CAPTER 7
PERTEMUAN KEMBALI
Naura tengah mengeluarkan pot bunga big smile saat Ilyas datang menghampiri, tangannya segera mengambil alih pot itu dan membawanya ke tempat biasa bunga itu dipajang. Naura melangkah kembali mengambil botol plastik untuk menyemprot air ke bunga warna kuning cerah tersebut.
“Kok sudah rapi? Mba belum juga ke
dapur! Mau sarapan apa pagi ini?” kata Naura bertanya.
“Nggak usah Mba, ini aku sudah mau berangkat! Masih ada kepentingan dulu sebelum ke kantor!”sahut Ilyas.
“Terus sarapannya?” lanjut Naura.
“Di warung sebelah kantor entar!” kata Ilyas.
“Ohh ya sudah, hati-hati ya jangan ngebut!” seru Naura mengantar Ilyas sampai ujung tangga.
Kembali Naura menyelesaikan pekerjaan rutinnya sebelum turun ke dapur untuk membuat sarapan simpel sebelum berangkat ke butik. Namun baru selangkah mencapai dapur giliran Andik yang mendatangi, “Kok udah rapi juga?” tanyanya melihat Andik sudah berpakaian kemeja warna biru dongker dan celana hitam serta sepatu hitam mengkilap.
“Mba, aku berangkat dulu ya! ada acara
di sekolah!” ungkap Andik.
“Wah jadi mba sarapan sendirian pagi
ini! ok hati-hati di jalan ya!” sahut Naura, ia mengantar Andik sampai di teras
rumah kemudian kembali ke dalam setelah motor merah itu menghilang di balik
pintu pagar.
Karena taka da teman sarapan pagi itu niatnya yang tadi henda menyiapkan sarapan tak jadi. Kakinya berjalan lurus kearah tangga menuju kamarnya di lantai dua. Sempat bingung apa yang akan ia perbuat di pagi itu mengingat jam masih kurang dari angka enam, akhirnya ia duduk termenung sendirian di roof top, menatap bunga big smile dan sesekali dialihkan ke lainnya, mengamati aktivitas warga lain pagi itu.
Matahari mulai merangkak naik, sinarnya terasa hangat menembus kulit wanita itu pun bangkit dari kesendiriannya, melangkah ke dalam dan langsung menuju kamar mandi untuk bersiap diri ke butik. Mau tidak mau Naura juga berangkat lebih awal ke butik, syukurlah Angga yang masih bujang
selalu siap kapanpun diminta.
Hampir bersamaan dengan Naura yang keluar rumah dari balik pintu pagar motor yang dikendarai Angga masuk. Tak ada jedah baginya untuk menunggu, lekas ia mengambil kunci dari Naura dan mengeluarkan mobil putih itu segera.
"Tumben berangkat pagi Nona? Ada
janji sama orang?" tanya Angga sambil menyetir.
"Itu anak-anak berangkat pagi semua jadinya aku juga keseret pagi!" jawab Naura.
"Ohh ... Sudah sarapan Nona?" tanya Angga khawatir Naura belum sarapan.
"Sudah," jawab Naura singkat. Ya, dia memang sarapan tapi sarapan biskuit dan susu bukan sarapan seperti yang dimaksud Angga.
Setibanya di butik Naura segera turun tak menunggu Angga, ia ingin lekas membenamkan diri pada pekerjaan agar jenuh dan kebosanan hilang segera. Namun baru hendak mendorong pintu ia mendapat panggilan masuk dari Lusi. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu butik menjawab panggilan masuk itu.
“Iya Lus, ada apa nih?” seru Naura, firasat hati mengatakan pastilah wanita itu akan berlibur.
“Ra, aku lagi libur nih sekarang sudah di bandara!” ujar Lusi dengan antusias. Tidak sadar jika Angga berada di dekat
temannya tersebut.
“Tumben ngasih tahunya dadakan? Aku pikir masih dua atau tiga hari lagi kamu baliknya!” tanya Naura lagi.
Angga yang tertinggal di belakang kini mencapai teras butik, ia tak bisa melangkah lagi lantaran terhalang tubuh Naura. Terpaksa ia berdiri tak jauh dari Naura berdiri dan mendengar semua pembicaraan Naura dan Lusi.
Bukannya menjawab Lusi malah tertawa lalu penutup panggilan setelah melewati gerbang
keberangkatan. Sambil bergumam tak jelas Naura menyimpan kembali ponsel ke dalam tas.
Sebenarnya Angga mengetahui namun Lusi tak memberitahu detailnya dan ternyata adalah hari ini.
"Ohh jadi dia mau bikin kejutan!" gumannya tersenyum bahagia.
Saat panggilan sudah berakhir dan Naura lanjut melangkah memasuki butik Angga menyusul di belakang. Tak ada suara yang keluar hanya melangkah saja menuju lantai tiga namun saat pertengahan tangga di lantai dua tiba-tiba langkah Naura terhenti, ia menoleh ke belakang lalu berkata dengan nada santai.
"Kayaknya lita butuh lift deh, biar nggak capek naik ke atas!" ucapnya mengusulkan.
"Saya lebih suka naik tangga Nona! Hitung-hitung olahraga juga, lagian cuma dua tangga!" sahut Angga berpendapat.
"Begitukah?!" seru Naura.
"Iya Nona, baru nanti kalo sampai lima lantai!" balas Angga lagi.
"Ok aku ikuti saran mu!" ucap Naura, lanjut ia melangkah lagi menaiki tangga. Angga juga lanjut mengikuti langkah Naura namun berpisah begitu tiba di lantai tiga.
Sesampainya di ruang kerja masing-masing Angga yang sudah duduk di kursi kerja langsung menyalakan layar PC. Keinginannya untuk memberikan hadiah pada wanita itu tak bisa dibendung lagi, ia sibuk berselancar mencari hadiah yang cocok, disukai tentu membuatnya senang dan sesuai dengan kemampuannya.
“Kok aku malah bingung?!” gumannya.
“Dia suka parfum tapi masak aku kasih dia parfum?!” tambahnya lagi. Semakin berat kepalanya terasa kala mendapati hasil yang ia cari tak ada satu pun yang diminati olehnya.
Angga bangkit dari kursi, melangkah mendatangi Iwan dan Edo yang duduknya bersebelahan. Laki-laki itu berada di belakang keduanya, setelah meletakkan kedua telapak tangannya di bahu Iwan dan Edo ia pun bertanya.
“Menurut kalian hadiah yang disukai wanita namun berbeda maksudnya tak pasaran apa ya?!” tanya Angga, sengaja dengan nada rendah khawatir didengar oleh lainnya terutama karyawan wanita.
“Hadiah itu kan nggak harus berwujud, mungkin ambil opsi lain selain barang Pak!” kata Edo berpendapat.
“Contohnya?” tanya Angga lebih lanjut.
“Berlibur bersama mungkin?!” sahut Iwan.
“Selain itu?” tanya Angga lagi. Ia tahu berlibur sudah termasuk pada list hadiahnya namun untuk saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengajak Lusi berlibur sekaligus mengikat wanita itu pada hubungan yang lebih serius.
“Sesuaikan sama kesukaannya Pak, misal suka pelihara hewan belikan saja! Suka sama tanaman belikan aja tanaman hias!” lanjut Iwan berpendapat.
“Ohh gitu ya!” ucap Angga dan berlalu dari keduanya.
Begitu kembali ke kursi ia duduk termenung, menatap layar PC yang masih menyala. Terus ia memaksa otaknya berputar memikirkan hadiah apa yang bisa diberikan pada sang kekasih.
“Kayaknya aku harus cari tahu dulu apa
saja yang disukainya selain parfum sama liburan masa depan itu,” gumam Angga di hati.
Di tempat lain pada waktu yang hampir bersamaan kesibukan nampak terlihat sedari tadi pagi. Semua kursi sudah ditata dengan rapi di aula pertemuan, meja panjang di depan juga sudah diberi alas meja lengkap dengan kue berjejer rapi di piring yang ditutup dengan penutup saji, minuman botol serta bunga hias.
Anggota rapat juga mulai berdatangan dan mengisi formulir terlebih dulu sebelum diberi buku materi mengenai perubahan Perda terbaru dan memasuki aula rapat. Di ruang kantor pegawai tepatnya di lantai dua bangunan tersebut kebingungan terjadi, pasalnya di hari yang sama ada dua rapat berlangsung di luar yang tidak bisa ditinggalkan sementara orang nomor satu di kantor itu masih dalam masa cuti. Alhasil wakil kepala yang seharusnya mengisi sambutan pada rapat di lantai bawah harus
menggantikan.
Ibu Aini selaku kasubid Umum sibuk mengatur kembali siapa saja yang akan mengisi atau menjadi narasumber pada rapat sosialisasi tersebut. Langkahnya cepat saat memasuki ruang kantor bagian pembukaan dan pelaporan , Ilyas yang sedang sibuk memeriksa laporan pajak dilirik olehnya. Dengan bujuk rayu ibu Aini meminta Ilyas menggantikan pak Tarmidi yang harus mengikuti rapat lain di waktu yang sama.
“Rapatnya jam berapa Bu?!" tanya Ilyas, padahal sudah tahu jam berapa rapat itu akan berlangsung. Ia tak siap diminta menggantikan yang sedang mengikuti
rapat di luar sementara kepala sendiri masih cuti.
"Jam delapan Pak! Ayolah Pak hitung-hitung buat latihan bicara di depan umum!" pintanya setengah mendesak.
"Masalahnya yang senior kan ada Bu?!" tolak Ilyas.
"Mereka nggak mau Pak, minta yang golongan muda biar ada penerus katanya! Lagian pak Ilyas kan di Subid Pembukuan
dan Pelaporan! " seru ibu Aini, ia terus mendesak dan merayu Ilyas agar laki-laki itu bersedia.
"Sudah sana maju! Ibu Aini ngasih sambutan kamu yang ngisi materi gantikan pak Tarmidi!" ujar teman seniornya bernama Fadil.
"Lagian pak Johan itu kemana sih?" seru Ilyas masih tak mengiyakan.
"Pak Johan itu gantikan pak Kepala rapat, pak Tarmidi ada rapat lain pagi ini juga!" sahut ibu Aini.
“Kalo ngerti berbenturan kenapa nggak ditunda rapatnya?!” ujar Ilyas masih berusaha menolak.
“Cuma rapat sosialisasi pak Ilyas!” sahut ibu Aini.
Dengan terpaksa Ilyas bersedia, sebelum tangannya ditarik oleh ibu Aini laki-laki itu mengecek kerapian pakaiannya, juga tatanan rambut. Belum juga selesai ibu Aini sudah
menarik tangan Ilyas mengingat waktu hampir mendekati jam delapan dan mc sudah di aula; menyeret turun laki-laki itu ke aula pertemuan di lantai satu.
"Bu, nanti saya ini bicara apa?!" tanya Ilyas, mulai tegang ia.
"Rapatnya kan sosialisasi Perda perubahan tentang pemungutan pajak daerah tahun ini, Pak!" tutur ibu Aini.
"Ohh ... Tapi saya deg-degan Bu! Gimana ini nanti kalo ngomongnya malah nggak karuan?!" sambung Ilyas bertambah tegang.
"Anggap nerangin ke murid sekolah
Pak! Anak santri kan dilatih buat ceramah, anggap ini ceramah, pastinya bisalah!" sahut ibu Aini.
“Ceramah?! Adakah bahasa lain selain itu?!” seru Ilyas, tak nyaman dengan kosakata tersebut.
“Ayolah Pak, jangan ngajak debat!” sahut ibu Aini tak mau membahas yang lain saat situasi bingung seperti itu.
Saat kakinya melangkah masuk melewati pintu aula di bagian kiri depan jantungnya semakin deg-degan, keringat diproduksi massal saat itu juga. Ilyas menundukkan
pandangannya sambil melangkah ke depan ke meja panjang. Ibu Aini yang duduk di
samping dirinya terus menyemangati agar ketegangan berkurang.
Perlahan Ilyas mencoba mengatur dirinya, mula-mula ia mengambil nafas mengeluarkan perlahan kemudian mengangkat kepala. Ponsel yang ia simpan di celana ia keluarkan,
ditaruh di meja. Diam-diam ia menyalakan layar ponsel, membuka Perda terbaru
yang hendak ia sampaikan karena tiba-tiba saja ia tak ingat berapa nomor Perda yang dimaksud. Syukurlah untuk isinya ia masih sedikit mengingat karena sebelumnya ia sudah digodok bagaimana penerapan perda itu nantinya termasuk besaran penghitungan pungutan serta jenis pungutan tambahan.
Rapat dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia raya dan semua anggota rapat berdiri tak terkecuali Ilyas. Peserta rapat itu sendiri tak lain dari instansi pemerintah tingkat kecamatan dan kelurahan, untuk kecamatan yang hadir adalah dari bagian kasi
pemerintahan. Dimana saat itu yang menjabat tak lain adalah pak Hariyono yang sebentar lagi sudah memasuki masa pensiun.
Seseorang dari kursi nomor dua di depan terus memandang Ilyas, ada senyum samar terjalin di wajahnya walau yang dituju tak melihat. Setelah ibu Aini memberikan sambutan kini giliran Ilyas didapuk untuk menyampaikan materi sosialisasi penerapan Perda terbaru mengenai pungutan daerah.
"Aku harus bisa," batinnya menyemangati tak kala ia mengambil speaker yang diserahkan padanya.
Di awal jelas terlihat Ilyas yang tegang namun setelah menyiasati dengan memperkenalkan diri dan menyelipkan candaan ia mulai bisa mengatasi ketegangan. Suaranya juga mulai santai sehingga perbendaharaan kata yang keluar semakin berkembang, mereka anggota rapat yang mendengarkan juga tak jenuh lantaran sesekali Ilyas menyelipkan candaan saat melihat audien mulai tak fokus. Kadang ia juga melempar pertanyaan untuk memancing mereka bersuara.
Di penghujung rapat sebelum berakhir ibu Aini yang kembali menutup rapat malah improvisasi sedikit, memancing suara sorak dengan mengatakan jikalau Ilyas termasuk salah satu staf laki-laki yang masih berstatus bujang. Ia juga malah melebihkan jika laki-laki
itu sedang mencari calon.
"Mungkin Bapak-bapak di sini ada yang tertarik jadikan pak Ilyas mantu saya siap menjembatani!" ujarnya membuat suasana semakin ramai. Ilyas yang menjadi sorotan hanya mampu menebar senyum, senyum yang ia paksaan mengembang dengan muka memerah.
Rapat sudah usai namun seorang bapak yang duduk di urutan kursi nomor dua masih tak beranjak, saat Ilyas bangkit berniat meninggalkan meja ia malah ikut bangkit dari
kursinya. Berjalan ke depan dengan langkah mantap mendatangi Ilyas. Bapak itu juga menyebut nama Ilyas, memanggil. Ilyas memusatkan pandangan, sama halnya
dengan si bapak. Ia sama sekali tak lupa siapa bapak itu.
Tangan Ilyas terangkat dari kedua sisi, menyalami serta menciumnya. Ibu Aini yang sudah beranjak dari meja namun belum melewati pintu dipaksa terhenti, "Wah langsung dapat mertua!" ucapnya menggoda.
"Maaf Bu, saya kenal sama Beliau!" sahut Ilyas, ia tidak ingin menjadi topik utama di kantor.
Untunglah Bapak itu juga turut membenarkan namun ia tak mengungkapkan bagaimana mereka berdua bisa saling mengenal.
Berhubung lama tak berjumpa lagi keduanya seolah masih kurang saja saling menyapa. Ilyas menuntun pak Hariyono keluar dari aula bersama-sama. Di luar aula rapat tepatnya di kursi tamu keduanya lanjut berbincang hingga di penghujung obrolan pak Hariyono meminta nomor kontak Ilyas. Tentu Ilyas tak bisa menolak, ia memberikan nomor kontaknya.
"Kenapa kok cuma sekali main ke rumahnya?"
tanya pak Hariyono.
Ilyas melempar senyum, ia bingung harus bicara apa namun pada akhirnya ia pun memilih jujur dan menceritakan malam itu bagaimana ia bisa mengantar Indah pulang.
"Ohh saya pikir kamu temannya Indah!" seru pak
"Saya hanya kenal saja Pak, soalnya dia temannya istri teman saya!" balas Ilyas.
"Main-main ya ke rumah lagi, Bapak
tunggu!" lanjut pak sebelum ia pamit karena harus kembali ke kantor kecamatan.
Baru saja Ilyas kembali ke ruang kerja saat teringat dirinya memiliki janji dengan Naura dan Andik. Temannya yang bernama Ujang juga menyeret tangan Ilyas dari belakang, ia sudah menunggu sedari tadi namun tak mampu menyela obrolan mereka berdua tadi di luar aula. Ilyas kaget, kepalanya diputar ke belakang ingin tahu siapa itu.
"Ayo buruan aku sudah ijin kita baliknya agak telat!" ucap Ujang agak terburu-buru.
Dengan satu motor dan itu motor miliknya Ujang mereka berdua berkendara dengan kecepatan lumayan tinggi menuju tempat janjian. Di sana Naura dan Andik sudah datang mungkin kira-kira seperempat jam lamanya mereka menunggu di depan pemasaran.
"Maaf Mba, tiba-tiba disuruh ngisi rapat!" seru Ilyas menyampaikan perihal alasannya.
"Wah calon camat Nih!" celoteh Andik.
"Apa sih!" sahut Ilyas dan menarik kursi.
Seorang petugas segera memberi kursi plastik bagi Ujang yang tidak kebagian kursi. "Silahkan!" ucapnya.
Setelah semuanya memiliki posisi masing-masing Naura mulai mengambil alih, ia mewakili dua orang yang hendak membeli, Ilyas dan Ujang. Sebelumnya mereka berdua selagi menunggu juga keliling lokasi, Andik menunjukkan ketertarikan juga namun ia tak memberi keputusan saat ditanya oleh Naura.
"Begini Mas, ini adik saya berniat mau beli tanah kavling di sini, yang mau saya pastikan apakah harga yang tertera di brosur singkat itu sudah termasuk sertifikat atau harga tanah saja?!" tanya Naura, ia mengawali pembicaraan.
"Belum Mba, namun Anda hanya menambahkan sepuluh juta untuk sertifikatnya. Jadi misalkan tanah yang diambil ukuran tujuh dengan harga enam puluh satu juta enam ratus ribu plus sepuluh
juta jadi total yang dibayar sebesar tujuh satu juta enam ratus ribun rupiah!" tuturnya menjelaskan.
"Ohh ... Lantas berapa lama sertifikat tanahnya akan keluar? Termasuk sama SPPT pajaknya?!" lanjut Naura bertanya.
"Untuk sertifikat sekitar enam puluh hari namun bisa lebih lama tergantung proses di BPN, sementara untuk SPPT akan didapat pada tahun berikutnya penerbitan!" imbuhnya menjelaskan.
"Gimana Yas, kamu ambil yang mana?" tanya Naura ke Ilyas.
Ilyas tak menjawab langsung, sebaliknya ia malah bertanya pada Ujang, menirukan pertanyaan yang diajukan Naura.
"Jang, gimana? Kamu jadi ambil yang ukuran berapa?!" tanyanya, mengalihkan pandangan ke sebelah.
Ujang yang memang sudah mantap dari
kemarin-kemarin langsung memberikan jawaban, "Aku ambil yang ukuran delapan!" ucapnya segera.
"Anggaran kalian buat beli tanah kavling ini berapa?!" tanya Andik tiba-tiba bersuara.
Kembali Ujang langsung memberikan jawaban, tidak seperti Ilyas yang malah menutup rapat mulutnya. Batinnya mengundal dengan pertanyaan yang diberikan Andik.
"Dasar nggak tahu sikon beneran ini anak!" omelnya.
Mengerti jika Ilyas tak nyaman menyebutkan angka tangan Naura langsung mencubit paha Andik supaya mulut bawelnya bisa direm. Namun belum juga sampai mulut Andik kembali berucap, "Anggarannya segitu kenapa nggak ambil yang ukuran sembilan?Setidaknya nanti lahannya lebih luas dan bisa punya halaman yang lebih lebar!" ucapnya ke Ujang.
Naura memalingkan muka, menatap tajam ke Andik. Laki-laki itu segera membungkus mulutnya tak ingin mendapat omelan dari Naura.
Ujang cukup terpengaruh dengan usulan
Andik, ia terdiam beberapa saat lamanya sebelum menggeser tubuhnya mendekat ke
Ilyas. Berbisik ke telinga laki-laki itu, "Kamu pilih yang mana?" tanyanya.
"Entahlah masih mikir, kamu tentukan pilihan dulu!" jawab Ilyas.
Sebenarnya Ujang bukan satu angkatan dengannya ia satu tahun lebih lama bekerja di sana namun mereka lekas akrab. Mungkin karena sama-sama masih bujang dan berada di bagian yang sama di bagian pembukuan dan pelaporan.
Setelah berbisik di telinga Ilyas dan mempertimbangkan keuangan dirinya juga keperluan bulanan laki-laki itu memutuskan untuk mengambil yang ukuran delapan, tidak mengikuti saran dari Andik.
Yang ditunggu sekarang tak lain adalah keputusan Ilyas, ia masih nampak bingung. Namun tiba-tiba Andik bersuara dengan rendah di dekat telinga Ilyas.
"Ambil yang ukuran sembilan Yas, kembaran sama aku!" ucapnya.
Ilyas sontak menoleh, "Benar kamu mau ambil juga?!" tanyanya memastikan.
Tubuh Andik terhuyung ke belakang, menjauh dari sisi Ilyas yang masih mengarahkan pandangannya. Setelah melempar senyum
tipis ia pun menjawab, "Iya, insyallah...." ucapnya rendah.
"Huhh! Insyaallah-nya Kamu itu lebih banyak melesetnya!" sahut Ilyas dengan ritme suara agak meninggi.
Bola mata Naura melirik ke Andik, ia tak bersuara dalam hitungan detik hanya memperhatikan saja membuat Andik tak nyaman.
"Kamu minat? Mau ambil juga?!" cerca Naura. Andik hanya melempar senyum, sambil garuk-garuk kepala ia menjawabnya dengan enteng. Tak ada rasa malu apalagi berkecil hati, "Sebenarnya mau sih Mba, tapi uang tabunganku belum nyampek lima puluh!
Masih dikit...." ucapnya dengan suara melas di penghujung.
Naura tak tahu harus merespon bagaimana, haruskah ia tertawa melihat tampang melas Andik atau ia malah iba dengan tampangnya? Alhasil Naura hanya mampu melempar senyum mengambang.
Batinnya berucap, "Yang satu tabungannya hanya cukup buat beli ukuran tujuh, yang satunya lagi malah nggak cukup sama sekali!." Naura terdiam sesaat, sebelum ia mengangkat kepala kemudian menoleh ke Ilyas dan juga Andik secara bergantian.
Tangannya yang tadi hanya diam pasif di atas tas selempang warna kuning kini bergerak meraih tangan Ilyas dan juga meraih tangan Andik.
"Kalian serahkan sama Mba ya, untuk lebih lanjutnya kita diskusikan di rumah!" ucap Naura membuat keduanya terdiam karena bingung harus berkata apa.
Setelah adegan dramatis seperti serial-serial drama, Naura pun bersuara lagi tapi tidak pada keduanya melainkan lelaki berdasi hitam yang duduk berhadapan.
"Saya ambil dua kavling untuk mereka berdua ... Yang ukuran sembilan!" ucapnya memberi keputusan.
Bukan hanya Ilyas dan Andik yang kaget, Ujang juga kaget mendengar apa yang diucapkan Naura. Malah dalam hatinya ia juga berharap namanya disebut tadi tapi itu mustahil 'aqli.
Naura meminta Ilyas dan Andik mengeluarkan KTP mereka dan diserahkan pada lelaki berdasi hitam tersebut sebagai data untuk pengurusan sertifikat tanah nantinya. Setelah KTP dikembalikan lagi sehabis digandakan Naura kembali bertanya, "Berapa total yang harus saya bayar?!."
Setelah lunas dibayar dan KTP keduanya kembali di tangan mereka semua meninggalkan lokasi. Naura yang memilih menyetir sendiri segera kembali ke butik melanjutkan pekerjaannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 224 Episodes
Comments
Alfachsan
waduh... benar2 deh mbk naura.. mbak idaman banget... sekalian aja g usah bayar hutang itung2 hadiah buat 2 kunyuk yg comel🤭🤭🤭
2021-08-12
0
Diva Syach Rony
Naura meskipun tajir royal gak sombong dermawan
2021-05-26
0
Eka Sulistiyowati
lnjut
2020-11-19
1