CAPTER 16
KENCAN SINGKAT
Siang itu waktu isoma Ilyas mendapat chat dari Hanis, mereka berdua sebelumnya sudah membuat
kesepakatan yakni Hanis membantu mendekatkan kembali Ilyas dan Indah tetapi ia harus menjemput Hanis tiap sore. Tentu Ilyas setuju, hanya menjemput saja kan?
Apa masalahnya.
Sejak omongan Andik yang menyinggung hati kini Hanis sedikit meningkatkan penampilan, ditambah lagi beberapa hari yang lalu Naura menepati janjinya; mengajak Hanis ke salon dan juga memberinya beberapa tip dalam memadu padankan dress. Alasan terbesar Hanis membantu karena ia ingin membuat Andik terluka saat melihat Ilyas dan Indah menjadi sepasang kekasih. Ia akan bertepuk tangan dan tersenyum lebar merayakan kemenangannya. Sungguh kejam bukan pembalasan dari rasa sakit itu? Tapi sayangnya Hanis tak tahu jika hati Andik sudah tak terkait lagi.
Omongan Andik ia terapkan dengan meminta uang saku tambahan dari ibunya. Ya, walau ia harus beradu argument dan sedikit memberi bumbu lebay agar disetujui. Begitu uang
bulanannya naik Hanis membeli beberapa pakaian yang sudah di list sebelumnya. Jangan dicontoh, ini tidak baik.
Ilyas baru saja keluar dari musholla belakang gedung kantor dan sedang meraih sepatu kala suara notifikasi masuk. Tangan Ilyas tak jadi mengambil sepatu, dirogohnya ponsel dari saku celana dengan perasaan harap-harap cemas.
Senyumnya seketika terjalin sempurna mendapat chat yang berisi nomor kontak Indah, tidak itu saja bahkan Hanis berhasil mendekatinya serta mengajaknya berfoto.
Chat sudah dibaca dan juga dibalas, Hanis langsung membuat panggilan keluar saat itu juga. Sambil berjalan meninggalkan musholla Ilyas mengangkatnya.
"Kak," panggil Hanis.
"Apa?!" sahut Ilyas santai. Berniat menggoda saja.
"Kakak dapat salam dari ibu Indah," ungkapnya girang.
"Salam? Apa salamnya?!" tanya Ilyas, senyum menghiasi wajahnya.
"Nggak ada cuma salam aja!" jawab Hanis lalu tertawa.
"Sial, kamu nelfon aku cuma buat ngomong gini aja? Huh ... Aku pikir...." seru Ilyas tak bersemangat lagi
bahkan hendak menutup panggilan.
"Jangan lesu gitu dong kak! Aku bilang sama ibu Indah nanti sore aku bakal dijemput Kakak lagi!" ungkap Hanis. Hati Ilyas bersemangat lagi, ia bahkan berjanji akan datang lebih awal nanti.
"See you nanti sore ya Kak!" imbuh Hanis menutup panggilan.
Sambil senyum-senyum Ilyas melangkah menaiki tangga, Ujang yang tergesa-gesa menuruni tangga bahkan terhenti langkah kaki saat melihat senyum Ilyas yang kelewat sempurna.
"Kenapa senyum-senyum nih?!" godanya sembari maju mendekat.
"Ah ini adik saya tadi nelfon minta dijemput ke kampusnya nanti sore! Saya pikir nelfon ada apa ternyata cuma
mau bilang gitu!" sahut Ilyas.
"Masak sih?!" goda Ujang.
"Oh iya gimana soal itu? Rumah?" tanya Ujang teringat dengan ajakannya mengajukan pinjaman untuk
membangun rumah.
"Gimana ya?! Aku belum diskusi sama mbak ku!" jawab Ilyas.
"Yah … kamu punya mba kaya, tinggal curhat paling langsung dibangunin!" seru Ujang.
"Ya nggak juga!" sahut Ilyas.
"Ya sudah aku keluar dulu bentar," ujar Ujang kemudian berlalu segera.
Angga lanjut menaiki tangga, berjalan ke ruang kerja dan kembali ke meja kerja. Di sana malah timbul keinginan untuk browsing model rumah. Jemarinya cekatan mengetik kata kunci, saat banyak gambar model terpajang pandangannya hanya fokus pada layar ponsel. Hingga ibu Aini datang menegurnya lantaran melihat Ilyas kelewat fokus, tak toleh-toleh.
"Heh pak Ilyas! Seriusnya?!" goda ibu Aini mengagetkan Ilyas.
Laki-laki itu mendongak saat itu juga, senyum ia paksakan saat menoleh. Ibu Aini berucap, menggoda Angga.
"Lagi chating sama cewek ya Pak?!" godanya.
"Cewek dari mana Bu?! Cewek dari Hongkong?!" sahutnya.
Sambil senyum-senyum
ibu Aini berkata lagi, ia hendak memperkenalkan seseorang pada Ilyas tapi laki-laki itu langsung menolak. Rencana tak berhasil ia pun segera masuk ke ruang kerjanya sendiri sedangkan Ilyas menaruh ponsel lanjut pada pekerjaan.
Sama dengan yang lain, di meja kerja Angga tak bisa fokus. Pikirannya terus teralihkan ke hal lain yang menyita hati dan pikiran. Sepulang dari rumahnya sendiri malam itu Lusi terus menangis, membenamkan mukanya ke bantal hingga terlelap.
Angga kehabisan cara bagiamana menghibur wanita itu, ia bahkan tak mau makan apa-apa minum pun tidak.
Bertambah runtuh hati laki-laki itu namun ia tetap bertahan demi sang kekasih. Dalam hati ia berjanji akan berusaha dan menjadi pemenang.
Ia tak bisa fokus sebelum mendengar suara Lusi, terus ia mencoba menghubungi wanita itu tapi tak ada jawaban. Bangkitlah Angga dari kursi kerja, ia melangkah masuk ruang kerja Naura dimana wanita itu tengah fokus menunduk ke coretan kanvas putih.
“Nona, bisakah saya pulang lebih cepat?!” kata Angga memohon.
Naura menoleh, ia mengamati raut wajah Angga dengan seksama mencari sesuatu yang tersirat lewat nada suaranya tadi. Jelas ia dalam kondisi tidak baik.
“Angga, kamu kenapa?” tanya Naura. Meletakkan pensil begitu saja; memutar kursi kerja menghadap Angga.
“Nggak kenapa-kenapa, Nona! Hanya ada masalah sedikit….” Angga menjawab datar.
“Ok, atasi masalahmu biar tenang hati sama pikiran! Tinggalkan kunci mobil di mejamu ya!” kata Naura. Ia bisa
menangkap sesuatu telah terjadi dan Angga butuh waktu rehat.
“Terimakasih Nona, saya permisi dulu!” sahut Angga.
Lekaslah ia kembali ke meja kerja, merapikan kembali meja itu kemudian keluar secepatnya sambil memesan ojek. Tak ada jedah bagi Angga, setelah mengambil motor di rumah Naura
ia pulang secepatnya ke apartemen. Ini sudah hari kedua ia tinggal di sana,
menemani sekaligus menjaga Lusi.
“Lusi Sayang, bangunlah! Tolong jangan hancurkan hati ini … aku mohon…” Ucap Angga. Mengusap rambut Lusi pelan, menahan air mata agar tak terjatuh.
“Tolong … Setidaknya dengarkan aku, bukankah kamu bilang apapun rintangan yang dihadapi kita harus tetap bersama? Lantas sekarang kamu membiarkan aku berjuang sendiri, gimana aku bisa?!” lanjut Angga. Lusi masih tak memperdulikan dirinya.
Ia mulai putus asa bahkan tangan itu tak mengusap rambut panjang Lusi lagi. Beranjak bangkit Angga, namun sebelum melangkah keluar sekali lagi ia berucap, "Kalo kamu mencintaiku tolonglah bangun, jangan seperti ini!.”
Lusi masih tak bergerak meski suara Angga ia dengar sepenuhnya. Mungkin kini ia merenungkan sikapnya yang secara tak langsung menyiksa Angga juga. Perlahan ia bergerak menuruni kasur, badannya terasa lemah tak bertenaga kala berjuang keluar dari
kamar.
Terlihat Angga duduk menyandarkan kepala ke sandaran kursi, memandang ke atas walau kedua matanya terpejam. Tiba-tiba saja Lusi menjatuhkan diri di samping, membenamkan diri kepelukan Angga dan menangis sejadinya.
“Lusi….” Seru Angga kaget.
“Jangan nangis terus … masalah ini nggak bisa diatasi dengan tangisan saja! Aku mohon berhentilah menangis, Sayang!” pinta Angga. Berangsur tangan Lusi mengusap air mata namun ia tak mau melepaskan diri.
Saat suara tangis itu tak terdengar lagi kembali Angga berucap, “Ayo aku mandikan kamu, aku suka kamu yang cantik dan wangi!.”
“Aku bisa mandi sendiri,” sahutnya.
“Syukurlah kalo gitu, jadi aku tunggu aja di sini! Sana buruan!” ujar Angga.
Sambil menunggu Lusi yang sedang mandi Angga menonton televisi untuk mengusir kebosanan. Tapi niatnya itu malah berbanding terbalik, hanya sebentar menyandarkan kepala ia
sudah terlelap. Bahkan saat Lusi sudah selesai mandi sekaligus berdandan dan
keluar mendatangi dirinya laki-laki itu belum terjaga.
“Ini orang,” gumam Lusi. Tangannya menyambar remot yang tergeletak di rebahan Angga dengan hati-hati. Namun tetap saja membuat Angga terjaga, tangannya sigap menangkap tangan Lusi yang baru saja menyentuh remot.
“Mau matikan televisi,” seru Lusi.
“Maaf aku kaget, aku pikir….” Seru Angga. Ia membetulkan posisi duduknya yang sudah merosot tadi karena terlelap.
“Aku sudah cantik ini!” ujar Lusi kemudian menjatuhkan diri di samping Angga.
“Masak? Coba aku lihat dulu!” sahut Angga.
Kedua tangannya meraih pundak Lusi,
membalik posisi duduk wanita itu hingga menghadap pada dirinya. Ia memperhatikan sungguh-sungguh, mulai dari riasan wajah hingga pakaian yang dikenakan.
“Ok cukup cantik, ayo kita keluar cari makan, aku lapar!” kata Angga.
Kemudian, laki-laki itu menarik Lusi
hingga berdiri dari kursi. Bersama-sama mereka keluar dari apartemen menuju
sebuah restoran setelah keliling menghabiskan waktu.
Lusi dan Angga baru lima menit mungkin yang duduk dan belum memesan makanan saat takdir
mempertemukan mereka kembali dengan pak Salahi dan ibu Merli. Mulanya mereka tidak melihat tapi ibu Merli yang melihat duluan tak kuasa untuk tidak menyapa. Bagaimanapun ia seorang ibu, tentu bahagia melihat putrinya.
Sebelum mendatangi mereka berdua ibu Merli berucap pada suaminya, “Kali ini menurutlah padaku, setidaknya bikin hati ini bahagia sebelum waktu diambil sama yang di Atas.”
Pak Salahi tidak menggubris, saat
tangannya ditarik dan berjalan menghampiri mereka berdua pak Salahi juga tidak menolak. Setidaknya apa yang diucapkan oleh sang istri masih ia dengar.
Angga lekas berdiri, tangannya ringan
kala meraih tangan ibu Merli untuk menyalaminya; begitu juga pada pak Salahi walau ia terkesan memalingkan muka.
“Kebetulan ya! sepertinya kita berjodoh!” seru ibu Merli mencairkan suasana. Angga hanya melempar senyum singkat.
Seorang pelayanan mendatangi mereka,
Angga lebih dulu memberikan daftar menu pada ibu Merli dia dan Lusi berikutnya. Muka Lusi yang tadinya sudah santai kini terlihat tegang lagi, senyumnya juga tertelan.
“Ngapain kalian disini?” tanya pak Salahi kaku.
“Nggak ada cuma mau makan,” jawab Lusi datar.
“Tante ada acara di sini?” sambung Angga melempar pertanyaan pada ibu Merli.
“Ohh nggak ada kita habis keluar tadi terus mampir kesini buat ngisi perut,” jawabnya ramah.
Angga kehilangan bahan pembicaraan jadinya ia hanya tertunduk tida bersuara. Ibu Merli lebih banyak berperan agar
pembicaraan tidak terhenti dan Angga berusaha mengimbangi saja.
“Lusi, kamu ingat om Dion?.” Tiba-tiba pak Salahi bersuara, mengajukan pertanyaan pada putrinya tersebut.
“Om Dion?! Oh … ingat!” seru Lusi sambil mengingat kembali.
“Kenapa sama pak Dion?” tanya ibu Merli ingin tahu.
“Anaknya yang nomor dua, Afandi kini jadi investor muda! Cukup sukses dia … katanya dia masih lajang, papa ketemu sama om Dion sama Afandi beberapa waktu sebelumnya!” kata pak Salahi memiliki maksud tersembunyi.
“Ohh ya syukurlah kalo bocah itu bisa sukses!” sahut ibu Merli, paham maksud dari suaminya.
Agar tidak berlanjut dan merusak
suasana dari bawah meja tangannya mencolek pada pak Salahi, sedikit menekan memberi peringatan. Angga bukannya tidak terpengaruh tapi dia berusaha berkompromi dengan keadaan. Untunglah tidak berlanjut, tertolong lewat kehadiran dua pelayan yang menyajikan makanan di meja.
“Silahkan, selamat menikmati!” ucap salah satu dari pelayan itu sebelum pergi.
“Makasih,” sahut Angga melempar senyum. Bola mata pak Salahi melirik, memperhatikan Angga.
Meski suasana terasa sedikit garing
setidaknya mereka cukup menikmati makanannya. Tidak tahu juga jika memaksakan diri menikmati, hanya mereka berempat yang bisa merasakan.
Mereka berempat tidak langsung bubar,
ibu Merli berjuang menahan Lusi dan Angga agar bisa bersama lebih lama lagi. Namun sikap dan omongan pak Salahi yang mengiris hati tidak sanggup ditahan lagi oleh Lusi, ia terang-terangan meminta Angga segera membayar apa yang mereka makan. Angga yang malang bingung harus bersikap bagaimana, akhirnya ia hanya bisa menuruti perkataan Lusi saja.
Selesai membayar laki-laki itu balik
lagi mendatangi meja dimana Lusi sudah sangat siap untuk bangun dari duduknya yang tidak tenang. Dengan sopan Angga pamit pada keduanya, menyalami tangan mereka. Namun sebelum ia dan Lusi melangkah pergi pak Salahi berucap.
“Keberhasilan itu tidak datang pada orang yang bersantai, harusnya kamu cukup tahu itu!.”
Hati Angga tersentak, ia hanya menjawabnya dengan kata-kata singkat, “Terimakasih, saya akan mengingatnya!.”
Sore yang ditunggu datang juga, setelah melirik ke jam tangan Ilyas merapikan meja kerja secepatnya. Tas ia tinggalkan di meja dan bergegas ke mushola di belakang untuk
menunaikan sholat sehingga di rumah
nanti santai.
Tak begitu lama Ilyas muncul lagi, tas yang ia tinggalkan di kursi disambar segera dan melangkah keluar. Angga pamit pada mereka yang di ruangan itu, yang masih bersiap-siap.
Sebelum menjalankan motor terlebih dulu Ilyas mengirim chat ke Hanis sekedar mengabari jikalau ia
segera meluncur ke sana.
Hanis di kampus tengah menunggu Indah yang belum keluar dari ruang laboratorium. Agak gusar ia menunggu apalagi chat dari Ilyas sudah diterima dan kini menunggu di depan. Sesekali ia melirik ke dalam dari jendela kaca besar hanya memastikan saja. Ingin
memanggil tapi tidak memiliki keberanian.
"Jam berapa ini keluarnya?!" gumam Indah gelisah. Arloji di tangan terus ia intip tak sabar menanti.
Ia turunkan tubuhnya lagi, merosot ke kursi dan bersandar ke dinding tembok. Hanya beberapa detik setelah bokongnya menempel panggilan masuk dari Andik terdengar. Hanis enggan
menjawab, ia malah memutuskan panggilan begitu saja. Untuk kedua kalinya ponsel Hanis berdering namun kali ini bukan dari Andik melainkan dari Ilyas.
"Sabar menunggu ya Kak?!" jawab Hanis kemudian memutuskan sambungan.
Bertambah gusar dirinya, tak henti ia melirik ke dalam tak sabar. Ingin rasanya ia menerobos masuk dan menyeret Indah keluar sangking bosannya ia menunggu.
Setelah seperempat jam menunggu akhirnya Indah keluar juga, sigap tangan Hanis menyambar pergelangan tangan Indah. Menyeret ke samping ke kursi dimana ia menunggu sedari tadi. Setengah berbisik ia berucap rendah, "Ibu, Kakak sudah di depan," seru Hanis dengan semangatnya.
"Loh apa hubungannya sama saya?!" sahut Indah tapi senang hatinya.
"Dia pengen ngobrol sama Ibu!" kata Hanis, berani berbohong. Ilyas tak pernah bilang demikian, jelas itu adalah improvisasinya saja.
"Ngobrol?!" seru Indah, sok jaga imej padahal hatinya tak sabar ingin melihat Ilyas.
"Ibu, saya tunggu di dekat gerbang kampus ya?! Tolong jangan lama-lama!" pinta Hanis, kemudian ia berlalu
dari hadapan Indah.
Langkahnya semakin cepat saat menyusuri halaman kampus khawatir Ilyas sudah tak sabar dan
meninggalkan dirinya. Tangan kanan Hanis terangkat melambai ke Ilyas yang
menunggu di atas motor; berlari ia mencapai Ilyas.
"Kok lama?!" seru Ilyas yang mulai bosan.
"Maaf Kak, nunggu ibu Indah lama keluarnya!" ungkap Hanis.
"Mana sekarang dia?!" tanya Ilyas berubah kalem nada suaranya.
"Tunggu bentar mungkin masih beres-beres mejanya!" jawab Hanis.
Keduanya dengan sabar menunggu kemunculan Indah, sekedar mengusir kebosanan Ilyas menawarkan
Hanis gorengan namun wanita itu menolak. Syukurlah tak berselang lama Indah muncul, kali ini ia mengenakan baju hem warna biru cerah; kerudung motif floral serta celana kain warna cream. Sungguh ia terlihat manis dan Ilyas tak mampu
memalingkan mata.
Hanis berlari ke arahnya, menyeret tangan Indah dan membawa wanita itu mencapai Ilyas tanpa persetujuan. Tak ada sapaan yang keluar hanya berbalas senyum. Kembali Hanis menjadi penggerak, ia dengan lantang berucap.
"Kak, katanya mau ngobrol sama ibu
Indah?!" ucapnya menyentak Ilyas. Laki-laki itu tersipu malu bahkan sempat
menyembunyikan wajahnya ke bawah.
Gemes juga melihat sikap Ilyas yang sekarang, untuk bisa membuat mereka saling bicara tiba-tiba terbersit sebuah ide di kepala Hanis. Tangan kirinya lekas mengeluarkan ponsel, dengan cepat jemari tangan Hanis mengetik; memesan ojek untuk pulang.
Sampai saat itu masih tak ada obrolan yang keluar dari mulut mereka berdua tanpa dipancing serta dikawal oleh Hanis. Hanya sepatah dua patah kata dan itu tak menjurus ke arah obrolan mereka sendiri. Hingga ojek yang dipesan datang Hanis pun melepas keduanya, memberi ruang bagi mereka untuk mengembangkan kata sendiri tanpa panduan.
"Kakak, aku duluan ya! Itu ojeknya sudah datang!" seru Hanis, berlari meninggalkan mereka berdua.
Masih sempat Hanis melambaikan tangan saat ia melewati mereka berdua di pinggir jalan depan kampus. Ilyas malah menoleh mengikuti motor yang kian menjauh; mengabaikan
Indah yang berdiri di dekatnya.
Tak tahan dengan sikap siput Ilyas akhirnya wanita itu bersuara juga, memulai pembicaraan; mengorbankan harga dirinya sebagai wanita. Ilyas tersentak, pandangannya kembali dialihkan pada wanita yang berdiri di dekat motor.
"Oh maaf, Kamu nggak bawa motor?" tanya Ilyas masih kaku dan canggung.
"Aku nggak ada motor," jawab Indah rendah.
"Loh yang itu?!" tanya Ilyas lagi.
"Udah lama nggak ada, rusak!" jawab Indah lagi.
"Ohh...." seru Ilyas.
Kebisuan kembali tercipta, Ilyas tak
memiliki koleksi kata-kata di otaknya
sebagai obrolan. Hingga lagi-lagi Indah yang memulai, "Kamu nggak mau
balik?!" tanya wanita itu, mungkin memiliki makna lain.
Syukurlah Ilyas tanggap, laki-laki itu dengan ragu menawarkan tumpangan. Tentu Indah tak akan menolak tapi tak mungkin juga jika langsung menerima tawaran itu. Setidaknya ia harus jual mahal sedikit, meninggikan harga dirinya yang sudah bersedia memulai
pembicaraan.
"Emang Kamu nggak keberatan? Entar kemalaman nyampek rumah!" seru Indah berputar-putar. Ia berharap Ilyas tak menyerah sehingga tak jadi menawari dirinya tumpangan.
"Ya nggaklah!" jawab Ilyas singkat.
Indah tak menyahut lagi, polosnya Ilyas malah ikutan tak bersuara. Bukankah seharusnya ia mengambil kesempatan? Mungkin langsung mengulurkan helm? Hati Indah dongkol dibuatnya, wanita itu mulai patah arang menunggu mulut laki-laki itu bersuara. Wajahnya yang tadi cerah tersembunyi kini mendung mendatangi. Lemas uratnya berdiri menunggu, ia pun pada akhirnya berucap.
"Kalo mau balik duluan nggak apa-apa, silahkan aja!" ujar Indah agak datar suaranya.
"Gimana ... Gimana kalo pulangnya bareng?!" seru Ilyas memberanikan diri.
"Huh dari tadi gitu napa sih?!" gumam batin Indah.
Indah memperlihatkan lesung pipinya, melempar senyum sebelum menjawab dengan nada rendah menerima
ajakan Ilyas. Berikutnya Ilyas turun dari motor, mengambil helm di jok dan
menyerahkan pada Indah segera.
Dengan rela Indah naik ke boncengan walau jarak masih tercipta setelah lebih dulu memasang helm. Tangan kanan Ilyas mulai menarik setir, menjalan motor ke bahu jalan membaur
dengan kendaraan lain. Sengaja ia membawa laju motor lebih lambat agar
kebersamaan itu tak lekas usai.
Entah darimana datangnya keberanian tiba-tiba mulut Ilyas bersuara, mengajukan sesuatu yang bahkan dirinya saja tersentak apalagi Indah tak perlu diragukan lagi.
"Kalo aku ajak kamu keluar bentar mau nggak?!" tanyanya.
"Keluar?!" seru Indah yang tak percaya dengan apa yang ia dengar.
Ilyas menjadi gugup, bingung hendak merespon bagaimana karena tawaran itu keluar begitu saja dari mulutnya yang tak bertulang. Jedah terjadi dalam hitungan detik sebelum akhirnya Ilyas mengikuti alur takdir, juga tak mungkin ia membatalkan ucapannya dan membuang kesempatan yang diberikan Tuhan.
"Iya, mungkin minum atau jalan-jalan di mall!" sahut Ilyas setelah melalui pergulatan batin.
"Aku ... Terserah kamu, keluar iya langsung balik iya!" ucap Indah memberi lampu hijau.
"Jam berapa sekarang?" tanya Ilyas malah melenceng dari yang tadi.
Diliriknya jam di tangan oleh Indah sebentar, kemudian ia menjawab pertanyaan Ilyas barusan. "Sudah hampir jam lima!."
"Ohh ... Kamu ada ide nggak kita jalan kemana?" tanya Ilyas lagi. Indah di belakang menahan tawa mendapati
pertanyaan polos Ilyas.
"Emm ... Nonton? Tapi itu kelamaan ... Cuci mata aja di mall sekalian nongkrong!" kata Indah memberi saran.
"Ok, tapi kita sholat dulu udah mau magrib!" seru Ilyas.
"Kan bisa sholat di sana," sahut Indah. Ilyas malu sendiri menyadari kebodohan dirinya yang seperti katak
dalam tempurung.
“Iya juga,” ucapnya. Dengan santai Ilyas berkendara, menikmati indahnya senja. Obrolan santai dan hangat tercipta
pada akhirnya hingga tak nampak lagi kecanggungan diantara mereka berdua.
Tibalah mereka di sebuah tempat di dekat alun-alun kota, pasar seni.
Kebetulan juga saat itu tengah berlangsung pertunjukan musik dan juga workshop.
"Kok malah kesini? tadinya aku pikir bakal ke mall!" seru Indah saat tempat tujuan ternyata bukan yang ia tebak.
Ilyas tersenyum, "Iya baru ingat tadi di jalan!" sahutnya.
"kenapa? nggak suka?!" lanjut ia bertanya.
"Nggak juga! bahkan aku suka yang berbau alam gini!" sahut Indah.
Setelah memarkir motor Ilyas bersama Indah berkeliling sambil cuci mata melihat stan – stan yang memamerkan berbagai macam kerajinan. Indah nampak antusias, tergerak hati Ilyas untuk membelikannya sesuatu.
“Kalo kamu suka ambil aja, aku bayarin!” seru Ilyas kala Indah memegang perhiasan dari kerajinan tempurung
kelapa.
“Kita kan cuma lihat-lihat aja, oh kayaknya sudah magrib!” sahut Indah. Nampak ia masih malu-malu apalagi menerima tawaran barusan.
Keduanya berlalu dari stan kerajinan,
berjalan mengikuti jalan paving sambil mencari keberadaan tempat sholat.
Kebingungan tidak menemukan apa yang dicari Ilyas menghampiri seorang
bapak-bapak berseragam satpol pp menanyakan toilet dan juga tempat sholat.
“Kalo toilet di depan pojok kanan tapi kalo tempat sholat kayaknya saya nggak ngelihat disini! Mungkin masnya bisa nyebrang jalan ke masjid raya dekat alun-alun!” ucapnya menjelaskan sekaligus menyarankan.
“Makasih Pak!” ucap Ilyas.
Bergegas ia kembali ke Indah yang
berdiri tak jauh dari sana, langsung ia mengajak Indah meninggalkan pasar seni sementara untuk menunaikan sholat dulu sebelum nantinya nyaman menghabiskan waktu. Langkah keduanya agak cepat mengingat masjid raya yang dimaksud berada di depan alun-alun dan mereka harus memutar jalan setelah menyebrang.
“Nanti kalo selesai duluan tunggu aku di sana ya!” kata Ilyas sambil menunjuk pelataran masjid.
“Oh iya!” jawab Indah.
Keduanya berpencar menuju tempat khusus masing-masing. Lumayan ramai kala itu mungkin karena bersamaan waktu sholat berjamaah dan juga pengunjung pasar seni yang rehat sejenak demi melaksanan
kewajiban.
Setelah agak lama mengantri akhirnya
Ilyas keluar dari toilet, melangkah cepat ia memasuki masjid dan mengambil saf namun ketinggalan sholat berjamaah. Untuk bisa sholat berjamaah walau ia harus menjadi makmum masbuk Ilyas menepuk sekali saja pundak seseorang di depannya yang sedang mengerjakan sholat dan dalam posisi ruku’. Lalu dia mengambil posisi tegak, mengangkat kedua tangan untuk takbiratul ihram; langsung Ilyas mengikuti gerakan yang di depan, yakni bersujud. Begitu orang tersebut menguluk salam yang pertama bangkitlah Ilyas untuk menyempurnakan salatnya.
Seperti tadi yang dikatakan Ilyas
sebelum mereka berpencar Indah yang lebih dulu selesai sholat melangkah keluar, duduk di pelataran masjid menunggu. Tak berselang lama muncul Ilyas dan berjalan ke arahnya, Indah bangun segera menghampiri.
“Ayo kita cari makan!” ucap Ilyas.
Tidak ada adegan gandengan tangan
diantara kedua orang itu, mereka hanya berjalan berdampingan dan masih menjaga jarak pula. Obrolan santai tercipta diantara keduanya meski masih terlihat malu-malu, tidak seperti Andik yang bawaannya memang liar.
Kembali mereka berkeliling di pasar
seni sekaligus mencari makan, mereka mendatangi stan makanan lebih dulu sebelum melihat yang lainnya.
“Mau makan apa?!” tanya Ilyas sambil mengamati setiap stan makanan.
Indah tidak langsung menjawab, ia masih mengamati deretan stan makanan sebelum menentukan pilihan pada stan bakso.
“Gimana kalo makan bakso?!” tawarnya.
“Bakso?! Ayo boleh juga!” sahut Ilyas.
Setelah memesan dua bakso keju Ilyas
dan Indah duduk berhadapan meski pandangan mereka masihlah canggung dan sering menunduk atau sekedar memalingkan muka. Tidak cukup percaya diri untuk saling
menatap satu sama lain.
“Sudah lama Kamu dinas di sana?” tanya Indah mengawali.
“Belum lama baru setahun, sebelumnya kerja di swasta sambil nunggu pendaftaran!” jawab Ilyas.
“Ohh….” Seru Indah, kehabisan bahan untuk ditanyakan.
“Kamu sendiri?” tanya Ilyas.
“Belum lama juga, baru beberapa bulan!”
jawab Indah.
Kecanggungan mereka tertolong, bakso
yang dipesan segera datang sehingga mereka lebih fokus menyantap bakso
ketimbang pembicaraan yang tersendat-sendat.
Kenyang dari stan bakso mereka
berkeliling lagi hingga telepon dari Andik masuk, mengganggu keromantisan ala mereka berdua. Ilyas melirik ke layar ponsel namun tidak mengangkat panggilan masuk itu.
“Loh kok nggak diangkat? Emang siapa yang nelfon?” tanya Indah penasaran. Agak curiga khawatir itu panggilan dari seorang wanita.
“Ohh ini Andik, pasti dia mau nanya aku dimana kok nggak balik jam segini!” jawab llyas.
“Emm … gimana kabarnya dia?” tanya Indah.
“Sehat wal afiyat!” jawab Ilyas singkat dan padat.
Indah tidak meneruskan pertanyaan
mengenai Andik karena suara Ilyas memberi jawaban tadi kurang enak didengar. Sekali lagi ponsel Ilyas berdering dan itu masih dari Andik. Ia menolak panggilan itu dan kemudian mengetik sebuah chat yang ia kirim ke Andik agar laki-laki itu tidak mengganggu dirinya.
Berikutnya ponsel ia taruh dalam
keadaan senyap agar deringnya tidak merusa suasana. Lanjut mereka
berjalan-jalan, sekedar melihat-lihat dan menonton pertunjukan musik namun
sebentar. Indah mengajaknya pulang karena ia tidak mengabari orang di rumah.
“Balik yuk!” ucapnya dan menarik baju Ilyas.
“Balik?!” seru Ilyas masih belum puas, Indah mengangguk.
Tak apalah meski tidak begitu lama yang terpenting ia bisa mengajak Indah keluar supaya ada jalan untuk cerita
berikutnya.
Setelah memasang helm lekas Ilyas
berkendara dengan kecepatan normal, ingin rasanya ia memperlambat laju motor namun tidak nyaman pada Indah dan juga malu. Untuk memanfaat sisa waktu mulut Ilyas tak henti mengajak Indah mengobrol, apa saja ia jadikan topik asal suasana tidak hening. Hingga tidak terasa motor itu sudah memasuki kawasan perumahan dimana Indah tinggal. Tiba-tiba saja Ilyas menepi, menghentikan laju motor kala teringat kedua orang tua Indah. Ia masih tidak siap jika kedapatan mengantar wanita itu dan diminta mampir seperti dulu.
“Indah,” ucap Ilyas.
“Iya, kenapa?” sahut Indah.
“Emm … maaf ya aku antarnya sampek sini, aku….” Seru Ilyas tidak mampu meneruskan perkataan.
“Oh iya nggak apa-apa, toh rumahku udah di depan,” balas Indah. Kemudian cepat ia turun, menyerahkan helm pada Ilyas.
“Hati-hati di jalan!” ucap Indah lalu melangkah pergi meninggalkan Ilyas yang setia di atas motor, menunggu wanita itu masuk ke halaman rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 224 Episodes
Comments
Eka Sulistiyowati
next
2020-11-19
1
Titin Lestari
Hasan pulangnya kpn ?
2020-11-13
1
mieya723
Ilyas ada kemajuan ya dibanding pertama kali ketemu Indah 😊😊😊😊, berkat Hanis loh ini 😁😁
Tim Hanis
2020-11-09
1