"Istriku, apa kau masih marah?"
Di dalam kamar yang remang, Isolde berbaring miring, memunggungi suaminya. Udara dingin menyelinap dari celah jendela, tetapi bukan itu yang membuatnya menggigil. Hatinya masih bergolak. Sejak kedatangan Cassian, dia tahu cepat atau lambat mereka harus kembali ke ibu kota, tetapi dia masih tidak bisa menerimanya.
Gideon menghela napas, lalu bergerak mendekat, menarik istrinya ke dalam pelukannya. Isolde tidak melawan, tetapi tubuhnya tetap tegang.
"Sayang, aku mengerti kekhawatiranmu," bisik Gideon, suaranya lembut menenangkan. "Tapi setelah kejadian terakhir, kita tahu bahwa di mana pun kita berada, bahaya tetap akan datang."
Isolde mengepalkan tangan, jemarinya mencengkeram baju suaminya. "Aku tahu," suaranya hampir tidak terdengar. "Tapi aku masih tidak bisa melupakan apa yang mereka lakukan pada kita… pada bayi kita."
Mata Isolde berkilat penuh dendam, tetapi di balik kemarahan itu, ada luka yang belum sembuh.
Gideon mengusap punggung istrinya dengan lembut, mencoba meredakan kegelisahannya. "Aku juga belum melupakan mereka," suaranya dingin, mengandung bahaya yang terpendam. "Tapi sekarang, kita punya Selene. Kita tidak bisa membiarkan sejarah terulang."
Isolde akhirnya menatap suaminya, matanya merah, menahan air mata yang ingin jatuh. "Kau benar," bisiknya. "Aku tidak ingin kehilangan lagi."
Gideon mengecup keningnya. "Kita akan kembali. Aku berjanji, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh keluargaku lagi."
Dari balik pintu kamar, Selene berdiri diam.
Dia tidak berniat menguping, awalnya hanya ingin memastikan kapan mereka akan kembali ke ibu kota. Namun, yang ia dengar justru sesuatu yang mengguncang dunianya.
"Bayi kita… mereka membunuhnya…"
Selene menahan napas.
Bayi mereka mati? Lalu… siapa dirinya?
Jika bayi itu mati, bukankah itu berarti dia bukan anak mereka? Jika begitu, siapa dia sebenarnya?
Pikirannya berputar, mencoba mencari jawaban. Namun, tidak ada yang masuk akal. Tanpa menunggu lebih lama, dia berbalik dan kembali ke kamarnya.
Malam ini, ia tidak akan bisa tidur.
***
Selene berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit dengan pikiran yang kalut. Dulu, ia pernah merasakan kasih sayang seorang ibu… meski hanya sesaat sebelum ibunya dibunuh. Ia punya ayah, tetapi pria itu memperlakukannya lebih buruk dari budak.
Sekarang, ketika akhirnya ia merasa memiliki keluarga yang tulus, kebenaran pahit menghantamnya.
"Aku bukan putri mereka?" bisiknya pada diri sendiri. "Tapi kalau begitu… siapa aku?"
Firasat buruk menggelitik tengkuknya. Entah mengapa, malam ini terasa aneh.
Ia bangkit dari tempat tidur, mengganti pakaiannya dengan baju latihan. Jika ia tidak bisa tidur, lebih baik ia berlatih. Namun, begitu ia membuka jendela, matanya bertemu dengan sepasang mata lain dalam kegelapan.
Seseorang mengintainya.
Pria berjubah hitam itu terkejut menyadari dirinya ketahuan. Dengan cepat, ia berbalik dan berlari ke dalam hutan.
Selene menyeringai tipis.
"Kau pikir bisa lari dariku?"
Tanpa ragu, ia melompat keluar jendela dan mengejar bayangan itu.
***
Pria berjubah hitam itu lincah, bergerak dengan kecepatan tinggi di antara pepohonan. Namun, Selene lebih cepat. Dengan cekatan, ia merogoh sakunya dan melemparkan pisau kecil.
SWISH!
Pisau itu melesat, menembus betis pria itu.
"ARGH!"
Pria itu terjatuh berguling di tanah, tetapi masih mencoba merangkak menjauh. Sayangnya, Selene sudah berdiri di depannya sebelum ia sempat kabur.
Dengan santai, ia menendang pisau yang masih menancap di betis pria itu.
KRAKK!
"AARRRGH!!"
Teriakan nyaring memenuhi malam.
Selene berjongkok di sampingnya, jemarinya mencengkeram rambut pria itu, menarik kepalanya ke belakang.
"Aku tidak suka membuang waktu," katanya manis. "Jadi, sebelum aku benar-benar kehilangan kesabaran, katakan padaku… siapa tuanmu?"
Pria itu menggertakkan giginya, matanya penuh kebencian.
Selene mendesah kecewa. "Ah, aku paham. Kau lebih memilih mati, ya?"
Seketika, ia mencengkeram rahang pria itu dan…
KREKK!
"ARRGHHH!!"
Jeritan mengerikan menggema saat rahang pria itu terpelintir ke sudut yang seharusnya tidak mungkin.
"Ups." Selene tersenyum kecil. "Tangan ini kadang terlalu kasar."
Pria itu menggeliat kesakitan, tetapi masih menolak bicara.
Selene mendesah bosan. "Sayang sekali."
Ia menggeledah tubuh pria itu dan menemukan sesuatu yang menarik—sebuah pin kecil berbentuk bulat dengan lambang kekaisaran.
Ia menyeringai. "Ketemu."
Pin ini hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu di istana. Jika Magnus tidak mungkin mengkhianati sekutunya sendiri, berarti ini ulah faksi pangeran lainnya.
Pria itu sekarang benar-benar tidak berguna. Dengan santai, Selene mengikat kakinya dan menggantungnya terbalik di pohon.
"Semoga kau menikmati sisa hidupmu," bisiknya sebelum pergi meninggalkan pria itu sendirian dalam kegelapan.
***
Keesokan paginya, Selene terbangun oleh aroma daging panggang yang menggugah selera.
Air liurnya hampir menetes. Ia segera bangun, mencuci muka, dan bergegas turun ke ruang makan.
"Selamat pagi, Ayah, Ibu!" sapanya ceria.
Di dapur, Isolde sibuk menuangkan sup ke mangkuk, sementara Gideon sedang memanggang pai apel.
Mereka sarapan bersama, dan akhirnya Gideon menatap Isolde, meminta persetujuan sebelum berbicara.
"Selene, kami sudah memutuskan… kita akan kembali ke ibu kota besok," ucapnya.
Selene berhenti mengunyah. "Besok? Kenapa terburu-buru?"
"Tidak ada alasan khusus," jawab Gideon. "Hanya saja, ada urusan yang harus segera diselesaikan."
Selene mengangguk, menahan rasa ingin tahunya. "Baiklah… kalau begitu, aku akan pergi ke rumah Paman Edward hari ini. Aku harus mengucapkan selamat tinggal pada Leo dan Ethan."
***
Saat sampai di kediaman Varkann, Selene langsung berteriak, "LEOOOOO!!"
Leo yang sedang duduk santai hampir tersedak minumannya. "SIALAN, SELENE! KENAPA KAU TERIAK SEPERTI ITU?!"
Selene hanya tertawa. "Mana Ethan?"
"Sudah pergi ke akademi," jawab Leo sambil mendengus.
"Secepat itu? Bahkan tidak berpamitan padaku?"
"Untuk apa dia pamit? Kau mau menangis dan memeluknya?" ejek Leo.
Selene tersenyum manis. "Leo, sepertinya kau rindu dengan pukulanku?"
Tanpa peringatan, dia meluncur ke depan dan menghajar Leo dalam hitungan detik.
"A-Aw! Selene! Tunggu! Auuu!"
Leo berusaha melawan, tapi Selene terlalu cepat. Saat dia mencoba kabur, kakinya tersangkut meja dan dia jatuh dengan suara keras.
BRUK!
Selene tertawa puas. "Kau masih terlalu lemah, Leo."
Leo merengek ke ayahnya. "Ayah! Selene keterlaluan!"
Edward hanya tertawa. "Itu pelajaran buatmu."
Setelah puas bermain dengan Leo, Selene menemui Edward.
"Paman, aku dan keluargaku akan kembali ke ibukota besok."
Edward menatapnya lama. "Setelah bertahun-tahun, akhirnya dia memutuskan untuk kembali..."
Selene tersenyum manis. "Paman, apa tidak ada hadiah perpisahan untukku?"
Edward tertawa. "Kau memang tidak pernah berubah."
Dia lalu membawanya ke ruang pribadi. "Pilihlah sebanyak yang kau mau."
Selene tidak menolak. Dia mengambil beberapa senjata kecil dan menyeringai puas.
***
Saat matahari mulai terbenam, Selene duduk di atas kudanya, menatap desa dari kejauhan. Ada sesuatu yang aneh di hatinya.
"Perasaan ini... seolah aku tidak akan kembali ke sini lagi."
Dia menarik napas panjang, lalu memacu kudanya pulang.
Esok hari, kehidupan Selene akan berubah selamanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments