berarti kehilangan ketenangan ini. Kehilangan suaminya... kehilangan kebebasan putrinya.

Sebagai bentuk rasa syukur, dia menempelkan ciuman lembut di bibir suaminya.

Gideon menatapnya penuh arti. "Istriku... apa kau sedang ingin?"

Isolde mendengus, "Aku hanya mengucapkan terima kasih, bukan karena ingin."

Tapi saat dia mencoba berbalik, Gideon menarik pinggangnya dan berbisik di telinganya dengan nada rendah.

"Tapi aku ingin."

Ciuman dalam menyapu bibirnya.

Cahaya bulan masuk melalui jendela, membentuk siluet dua insan yang tenggelam dalam malam yang semakin panas.

Sementara itu, di kamar sebelah—

Selene menatap ke luar jendela, matanya menerawang ke arah bulan.

Seolah dalam hatinya, dia tahu.

Kedamaian ini... tidak akan bertahan lama.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!