CAPTER 18
KEDATANGAN SAHAT DAN IBU MERLI
Di pagi yang masih remang Lusi terjaga dari tidurnya yang baru saja lelap setelah semalam ia terjaga penuh. Sejak malam itu ditambah pertemuan mereka di restoran kondisinya kurang baik, tidak perlu diet ketat menjaga berat badan karena tubuhnya kini
kian tipis saja. Nafsu makan pun tidak hilang, saat malam juga tidak bisa terlelap namun tadi malam terasa yang paling berat. Baru setelah subuh matanya terpejam tapi pagi-pagi bahkan matahari belum nampak ia sudah terbangun.
Kepala Lusi terasa berat hendak pecah kala mencoba bangun dari kasur tetapi ia tetap berusaha. Ia bersusah payah melangkah menuju kamar mandi meski semakin tidak kuat menahan sakit kepala, diperburuk dengan kondisi badannya yang lemah tidak bertenaga.
Baru saja tangan Lusi berhasil meraih pintu kemudian didorong dengan paksa perutnya terasa mual, pandangan berkunang-kunang tapi masih ditahan, Lusi menjatuhkan diri ke kloset memuntahkan isi perut yang berontak naik tak tertahan lagi.
Angga tersentak dari tidurnya yang juga tidak senyaman sebelum malam dramatis tersebut. Mendengar Lusi muntah-muntah secepatnya ia meloncat dari kursi dan berlari memasuki kamar. Melihat tempat tidur dalam keadaan kosong Angga cepat menuju kamar mandi.
Hatinya bertambah rapuh melihat Lusi bersimpuh dengan badan lemah, muka pucat. Tak terasa air mata itu pun jatuh dalam diam; bersama dengan langkahnya yang tak bertenaga lagi. Masih membutuhkan waktu setidaknya sepersekian detik baginya menata emosi yang bergejolak sebelum datang ke Lusi dengan jiwa tegar; menunjukkan dirinya sebagai seorang pria.
“Sayang. Kenapa sama Kamu?” seru Angga
cemas tangannya sigap mendarat di leher belakang Lusi memijatnya. Tangan satunya tak diam saja melainkan menyingkap rambut panjang Lusi yang tergerai.
“Ayo kita periksa,” ucapnya lagi walau tidak ditanggapi.
Karena tidak mendapat tanggapan Angga merasa perlu menenangkan Lusi hingga wanita itu setidaknya bisa membawa diri; tidak selemah sekarang. Terus ia memijat leher, pundak serta kepala demi mengurangi apa yang dirasakan Lusi saat itu.
“Masih mau muntah lagi?” tanya Angga
memastikan. Lusi menggeleng lemah, lekas tangannya yang tadi sibuk memijat menekan tombol kloset. Selanjutnya tangan Angga menyambar tisu; mengelap mulut Lusi juga bajunya yang terkena muntahan tadi. Tidak ada rasa jijik terlintas, ia mengurus wanita itu sepenuh hati.
Perut Lusi tak terlalu mual seperti tadi mungkin karena tak ada lagi yang bisa dikeluarkan. Dibantu Angga ia mencoba berdiri tapi tiba-tiba tubuhnya lunglai bersamaan dengan matanya yang tertutup. Syukurlah Angga sigap; menahannya seketika itu. Ia angkat tubuh Lusi dan membaringkan ke tempat tidur. Laki-laki itu berlari keluar kamar hanya untuk mengambil ponsel memesan taksi. Kemudian ia mengganti baju Lusi yang kotor terkena cipratan muntahan tadi. Masih sempat juga ia mengambil tali rambut di meja rias, mengikat rambut itu setidaknya agar Lusi tidak terlihat berantakan padahal ia sendiri tidak tahu seperti apa tampilannya; belum tersentuh air sama sekali.
“Aku nggak mau kemana-mana,” Ucap Lusi
lemah.
“Jangan keras kepala!” sahut Angga menegur.
Tidak perlu meminta persetujuan Angga mengangkat tubuh Lusi setelah tadi menndapat chat dari driver. Lusi juga tidak memberontak, bagaimana ia bisa memberontak jika tubuhnya sangat lemah pucat lagi. Akal sehatnya masih berfungsi sedikit, dan paling tidak ia menghargai kepedulian Angga. Dan ia tidak ingin melihat wajah cemas laki-laki itu.
Taksi sudah menunggu di depan lobi apartemen saat Angga sudah mencapai lantai dasar. Angga mempercepat langkah kaki keluar menuju taksi yang sudah menungggu.
“Pak, tolong antar ke rumah sakit atau klinik terdekat!” pintanya gusar. Melihat Lusi yang lemah dari spion depan segera driver itu menjalankan mobil; ia juga dibuat khawatir dengan penumpang yang ia bawa.
Didekapnya tubuh Lusi oleh Angga sambil terus mengusap kepala wanita itu. Tidak hanya Lusi yang terlihat pucat, muka Angga juga tak kalah pucat lantaran cemas, tegang bercampur jadi satu. Ia bahkan belum sempat mencuci muka tadi, entahlah bagaimana tampangnya pagi itu dengan hanya mengenakan kaos lengan pendek, bawahan sarung yang belum sempat ia ganti sehabis sholat subuh.
Tak berselang lama tibalah mereka di sebuah klinik tingkat satu, cepat-cepat Angga menyodorkan uang dan membopong tubuh Lusi keluar dari taksi. Kakinya cepat memasuki klinik menuju ruangan yang diatasnya bertuliskan IGD, dua orang perawat di bagian pendaftaran berlari sambil mendorong ranjang pasien.
Angga menurukan tubuh Lusi ke ranjang perlahan, berikutnya ia menyusul dua perawat itu. Kecemasan tetap terlihat bahkan kian bertambah saja saat banyak pikiran menyerbu otaknya.
“Ya Allah,” gumannya, terlihat lelah.
Angga tak ingin meninggalkan Lusi sendirian, terus saja ia melangkah mengikuti dua perawat tadi hingga memasuki ruang IGD. Hanya sesaat setelah masuk datang seorang dokter laki-laki berkacamata menangani Lusi, ia memeriksa tensi darah, detak jantung
juga memeriksa mata Lusi. Lidah Lusi juga tidak luput ia periksa. Dokter itu meminta Lusi menjulurkan lidahnya, memastikan keluhan apa yang dirasakan pasiennya. Bagian perut juga tak luput diperiksa setelah mengamati lidah Lusi yang terlihat pucat. Dengan menempelkan telapak tangan kanan ke perut sedangkan telapak yang kiri menepuknya guna memastikan keluhan lain.
“Perutnya kosong, asam lambung naik ini,” seru dokter itu.
Angga menjawab cepat “Iya dokter tadi
dia muntah-muntah dan beberapa hari ini tidak nafsu makan; nggak teratur makannya!” Dokter itu hanya manggut-manggut saja mendengarkan keterangan Angga.
"Istri Bapak butuh pemeriksaan lebih karena sepertinya ada gangguan lain, silahkan Bapak urus administrasi dulu!" ucap seorang perawat dengan sopan mengusir Angga dari ruang IGD.
Tidak ada sahutan dari Angga, ia hanya mengangguk saja dan keluar dari sana. Seperti yang diminta tadi lekas ia menyelesaikan administrasi sembari yang di dalam ditangani oleh dokter.
Administrasi selesain Angga menjatuhkan diri di kursi, menyandarkan kepala dan mendongak ke atas. Rehat sejenak tubuh dan pikirannya walau wajah pucat Lusi tak bisa dihilangkan dari ingatannya. Teringat jika ia belum mencuci muka ia pun bangkit, siapa tahu beban yang menumpuk bisa luntur setelah kena cipratan air. Ia berjalan mendekati seorang petugas di meja pendaftaran hanya untuk menanyakan letak
toilet.
"Toilet?!" seru petugas wanita tersebut.
"Iya Mba," sahut Angga.
"Di pintu itu Anda lurus saja, nanti ada tanda panah buat ke toilet! Tidak jauh kok Pak!" ucapnya mengarahkan.
"Terimakasih Mba," ucap Angga sebelum berlalu dari hadapan petugas tersebut.
Mengikuti arahannya Angga berjalan agak cepat khawatir perawat yang menangani Lusi membutuhkan dirinya. Setelah menemukan letak toilet bergegas ia masuk, matanya sigap memperhatikan pintu mana yang terbuka. Syukurlah ada dua pintu di ujung sana yang kosong, Angga menyelinap masuk segera. Tidak lama ia keluar kemudian berjalan ke wastafel untuk mencuci muka sekaligus mengecek bagaimana tampilan dirinya pagi itu.
"Lumayan berantakan," gumannya.
"Sudahlah bukan saatnya memperdulikan penampilan," imbuhnya menegur diri sendiri lalu keluar segera dari toilet.
Ia duduk lagi di kursi tunggu di luar ruangan setelah tadi sempat mengintip ke dalam, ada dua orang juga duduk menunggu dengan muka yang sama seperti dirinya tapi tak
penampilan mereka masih rapi terlihat. Salah satu dari dua orang itu menegur, Angga menyambutnya dengan baik. Mulanya ia bertanya siapa yang ditunggu lalu
berlanjut pada obrolan yang lebih berkembang tapi tidak keluar dari konteks
kesehatan. Setidaknya mengobrol bersama dua orang itu sedikit mengurangi kecemasan
yang ia rasakan sambil menunggu Lusi yang masih mendapat penanganan di dalam sana.
Hingga tak terasa seberapa lama ia menunggu akhirnya seorang perawat memanggil Angga, ia menjelaskan jika Lusi tidak perlu rawat inap namun banyak tugas yang dibebankan pada lelaki itu. Bersama perawat tersebut Angga mendatangi dokter yang menangani Lusi untuk lebih jelasnya. Dokter yang tadi menangani menjelaskan
dengan rinci perihal sakitnya Lusi yang pada intinya disebabkan naiknya hormon kortisol
akibat stres.
“Begini Bapak, istri Bapak ini sedang
dalam kondisi tres, mungkin banyak pikiran atau ada sesuatu yang menggangu pikiran; saya rasa Bapak lebih tahu soal yang itu. Kita cek tadi hormon kortisolnya sangat tinggi bahkan berdampak pada insomnia dan berkurangnya selera makan. Jika dibiarkan ini bisa memicu gangguan lain pada tubuh salah satunya asam lambungnya naik. Saya sarankan untuk menerapkan pola makan yang seimbang antara sayuran, protein dan buah-buahan. Untuk makananan sementara
waktu oatmeal bagus buat asam lambung, insomnia dan juga stress. Buah ceri juga
bagus … oh iya juga teh hijau atau teh herbal bunga chamomile bagus buat menurunkan tingkat stres.” Dokter itu menjelaskan dengan sangat rinci pada Angga. Laki-laki itu merekam semua keterangan dokter di ingatannya.
"Jangan biarkan istri Bapak banyak pikiran ya, sesekali ajak dia berlibur mungkin bisa melonggarkan pikiran dan kepenatan," tuturnya menyarankan.
"Iya Dokter, kalo muntahnya itu disebabkan apa? Tadi pagi sewaktu terbangun dia mual!" tanya Angga, hatinya mencemaskan suatu hal lain datang padahal tadi dokter tersebut sudah menjelaskan panjang lebar.
"Oh itu karena istri Bapak kurang tidur kena insomnia jadi hormon neuroendokrin di dalam tubuhnya tidak seimbang, juga pola makan yang nggak teratur jadi tingkat keasaman di lambung naik!” tuturnya kembali menjelaskan.
“Oh saya pikir ada sebab lain,” ujar Angga. Dokter itu tersenyum, ia mengerti sebab lain yang dimaksud oleh Angga sepenuhnya.
“Tapi jika nanti istri Bapak telat datang bulan kontrol saja ke dokter siapa tahu positif, bisa jadi stresnya itu karena fase awal kehamilan! Ada bumil yang demikian dan terbilang butuh perhatian lebih!" lanjutnya menjelaskan.
Angga cukup kaget dengan apa yang diucapkan, ia menoleh ke Lusi yang masih terbaring lemah di sana. Bagi Angga semoga wanita itu masih tidak bisa mencerna hal-hal
disekitarnya.
"Ini bisa dibawa ke bagian pendaftaran dan minta resep obat ya Pak," tambah dokter itu menyerahkan map putih berisi laporan hasil pemeriksaan.
Angga tidak bertanya lebih lanjut ia menerima map itu dan keluar ruangan menuju meja pendaftaran yang terletak di bagian depan kanan. Angga menyodorkan map di tangan pada salah satu petugas yang di sana.
"Ditunggu bentar ya Pak!" ucap petugas laki-laki itu, mengambil map yang disodorkan dan menyerahkan pada dua petugas yang memakai rompi warna biru muda.
Angga duduk di kursi yang disediakan, ia menatap kedepan tapi pandangannya kosong. Hingga petugas laki-laki yang tadi menyadarkan dirinya dan menyerahkan selembar kertas pada Angga.
"Bapak ini resep obatnya, tolong ditebus dulu di sebelah sana lalu kesini lagi!" ucapnya sambil menunjuk ke sisi depan sebelah kiri.
"Ohh!" seru Angga mengambil secarik kertas itu.
Kembali ia berjalan menuju bagian obat yang berada di sisi kiri depan ruangan yang cukup luas tersebut. Ia melangkah ke loket nomor dua yang kosong, menyerahkan kertas pada
petugas farmasi.
"Tunggu sebentar ya, Pak!" ucap petugas di loket tersebut.
Lumayan ia menunggu meski tadi bilangnya hanya sebentar, setidaknya rasa pegal berdiri mulai terasa. Bahkan Angga menggerakkan kaki hanya untuk mengusir kebosanan juga rasa pegal yang dirasakan.
"Bapak, ini obatnya! Untuk yang ini diminum jika mual kalo tidak mual tidak perlu diminum. Dan yang ini diminum sampai habis soalnya ini vitamin!" Tuturnya menjelaskan sambil menyerahkan sekantong obat termasuk secarik kertas resep yang tadi diserahkan dan juga mendapat satu tambahan yakni selembar nota.
"Terimakasih," ucap Angga.
Selesai menebus obat Angga datang lagi ke meja pendaftaran seperti yang diucapkan petugas tadi padanya. Menyerahkan nota yang diberikan dan menunggu administrasi selesai. Tidak lama map putih yang tadi diberikan oleh dokter diserahkan kembali
termasuk dengan nota yang ia serahkan berada di dalamnya.
'Ini laporan hasil medisnya, berikutnya
Bapak bisa langsung ke kasir untuk menyelesaikan administrasi!" ucapnya
sambil menyerahkan map di tangan.
Angga menyelesaikan segera agar mereka bisa kembali ke apartemen, sebelum menyusul Lusi di ruang IGD Angga lebih dulu memesan taksi. Ia menunggu di luar sampai taksi yang dipesan itu muncul. Untungnya taksi segera datang tidak membutuhkan waktu lama, Angga kembali ke ruang IGD untuk menjemput Lusi. Dua orang perawat memindahkan Lusi ke kursi roda dan mengantarnya hingga ke depan klinik.
"Terimakasih Mba," ucap Angga setelah memindahkan Lusi ke taksi.
Segera mereka kembali ke apartemen, di sana Angga membaringkan Lusi di kursi tidak membawanya ke kamar. Agar tidak bosan Angga menyalakan televise. Ia sendiri masuk ke kamar dan memulai aksinya membersihkan kamar itu, melepas sprei termasuk sarung bantal. Mengambil vacuum
cleaner di samping lemari untuk membersihkan kamar itu termasuk tempat tidur; gorden ia buka lebar agar sinar matahari menghangatkan kamar tersebut.
“Betahnya dia ini hidup tanpa sinar matahari,” guman Angga.
Selesai dengan urusan bersih-bersih Angga menemui Lusi, ia pamit sebentar untuk keluar
berbelanja sekaligus mampir ke laundry membawa baju kotor dan semua yang tadi
ia lepas.
"Mau kemana?!" tanya Lusi lemah.
Angga mengangkat dua kantong plastik
hitam besar, "Mau ke laundry sekalian belanja! Jangan khawatir aku pasti kembali!" jawabnya. Lusi mengangguk melepas Angga, masih sempat ia melempar senyum pula.
Begitu selesai dengan urusan baju kotor Angga bergegas pada tugas selanjutnya yakni
berbelanja. Ia mendatangi sebuah pusat perbelanjaan yang jaraknya tidak terlalu
jauh dari apartemen. Dengan troli besar ia mulai berbelanja ria, rekaman yang dokter terangkan ia putar kembali.
Langkah pertama ia datang pada bagian makanan, disana ia membeli susu, teh herbal dan juga oatmeal instan yang bahannya terdiri dari kacang almon sesuai dengan instruksi dokter. Ia juga membeli makanan lain dan juga minuman.
Dari bagian makanan ia beranjak ke bagian rumah tangga, ia membeli sprei baru untuk dipasang ke tempat tidur Lusi. Teringat tidak banyak perabot dapur Angga juga menambahkan beberapa perabot dapur yang wajib saja ke keranjang belanjaan. Setelah dirasa tidak ada yang tertinggal Angga
mendorong keranjang belanjaan ke kasir dengan cepat. Cukup lama ia di sana
karena harus mengantri terlebih dulu.
Hampir sejam keluar Angga datang dengan langkah sulit membawa barang belanjaan seorang diri. Lusi hendak bangkit membantu laki-laki itu namun ditegur oleh Angga. Ia tidak mengijinkan Lusi bergerak turun apalagi membantu dirinya, saat ia sudah berada
di dekat kursi semua yang ia bawa dijatuhkan dekat meja.
"Kamu shoping?!" sindir Lusi.
"Emm ... Gini ya rasanya shoping,
pas pilih-pilih barang ngabisin uang senangnya tapi pas mikirin tabungan senep
rasanya!" sahut Angga.
Lusi tersenyum lagi, "Nanti aku ganti," ucapnya.
"Ganti pakai apa?! Aku nggak mau kalo uang, aku juga punya!" balas Angga.
Ia mulai memilah barang belanjaan, terlebih dulu ia mengambil dua kantong besar tas entah apa itu isinya namun yang pasti laki-laki itu membawanya ke kamar. Apa itu yang
dibeli? Tentu satu set sprei kasur. Dengan semangatnya Angga memasang sprei yang
ia beli sebelum keluar lagi dengan langkah ringan.
"Apa yang tadi kamu beli?!" tanya Lusi.
"Ada deh nanti kamu juga tahu," jawabnya sambil mengeluarkan beberapa bungkus makanan dari dalam kresek.
Dua botol minuman, buah ceri dan makanan lain ia taruh di meja sedangkan sisanya ia bawa ke dapur; menyimpannya di rak dan kulkas kecil.
“Benar-benar mewakili kemalasannya
memasak,” guman Angga saat menutup kembali kulkas.
Angga tak muncul lagi dari dapur, laki-laki
itu langsung terjun membuatkan makanan seperti yang disarankan dokter. Tadi ia
sudah membeli bahan oetmeal karena dokter menyarankan untuk mengkonsumsinya mengatasi tiga hal yang dialami Lusi; asam
lambung meningkat, susah tidur dan stres.
Ketenangan Angga di dapur terusik. Terdengar bel pintu berbunyi, Angga cukup kaget; penasaran juga karena ia merasa tidak memesan sesuatu online atau yang lainnya.
“Apa kamu Pesan sesuatu?” tanya Angga
berhenti sebentar sebelum membuka pintu.
“Aku nggak pegang hp kok,” jawab Lusi.
“Siapa ya?!” gumannya bingung. Segera ia
berjalan mencapai pintu.
Hal tak pernah diduga oleh Lusi apalagi Angga, saat pintu dibuka oleh laki-laki itu dua orang sudah berdiri di depan pintu. Mereka tak lain Sahat dan ibu Merli, senyum terjalin di wajah keduanya. Angga membalas senyuman itu walau tercengang kaget. Beberapa detik setelah kesadaran kembali Angga mempersilahkan mereka masuk.
"Maaf, nggak ngabari kalo mau berkunjung!" seru Sahat yang sebenarnya cukup kaget manakala Angga yang membuka pintu. Ia tidak menduga jika keduanya tinggal bersama tapi itu hanya dugaan sementara dan cukup beralasan. Untuk sementara waktu Angga tinggal di sana menjaga Lusi hingga wanita itu bisa menjalankan aktivitas seperti biasa; tidak lagi berkabung dengan kesedihan.
Angga tidak menjawab hanya melempar senyum, justru kini ia yang tak nyaman perasaannya. Jelas ia khawatir dua orang tersebut berpendapat buruk terhadapnya. Tidak ada waktu bagi Angga untuk merapikan meja yang penuh makanan, ia tertunduk membiarkan Sahat dan ibu Merli mengambil posisi.
Lusi sama kagetnya dengan Angga, ia berusaha bangun dari posisi tiduran dengan kesulitan. Sigap Angga datang, membantu wanita itu hingga posisi duduk nyaman. Sahat dan Ibu Merli memperhatikan, "Kamu kenapa Nak?!" tanya ibu Merli berhambur ke
Lusi. Kesedihan nampak jelas tergambar di wajahnya melihat kondisi lemah Lusi,
wajahnya yang pucat.
"Kurang enak badan, Tante!" jawab Angga mewakili.
Mata Sahat melirik sebuah map yang tergeletak di meja, membaca sebuah nama Klinik yang tertera disampul. Tangannya segera menyambar map itu; membukanya segera dan membaca catatan hasil pemeriksaan Lusi tadi pagi.
"Pasti ini dampak dari malam itu," batin Sahat.
Ia segera menutup map, meletakkan kembali sebelum disadari oleh Angga dan Lusi. Angga undur diri dari sana sebentar hanya untuk membuatkan minuman untuk mereka berdua. Tidak lama hanya sebentar saja Angga muncul dengan nampan di tangan.
Sejak ia tinggal di sana mengurus Lusi, satu persatu perabotan dapur mulai terisi, yang tadinya nyaris tidak apa-apa kini sudah kelihatan seperti dapur pada umumnya.
"Loh kenapa repot-repot?!" seru ibu Merli.
"Tidak repot kok Tante cuma teh hangat aja," sahutnya sambil meletakkan gelas ke meja.
“Silahkan,” ucapnya lagi.
Angga menghilang lagi ke dapur untuk meletakkan nampan sekaligus minta waktu sebentar pada dua orang itu untuk menyelesaikan makanan yang tadi ia buat. Sahat dan ibu Merli tak terlalu formal orangnya, mereka memperlakukan Angga sebagaimana anggota keluarga.
Sewaktu Angga di dapur Lusi membuka
mulut, "Ma, kita nggak tinggal bersama cuma beberapa hari ini dia jagain aku," ungkapnya. Ia tidak ingin terjadi salah paham, ibu Merli hanya mengangguk.
"Adik, ucapan Papa jangan kamu masukkan ke hati sepenuhnya, Abang sama Mama akan berusaha meyakinkan Papa! Jangan siksa tubuhmu, hiduplah dengan bahagia agar semua ini bisa berlalu!" tutur Sahat.
"Apa yang jadi keinginanku nggak pernah Papa sukai...." ucap Lusi, kembali air mata menetes membasahi pipi tirusnya.
“Papa demikian bukan karena benci sama
Lusi, Papa ingin yang terbaik buat Lusi,” sambung ibu Merli.
“Aku tahu Ma, tapi tida semua yang
ditentukan Papa itu baik buatku,” jawab Lusi.
“Adik, seiring berjalannya waktu Papa pasti merestui kalian!” imbuh Sahat.
“Rasanya itu sulit, buat Papa kebahagian itu terletak pada seberapa banyak meteri yang dimiliki,” sahut Lusi.
“Sayang, itu cuma pendapatmu saja!” ucap ibu Merli.
“Ma, jelas Papa merendahkan Angga
karena itu!” bantah Lusi. Tidak sekedar air mata saja yang tumpah, kini tangisnya juga pecah.
Mendengar isak tangis Lusi, Angga tak tenang hatinya. Segera ia menyelesaikan kesibukan di dapur kemudian mendatangi mereka yang duduk di kursi. Saat Angga hendak mengambil posisi di sebelah Lusi, wanita itu bergerak menjatuhkan diri ke
pelukannya. Tidak peduli lagi terhadap ibunya dan juga kakak laki-lakinya; tangis itu ia tumpahkan.
"Lusi," ucap Angga rendah, mengusap rambut panjang wanita itu.
"Ayolah jangan nangis terus, masalah ini tidak akan terselesaikan hanya dengan menangis," tegur Angga rendah.
“Lusi, aku sudah buatkan kamu makanan!
Gimana kalo diisi dulu perutnya habis itu minum obat,” imbuh Angga merayu.
Syukurlah kali ini Lusi tidak berkeras diri, berangsur isak tangisnya mereda dan melepaskan diri dari pelukan. Lusi menghapus air mata yang membasahi pipinya kemudian bersandar lemah di samping. Berganti ibu Merli yang mendekap putri bungsunya itu sementara Angga bangun dari kursi mengambil makanan yang sudah ia buatkan. Untuk jaga-jaga Lusi merasa mual, ia juga membawa segelas air hangat.
Sahat membantu merapikan meja dengan mengenyampingkan makanan dan minuman diatasnya. Map dari klinik ia letakkan di kursi yang ia duduki. Ibu Merli mengambil
semangkok oatmeal yang dibuat Angga hendak menyuapi putrinya namun Lusi
menolak. Ia lebih nyaman disuapi oleh Angga. Sempat Angga menegur karena ia tidak nyaman pada ibu Merli namun ibu Merli tidak mempermasalahkan. Ia mengalah asal putrinya bersedia mengisi perutnya dan lekas sehat kembali.
Sebelum menyuapi Angga membantu Lusi meneguk air hangat agar perutnya tidak kaget saat diisi makanan. Sahat dan ibu Merli hanya menjadi penonton, sesekali mereka berkomentar meski Lusi menutup rapat mulutnya. Sebaliknya Angga mewakili wanita itu bersuara.
“Kerasa mual nggak?” tanya Angga. Lusi
menggeleng lemah, lanjut Angga menyuapinya dengan lancar tanpa kendala.
Setelah makanan habis Sahat menyerahkan kantong obat yang berada dihadapannya pada Angga. Laki-laki itu membantu Lusi minum obat sebelum beranjak meninggalkan mereka untuk menaruh mangkok serta gelas di dapur.
“Sayang, lekas sembuh … kasihan
cowokmu, harusnya dia kerja malah libur buat jagain kamu,” nasehat ibu Merli.
“Iya Dik, selain mikirin diri sendiri pikirin
juga dia! Pasti dia sekarang belum makan, ngurus kamu dulu!” sambung Sahat.
“Iya….” Jawab Lusi rendah.
Sahat dan ibu Merli masih berlama-lama di sana menemani Lusi sekaligus mengangkrabkan diri dengan Angga. Tidak ada jarak diantara mereka dan itu mengurangi beban pikiran Angga sekarang. Obat yang diminum Lusi mulai bereaksi, agak serng mulut wanit itu menguap menahan kantuk.
“Kayaknya dia ngantuk,” seru Sahat.
Baru Sahat bersuara Lusi yang semakin tak kuasa menahan kantuk meminta Angga membantunya pindah ke kamar. Sahat mengusulkan diri namun lagi-lagi Lusi lebih memilih Angga daripada dirinya.
Sahat melempar senyum kemudian berucap,
“Posisiku sudah tersingkir!.”
Sebenarnya malu juga Angga tapi apalah daya, ia pun mengangkat tubuh Lusi membawanya masuk ke kamar. Sahat dan ibu Merli turut bangun, mengekor di belakang lelaki itu hingga mencapai kamar.
“Cepat sembuh ya, Sayang!” ucap ibu
Merli menciuam pipi Lusi.
Sahat tidak menciumnya hanya mengusap rambut Lusi saja, mereka berdua tetap disana hingga dipastikan Lusi lelap tidurnya. Saat keluar dari kamar mata Sahat tak sengaja menangkap sebuah tas di atas lemari meja. Penasaran ia pun bertanya pada Angga. Malu-malu Angga menjawabnya.
“Itu apa?” tanya Sahat, menunjuk tas.
“Oh itu tas saya,” jawab Angga.
“Tas?!” seru ibu Merli.
“Iya Tante itu tas saya berisi baju,” jawab Angga.
“Ohh….” seru Sahat.
Hampir menjelang siang Sahat dan ibu Merli pamit pulang, itu juga karena panggilan telepon dari pak Salahi. Khawatir suaminya marah jika tidak diangkat ibu Merli menjawabnya, hanya berucap beberapa kata saja sebelum menutup panggilan itu.
"Tante balik ya, ingat jangan dibuat stres persoalan ini! Tante sama Sahat akan berusaha meyakinkannya!" ucap ibu Merli pada Angga.
Angga mengantar kepergian mereka berdua hingga ke lobi bawah apartemen. Sebelum pergi ke tempat parkir ibu Merli memeluk Angga; mengusap punggung laki-laki itu.
"Makasih sudah jagain putri tante, semoga kalian diberi kemudahan!" ucapnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 224 Episodes
Comments
Almeera
kangen naura sama mas hasan 😍😍😍😊
2021-01-10
0
Ibunya Esbelfik
semangaaat anggaaaa💪💪💪💪
2020-12-05
1
Eka Sulistiyowati
next
2020-11-19
1