CAPTER 15
KESUNGGUHAN ANGGA
Setibanya di ruang kerja langkah Angga nampak tergesa-gesa, tak ada sapaan seperti biasa yang ia tunjukkan setiap hari. Lelah otaknya berpikir apalagi hatinya, terlebih desakan kedua orang tua yang meminta Angga tidak bermain-main lagi; sudah saatnya membina rumah tangga. Ia juga tak mau main-main; hatinya serius namun ada banyak hal yang ia pikirkan. Iwan menoleh, terlihat wajah serius atasannya tersebut tak jadilah ia bicara; menatap layar kembali. Edo pun sama, setengah berbisik ia mempertanyakan muka serius Angga. Jawaban Iwan hanya mengangkat kedua pundak, sudah jelas ia juga tak tahu.
Di meja kerja Angga mencoba menghubungi Lusi yang hari ini memiliki janji dengan temannya, ada seseorang yang hendak mengikuti jejaknya berkarir di luar.
"Pagi, ada apa Sayang?!" tanya Lusi. Duduk sendiri di sebuah restoran tempat mereka bertemu.
"Pagi juga Nona Cantik, nanti malam ada janji kah? Atau apa kosong?!" tanya Angga sebaliknya.
"Sejauh ini masih kosong, entah nanti kalo ada rencana dadakan aku nggak tahu!" jawab Lusi.
"Habis dari butik aku langsung ke apartemen mu boleh nggak?" tanya Angga lagi.
"Ya bolehlah, kenapa? Kok kayaknya ada sesuatu yang serius?!" tanya Lusi penasaran.
"Nanti kita bicara lagi, Hati-hati di luar ya, Sayang!" jawab Angga malah mengakhiri panggilan.
"Aneh...." Gumam Lusi, menyimpan kembali ponsel ke dalam tas.
Sambil menunggu temannya datang ia lebih dulu memesan minuman, sambil jarinya sibuk berselancar sesekali pandangannya ia arahkan ke pintu masuk. Tak disangka ia melihat kakaknya yang biasa dipanggil Sahat berjalan memasuki restoran bersama dua orang teman. Lusi melambaikan tangan, memanggilnya juga.
"Kakak!" panggilnya, bangkit dari kursi berhambur pada lelaki berperawakan tinggi tegap.
"Adik!" seru Sahat, menyambut hangat Lusi kepelukan. Bisa dibilang cukup lama bagi mereka tak saling bertemu, hanya melepas rindu melalui sambungan telepon atau sekedar berkomentar di akun sosial masing-masing.
"Sudah bisa cari uang sendiri jadi lupa sama rumah! Kok nggak bilang-bilang kalo pulang?!" sindir Sahat yang hampir kehilangan kontak dengan adik bungsunya di awal Lusi memutuskan berkarir sebagai model.
Lusi hanya melempar senyum, ia menjawabnya juga namun dengan suara rendah, "Kakak ini ... Masih jauh bila
dibandingkan dengan seorang Bankir Investor kayak Kakak...." ia merendah, tak percaya diri.
Sahat memperkenalkan Lusi pada kedua temannya, Lusi menyambut dengan baik menerima uluran tangan mereka berdua. Ia juga mengajak Lusi bergabung bersama namun Lusi menolak dengan halus.
Sebelum kembali ke mejanya sendiri Sahat tak lupa meminta adik bungsunya tersebut untuk pulang sekedar melihat dan memastikan kondisi kedua orang tuanya di rumah.
“Kayaknya lain waktu, soalnya aku ada janji sama seorang teman di sini, Kak!” tolak Lusi.
“Benarkah?” Sahat memastikan.
“Iya, ada temannya teman yang tertarik menjadi model!” jawab Lusi menerangkan.
“Ohh … berkunjunglah ke rumah kalo ada waktu luang! Adela pasti senang, apalagi Mama!” seru Sahat dengan maksud meminta Lusi pulang, bukan memilih menjauh dari keluarga.
“Akan aku pikirkan,” sahut Lusi. Sahat tak memaksa, ia tahu semakin dipaksa adik perempuannya itu akan semain menjauh.
"Anak itu, bertambah jauh aja dari kita ... Andai hubungannya sama Papa baik dia pasti nggak menjauh kayak gini...." Batin sahat bergumam, ada rasa sedih menghampiri. Ingin melihat keluarga mereka berkumpul seperti dulu lagi, hanya ada perselisihan kecil saja.
Seorang teman yang ditunggu Lusi akhirnya datang, bersama seorang wanita muda yang semampai melebihi dirinya. Setelah memesan minuman serta makanan mereka berbincang santai walau temannya serius.
Cukup lama di sana Lusi sebelum kembali pada kesibukan masing-masing, dua orang itu berpisah di depan restoran. Dengan memesan taksi Lusi bertolak ke sebuah tempat spa untuk sekedar menghabiskan waktu.
Hingga lewat dari siang Lusi baru saja keluar dari tempat spa, ia berniat singgah sebentar sekedar berbelanja makanan ringan sebagai teman kesendirian di rumah. Tapi ternyata yang ia beli tak hanya itu, matanya tergiur untuk membeli beberapa kebutuhan pria seperti pewangi badan, rambut dan lainnya.
Baru saja ia masuk ke dalam taksi saat ponselnya berdering, Angga menelfon untuk yang kedua kalinya. Lekas ia menerima panggilan itu.
"Sudah di apartemen?" tanya Angga melalui sambungan telepon.
"Belum, ini habis belanja baru aja masuk taksi … apa kamu sudah makan siang?!" tanya Lusi
"Jam segini nanya makan siang? Kamu belum makan?!" tanya Angga terdengar cemas.
Hanya bergumam saja Lusi menjawabnya, Angga segera mengakhiri panggilan kemudian laki-laki itu memesan makanan untuk kekasih. Ia juga meminta Lusi untuk segera pulang tak mampir kemana-kemana lagi khawatir makanan yang ia pesan sampai lebih dulu.
“Iya ini langsung balik,” ucap Lusi sebelum sambungan diputus.
Sambil menunggu waktu pulang Angga meminta semua tim untuk briefing terlebih dahulu sebelum jam pulang kerja. Biasanya Angga mengadakan briefing sore setelah jam kerja usai namun dikarenakan ia masih memiliki hal lain dan pikirannya tak tenang, ia
memilih memajukan. Angga ingin tahu penjualan dalam dua minggu ini sekaligus melihat bagaimana minat pasar serta kendalanya. Semua karyawan di bagian bisnis online berkumpul tidak kurang dari lima menit setelah pengumuman melalui chat grup.
Ia tampak serius saat membicarakan bisnis yang dipercayakan padanya sembari melihat data mingguan yang sudah dikirim ke email. Setidaknya briefing itu berlangsung selama kurang lebih lima belas menit hingga jam pulang setidaknya kurang dari lima belas menit juga.
"Jika penjualan di pertengahan semester ini naik dua persen aku beri kalian bonus," ucapnya mengakhiri rapat
singkat.
“Untuk jaringan yang sering trouble segera atasi, besok siang harus sudah stabil!” imbuhnya lagi.
Selanjutnya setelah briefing usai ia merapikan meja kerja, melangkah keluar menuju ruang kerja Naura untuk sekedar memberitahu wanita itu lalu turun menunggu di mobil.
Sore itu selepas mengantar Naura pulang Angga segera mengeluarkan motor, ajakan Ilyas dan Andik untuk mampir sejenak sekedar nongkrong di sore hari ia tolak. Nampak Angga buru-buru mengeluarkan motor; menimbulkan rasa penasaran dan tanya diantara dua orang itu, Andik dan Ilyas.
Bukan dua kunyuk jika tak mau mengusiknya, begitu motor Angga tak terlihat lekas mereka memasuki rumah. Masih berdua mereka mengajukan pertanyaan pada Naura yang tak langsung naik ke atas, singgah ke dapur untuk mengambil air putih.
"Mba, mas Angga kok kelihatannya buru-buru gitu?!" tanya Ilyas.
"Kalian ini kok pada kepo, mungkin saja dia masih ada acara lain yang sudah menunggu?!" jawab Naura santai.
Meneguk segelas air putih yang ia pegang, lalu berjalan ke ruang keluarga.
"Iya juga sih...." sahut Andik.
“Tapi mukanya kok serius gitu ya Mba? Apa ada masalah sama mas Angga?” cerca Ilyas, tak puas dengan jawaban yang diberikan.
"Sudahlah mba ke atas dulu, mau nyiram bungaku! Kalian ini kayak cewek aja, suka kepo!" seru Naura, meraih tas di atas meja dan berlalu dari hadapan dua orang yang berdiri tegak di dekat kursi, kecewa dengan hasil introgasi yang tak sesuai keinginan.
Di jalan Angga cukup kencang berkendara tak sabar ia ingin segera sampai di apartemen. Dan setibanya di sana segera kakinya turun setelah mematikan motor, dengan tas ransel yang lebih besar dari hari-hari biasa yang ia pakai langkah kakinya cepat memasuki
lobi apartemen. Sembari menunggu pintu lift terbuka ia menghubungi Lusi.
"Aku masih di jalan bosan soalnya di apartemen terus, apa kamu sudah di sana?!" tanya Lusi.
"Iya ini masih di bawah, lama nggak?!" tanya Angga tak jadi masuk lift. Ia berjalan ke kursi tunggu di dekat meja resepsionis, menjatuhkan diri di sana.
"Langsung ke atas aja, toh aku sudah di jalan!" ujar Lusi.
"Ya sudah aku ke atas, tapi kamu nggak lama kan?!" seru Angga, tak nyaman hatinya main masuk begitu saja sementara sang pemilik masih di luar.
“Iya,” sahut Lusi singkat.
Ia keluar dari pintu lift dengan langkah ragu menuju apartemen Lusi. Jari telunjuknya menekan beberapa nomor sebelum pintu itu terbuka dan ia menyelinap masuk. Angga
meletakkan tas ransel di meja, kemudian duduk dan melepas sepatu yang ia kenakan. Juga melonggarkan dasi yang terasa ketat sebelum rebahan di kursi. Sekedar istirahat sejenak sambil menunggu Lusi datang, pikirnya. Namun lelah dengan pekerjaan membuatnya terpejam bahkan lelap tidur, malah suara langkah kaki Lusi sudah tak terdengar lagi. Melihat Angga tertidur di kursi, wanita itu memperlambat langkah kaki supaya tak menimbulkan suara.
Sebelum masuk kamar Lusi berhenti dulu di dekat kursi, diamatinya Angga sebentar. "Orang ini...." Gumannya, tersenyum sendiri.
Kemudian ia berlalu dari sana, memasuki kamar dan segera membersihkan diri sebelum Angga terjaga lagi. Ia tak berlama-lama di dalam kamar mandi hanya sekitar seperempat jam lamanya lalu keluar dan berganti pakaian.
Lusi keluar dari kamar begitu selesai berganti pakaian tapi tak memoles wajahnya dengan apa-apa. Ia biarkan wajah itu dengan polos sementara rambutnya ia biarkan tergerai.
Tangan kanannya mengguncang pundak Angga pelan, membangunkan laki-laki itu dari
tidur lelapnya mengingat sore sudah semakin senja.
"Jam berapa sekarang?!" tanya Angga sambil berusaha bangkit, kepala masih terasa pusing sehingga ia bersandar ke kursi.
Lusi duduk di samping dirinya, "Entah jam berapa tapi bentar lagi sudah magrib!" jawabnya.
"Sudah mandi sana!" ucapannya lagi menyuruh Angga segera mandi.
"Kepalaku masih agak pusing, habis ini!" sahut Angga, menekan jidat dengan tangan kiri. Lusi memperhatikan.
Kedua kaki Lusi naik ke kursi kemudian ia mengganti posisi duduknya menghadap ke Angga, ia juga menyuruh laki-laki itu untuk berganti posisi membelakangi dirinya. Angga menurut, ia bergeser dan membelakangi Lusi, kedua kakinya juga terangkat.
"Emang kamu bisa pijat?!" tanya Angga tak yakin.
"Bisalah dikit-dikit, kalo cuma buat ngilangin capek!" jawab Lusi mulai memijat kedua pundak Angga.
"Tumben mau datang ke sini sepulang kerja?!" tanya Lusi, ingin tahu.
Angga tak langsung menjawab, tangan kanannya meraih tangan kanan Lusi yang berada di pundak. Seketika firasat datang, dada Lusi berdebar. Gusar memikirkan apa gerangan yang tengah terjadi.
"Lusi, pernikahan seperti apa yang kamu inginkan?!" tanya Angga serius, nada suaranya juga tak seperti tadi.
Lusi tercengang untuk sementara waktu, tangan kirinya juga terhenti. Ia masih berusaha menata perasaan yang bergejolak sebelum memberi jawaban.
"Aku hanya ingin menikah disaksikan kedua orang tuaku," ucapnya.
"Kalo misal kemampuanku hanya pernikahan sederhana, apa kamu akan menolaknya?!" tanya Angga lagi.
"Asal kita bisa menikah sah secara agama dan hukum, juga di hadapan kedua orang tua sekalipun itu sederhana sudah cukup buatku, aku ingin hidup menua bersamamu dengan anak-anak kita nanti! Tak pernah memimpikan hidup yang seperti apa?!" ucap Lusi lagi.
"Terimakasih sudah menyenangkan hatiku, mari kita menikah!" ucap Angga.
Sungguh hati Lusi tak siap mendengar ajakan itu, bukan ia tak ingin menikah tapi masih tak
percaya jika laki-laki itu akhirnya ingin memperjelas status hubungan mereka
sehingga tak perlu diam-diam lagi.
Belum juga ada jawaban dari Lusi, Angga kembali bersuara. Nadanya masih terdengar serius walau suara yang keluar rendah. Laki-laki itu berbalik badan menghadap Lusi yang terdiam, tertegun dengan perasaannya sendiri.
"Habis sholat kita temui kedua orang tuamu, aku ingin meminta restu dari mereka," ucap Angga.
Lusi menatap sendu wajah Angga, nyaris air matanya terjatuh tak kuasa meluapkan rasa bahagianya kini. Ia tetap tak bergeming malah menjatuhkan diri kepelukan Angga. Meneteskan air mata di sana, membasahi kemeja yang dikenakan.
"Kenapa Kamu malah nangis?!" seru Angga. Tangan kirinya mengusap rambut panjang Lusi yang tergerai.
"Aku mencintaimu, apapun nantinya rintangan yang akan dihadapi kita harus tetap bersama!" ucap Lusi, ia sadar tak mudah mendapatkan hati sang ayah yang berwatak keras.
"Ayo lepaskan aku, biar kita nggak kemalaman nanti," ucap Angga rendah.
Dengan berat hati Lusi melepaskan diri; berangsur bangkit dari kursi. Raut wajahnya masih sendu kala melangkah memasuki kamar disusul oleh Angga dengan membawa tas ransel yang ia taruh di meja.
"Aku mau mandi!" seru Angga dari belakang.
Langkah Lusi terhenti, ia membalikkan tubuh menghadap ke Angga yang ikut terhenti langkahnya.
"Mau mandi?!" seru Lusi mengulanginya, Angga mengangguk segera.
"Ohh ... Handuk bersihnya di rak dekat bathtub, yang lain juga tersimpan di sana!" ujar Lusi sambil menunjuk ke kamar mandi.
Angga tak menjawab lagi, ia berjalan sambil menenteng tas ransel di tangan. Baru menyentuh gagang pintu kamar mandi Lusi menghentikannya. Angga menoleh dengan tangan tetap di gagang pintu.
"Ngapain bawa tas?" ucapnya dari dekat pintu kamar.
Angga mengangkat tas yang ia tenteng sambil menunjuk ia bersuara, "Ini baju ganti, Nona Cantik!." Lusi melempar senyum.
Kemudian, ia melangkah mendatangi Angga
yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Suaranya datar saat berucap,
"Kenapa bawa ransel, di dalam sudah ada handuk sama jubah mandi bersih!." Tangan Lusi menyambar tas ransel milik Angga, berlalu dari hadapan laki-laki itu tanpa berucap lagi.
"Loh tasku!" teriak Angga namun tak beranjak; tetap berdiri.
"Sudahlah sana mandi, aku siapkan bajumu!" sahut Lusi.
"Wanita ini," gumam Angga kemudian menghilang di balik pintu kamar mandi.
Di luar Lusi meletakkan tas ransel di atas tempat tidur, mengeluarkan isinya yang tak lain.setelan baju bahkan terdapat celana dalam juga di sana. Mulut Lusi kembung
menahan tawa, ia tetap mengeluarkan semua isi tas termasuk sandal yang terbungkus kresek.
"Orang ini sandal dibungkus kresek?!" gumam Lusi, menaruh kantong kresek di dekat meja rias.
Kembali lagi ia berjalan ke tempat tidur, menggelar celana dan atasan Angga di sana agar tak kusut. Melihat baju itu sudah kusut lantaran ditekuk Lusi bergegas mencari setrika uap yang berada di lemari. Ia juga mengambil dua gantungan dari dalam sana untuk potongan baju tadi.
Dengan semangat ia membawa semuanya ke dekat meja rias, meletakkan di rak troli gantung dan juga mencolokkan kabel setrika. Sambil menyanyi ia mulai menyetrika baju Angga.
Tak berselang lama Angga sudah keluar dari kamar mandi, langkahnya santai saat berjalan keluar namun tiba-tiba terhenti manakala matanya melihat Lusi duduk menyetrika lagi bajunya yang sudah disetrika.
"Kenapa disetrika lagi?" seru Angga setengah memprotes.
Lusi menoleh, ia tak menjawab malah berucap lain melihat laki-laki itu keluar mengenakan jubah mandi warna biru gelap. Sambil senyum-senyum ia bersuara dengan nada datar.
"Wah jujur aku tergoda," ucapnya menatap Angga dari ujung kaki hingga kepala.
"Dasar cewek mesum! Ini baju sudah disetrika sama aku!" semprot Angga.
"Ya aku emang cewek mesum! Lihat ini bajumu lusuh gara-gara ditekuk! Nanti tiap hari aku yang akan menyiapkan
bajumu!" ujar Lusi, terbayang rutinitasnya sebagai seorang istri nantinya.
"Bukan hanya baju yang harus kamu siapkan, urusan perutku juga jadi tanggung jawab mu!" sahut Angga. Ia berdiri di sana menunggu Lusi selesai menyetrika.
"Ngapain ditunggu? Udah sana dandan dulu!" perintah Lusi mengusir Angga yang berdiri mematung.
“Ohh … itu di meja dekat tempat tidur ada perawatan kulit buat cowok, tadi aku nggak sengaja beli!” imbuh Lusi,
teringat akan apa yang ia beli.
“Terimakasih, saat wanita terlihat cantik laki-lakinya juga harus!” seru Angga.
“Tentu, aku paham itu! So nanti biarkan aku yang mengurus tubuhmu!” sahut Lusi.
“Dengan senang hati, Nona Cantik!” balas Angga.
Sekitar sejam kemudian setelah berdandan dan juga sholat keduanya segera berangkat menuju kediaman Lusi. Jaraknya lumayan; setidaknya kurang dari sejam untuk sampai dengan berkendara motor. Dalam perjalanan Angga banyak bertanya mengenai keluarga Lusi, mulai dari ayah, ibu, saudara semua ia tanyakan. Apa yang tidak disukai serta aturan apa yang diterapkan di keluarga juga tak luput dari pertanyaannya.
“Sebentar lagi sampai,” ucap Lusi saat motor melewati portal masuk sebuah perumahan masyarakat menengah atas.
Dada Angga kian gugup manakala motor itu memasuki sebuah bangunan bergaya modern dengan halaman yang lumayan luas. Bangunan rumah itu terdiri dari dua lantai dengan banyak jendela kaca memanjang. Cat rumah luarnya perpaduan warna putih dan ivory sedangkan daun pintu dan jendela warna turquoise.
“Ini rumahmu?” tanya Angga, terdengar gugup.
“Iya, rumah orang tuaku,” sahut Lusi.
Setelah memarkir motor di depan garasi Lusi turun segera, menyerahkan helm ke Angga. Langkah keduanya nampak gugup memasuki rumah terlebih lagi kala memasuki ruang keluarga dimana ibunya sedang duduk santai bersama seorang bocah perempuan.
"Apa itu Adela?!" tanya Angga.
"Iya, keponakan cantikku! Anaknya kak Sahat!" jawab Lusi.
Seusai menjawab pertanyaan Angga ia menyapa ibunya, ibu Merli menoleh; nyaris tak percaya melihat putri bungsunya datang. Adela kecil berlari ke arah mereka sedang ibu Merli terpaku di tempat.
"Tante!" teriaknya.
Lusi berhambur menyambut Adela yang berlari ke arahnya. Ibu Merli bangkit, ia cukup kaget melihat kehadiran Angga. Senyumnya mengembang menyambut laki-laki asing yang dibawa oleh putrinya.
"Tante, ini omnya Adela?" tanya bocah kecil berusia enam tahun itu dengan polos.
Lusi mengangguk, Adela bergerak ke sisi Angga. Dengan sepenuh hati Angga menyambutnya, mengangkat bocah perempuan itu ke gendongan. Tak perlu perkenalan keduanya langsung akrab. Sambil menggendong Adela ia melangkah mengikuti Lusi mendatangi ibu Merli. Lusi memeluk ibunya cukup lama hingga air mata ibu Merli menetes.
“Tante….” seru Angga sekedar memotong suasana haru yang tercipta.
Ia datang mendekat dan mencium tangannya meski Adela tetap tak mau lepas. Ibu Merli memberi sambutan hangat, ia tak sekedar melempar senyum namun juga menyuruh Angga duduk.
“Dela, panggil Papa sama Opa sana! Ada tante bilang gitu!” pinta ibu Merli.
Adela kecil turun segera dari pangkuan Angga, ia berlari ke ruang kerja pak Salahi dan memberitahu kakeknya dengan riang sebelum berlari ke atas menyusul ayah dan ibunya.
Setengah tak percaya pak Salahi bangun dari kursi, langkahnya terlihat agak berat dengan semakin bertambahnya usia walau tubuhnya masih terlihat gagah.
“Papa, sini putri kita datang!” seru ibu Merli, ia bangkit dari kursi berhambur ke suaminya yang tak melempar
senyum.
Hati Angga mulai gundah, sambutan yang ditunjukkan pak Salahi jelas menimbulkan was-was namun ia sudah bertekad. Setidaknya ia sudah mencoba, mengenai hasil biarlah takdir yang menentukan.
Saat pak Salahi mendekati kursi Angga bangkit, kakinya berjalan maju menghampiri pak Salahi. Membungkuk serta mengulurkan kedua tangan untuk menyalami ayah Lusi. Syukurlah tangan itu masih tergerak untuk menyambut uluran tangan Angga kendati raut wajahnya terkesan tak suka.
Sejatinya ibu Merli tak peduli dengan siapa putrinya menjalin hubungan, asal laki-laki itu baik dan bertanggungjawab ia pun bahagia. Ia sering berseberangan dengan sang suami meski pada akhirnya ia diam dan mengikuti saja.
“Papa,” ucap Lusi. Ia ikut bangkit dan memeluk pak Salahi, tak ada sambutan seperti sang ibu namun Lusi tak
memperdulikan. Ia paham betul bagaimana ayahnya.
Tak berselang lama Sahat dan istrinya, Medina muncul bersama Adela yang dengan riangnya mengenalkan Angga pada kedua orang tuanya. Ia menyebut Angga sebagai om ganteng.
Sahat datang dan Angga mengulurkan tangan namun balasan Sahat tak hanya uluran tangan saja, ia memeluk Angga memberi sambutan hangat. Begitu halnya dengan Medina sang istri, ia menyalami Angga dan juga langsung menyapa.
Sejauh ini rintangan nampak dari ayah Lusi seorang sedangkan yang lain tak menambah kegundahan hati. Medina tanpa diminta segera ke dapur dan tak seberapa lama ia datang lagi dengan membawa minuman serta kue kering.
“Medina, tolong siapkan makan malam! Mumpung lagi kumpul kita makan malam bersama!” seru ibu Merli meminta
menantunya menyiapkan makan malam.
Sahat memulai pembicaraan melihat sang ayah hanya diam saja tak berinisiatif bersuara. Mulanya ia menanyakan nama Angga lalu berlanjut bagaimana mereka saling mengenal serta berapa lama hubungan mereka. Ia sama sekali tak menyinggung soal pekerjaan dan juga keluarga Angga.
Sadar jika putra sulungnya tak akan bertanya yang sensitif pak Salahi mulai mengambil alih. Tanpa basa-basi ia bertanya mengenai pendidikan Angga, pekerjaannya serta apa saja yang sudah ia miliki.
“Papa?!” seru Lusi protes. Namun tangan kiri Angga menyentuh tangan Lusi segera, memberinya isyarat agar tak berdebat.
“Maaf, Om … sejujurnya saya belum memiliki apa-apa….” jawab Angga dengan tutur kata sopan. Ia juga tak melihat ke arah pak Salahi, hanya menunduk menatap kedua tangannya yang terjalin. Menyembunyikan rasa gugup serta kepiluan hati. Malu dengan harga dirinya sebagai lelaki yang direndahkan.
“Jadi maksudnya kamu ini mau bersandar ke putri saya?” tanya pak Salahi, mencemooh.
“Saya memahami tanggungjawab seorang lelaki, inshaallah saya tak akan bersandar pada putri Bapak!” sahut Angga. Ia mengubah panggilan yang tadinya paman menjadi bapak, sadar jika pak Salahi tak ingin ia sok akrab dengannya.
“Loh gimana nggak disebut bersandar kalo kamu bilang belum punya apa-apa!” bantah pak Salahi, tak memperdulikan isyarat dari sang istri.
“Setidaknya kamu sudah memiliki rumah untuk tempat tinggal jika kalian menikah, berapa gaji bulanan mu sekarang?” lanjut pak Salahi bertanya tak semestinya. Teguran Sahat dan sang istri sama sekali tak berpengaruh.
Angga tak menjawab, ia diam saja menundukkan wajah. Malu pasti ia rasakan terlebih pak Salahi bertanya di depan putrinya sendiri padahal Lusi tak pernah menyinggung soal berapa besar pendapatan Angga.
“Kedua orang tuamu masih lengkap?” tanya pak Salahi tak henti. Angga mengangguk, mulutnya tak bisa bersuara.
“Apa mereka masih bekerja?” tambahnya. Sahat berusaha menjadi penengah, ia menyela sang ayah namun langsung mendapat teguran.
Setelah kebisuan Angga memberanikan diri bersuara, menjawab apa yang ditanyakan dengan sejujurnya. Tak ada yang ia sembunyikan apalagi mengarang cerita yang tak ada.
“Dulu kedua orang tua saya kerja, mereka bekerja sebagai buruh pabrik tapi sekarang sudah tidak lagi … Ibu menerima catering kecil-kecilan dan bapak saya yang bertugas mengantar. Saya dari keluarga golongan bawah Pak,” ucap Angga datar, mencoba menahan emosi walau dada terasa sesak.
“Ohh!” gumam pak Salahi terkesan merendahkan.
“Kedatangan saya ke sini tak lain meminta restu Bapak sama Ibu untuk saya menikahi Lusi, saya tak ingin main-main dengan hubungan saya!” lanjut Angga. Ia tak ingin lebih lama lagi mengulur, lebih cepat lebih baik tak peduli hasil yang akan dituai.
“Aku hargai kejujuran mu mengenai dirimu serta kesungguhan mu datang ke sini, sebenarnya aku sudah memilihkan seorang calon suami untuknya namun karena kamu sudah datang meminta anakku, aku berikan kamu kesempatan untuk merubah hidupmu terlebih dulu sebelum menikahi anakku. Tapi aku hanya bisa memberimu waktu setahun!” tutur pak Salahi yang sebenarnya menolak. Ia memberi kesempatan yang jelas sulit hanya untuk membuat Angga menyerah.
“Maaf Pak, saya memiliki adik perempuan yang menjadi tanggungjawab saya sekarang! Dia masih di semester dua,” sahut Angga keberatan.
“Oh … aku beri kamu waktu dua tahun, setelah dua tahun kamu bisa memilih anak saya atau adik perempuanmu yang kamu ambil tanggungjawab!” balas pak Salahi.
“Inshaallah saya akan berusaha,” jawab Angga tak ingin berdebat.
Terus pak Salahi memojokkan Angga lewat pertanyaan yang ia keluarkan bahkan ibu Merli dan Sahat tak bisa mengusiknya. Air mata Lusi terjatuh, tak tahan melihat perlakuan sang ayah pada orang yang ia cintai. Di balik isak tangis, suara berat ia berucap, “Apa Papa khawatir aku nggak bisa makan? Atau Papa malu?.”
Angga menoleh, ia tak kuasa hanya diam menyaksikan air mata membasahi pipi Lusi. Diraihnya tangan Lusi; menggenggam erat sambil berucap dengan suara rendah.
“Tolong jangan nangis….” Pintanya.
Tangan Lusi yang bebas bergerak mengusap air mata, ia mencoba menata emosi sebelum kembali bersuara dengan nada berat.
“Mama aku balik,” ucapnya kemudian bangkit. Ibu Merli seketika bangkit, meminta Lusi tetap di sana setidaknya hingga makan malam bersama. Sahat pun demikian, ia mencegah Lusi bahkan meminta Angga untuk menolaknya namun Lusi tak mau. Ia melangkah pergi, tak menoleh lagi.
Pada akhirnya Angga menyalami Sahat, juga ibu Merli yang malah memeluknya. Ia juga mengusap punggung Angga seraya berkata di telinga laki-laki itu, “Maafkan suamiku, maafkan dia.”
Meski jelas pak Salahi tak senang dan tak menghendaki dirinya Angga tetap datang, mengulurkan kedua tangan untuk menciumnya.
“Saya pamit,” ucap Angga tak dijawab.
Ibu Merli dan Sahat mengantar Angga yang sudah ditinggal duluan oleh Lusi. Tepat saat itu Adela berlari dari belakang, memanggil Angga dengan berteriak. Bocah kecil itu langsung datang ke Angga yang menoleh, segera kedua tangan Angga menyambutnya seperti tadi saat kedatangannya di rumah itu.
“Om Ganteng kok buru-buru? Mama lagi masak di dapur!” ungkapnya.
“Maaf om harus lekas balik,” jawab Angga.
“Terus kapan Om ke sini lagi?” tanyanya namun Angga hanya tersenyum.
Sambil menggendong Adela ia melangkah keluar, diantar oleh ibu Merli dan Sahat hingga mencapai depan garasi. Di sana Lusi sudah siap bahkan helm sudah ia kenakan, Angga dengan berat hati menyerahkan Adela ke Sahat.
“Tante, maaf saya balik!” pamit Angga dan mencium tangannya.
Ia juga menyalami Sahat sebelum menghampiri Lusi dan memutar motor meninggalkan kediaman pak Salahi. Air mata ibu Merli tumpah setelah keduanya tak nampak lagi, ia bahkan segera memasuki rumah meninggalkan Sahat.
“Sekalipun kau menolak, setidaknya tunggu sampai mereka makan malam sama kita!” ucapnya kemudian berlalu
meninggalkan pak Salahi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 224 Episodes
Comments
Ibunya Esbelfik
tenang angga.nti juga luluh seperti bapakny veny💪💪💪💪
2020-12-05
1
Eka Sulistiyowati
lnjut
2020-11-19
1
yasa💞❣💞
semangt💪mas angga buktikan sma ayah nya lusi kmu pntas bersanding denga lusi👰💞
2020-11-05
1