Setelah memastikan mereka tidak bisa melawan lagi, Selene menatap tubuh-tubuh yang terkapar dengan napas sedikit memburu. Namun, ini belum cukup.
Tanpa ragu, ia mulai merobek pakaian mereka satu per satu, menyisakan mereka dalam kondisi yang jauh dari terhormat. Beberapa dari mereka merintih ketakutan, sementara yang lain mencoba merangkak menjauh, tetapi Selene tidak berniat membiarkan mereka kabur.
“Aku belum selesai bersenang-senang,” katanya dengan nada dingin bercampur ejekan.
Dengan gerakan cepat dan penuh ketelitian, dia meraih tali yang tergeletak di sekitar area latihan—mungkin bekas alat latih tanding—lalu mengikat tangan mereka ke belakang punggung.
Kris Everhart, yang tadi paling banyak bicara, berusaha memberontak, tetapi Selene dengan kasar meraih rambutnya dan membenturkan wajahnya ke tanah berbatu.
BRAK!
Suara benturan keras terdengar, diikuti oleh jeritan kesakitan. Darah segar mulai merembes dari hidung Kris, membuatnya menggeliat di tanah dengan wajah penuh rasa sakit.
“Begini rasanya diinjak-injak,” gumam Selene, senyum tipis tersungging di bibirnya.
Dia kemudian menyeret mereka semua dengan kasar menuju lapangan akademi. Mata para murid yang berkumpul membelalak kaget saat melihat sekelompok murid elit dalam kondisi mengenaskan—terikat, setengah telanjang, dan penuh luka memar.
Begitu sampai di tengah lapangan, Selene melempar Kris ke tanah dengan brutal. “Kau ingin bermain denganku kan? Baik, aku akan pastikan permainan ini menjadi pengalaman yang tak akan kau lupakan.”
Senyum sinis menghiasi wajahnya sebelum dia mengangkat kakinya dan menendang tepat ke kaki ketiga Kris.
DUK!
ARGHHHHHHHH!!!
Suara jeritan Kris memecah udara, tubuhnya melengkung seperti busur. Napasnya memburu, wajahnya seketika pucat pasi, seolah nyawanya hampir tercabut.
Sementara para murid yang menonton hanya bisa bergidik ngeri. Beberapa pria refleks menyilangkan kaki mereka, seolah bisa merasakan betapa menyakitkannya tendangan itu.
Selene menatap Kris yang kini terkapar tak berdaya. “Katanya kalian ingin mencoba tubuh perempuan? Kalau begitu, aku pastikan bagian itu tidak akan bisa berdiri lagi.”
Tepat saat itu, suara lantang menggema di udara.
“Apa-apaan ini?! Apa yang kau lakukan?!”
Selene menoleh dan melihat seorang wanita berseragam pengajar akademi berjalan mendekat dengan ekspresi penuh amarah.
“Oh?” Selene mengangkat alis, lalu tersenyum manis—senyum yang jelas dipenuhi ejekan. “Aku hanya sedikit bersenang-senang.”
“Bersenang-senang?! Kau melecehkan mereka! Apa kau sadar siapa mereka?” Guru itu membentak dengan nada tajam.
Selene tertawa kecil sebelum melirik Kris yang masih menggeliat kesakitan di tanah. “Dia bilang namanya Kris Everhart. Everhart, kau tahu? Nama keluarga Selene Everhart—Jenderal terkuat Kekaisaran, pemimpin Lima Pilar Kekaisaran.”
Guru wanita itu tampak sedikit terkejut, tetapi ekspresi angkuhnya tetap bertahan. “Kalau begitu, bersiaplah menerima konsekuensinya!”
Selene berjalan mendekat, menatapnya dengan mata tajam yang membuat bulu kuduk meremang. “Konsekuensi? Karena aku membela diri?” Dia menunjuk ke arah Adeline, gadis malang yang masih terduduk gemetar. “Mereka yang menyerangnya. Mereka yang mencoba merobek pakaiannya.”
Tatapan Selene semakin menusuk. “Aku hanya membalas mereka dengan cara yang sama. Apa masalahnya?”
Guru itu tampak kehilangan kata-kata, tetapi Selene tidak berhenti.
“Jika menurutmu, hanya karena mereka kaya dan gadis ini miskin, maka pelecehan mereka bisa dibiarkan, untuk apa akademi ini ada?” Dia mengangkat dagunya, menatap sekeliling. “Tempat ini seharusnya mencetak pemimpin, bukan melahirkan pemangsa yang bersembunyi di balik nama keluarga. Jika ini wajah masa depan negeri, maka aku hanya melihat kehancuran.”
Kemudian, Selene kembali menatap guru itu dengan tatapan penuh penghinaan.
“Terutama jika guru-gurunya adalah sampah.”
Kerumunan murid yang sejak tadi menyaksikan kejadian itu langsung gempar. Jarang ada yang berani bicara setajam itu terhadap seorang pengajar akademi.
***
Sang guru wanita menatap Selene dengan amarah yang membara, tapi Selene tidak peduli. Dia bahkan tidak repot-repot melirik perempuan itu dan hanya berbalik, hendak pergi bersama Adeline.
Namun, suara nyaring guru itu memecah udara.
"Dasar gadis tidak bermoral!"
Langkah Selene terhenti. Perlahan, dia berbalik, menaikkan satu alis dengan ekspresi penuh penghinaan.
"Tidak bermoral, katamu?" Suaranya tenang, tapi ada ketajaman berbahaya di dalamnya. "Lucu sekali. Seorang wanita yang membiarkan pelecehan terjadi, malah berbicara soal moral di depanku?" Selene tertawa, tapi bukan tawa yang menyenangkan—tawa itu dingin dan menakutkan.
Wajah sang guru menegang, tapi dia menolak kalah. "Tunggu saja bagaimana akademi akan menghukummu!" katanya dengan nada arogan, mencoba memprovokasi.
Selene hanya menatapnya datar sebelum menyeringai tipis. "Silakan. Mari kita lihat, siapa yang akan didukung akademi—aku, atau orang-orang menjijikkan yang kau lindungi?"
Wajah sang guru memerah. Harga dirinya terasa diinjak oleh seorang murid, dan dia tidak terima. "Dasar gadis sombong! Lihat saja, kau akan menangis memohon saat dikeluarkan!"
Alih-alih marah, Selene malah mengangguk santai. "Yah, terserah kau saja. Tapi mungkin kau lupa, reputasimu sendiri sudah cukup buruk saat ini."
Tanpa menunggu balasan, dia melepaskan pakaian luarnya dan menyelubungkannya di bahu Adeline, menutupi pakaiannya yang rusak. Lalu, di bawah puluhan pasang mata yang terdiam, Selene berjalan pergi dengan kepala tegak.
Bukan sebagai korban, tapi sebagai pemenang.
Di atas salah satu menara akademi, seorang pria berambut gelap berdiri diam, memperhatikan Selene seolah-olah dia adalah satu-satunya cahaya di dunia ini. Matanya berkilat dengan perasaan yang sulit dijelaskan—bukan hanya penilaian, tetapi juga sesuatu yang jauh lebih dalam.
Kerinduan.
Obsesi.
Jari-jarinya mengepal di sisi tubuhnya, menahan diri untuk tidak langsung bergegas ke arahnya. Bibirnya bergetar sebelum akhirnya melontarkan bisikan rendah yang hanya didengar angin malam.
"Apakah kau akhirnya kembali... kepadaku?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments