Pertemuan kembali

CAPTER 7

PERTEMUAN KEMBALI

Naura tengah mengeluarkan pot bunga big smile saat Ilyas datang menghampiri, tangannya segera mengambil alih pot itu dan membawanya ke tempat biasa bunga itu dipajang. Naura melangkah kembali mengambil botol plastik untuk menyemprot air ke bunga warna kuning cerah tersebut.

“Kok sudah rapi? Mba belum juga ke

dapur! Mau sarapan apa pagi ini?” kata Naura bertanya.

“Nggak usah Mba, ini aku sudah mau berangkat! Masih ada kepentingan dulu sebelum ke kantor!”sahut Ilyas.

“Terus sarapannya?” lanjut Naura.

“Di warung sebelah kantor entar!” kata Ilyas.

“Ohh ya sudah, hati-hati ya jangan ngebut!” seru Naura mengantar Ilyas sampai ujung tangga.

Kembali Naura menyelesaikan pekerjaan rutinnya sebelum turun ke dapur untuk membuat sarapan simpel sebelum berangkat ke butik. Namun baru selangkah mencapai dapur giliran Andik yang mendatangi, “Kok udah rapi juga?” tanyanya melihat Andik sudah berpakaian kemeja warna biru dongker dan celana hitam serta sepatu hitam mengkilap.

“Mba, aku berangkat dulu ya! ada acara

di sekolah!” ungkap Andik.

“Wah jadi mba sarapan sendirian pagi

ini! ok hati-hati di jalan ya!” sahut Naura, ia mengantar Andik sampai di teras

rumah kemudian kembali ke dalam setelah motor merah itu menghilang di balik

pintu pagar.

Karena taka da teman sarapan pagi itu niatnya yang tadi henda menyiapkan sarapan tak jadi. Kakinya berjalan lurus kearah tangga menuju kamarnya di lantai dua. Sempat bingung apa yang akan ia perbuat di pagi itu mengingat jam masih kurang dari angka enam, akhirnya ia duduk termenung sendirian di roof top, menatap bunga big smile dan sesekali dialihkan ke lainnya, mengamati aktivitas warga lain pagi itu.

Matahari mulai merangkak naik, sinarnya terasa hangat menembus kulit wanita itu pun bangkit dari kesendiriannya, melangkah ke dalam dan langsung menuju kamar mandi untuk bersiap diri ke butik. Mau tidak mau Naura juga berangkat lebih awal  ke butik, syukurlah Angga yang masih bujang

selalu siap kapanpun diminta.

Hampir bersamaan dengan Naura yang keluar rumah dari balik pintu pagar motor yang dikendarai Angga masuk. Tak ada jedah baginya untuk menunggu, lekas ia mengambil kunci dari Naura dan mengeluarkan mobil putih itu segera.

"Tumben berangkat pagi Nona? Ada

janji sama orang?" tanya Angga sambil menyetir.

"Itu anak-anak berangkat pagi semua jadinya aku juga keseret pagi!" jawab Naura.

"Ohh ... Sudah sarapan Nona?" tanya Angga khawatir Naura belum sarapan.

"Sudah," jawab Naura singkat. Ya, dia memang sarapan tapi sarapan biskuit dan susu bukan sarapan seperti yang dimaksud Angga.

Setibanya di butik Naura segera turun tak menunggu Angga, ia ingin lekas membenamkan diri pada pekerjaan agar jenuh dan kebosanan hilang segera. Namun baru hendak mendorong pintu ia mendapat panggilan masuk dari Lusi. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu butik menjawab panggilan masuk itu.

“Iya Lus, ada apa nih?” seru Naura, firasat hati mengatakan pastilah wanita itu akan berlibur.

“Ra, aku lagi libur nih sekarang sudah di bandara!” ujar Lusi dengan antusias. Tidak sadar jika Angga berada di dekat

temannya tersebut.

“Tumben ngasih tahunya dadakan? Aku pikir masih dua atau tiga hari lagi kamu baliknya!” tanya Naura lagi.

Angga yang tertinggal di belakang kini mencapai teras butik, ia tak bisa melangkah lagi lantaran terhalang tubuh Naura. Terpaksa ia berdiri tak jauh dari Naura berdiri dan mendengar semua pembicaraan Naura dan Lusi.

Bukannya menjawab Lusi malah tertawa lalu penutup panggilan setelah melewati gerbang

keberangkatan. Sambil bergumam tak jelas Naura menyimpan kembali ponsel ke dalam tas.

Sebenarnya Angga mengetahui namun Lusi tak memberitahu detailnya dan ternyata adalah hari ini.

"Ohh jadi dia mau bikin kejutan!" gumannya tersenyum bahagia.

Saat panggilan sudah berakhir dan Naura lanjut melangkah memasuki butik Angga menyusul di belakang. Tak ada suara yang keluar hanya melangkah saja menuju lantai tiga namun saat pertengahan tangga di lantai dua tiba-tiba langkah Naura terhenti, ia menoleh ke belakang lalu berkata dengan nada santai.

"Kayaknya lita butuh lift deh, biar nggak capek naik ke atas!" ucapnya mengusulkan.

"Saya lebih suka naik tangga Nona! Hitung-hitung olahraga juga, lagian cuma dua tangga!" sahut Angga berpendapat.

"Begitukah?!" seru Naura.

"Iya Nona, baru nanti kalo sampai lima lantai!" balas Angga lagi.

"Ok aku ikuti saran mu!" ucap Naura, lanjut ia melangkah lagi menaiki tangga. Angga juga lanjut mengikuti langkah Naura namun berpisah begitu tiba di lantai tiga.

Sesampainya di ruang kerja masing-masing Angga yang sudah duduk di kursi kerja langsung menyalakan layar PC. Keinginannya untuk memberikan hadiah pada wanita itu tak bisa dibendung lagi, ia sibuk berselancar mencari hadiah yang cocok, disukai tentu membuatnya senang dan sesuai dengan kemampuannya.

“Kok aku malah bingung?!” gumannya.

“Dia suka parfum tapi masak aku kasih dia parfum?!” tambahnya lagi. Semakin berat kepalanya terasa kala mendapati hasil yang ia cari tak ada satu pun yang diminati olehnya.

Angga bangkit dari kursi, melangkah mendatangi Iwan dan Edo yang duduknya bersebelahan. Laki-laki itu berada di belakang keduanya, setelah meletakkan kedua telapak tangannya di bahu Iwan dan Edo ia pun bertanya.

“Menurut kalian hadiah yang disukai wanita namun berbeda maksudnya tak pasaran apa ya?!” tanya Angga, sengaja dengan nada rendah khawatir didengar oleh lainnya terutama karyawan wanita.

“Hadiah itu kan nggak harus berwujud, mungkin ambil opsi lain selain barang Pak!” kata Edo berpendapat.

“Contohnya?” tanya Angga lebih lanjut.

“Berlibur bersama mungkin?!” sahut Iwan.

“Selain itu?” tanya Angga lagi. Ia tahu berlibur sudah termasuk pada list hadiahnya namun untuk saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengajak Lusi berlibur sekaligus mengikat wanita itu pada hubungan yang lebih serius.

“Sesuaikan sama kesukaannya Pak, misal suka pelihara hewan belikan saja! Suka sama tanaman belikan aja tanaman hias!” lanjut Iwan berpendapat.

“Ohh gitu ya!” ucap Angga dan berlalu dari keduanya.

Begitu kembali ke kursi ia duduk termenung, menatap layar PC yang masih menyala. Terus ia memaksa otaknya berputar memikirkan hadiah apa yang bisa diberikan pada sang kekasih.

“Kayaknya aku harus cari tahu dulu apa

saja yang disukainya selain parfum sama liburan masa depan itu,” gumam Angga di hati.

Di tempat lain pada waktu yang hampir bersamaan kesibukan nampak terlihat sedari tadi pagi. Semua kursi sudah ditata dengan rapi di aula pertemuan, meja panjang di depan juga sudah diberi alas meja lengkap dengan kue berjejer rapi di piring yang ditutup dengan penutup saji, minuman botol serta bunga hias.

Anggota rapat juga mulai berdatangan dan mengisi formulir terlebih dulu sebelum diberi buku materi mengenai perubahan Perda terbaru dan memasuki aula rapat. Di ruang kantor pegawai tepatnya di lantai dua bangunan tersebut kebingungan terjadi, pasalnya di hari yang sama ada dua rapat berlangsung di luar yang tidak bisa ditinggalkan sementara orang nomor satu di kantor itu masih dalam masa cuti. Alhasil wakil kepala yang seharusnya mengisi sambutan pada rapat di lantai bawah harus

menggantikan.

Ibu Aini selaku kasubid Umum sibuk mengatur kembali siapa saja yang akan mengisi atau menjadi narasumber pada rapat sosialisasi tersebut. Langkahnya cepat saat memasuki ruang kantor bagian pembukaan dan pelaporan , Ilyas yang sedang sibuk memeriksa laporan pajak dilirik olehnya. Dengan bujuk rayu ibu Aini meminta Ilyas menggantikan pak Tarmidi yang harus mengikuti rapat lain di waktu yang sama.

“Rapatnya jam berapa Bu?!" tanya Ilyas, padahal sudah tahu jam  berapa rapat itu akan berlangsung. Ia tak siap diminta menggantikan  yang sedang mengikuti

rapat di luar sementara kepala sendiri masih cuti.

"Jam delapan Pak! Ayolah Pak hitung-hitung buat latihan bicara di depan umum!" pintanya setengah mendesak.

"Masalahnya yang senior kan ada Bu?!" tolak Ilyas.

"Mereka nggak mau Pak, minta yang golongan muda biar ada penerus katanya! Lagian pak Ilyas kan di Subid Pembukuan

dan Pelaporan! " seru ibu Aini, ia terus mendesak dan merayu Ilyas agar laki-laki itu bersedia.

"Sudah sana maju! Ibu Aini ngasih sambutan kamu yang ngisi materi gantikan pak Tarmidi!" ujar teman seniornya bernama Fadil.

"Lagian pak Johan itu kemana sih?" seru Ilyas masih tak mengiyakan.

"Pak Johan itu gantikan pak Kepala rapat, pak Tarmidi ada rapat lain pagi ini juga!" sahut ibu Aini.

“Kalo ngerti berbenturan kenapa nggak ditunda rapatnya?!” ujar Ilyas masih berusaha menolak.

“Cuma rapat sosialisasi pak Ilyas!” sahut ibu Aini.

Dengan terpaksa Ilyas bersedia, sebelum tangannya ditarik oleh ibu Aini laki-laki itu mengecek kerapian pakaiannya, juga tatanan rambut. Belum juga selesai ibu Aini sudah

menarik tangan Ilyas mengingat waktu hampir mendekati jam delapan dan mc sudah di aula; menyeret turun laki-laki itu ke aula pertemuan di lantai satu.

"Bu, nanti saya ini bicara apa?!" tanya Ilyas, mulai tegang ia.

"Rapatnya kan sosialisasi Perda perubahan tentang pemungutan pajak daerah tahun ini, Pak!" tutur ibu Aini.

"Ohh ... Tapi saya deg-degan Bu! Gimana ini nanti kalo ngomongnya malah nggak karuan?!" sambung Ilyas bertambah tegang.

"Anggap nerangin ke murid sekolah

Pak! Anak santri kan dilatih buat ceramah, anggap ini ceramah, pastinya bisalah!" sahut ibu Aini.

“Ceramah?! Adakah bahasa lain selain itu?!” seru Ilyas, tak nyaman dengan kosakata tersebut.

“Ayolah Pak, jangan ngajak debat!” sahut ibu Aini tak mau membahas yang lain saat situasi bingung seperti itu.

Saat kakinya melangkah masuk melewati pintu aula di bagian kiri depan jantungnya semakin deg-degan, keringat diproduksi massal saat itu juga. Ilyas menundukkan

pandangannya sambil melangkah ke depan ke meja panjang. Ibu Aini yang duduk di

samping dirinya terus menyemangati agar ketegangan berkurang.

Perlahan Ilyas mencoba mengatur dirinya, mula-mula ia mengambil nafas mengeluarkan perlahan kemudian mengangkat kepala. Ponsel yang ia simpan di celana ia keluarkan,

ditaruh di meja. Diam-diam ia menyalakan layar ponsel, membuka Perda terbaru

yang hendak ia sampaikan karena tiba-tiba saja ia tak ingat berapa nomor Perda yang dimaksud. Syukurlah untuk isinya ia masih sedikit mengingat karena sebelumnya ia sudah digodok bagaimana penerapan perda itu nantinya termasuk besaran penghitungan pungutan serta jenis pungutan tambahan.

Rapat dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia raya dan semua anggota rapat berdiri tak terkecuali Ilyas. Peserta rapat itu sendiri tak lain dari instansi pemerintah tingkat kecamatan dan kelurahan, untuk kecamatan yang hadir adalah dari bagian kasi

pemerintahan. Dimana saat itu yang menjabat tak lain adalah pak Hariyono yang sebentar lagi sudah memasuki masa pensiun.

Seseorang dari kursi nomor dua di depan terus memandang Ilyas, ada senyum samar terjalin di wajahnya walau yang dituju tak melihat. Setelah ibu Aini memberikan sambutan kini giliran Ilyas didapuk untuk menyampaikan materi sosialisasi penerapan Perda terbaru mengenai pungutan daerah.

"Aku harus bisa," batinnya menyemangati tak kala ia mengambil speaker yang diserahkan padanya.

Di awal jelas terlihat Ilyas yang tegang namun setelah menyiasati dengan memperkenalkan diri dan menyelipkan candaan ia mulai bisa mengatasi ketegangan. Suaranya juga mulai santai sehingga perbendaharaan kata yang keluar semakin berkembang, mereka anggota rapat yang mendengarkan juga tak jenuh lantaran sesekali Ilyas menyelipkan candaan saat melihat audien mulai tak fokus. Kadang ia juga melempar pertanyaan untuk memancing mereka bersuara.

Di penghujung rapat sebelum berakhir ibu Aini yang kembali menutup rapat malah improvisasi sedikit, memancing suara sorak dengan mengatakan jikalau Ilyas termasuk salah satu staf laki-laki yang masih berstatus bujang. Ia juga malah melebihkan jika laki-laki

itu sedang mencari calon.

"Mungkin Bapak-bapak di sini ada yang tertarik jadikan pak Ilyas mantu saya siap menjembatani!" ujarnya membuat suasana semakin ramai. Ilyas yang menjadi sorotan hanya mampu menebar senyum, senyum yang ia paksaan mengembang dengan muka memerah.

Rapat sudah usai namun seorang bapak yang duduk di urutan kursi nomor dua masih tak beranjak, saat Ilyas bangkit berniat meninggalkan meja ia malah ikut bangkit dari

kursinya. Berjalan ke depan dengan langkah mantap mendatangi Ilyas. Bapak itu juga menyebut nama Ilyas, memanggil. Ilyas memusatkan pandangan, sama halnya

dengan si bapak. Ia sama sekali tak lupa siapa bapak itu.

Tangan Ilyas terangkat dari kedua sisi, menyalami serta menciumnya. Ibu Aini yang sudah beranjak dari meja namun belum melewati pintu dipaksa terhenti, "Wah langsung dapat mertua!" ucapnya menggoda.

"Maaf Bu, saya kenal sama Beliau!" sahut Ilyas, ia tidak ingin menjadi topik utama di kantor.

Untunglah Bapak itu juga turut membenarkan namun ia tak mengungkapkan bagaimana mereka berdua bisa saling mengenal.

Berhubung lama tak berjumpa lagi keduanya seolah masih kurang saja saling menyapa. Ilyas menuntun pak Hariyono keluar dari aula bersama-sama. Di luar aula rapat tepatnya di kursi tamu keduanya lanjut berbincang hingga di penghujung obrolan pak Hariyono meminta nomor kontak Ilyas. Tentu Ilyas tak bisa menolak, ia memberikan nomor kontaknya.

"Kenapa kok cuma sekali main ke rumahnya?"

tanya pak Hariyono.

Ilyas melempar senyum, ia bingung harus bicara apa namun pada akhirnya ia pun memilih jujur dan menceritakan malam itu bagaimana ia bisa mengantar Indah pulang.

"Ohh saya pikir kamu temannya Indah!" seru pak

"Saya hanya kenal saja Pak, soalnya dia temannya istri teman saya!" balas Ilyas.

"Main-main ya ke rumah lagi, Bapak

tunggu!" lanjut pak sebelum ia pamit karena harus kembali ke kantor kecamatan.

Baru saja Ilyas kembali ke ruang kerja saat teringat dirinya memiliki janji dengan Naura dan Andik. Temannya yang bernama Ujang juga  menyeret tangan Ilyas dari belakang, ia sudah menunggu sedari tadi namun tak mampu menyela obrolan mereka berdua tadi di luar aula. Ilyas kaget, kepalanya diputar ke belakang ingin tahu siapa itu.

"Ayo buruan aku sudah ijin kita baliknya agak telat!" ucap Ujang agak terburu-buru.

Dengan satu motor dan itu motor miliknya Ujang mereka berdua berkendara dengan kecepatan lumayan tinggi menuju tempat janjian. Di sana Naura dan Andik sudah datang mungkin kira-kira seperempat jam lamanya mereka menunggu di depan pemasaran.

"Maaf Mba, tiba-tiba disuruh ngisi rapat!" seru Ilyas menyampaikan perihal alasannya.

"Wah calon camat Nih!" celoteh Andik.

"Apa sih!" sahut Ilyas dan menarik kursi.

Seorang petugas segera memberi kursi plastik bagi Ujang yang tidak kebagian kursi. "Silahkan!" ucapnya.

Setelah semuanya memiliki posisi masing-masing Naura mulai mengambil alih, ia mewakili dua orang yang hendak membeli, Ilyas dan Ujang. Sebelumnya mereka berdua selagi menunggu juga keliling lokasi, Andik menunjukkan ketertarikan juga namun ia tak memberi keputusan saat ditanya oleh Naura.

"Begini Mas, ini adik saya berniat mau beli tanah kavling di sini, yang mau saya pastikan apakah harga yang tertera di brosur singkat itu sudah termasuk sertifikat atau harga tanah saja?!" tanya Naura, ia mengawali pembicaraan.

"Belum Mba, namun Anda hanya menambahkan sepuluh juta untuk sertifikatnya. Jadi misalkan tanah yang diambil ukuran tujuh dengan harga enam puluh satu juta enam ratus ribu plus sepuluh

juta jadi total yang dibayar sebesar tujuh satu juta enam ratus ribun rupiah!" tuturnya menjelaskan.

"Ohh ... Lantas berapa lama sertifikat tanahnya akan keluar? Termasuk sama SPPT pajaknya?!" lanjut Naura bertanya.

"Untuk sertifikat sekitar enam puluh hari namun bisa lebih lama tergantung proses di BPN, sementara untuk SPPT akan didapat pada tahun berikutnya penerbitan!" imbuhnya menjelaskan.

"Gimana Yas, kamu ambil yang mana?" tanya Naura ke Ilyas.

Ilyas tak menjawab langsung, sebaliknya ia malah bertanya pada Ujang, menirukan pertanyaan yang diajukan Naura.

"Jang, gimana? Kamu jadi ambil yang ukuran berapa?!" tanyanya, mengalihkan pandangan ke sebelah.

Ujang yang memang sudah mantap dari

kemarin-kemarin langsung memberikan jawaban, "Aku ambil yang ukuran delapan!" ucapnya segera.

"Anggaran kalian buat beli tanah kavling ini berapa?!" tanya Andik tiba-tiba bersuara.

Kembali Ujang langsung memberikan jawaban, tidak seperti Ilyas yang malah menutup rapat mulutnya. Batinnya mengundal dengan pertanyaan yang diberikan Andik.

"Dasar nggak tahu sikon beneran ini anak!" omelnya.

Mengerti jika Ilyas tak nyaman menyebutkan angka tangan Naura langsung mencubit paha Andik supaya mulut bawelnya bisa direm. Namun belum juga sampai mulut Andik kembali berucap, "Anggarannya segitu kenapa nggak ambil yang ukuran sembilan?Setidaknya nanti lahannya lebih luas dan bisa punya halaman yang lebih lebar!" ucapnya ke Ujang.

Naura memalingkan muka, menatap tajam ke Andik. Laki-laki itu segera membungkus mulutnya tak ingin mendapat omelan dari Naura.

Ujang cukup terpengaruh dengan usulan

Andik, ia terdiam beberapa saat lamanya sebelum menggeser tubuhnya mendekat ke

Ilyas. Berbisik ke telinga laki-laki itu, "Kamu pilih yang mana?" tanyanya.

"Entahlah masih mikir, kamu tentukan pilihan dulu!" jawab Ilyas.

Sebenarnya Ujang bukan satu angkatan dengannya ia satu tahun lebih lama bekerja di sana namun mereka lekas akrab. Mungkin karena sama-sama masih bujang dan berada di bagian yang sama di bagian pembukuan dan pelaporan.

Setelah berbisik di telinga Ilyas dan mempertimbangkan keuangan dirinya juga keperluan bulanan laki-laki itu memutuskan untuk mengambil yang ukuran delapan, tidak mengikuti saran dari Andik.

Yang ditunggu sekarang tak lain adalah keputusan Ilyas, ia masih nampak bingung. Namun tiba-tiba Andik bersuara dengan rendah di dekat telinga Ilyas.

"Ambil yang ukuran sembilan Yas, kembaran sama aku!" ucapnya.

Ilyas sontak menoleh, "Benar kamu mau ambil juga?!" tanyanya memastikan.

Tubuh Andik terhuyung ke belakang, menjauh dari sisi Ilyas yang masih mengarahkan pandangannya. Setelah melempar senyum

tipis ia pun menjawab, "Iya, insyallah...." ucapnya rendah.

"Huhh! Insyaallah-nya Kamu itu lebih banyak melesetnya!" sahut Ilyas dengan ritme suara agak meninggi.

Bola mata Naura melirik ke Andik, ia tak bersuara dalam hitungan detik hanya memperhatikan saja membuat Andik tak nyaman.

"Kamu minat? Mau ambil juga?!" cerca Naura. Andik hanya melempar senyum, sambil garuk-garuk kepala ia menjawabnya dengan enteng. Tak ada rasa malu apalagi berkecil hati, "Sebenarnya mau sih Mba, tapi uang tabunganku belum nyampek lima puluh!

Masih dikit...." ucapnya dengan suara melas di penghujung.

Naura tak tahu harus merespon bagaimana, haruskah ia tertawa melihat tampang melas Andik atau ia malah iba dengan tampangnya? Alhasil Naura hanya mampu melempar senyum mengambang.

Batinnya berucap, "Yang satu tabungannya hanya cukup buat beli ukuran tujuh, yang satunya lagi malah nggak cukup sama sekali!." Naura terdiam sesaat, sebelum ia mengangkat kepala kemudian menoleh ke Ilyas dan juga Andik secara bergantian.

Tangannya yang tadi hanya diam pasif di atas tas selempang warna kuning kini bergerak meraih tangan Ilyas dan juga meraih tangan Andik.

"Kalian serahkan sama Mba ya, untuk lebih lanjutnya kita diskusikan di rumah!" ucap Naura membuat keduanya terdiam karena bingung harus berkata apa.

Setelah adegan dramatis seperti serial-serial drama, Naura pun bersuara lagi tapi tidak pada keduanya melainkan lelaki berdasi hitam yang duduk berhadapan.

"Saya ambil dua kavling untuk mereka berdua ... Yang ukuran sembilan!" ucapnya memberi keputusan.

Bukan hanya Ilyas dan Andik yang kaget, Ujang juga kaget mendengar apa yang diucapkan Naura. Malah dalam hatinya ia juga berharap namanya disebut tadi tapi itu mustahil 'aqli.

Naura meminta Ilyas dan Andik mengeluarkan KTP mereka dan diserahkan pada lelaki berdasi hitam tersebut sebagai data untuk pengurusan sertifikat tanah nantinya. Setelah KTP dikembalikan lagi sehabis digandakan Naura kembali bertanya, "Berapa total yang harus saya bayar?!."

Setelah lunas dibayar dan KTP keduanya kembali di tangan mereka semua meninggalkan lokasi. Naura yang memilih menyetir sendiri segera kembali ke butik melanjutkan pekerjaannya.

Terpopuler

Comments

Alfachsan

Alfachsan

waduh... benar2 deh mbk naura.. mbak idaman banget... sekalian aja g usah bayar hutang itung2 hadiah buat 2 kunyuk yg comel🤭🤭🤭

2021-08-12

0

Diva Syach Rony

Diva Syach Rony

Naura meskipun tajir royal gak sombong dermawan

2021-05-26

0

Eka Sulistiyowati

Eka Sulistiyowati

lnjut

2020-11-19

1

lihat semua
Episodes
1 Postingan Andik
2 Hanya lewat sambungan telepon
3 Akhir pekan
4 Menemani makan
5 Masih dikaitkan
6 Rencana masa depan
7 Pertemuan kembali
8 Menjemput
9 Siang menjelang sore
10 Kepedulian Andik
11 Menepati janji
12 Tiba-tiba
13 Kemarahan Andik, cemburukah?
14 Takdir si Bujang
15 Kesungguhan Angga
16 Kencan singkat
17 Kencan dadakan
18 Kedatangan Sahat dan ibu Merli
19 Cemburu
20 Lelah raga
21 Kegundahan hati
22 Permintaan ibu Gufro
23 Sebelum pagi
24 Nyanyian Andik
25 Andik dan Hanis
26 Merasa bersalah
27 Sebuah chat
28 Usaha Hanis
29 Muncul lagi
30 Tak berdaya
31 Kesepakatan baru yang dibuat
32 Kepedulian Angga
33 Jawaban yang diberikan Naura
34 Akhir dari kebungkaman Hanis
35 Kebersamaan yang tak direncanakan
36 Permintaan manja Hasan
37 Akhir dari permainan Boy
38 Tindakan spontan Angga
39 Cara Andik
40 Mengantar ke rumah
41 Sebelum magrib
42 Setelah magrib
43 Tiba-tiba bersikap aneh
44 Kehebohan di lantai empat
45 Dibuat terharu
46 Malam minggu yang tidak dinanti
47 Permintaan Hasan
48 Tawaran Naura
49 Setangkai mawar kuning
50 Mencari keberadaan mawar kuning
51 Mawar kuning kedua
52 Aktivitas rahasia Naura
53 Suara Hasan
54 Nasehat tiga orang
55 Suara Hasan lagi
56 Makan bersama lagi
57 Hadiah untuk menantu
58 Belajar main gitar
59 Senyum bangga pak Malik
60 Membuat cemas semuanya
61 Mie ayam rasa merindu
62 Tidak tenang
63 Berawal dari nasehat, lanjut bergosip
64 Tiang listrik konslet
65 Paket kiriman
66 Pertemuan di malam minggu
67 Di apartemen
68 Tengah malam
69 Sehabis subuh
70 Selembar kertas
71 Di pinggir kolam
72 Undangan pernikahan
73 Pesan dari Andik
74 Menerima tantangan
75 Sebuah keputusan, berakhir
76 Belajar memahami
77 Masih jaga sikap
78 Nyaris saja
79 Permintaan maaf
80 Menyiapkan hadiah
81 Berangkat bersama
82 Menghadiri pernikahan
83 Mengantar
84 Tek terduga
85 Membuka hadiah
86 Malam pertama
87 Mulai lagi akal jahil
88 Bakti Ilyas
89 Mengikuti pertandingan
90 Papan Mading
91 Bukan masalah
92 Teman lama
93 Bahasa Cinta
94 Entah kenapa
95 Bertemu pandang
96 Saat pak Malik bertindak
97 Mengajari suami
98 Beradu argumen
99 Ucapan pak Salahi
100 Saat cinta menyertai malam
101 Kecupan di pagi hari
102 Teguran dari menantu
103 Tujuan pak Malik
104 Menyusun pesan cinta
105 Malu sendiri
106 Mempraktekkan ilmu yang dipelajari
107 Hening sore di lantai dua
108 Sebuah sepatu
109 Demi sebuah hadiah
110 Balasan dari Ilham
111 Yah, melewatkan sarapan
112 Menemani kontrol
113 Bertambah akrab
114 Berlibur juga
115 Hayalan pagi di kamar hotel
116 Om Cowboy
117 Akal-akalan dua wanita
118 Menangkap ikan
119 Lagu untuk Hasan
120 Pak Malik
121 Kesempatan dalam kesempitan
122 Telepon dari bik Siti
123 Penjelasan dokter Fahmi
124 Ucapan Hasan
125 Minta ditemani
126 Kesedihan Ilyas
127 Mood booster
128 Program kehamilan
129 Kesedihan Naura
130 Hari pertama di kampus baru
131 Tradisi kampus
132 Nasi goreng
133 Perbincangan dua orang
134 Ada-ada saja Naura
135 Sikap Hasan
136 Ajakan pak Malik
137 Majlis ilmi
138 Obrolan kaum Hawa
139 Ucapan Hasan
140 Teguran adik sendiri
141 USILNYA NAURA
142 Suasana setelah magrib
143 Salah tingkah
144 Berbalas pesan
145 Kesepakatan yang dibuat
146 Mulai manja
147 Hanya sepuluh menit
148 Sisi lain Naura
149 CERITA NAURA
150 Saat kebersamaan
151 Kumpulan para jomblo
152 Mulai rewel
153 Menyanyikan lagu
154 Di rumah masa kecil
155 Sarapan pagi
156 Opening
157 Oppa-nya kampus
158 Live streaming
159 Kabar duka
160 Berkabung
161 Kedatangan Kyai Fawaid
162 162
163 163
164 164
165 165
166 Menyambut
167 Memancing ikan
168 Setelah sekian lama
169 Mimpi Hasan
170 Laporan dari David
171 Sama sama jatuh sakit
172 Sore di rumah Hanah
173 Takdir
174 Hadiah dibalik rasa kecewa
175 Nasehat Lusi
176 Saat Zadid marah
177 Permintaan Zadid
178 Menjemput belahan jiwa
179 Firasat Ilyas
180 Berita dari 3 kunyuk
181 Sebuah jalan
182 Penemuan besar
183 Upaya si Kembar
184 Email dari aunty Lusi
185 Obrolan Zadid dan Kim
186 Pernikahan Lusi
187 Membiarkan pergi
188 Jawaban Lusi
189 Sama-sama mencari jalan
190 Rencana Naura
191 Akhirnya, mendarat juga
192 Tangis Nada
193 Kejahilan pertama,terus berlanjut
194 Lanjut yang berikutnya
195 Mimpi Zadid
196 Secarik kertas dan permen
197 Menyapa sang ayah
198 Saling berbalas pesan
199 Berlatih basket
200 Kecelakaan
201 Kedatangan Hasan
202 Berbagi makanan
203 Tidak ayah, tidak anak
204 Kesalahpahaman Zadid, tangisan Nada
205 Tetesan embun
206 Kedatangan Naura, kekecewaan Hasan
207 Memilih pergi
208 Bablu si pemancing tawa
209 Sekali tepuk, dua lalat kena
210 Keacuhan pak Malik
211 Menggendong buah hati
212 Bisikan Hasan
213 Perkataan Hasan, runtuhlah hati Naura
214 Lawakan tiga kunyuk, pemersatu keluarga
215 Suara tangis di malam hari
216 Hanya bisa marah
217 Hatsuhinode
218 Pertandingan basket
219 Pelukan Nada
220 Masakan Daddy
221 Kecupan singkat
222 Kencan Daddy and Mom
223 Proposal cinta
224 pengumuman
Episodes

Updated 224 Episodes

1
Postingan Andik
2
Hanya lewat sambungan telepon
3
Akhir pekan
4
Menemani makan
5
Masih dikaitkan
6
Rencana masa depan
7
Pertemuan kembali
8
Menjemput
9
Siang menjelang sore
10
Kepedulian Andik
11
Menepati janji
12
Tiba-tiba
13
Kemarahan Andik, cemburukah?
14
Takdir si Bujang
15
Kesungguhan Angga
16
Kencan singkat
17
Kencan dadakan
18
Kedatangan Sahat dan ibu Merli
19
Cemburu
20
Lelah raga
21
Kegundahan hati
22
Permintaan ibu Gufro
23
Sebelum pagi
24
Nyanyian Andik
25
Andik dan Hanis
26
Merasa bersalah
27
Sebuah chat
28
Usaha Hanis
29
Muncul lagi
30
Tak berdaya
31
Kesepakatan baru yang dibuat
32
Kepedulian Angga
33
Jawaban yang diberikan Naura
34
Akhir dari kebungkaman Hanis
35
Kebersamaan yang tak direncanakan
36
Permintaan manja Hasan
37
Akhir dari permainan Boy
38
Tindakan spontan Angga
39
Cara Andik
40
Mengantar ke rumah
41
Sebelum magrib
42
Setelah magrib
43
Tiba-tiba bersikap aneh
44
Kehebohan di lantai empat
45
Dibuat terharu
46
Malam minggu yang tidak dinanti
47
Permintaan Hasan
48
Tawaran Naura
49
Setangkai mawar kuning
50
Mencari keberadaan mawar kuning
51
Mawar kuning kedua
52
Aktivitas rahasia Naura
53
Suara Hasan
54
Nasehat tiga orang
55
Suara Hasan lagi
56
Makan bersama lagi
57
Hadiah untuk menantu
58
Belajar main gitar
59
Senyum bangga pak Malik
60
Membuat cemas semuanya
61
Mie ayam rasa merindu
62
Tidak tenang
63
Berawal dari nasehat, lanjut bergosip
64
Tiang listrik konslet
65
Paket kiriman
66
Pertemuan di malam minggu
67
Di apartemen
68
Tengah malam
69
Sehabis subuh
70
Selembar kertas
71
Di pinggir kolam
72
Undangan pernikahan
73
Pesan dari Andik
74
Menerima tantangan
75
Sebuah keputusan, berakhir
76
Belajar memahami
77
Masih jaga sikap
78
Nyaris saja
79
Permintaan maaf
80
Menyiapkan hadiah
81
Berangkat bersama
82
Menghadiri pernikahan
83
Mengantar
84
Tek terduga
85
Membuka hadiah
86
Malam pertama
87
Mulai lagi akal jahil
88
Bakti Ilyas
89
Mengikuti pertandingan
90
Papan Mading
91
Bukan masalah
92
Teman lama
93
Bahasa Cinta
94
Entah kenapa
95
Bertemu pandang
96
Saat pak Malik bertindak
97
Mengajari suami
98
Beradu argumen
99
Ucapan pak Salahi
100
Saat cinta menyertai malam
101
Kecupan di pagi hari
102
Teguran dari menantu
103
Tujuan pak Malik
104
Menyusun pesan cinta
105
Malu sendiri
106
Mempraktekkan ilmu yang dipelajari
107
Hening sore di lantai dua
108
Sebuah sepatu
109
Demi sebuah hadiah
110
Balasan dari Ilham
111
Yah, melewatkan sarapan
112
Menemani kontrol
113
Bertambah akrab
114
Berlibur juga
115
Hayalan pagi di kamar hotel
116
Om Cowboy
117
Akal-akalan dua wanita
118
Menangkap ikan
119
Lagu untuk Hasan
120
Pak Malik
121
Kesempatan dalam kesempitan
122
Telepon dari bik Siti
123
Penjelasan dokter Fahmi
124
Ucapan Hasan
125
Minta ditemani
126
Kesedihan Ilyas
127
Mood booster
128
Program kehamilan
129
Kesedihan Naura
130
Hari pertama di kampus baru
131
Tradisi kampus
132
Nasi goreng
133
Perbincangan dua orang
134
Ada-ada saja Naura
135
Sikap Hasan
136
Ajakan pak Malik
137
Majlis ilmi
138
Obrolan kaum Hawa
139
Ucapan Hasan
140
Teguran adik sendiri
141
USILNYA NAURA
142
Suasana setelah magrib
143
Salah tingkah
144
Berbalas pesan
145
Kesepakatan yang dibuat
146
Mulai manja
147
Hanya sepuluh menit
148
Sisi lain Naura
149
CERITA NAURA
150
Saat kebersamaan
151
Kumpulan para jomblo
152
Mulai rewel
153
Menyanyikan lagu
154
Di rumah masa kecil
155
Sarapan pagi
156
Opening
157
Oppa-nya kampus
158
Live streaming
159
Kabar duka
160
Berkabung
161
Kedatangan Kyai Fawaid
162
162
163
163
164
164
165
165
166
Menyambut
167
Memancing ikan
168
Setelah sekian lama
169
Mimpi Hasan
170
Laporan dari David
171
Sama sama jatuh sakit
172
Sore di rumah Hanah
173
Takdir
174
Hadiah dibalik rasa kecewa
175
Nasehat Lusi
176
Saat Zadid marah
177
Permintaan Zadid
178
Menjemput belahan jiwa
179
Firasat Ilyas
180
Berita dari 3 kunyuk
181
Sebuah jalan
182
Penemuan besar
183
Upaya si Kembar
184
Email dari aunty Lusi
185
Obrolan Zadid dan Kim
186
Pernikahan Lusi
187
Membiarkan pergi
188
Jawaban Lusi
189
Sama-sama mencari jalan
190
Rencana Naura
191
Akhirnya, mendarat juga
192
Tangis Nada
193
Kejahilan pertama,terus berlanjut
194
Lanjut yang berikutnya
195
Mimpi Zadid
196
Secarik kertas dan permen
197
Menyapa sang ayah
198
Saling berbalas pesan
199
Berlatih basket
200
Kecelakaan
201
Kedatangan Hasan
202
Berbagi makanan
203
Tidak ayah, tidak anak
204
Kesalahpahaman Zadid, tangisan Nada
205
Tetesan embun
206
Kedatangan Naura, kekecewaan Hasan
207
Memilih pergi
208
Bablu si pemancing tawa
209
Sekali tepuk, dua lalat kena
210
Keacuhan pak Malik
211
Menggendong buah hati
212
Bisikan Hasan
213
Perkataan Hasan, runtuhlah hati Naura
214
Lawakan tiga kunyuk, pemersatu keluarga
215
Suara tangis di malam hari
216
Hanya bisa marah
217
Hatsuhinode
218
Pertandingan basket
219
Pelukan Nada
220
Masakan Daddy
221
Kecupan singkat
222
Kencan Daddy and Mom
223
Proposal cinta
224
pengumuman

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!