"Bolehkah aku ikut?"
Dua bocah itu menghentikan duel mereka dan menoleh ke arah suara. Mata mereka meneliti Selene dari atas ke bawah.
Gadis kecil ini mungil, mengenakan mantel berbulu tebal dengan topi rajut beruang yang hampir menutupi wajahnya. Tangannya masih terbungkus sarung tangan tebal.
Salah satu dari mereka, bocah yang lebih tinggi, mengangkat alis dengan santai. Sementara yang lain, bocah dengan ekspresi sombong, malah mendengus.
"Kau hanya gadis kecil. Pergi dan main boneka saja sana," katanya dengan nada mengejek.
Selene langsung mengerutkan kening.
"Tapi aku ingin pakai pedang!" protesnya.
Bocah itu tertawa. "Heh, jangan bercanda. Pedang itu bukan untuk anak perempuan."
Selene semakin kesal. Dia ingin membuktikan bahwa dia bisa bertarung!
Saat kedua bocah itu kembali bertarung, Selene menggerutu dan mulai mencari sesuatu di sekitar. Dia akhirnya menemukan ranting kayu yang cukup kokoh.
Dengan penuh percaya diri, dia kembali dan mengangkat ranting itu seperti pedang.
"Ayo bertanding!" tantangnya.
Namun, kedua bocah itu tidak menggubrisnya.
Kesal karena diabaikan, Selene langsung melangkah maju dan menyerang duluan!
"Hyaaah!"
Bocah yang lebih tinggi refleks menangkis serangannya dengan pedang kayu, mata mereka membelalak kaget.
"Hah?!"
Mereka mengira Selene hanya asal bicara. Tapi ternyata, dia bisa menangkis serangan mereka dengan ranting pohon!
Pertarungan Dimulai!
Dua bocah itu mulai menganggapnya serius. Mereka bertukar pandang sejenak, lalu menyerang Selene dari dua sisi.
Selene menghindar dengan lincah, mengayunkan ranting kayunya dengan gaya yang tidak terlihat seperti asal-asalan.
Kuda-kuda kakinya seperti seorang petarung sungguhan. Meski sesekali goyah karena kakinya masih kecil, dia tetap bisa bertahan.
Duk! Duk! Duk!
Bunyi benturan ranting dan pedang kayu terdengar di udara. Selene melawan dua lawannya dengan semangat tinggi.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa tubuhnya masih kecil. Serangan mereka semakin cepat, dan pada satu momen—
"Akh!"
Selene kehilangan keseimbangan!
Kakinya tergelincir di atas salju tipis, dan dia jatuh terduduk di tanah. Ranting kayunya patah.
Hening.
Lalu…
"Huaaaaaa!!!"
Tangisannya langsung pecah.
Tapi bukan karena sakit.
Selene menangis karena harga dirinya terluka. Kenapa kakinya tidak bisa menopang tubuhnya dengan benar?!
Dua bocah itu saling pandang, lalu menggaruk kepala mereka dengan canggung.
***
Mendengar tangisan Selene, Gideon dan Edward langsung berlari keluar.
Begitu sampai di halaman belakang, Gideon melihat putrinya duduk di tanah, menangis dengan ekspresi kesal.
Edward langsung memarahi kedua putranya. "Apa yang kalian lakukan pada gadis kecil itu?!"
Bocah-bocah itu buru-buru menjelaskan. "Kami tidak melakukan apa-apa, Ayah! Dia sendiri yang menantang kami! Dan dia hebat!"
Gideon mendengarkan cerita mereka, lalu menatap Selene.
Harusnya dia merasa kasihan. Tapi melihat wajah putrinya yang kesal karena kalah, dia malah ingin tertawa.
Rasa bangga, lucu, dan kasihan bercampur jadi satu.
Tapi sebagai ayah, dia tahu harga diri anaknya sedang goyah.
Jadi, dengan ekspresi serius, dia berjongkok dan menepuk kepala putrinya.
"Jika kau ingin belajar pedang, ayah akan mengajarimu. Jangan menangis lagi. Kau masih terlalu kecil sekarang, jadi tubuhmu masih belum seimbang."
Selene mendongak dengan mata berkaca-kaca, tapi perlahan tangisannya mereda.
Dia menggembungkan pipinya, lalu berdiri dengan susah payah.
Setelah menepuk-nepuk salju di mantelnya, dia menatap bocah-bocah itu dengan penuh tekad.
"Lihat saja, aku akan mengalahkan kalian!"
Dua bocah itu melongo, lalu tertawa kecil.
Sejak hari itu, Selene mulai belajar pedang dengan sungguh-sungguh—dan dua bocah itu akan menjadi teman sekaligus rival latihannya.
***
Di Istana Kekaisaran Magnus
Stefan Hansson berdiri dengan ekspresi dramatis, mengangkat tangannya yang diperban ke hadapan Kaisar Magnus.
"Yang Mulia! Aku pergi untuk membujuk Gideon, tapi lihat ini! Aku diserang!"
Magnus menatapnya dingin. "Apa maksudmu?"
"Putri kecil itu! Dia menerkam putraku, lalu menggigit tanganku seperti harimau liar!" Stefan meratap.
Magnus menghela napas panjang. "Jadi kau gagal membujuknya dan malah dipermalukan oleh seorang anak?"
"Aku hampir kehilangan tanganku!" Stefan membesar-besarkan.
Magnus melirik pengawalnya. "Seret dia keluar."
"TUNGGU! AKU PUNYA RENCANA LAIN—" Stefan meronta, tapi pengawal sudah menyeretnya pergi.
Keheningan menyelimuti aula.
Lucian, putra mahkota yang baru ditunjuk, akhirnya bertanya, "Ayah, siapa Gideon?"
Magnus menatap jauh sebelum menjawab lirih, "Si tangan besi yang penuh penyesalan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments