CAPTER 3
AKHIR PEKAN
Walau sudah seminggu kepergian Hanis rumah itu tak terasa perubahannya, mungkin karena Hanis yang memang memilih tak
mengakrabkan diri sehingga ketiadaannya tak dirasakan. Pagi ini aktivitas di akhir pekan masih sama, Andik dan Ilyas sibuk dengan halaman rumah sementara Naura berada di rooftop menyiram bunga setelah tadi ia keluarkan. Dari atas ia melambaikan tangan ke Andik dan Ilyas, memanggil keduanya supaya bergabung dengannya di atas. Naura sudah menyiapkan teh bunga dandelion yang ia sukai dan juga kue kering untuk menemani pagi santai mereka.
"Sini duduk, ada teh hangat ini," seru Naura begitu Andik dan Ilyas muncul, berjalan ke arahnya. Dua orang itu tak hanya sekedar teman baginya tapi ia sudah menganggap mereka seperti keluarga, bahkan Ilham yang tak serumah lagi rutin menyambanginya juga, mengajak mereka keluar menghabiskan waktu bersama. Semua itu mereka lakukan tak lain membalas kebaikan Hasan yang selama ini sudah menganggap ketiganya seperti keluarga sendiri dan tak pernah membeda-bedakan satu sama lain.
Duduklah keduanya berjejer di samping Naura
menatap cerahnya langit, menikmati udara pagi yang lumayan dingin disebabkan
angin berhembus lebih kencang dari biasanya.
"Ini kalo di desa biasanya musim panen tebu," seru Andik tiba-tiba bersuara.
"Iya benar, musimnya layangan!" sambung Ilyas.
"Benarkah?!" sahut Naura nimbrung.
"Gimana kalo kita buat layangan?!" ujar Andik mengusulkan.
"Buat? Kapan waktunya? Bambunya kita dapat darimana? Kertas layangannya juga?" sahut
Ilyas mencerca Andik, ia tak setuju dengan ide itu karena memang mereka sudah tak punya banyak waktu seperti dulu. Disamping itu dimana mereka akan mendapatkan bahan-bahan membuat layangan tersebut.
"Iya juga ya, mana lagi bahan-bahannya beli dimana kalo di sini! Ada pohon bambu
tapi bambu hias!" ujar Andik sejalan dengan pendapat Ilyas.
"Gimana kalo kita beli," ucap Naura memberikan solusi. Keduanya kembali
bersemangat mendengar usulan dari Naura.
"Cepat Dik, hubungi Ilham buat nyari info yang jual layangan!" perintah Ilyas tidak sabar.
"Sambil tanya ke Ilham aku post dulu, siapa tahu ada yang komen!" kata Andik mengusulkan jalan lain.
"Buruan!" perintah Naura, tak sabar ingin menerbangkan layangan. Maklum seumur hidupnya ia tak pernah bermain layangan, bahkan sewaktu kecil ia juga tak pernah
mendapati Andy mengajaknya menerbangkan layangan.
“Ada suamiku pasti tambah seru,” batinnya berucap. Berasa kurang lengkap tanpa
kehadiran lelaki itu.
Jemari tangan Andik baru mencari nomor
kontak Ilham di riwayat panggilan saat notifikasi masuk menghalangi, ada seorang teman yang sudah berkomentar. Beruntungnya lagi ia memberikan informasi
penjual layangan di depan pasar loak daerah pusar angin. Ketiganya girang mendapat informasi secepat itu, Naura menyuruh Andik menghubungi Ilham mengajak laki-laki itu ikut membeli layangan sekalian menghabiskan waktu berama.
"Tapi Mba...." Tiba-tiba Ilyas bersuara, nadanya rendah dan tak bersemangat
"Tapi apa?!" sahut Andik dan Naura bersamaan, tidak senang mendengar kata itu
terucap apalagi dengan nada seperti yang tadi.
"Itu kita mainnya dimana? Kayaknya halaman rumah ini kurang luas, masak kita kepinggiran kota cari persawahan?!" tutur Ilyas menyampaikan. Sontak Naura dan Andik terdiam, semangat mereka kendor seketika padahal Ilham sudah menyetujuinya dan ia juga antusias.
Disaat wajah murung ketiganya terpampang
jelas tiba-tiba Naura mendapat ide, wajahnya kembali cerah bahkan nada suaranya lebih bersemangat dibandingkan sebelumnya. Ia menepuk pundak Andik, menyadarkan
laki-laki itu dari kebisuan sesaat.
"Kalo main di rumahnya Papa, gimana? Aku rasa halamannya cukup luas! Kita bisa nerbangin di halaman belakang atau di depan!" kata Naura berpendapat.
Baik Andik ataupun Ilyas tidak segera
menjawab, mereka berdua terdiam beberapa detik lamanya hanya untuk memperkirakan seberapa luas halaman rumah pak Malik. Cukupkah nantinya jika dibuat pertunjukan antara mereka bertiga.
"Mba emang ukuran halaman rumah pak De berapa?!" tanya Andik tiba-tiba. Naura
mengangkat kedua pundak memberi isyarat akan ketidak tahuannya.
Tak mendapat dari Naura, Andik malah meminta wanita itu untuk menanyakan luas halaman rumahnya langsung ke pak Malik. Jelas Naura menolak tapi pada akhirnya ia menyerah demi bisa menerbangkan layangan,
ia pun menghubungi pak Malik. Syukurlah panggilan lekas dijawab, Naura menyapa
sang ayah sebelum masuk ke inti tujuan.
Ia sempat bingung hendak memulai pertanyaan sampai-sampai pak Malik dibuat khawatir. Ia bahkan tak kuasa menahan diri untuk tidak menghujani Naura pertanyaan karena kekhawatiran yang datang mendadak.
"Nggak kok Pa, Nana cuma mau tanya halaman rumah kita luasnya berapa meter?"
tanya Naura ragu-ragu. Pak Malik tersentak mendapat pertanyaan demikian, ia merasa ada yang aneh dengan putrinya saat itu. Pak Malik tak memberikan jawaban sebaliknya ia mendesak Naura dengan bertanya ini itu. Namun Naura juga tetap kekeh, ia hanya ingin pak Malik menjawab pertanyaan yang ia ajukan tadi.
"Entahlah, yang pasti luas tanahnya lebih dari tiga ribu meter persegi, kenapa Nana
tiba-tiba nanyain soal rumah ini?!" jawab pak Malik sekaligus bertanya. Ya, kediaman pak Malik berada di perumahan landed yang cukup dikenal sebagai kawasan elit. Penghuni di perumahan itu tak bayak, hanya terdiri dari tiga blok saja dengan jarak rumah saling berjauhan dikarenakan halaman rumah mereka tidak ada yang sempit. Untuk ukuran bangunan bervariasi, yang lebih luas dari kediaman pak Malik juga ada.
Bukannya menjawab Naura malah berbicara pada Andik dan Ilyas dengan nada rendah agar pak Malik tak mendengar dengan jelas.
Keduanya tak puas, mereka terutama Andik
mendesak Naura menanyakan luas halaman bukan tanah keseluruhan. Kembali Naura
mendekatkan mulutnya ke ponsel, mengulangi pertanyaan yang sama.
"Iya Nana kenapa nanya soal itu? Papa lupa berapa luasnya yang pasti tapi untuk
bangunannya sekitar seribu meter persegi! Nana hitung aja sisanya? Ada yang lain? Mungkin mau nanya habis berapa papa bangun rumah ini dulu?" kata pak Malik, memberi jawaban walau masih bertanya-tanya kenapa putrinya bertanya demikian sekaligus melempar pertanyaan.
“Ok Papa, makasih! Nana tutup dulu,” sahut Naura semakin menambah rasa penasaran
pak Malik.
"Kayaknya luas deh halamannya, kan ada tamannya juga!" seru Ilyas, masih dengan
mengingat kembali gambaran rumah pak Malik.
Lama ia berdebat soal halaman rumah
sampai-sampai Ilham menghubungi, ternyata ia sudah tiba di tempat penjual layangan. Bubarlah mereka bertiga, sisa minuman segera dihabiskan oleh Andik dan Ilyas. Sedangkan sisa kue ia bawa turun dan menyimpannya di rak dapur.
Naura sangat singkat bersiap-siap, ia hanya
mengganti baju dan mengambil kerudung instan. Setelah menyambar tas dan kontak
mobil ia bergegas menuruni tangga. Andik dan Ilyas sudah menunggu di teras rumah. Wanita itu melempar kunci mobil ke Andik, 'Kamu yang nyetir!" Perintahnya sambil berjalan menuruni undakan teras.
Andik begitu juga Ilyas bangun, menyusul
Naura yang berjalan duluan ke garasi. Secepat kilat Andik mengeluarkan mobil
kuning dari garasi, meluncur deras melewati pintu pagar. Kembali Ilham menghubungi
Andik, karena posisi dalam menyetir laki-laki itu melempar ponsel ke samping meminta Ilyas yang menerima.
"Iya ini masih di jalan!" ujar Ilyas lalu menutup panggilan segera.
"Baru bentar nunggu udah nggak betah itu anak!" seru Naura.
"Iya, apalagi disuruh nunggu lama kayak Mba? Apa nggak gila dia?!" sambung
Andik, tak sengaja melibatkan Naura. Naura terdiam namun hanya beberapa detik saja, ia kembali mengangkat kepala berucap sambil menebar senyum, "Itu karena ada kalian yang setia nemanin Mba, kalo nggak ada kalian mungkin mba juga sudah gila?!" ucapnya membuat Andik merasa bersalah.
"Itu sebabnya kita bertahan menjoblo, Mba!" sahut Andik segera.
"Cihh ... Alasan ya! Itu karena kalian memang nggak laku!" balas Naura.
"Ngomong-ngomong dulu sewaktu kuliah emang nggak ada yang naksir kalian?" tanya Naura penasaran.
Mereka berdua terdiam, menyadari jika memang begitu adanya tidak ada yang menyatakan cinta atau sekedar kirim salam apalagi desas desus ada yang naksir.
"Iya ya ... Kok nggak ada yang kirim salam gitu ke kita?" seru Ilyas, berpikir keras mengingat kembali mulai dari awal kuliah sampai selesai.
"Kamu Dik?" Ilyas melempar pertanyaan.
"Bukannya kita ini malah dibilang pasangan, Yas?!" seru Andik mengingatkan kembali.
"Itu gara-gara kamu nempel terus!" sahut Ilyas memancing tawa Andik sedangkan Naura hanya melempar senyum lebar.
Tak terasa rombongan Andik, Naura dan Ilyas
tiba di tempat tujuan dimana Ilhan sudah menunggu dari tadi. Mereka bertiga segera turun mendatangi Ilham dan Veny yang terlihat bingung memilih jenis layangan. Veny duluan menoleh, tangannya menepuk pundak Ilham untuk membuat suaminya menoleh ke arah kedatangan mereka bertiga.
"Sorry lama," ucap Naura dan berdiri di sisi Veny.
Andik dan Ilyas langsung bergabung, memilih
layangan sesuai selera mereka, awalnya mereka ingin membeli sendiri-sendiri tapi tak jadi setelah menemukan layangan favorit mereka di kampung juga dijual. Keberadaan Veny dan Naura otomatis tersingkir dengan sendiri. Sudah kadung di sana Naura tak ingin hanya berdiam diri menjadi penonton, ditariknya tangan Veny mendatangi ketiganya.
"Pak, ini harga layangannya aja segitu apa satu paket sama dinamo plus lampu?"
tanya Ilham.
"Layangannya saja Mas," jawabnya singkat.
"Ohh...." seru Andik.
"Kalo dinamo sama lampunya berapa?" tanya Ilyas.
"Dinamonya lima belas ribu kalo lampunya lima ribu perlampu, satu bungkus isi lima
lampu!" jawabnya menjelaskan.
"Ada ongkos pasangnya nggak, Pak?" tanya Andik tidak mau kalah.
"Ongkosnya dua puluh ribu aja Mas," jawabnya lagi.
Tangan Andik mencubit pinggang Ilham, ia
bergeser mendekat bahkan tak sadar melingkarkan tangannya ke pinggang laki-laki
itu. Sontak mata Naura dan Veny mendelik melihat pemandangan tak biasa di depan
mata mereka. Mereka saling menatap, ada banyak pertanyaan singgah di kepala mereka namun tertahan.
Tak peduli dengan tatapan Naura dan Veny, Andik malah semakin menempel ia berucap
sangat rendah ke telinga Ilham, "Kita pasang sendiri," ucapnya.
Tidak hanya Andik yang mengusulkan demikian Ilyas juga sama tapi tidak dengan berbisik. Laki-laki itu memilih jalur lain,
berucap terang-terangan. Berhubung dua pendapat sudah didapat Ilham pun mengikuti usulan mereka berdua.
Naura tak mau ketinggalan ia juga membeli
layangan yang rencananya ingin dia terbangkan bersama dengan pak Malik nanti.
Dua buah layangan dibeli, mereka bertiga membeli jenis layangan sawangan yang
berbunyi model burung satu dan layangan
biasa namun tak berukuran kecil berbentuk kupu-kupu. Lengkap dengan aksesoris penunjang seperti dinamo, lampu, kabel serta yang tidak kalah penting benang dan gulungannya.
"Muat nggak ini?!" seru Andik, tidak yakin jika layangan itu akan muat dimasukkan ke dalam mobil.
"Coba dulu," kata Naura, mereka bertiga mencoba memasukkan layangan sawangan
terlebih dulu tapi ternyata layangan itu tak muat sesuai dugaan Andik, maklum
diameter dari layangan itu hampir mencapai dua meter. Berikutnya layangan warna
pelangi berbentuk kupu-kupu milik Naura yang dimasukkan, cukup muat tapi kursi
penumpang harus ditekuk. Khawatir layangan itu nantinya rusak akhirnya Naura memutuskan menghubungi pak Said, ia meminta pak Said untuk datang ke sana
dengan membawa mobil off road bak terbuka, ia juga meminta pak Said untuk membawa tali.
Pak Said mengeluarkan mobil off road yang
diminta Naura dengan rasa penasaran dan penuh tanya, ditambah saat pak Malik
mencegatnya sebelum keluar dari garasi.
"Non minta saya bawa mobil ini, Tuan!" jawab pak Said.
"Buat apa katanya, pak Said?" lanjut bertanya.
"Kurang tahu Tuan, Non cuma bilangnya rahasia!" jawab pak Said lagi.
"Ohh ... Buruan sudah berangkat," seru pak Malik, mobil warna hitam itu segera
meluncur keluar, melewati halaman luas rumah pak Malik. Seperti biasa saat
mencapai pos keamanan pak Said menginjak rem, dibukanya kaca mobil dan meyapa pak
Martin di sana.
"Mau kemana kok bawa mobil ini?" tanya pak Martin ingin tahu, mengira akan jalan-jalan.
"Nggak tahu Non, ini juga disuruh bawa tali!" jawab pak Said.
Insting pak Martin mulai bergerak, berbisik ke hatinya dan menyuruh laki-laki tegap itu
bersuara, "Ikut Pak!" ucapnya.
Pak Said tak berani membuat keputusan ia
meminta pak Martin ijin terlebih dulu. Tak mau membuang kesempatan ia berlari
dari pos jaga ke rumah yang jaraknya lumayan menguras keringat. Pak Malik
berada di halaman samping bersantai disana saat pak Martin datang dengan nafas
ngos-ngosan.
"Ada apa pak Martin?!" tanya pak Malik cemas.
"Tuan, boleh saya ikut pak Said? Hitung-hitung bantuin dia soalnya disuruh bawa tali juga, Tuan!" kata pak Martin meminta ijin.
Pak Malik tak lekas menjawab, ia menoleh ke
mobil yang sudah berada di depan pos jaga walau tak bisa melihatnya penuh lalu kembali mengarahkan pandangannya ke pak Martin.
"Ya sudah sana, tapi jangan lama-lama!" ucap pak Malik, akhirnya mengijinkan pak Martin karena tak tega menatap tampang melas memohon.
Girangnya pak Martin, kembali ia berlari
mencapai mobil yang masih setia menunggu di tempatnya. Begitu masuk dan memasukkan sabuk pengaman, mobil hitam itu segera menerobos gerbang pintu.
Tak hentinya mereka berdua membahas mengenai permintaan Naura tersebut, keduanya sama-sama penasaran dan tak sabar ingin tahu. Saat sudah sampai terjawab sudah rasa penasaran keduanya, Naura dan tim hura-hura berdiri di depan lapak penjual layangan lebih tepatnya di samping mobil warna kuning.
"Ada apa Non?!" tanya pak Said, sementara bola matanya melirik ke layangan.
"Tolong bawakan ini," jawab Naura, menunjuk ke layangan di dekatnya.
"Siap Non!" balas pak Martin yang tiba-tiba nongol.
"Ohh ... Bawa ke rumah Papa ya! Kita duluan ke sana!" imbuh Naura.
"Siap, Non tinggal tunggu aja!" sahut pak Said. Lekas Naura dan tim hura-hura mereka masuk ke mobil, sedangkan Ilham dan Veny langsung naik motor.
Disaat dua rombongn itu sudah jauh pak Said
dan pak Martin yang tertarik untuk menerbangkan layangan turut membeli satu
buah layangan berukuran sedang.
"Nggak nambah lampunya sekalian?" tanya pedagang.
"Lampu?!" sahut keduannya.
"Iya, yang tadi beli sama lampunya Pak!" tambah pedagang tersebut memanas-manasi
pak Martin dan pak Said.
"Iya Pak, samakan kayak mereka!" ucap pak Martin terpancing bujuk rayu pedagang.
Namun pemandangan tak diduga terjadi saat
waktu membayar, pak Said yang dompetnya tertinggal di mobil satunya meraba-raba
kantong celana. Mata pak Martin waspada, ia mengikuti pergerakan tangan pak Said yang meraba seluruh kantong baju.
"Dompetku ketinggalan di mobil satunya!" ungkap pak Said akhirnya mengingat.
"Terus?" sahut pak Martin.
"Pakek uangnya pak Martin dulu, toh kita kan patungan!" jawab pak Said.
Sejurus kemudian tangan pak Martin dengan
berat mengeluarkan dompet dari persembunyian. Kembali ia bertanya berapa total yang harus dibayar pada pedagang yang berdiri di dekat mereka.
"Seratus enam puluh lima ribu," ucap pedagang.
Dengan hati-hati pak Martin mengintip ke dalam dompet, berharap isinya lebih dari angka yang disebutkan. Sambil mengintip jemar pak Martin menghitung uang yang ia miliki di dompet dengan sangat cepat, "Pak Said kurang sepuluh ribu, ada nggak?!" tanyanya setelah ternyata uang yang dimiliki kurang.
Cekatan pak Said mencari lagi seisi kantong
mulai dari kantong celana hingga baju sayangnya tak menemukan meski walau hanya selembar. Pak Said menggeleng lemah, "Terus gimana ini?!" seru pak Martin.
"Bayar besok juga nggak apa-apa Pak!" sahut penjual layangan.
“Bener Pak?” seru pak Martin memastikan, pedagang itu mengangguk.
"Inshallah besok Pak saya ke sini bayar kurangnya," kata pak Said berjanji.
Setelah membayar seadanya uang di dompet lekas mereka memuat semuanya ke mobil, agar tak terbang terbawa angin mereka mengikat layangan tersebut tapi tidak terlalu singset.
Naura yang lebih dulu berangkat sudah tiba
di rumah, pak Malik menoleh melihat mobil kuning memasuki halaman rumah lalu
disusul oleh motor Ilham. Ia bangkit dari duduk santainya seorang diri di halaman samping, bergegas ia menyambut mereka.
"Wah rame-rame datangnya, ada acara apakah ini?" tanya pak Malik yang penasaran.
"Ada deh ... Nanti Papa juga tahu!" jawab Naura semakin menambah penasaran pak
Malik.
Naura membawa tim hura-hura ke halaman
samping, duduk bersama di gazebo. Detik kemudian datanglah bik Siti dari dalam,
senyumnya mengembang sempurna melihat Naura dan yang lain berkumpul.
"Bik tolong buatkan minuman yang segar sama makanan cemilan ya!" pinta Naura.
"Siap Non, tapi ngomong-ngomong rame-rame gini ada acara apa?!" tanya bik Siti
yang juga penasaran.
"Ada deh! Nanti juga tahu, tunggu aja!" jawab Naura yang sama memberikan jawaban mengambang.
"Sih Non," seru bik Siti sebelum masuk lagi ke dalam melalui teras samping.
Sekitar lima belas menit setelahnya
datanglah pak Said dan pak Martin yang ditunggu-tunggu, saat deru mobil memasuki halaman rumah Naura bangun segera. Disusul tiga kunyuk yang sudah tidak sabar ingin menerbangkan layangan sedari tadi. Veny bersama dengan bik Siti menyusul kemudian.
"Kok lama pak Said?" cerca Naura yang sudah jenuh menunggu.
Kompak keduanya tersenyum tipis, sambil garuk-garuk kepala pak Martin mewakilinya
menjawab, "Kita tadi beli juga, Non!" ungkapnya.
“Iya Non, tapi kurang sepuluh ribu,” imbuh pak Said jujur, memancing tawa yang lain.
Layangan sudah di tangan saatnya bagi mereka menyelesaikan satu pekerjaan sebelum layangan itu terbang bebas di udara. Apa itu? Tentu memasang lampu yang sudah dibeli. Semuanya berjejer di teras samping
dekat kolam renang berkutit dengan layangan masing-masing. Pak Said yang tak mengerti sama sekali hanya bisa membantu sebisa mungkin. Pak Martin juga tak terlalu menguasai sehingga ia memilih berada di dekat kelompok Andik, Ilyas dan Ilham. Kelompok Naura terdiri dari dirinya sendiri, pak Malik dan bik Siti yang juga ikut bergabung.
Pak Malik juga sudah lupa sambil mengintip
kelompok sebelah ia mencoba memasang lampu yang dimulai dari pemasangan dinamo, dilanjutkan kabel dan yang terakhir tentu lampu neon. Naura dan bik Siti bertindak sebagai pengawas, bola matanya tak lepas dari dua pandangan sekaligus. Saat
pemasangan pak Malik tak sama, mereka berdua langsung menegur.
“Papa punya mereka nggak kayak gitu,” tegur Naura, menunjuk kelompok Ilham yang hampir selesai.
“Masak harus sama persis? Yang penting kan benar pemasangannya, masalah kabel
tergantung mau ditaruh di bagian mana lampunya,” kata pak Malik, tak terima disalahkan terus oleh sang putri.
“Ohh….” Sahut Naura, memanyunkan mulut lantaran tak terima.
“Tadi beli berapa bungkus lampunya?” tanya pak Malik lantaran kabel masih panjang.
“Beli tiga bungkus,” sahut Naura lekas.
“Itu terlalu sedikit, harusnya beli sepuluh bungkus!” kata pak Malik menyindir. Bik
Siti hanya jadi penonton, ia menahan tawa mendengar perdebatan kecil antar anak dan ayah.
“Sudah siap!” seru Andik, bangkitlah mereka disusul Veny.
Lupa dengan yang lain yang masih berkutit
urusan lampu ketiganya berjalan cepat menuju halaman belakang. Memastikan
apakah layangan berukuran besar namun tak jumbo itu bisa diterbangkan dari sana
atau tidak.
“Kayaknya harus manjat pagar ini nerbanginnya,” seru Andik.
Berlarilah ia kembali ke teras samping hanya
untuk meminta ijin memanjat dinding pagar. pak Malik kala itu sudah hampir selesai tinggal memasang dua buah lampu lagi sedangkan pak Martin dan pak Said sudah bangkit.
“Pak De, boleh nggak kita manjat dinding buat nerbangin layangannya?!” ujar Andik meminta ijin.
“Boleh tapi tunggu bentar,” sahut pak Malik, kemudian ia meminta pak Martin untuk
mematikan sementara sensor yang terpasang mengelilingi dinding pagar rumah.
“Syukur pamit dulu, kalo main manjat bisa terpental aku,” guman Andik sambil berjalan
ke belakang bergabung dengan dua temannya yang sedang mempersiapkan layangan.
“Gimana?” tanya Ilham tak sabar.
“Tunggu dulu masih dimatikan sensornya biar nggak kesetrum kita,” jawab Andik.
Akhirnya mereka menunggu kedatangan yang
lain untuk menerbangkan layangan mereka bersama-sama. Tim layangan belumlah
berubah, Ilham dengan empat anggota termasuk dirinya walau yang satu nyaris hanya menjadi penonton. Naura masih tiga anggota dan pak Said hanya berdua dengan pak Martin. Syukurlah layangan yang dibeli pak Martin dan pak Said berukuran sedang
dan jenis layangan biasa yang tak membutuhkan banyak tenaga seperti milik tim Ilham.
Demi bisa menerbangkan layangan Andik
memanjat pagar tembok dengan Ilyas, Ilham bertugas menarik benang dan Veny
diberi tugas menggulung benar agar tak terlilit. Sambil setengah berlari menuju
halaman samping Ilham menarik layangan, berusaha menaikkannya setelah
sebelumnya ia memberi aba-aba agar Andik dan Ilyas melepaskan layangan yang
mereka angkat. Lumayan menguras tenaga, saat layangan mulai merangkak naik Andik dan Ilyas berlari untuk membantu Ilham yang terlihat mulai kewalahan. Mereka bertiga berjibaku membuat layangan mengudara lebih tinggi dan memastikan pergerakannya stabil. Dan detik berikutnya layangan itu mengeluarkan bunyi yang dihasilkan dari gesekan udara.
Berikutnya Andik membantu pak Malik yang
anggotanya dua wanita, hampir sama dengan apa yang dilakukan Andik dan Ilyas tadi pak Malik meminta Naura berlari membawa layangan di tangan menjauh dari posisinya berdiri. Bahkan Naura dan bik Siti menirukan gaya Andik dan Ilyas, keduanya naik ke meja keramik setelah melepas alas kaki dan mengangkat layangan setinggi. Setelah ada aba-aba lepas dari pak Malik kedua wanita berbeda usia itu melepaskan layangan dan pak Malik mulai berusaha menaikkan layangan.
Percobaan pertama gagal, kembali Naura dan
bik Siti memungut layangan yang tak bisa mengudara. Berlari lagi mereka ke posisi yang tadi dengan metode yang sama. Kali ini Andik turun tangan sedangkan pak Malik diminta memegang gulungan benang. Naura dan bik Siti belum turun dari meja saat melihat layangan mulai merangkak naik dan melayang-layang di udara, mereka tersenyum lebar. Setelah posisi layangan stabil Andik menyerahkan kembali ke pak Malik.
Pak Martin dan pak Said tak menemukan
hambatan, layangan milik mereka berukuran paling kecil ditambah lagi pak Martin memiliki tenaga besar dan cukup pintar menerbangkan layangan.
“Kok nggak nyala lampunya?!” seru Naura yang sebenarnya tak sabar melihat
lampu-lampu di layangannya menyala.
“Bukan sekarang nyalanya tapi nanti malam,” sahut Ilyas.
“Nanti malam?!” seru Naura. Ia terdiam sesaat sebelum kembali bersuara dengan nada lantang dan mantap.
“Ok, kalo gitu untuk malam ini kita nginap di sini!” ucapnya. Dua orang itu menoleh
seketika tapi tak mampu menolak.
Semua tim sibuk dengan layangan
masing-masing, saat layangan mulai berdekatan Ilham meminta pak Martin
menjauhkannya mengingat layangan milik mereka berdua paling kecil sehingga
mudah digerakkan. Tidak hanya milik pak
Martin saja, milik Naura juga disuruh menjauh khawatir berbenturan. Dibantu Andik dan Ilyas pak Malik memindahkannya sampai jarak dirasa cukup.
Disaat keseruan itu tiba-tiba Naura menepi,
sambil memandang langit di halaman rumahnya ia menyebut nama sang suami. Rasa rindu hinggap mengusik kebahagiannya yang tak sempurna, menyisakan pilu di
dada. Bik Siti menangkap pemandangan sedih itu, bergeraklah kakinya mendekat ke
Naura yang menahan air mata.
“Non, yang kuat … bukannya beberapa bulan lagi Aden sudah selesai kuliahnya!” ucap
bik Siti.
“Iya Bik, kurang empat bulan lagi tapi rasanya lama banget….” Sahut Naura.
Agar tak bertambah sedih bik Siti mengajak
Naura serta Veny ke dapur mempersiapkan makan siang untuk semuanya. Cukup
berhasil setidaknya dengan kesibukan Naura tak punya jedah memikirkan suaminya
dan wajah murungnya menghilang.
Saat masakan sudah siap bik Siti
berinisiatif membawa semua masakan itu keluar, menata di gazebo panjang di
belakang rumah. Dibantu Naura dan Veny mereka bertiga mengeluarkan semua
masakan ke sana, mengambil piring dan lainnya.
“Ayo makan siang dulu!” teriak Naura.
Para kaum Adam segera menanggalkan benang dengan mengikatnya sementara waktu setelah menurunkan sedikit ketinggian. Di gazebo para wanita sudah duduk menunggu termasuk bik Siti yang juga diminta makan bersama.
“Berasa kayak kamping aja kita ini!” seru Ilham mengawali perbincangan.
“Anggaplah ini camping,” sahut pak Malik.
“Gimana kalo nanti kita camping beneran?!” usul Andik.
“Ok, kalian atur waktunya! Om ngikut aja!”seru pak malik menyetujui ide Andik.
Sewaktu kehangatan makan siang bersama terjalin lagi-lagi Naura teringat sosok sang suami, ketidak hadirannya diantara mereka
membuat air matanya kembali mengintip. Namun kali ini ia tak mampu menahannya
lagi. Dalam diam air mata itu turun sendiri, tangan Naura yang tadinya sudah terangkat dengan sendok di tangan kini malah terhenti, diturunkannya lagi.
“Nana….” Ucap pak Malik.
Naura mengusap air mata yang terlanjur jatuh membasahi pipi dengan tangan kirinya,
mulutnya berjuang untuk bisa berucap. “Semoga dia di sana nggak kesepian, punya
banyak teman.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 224 Episodes
Comments
Mama amiinn Asis
yang,,, sabar naura tdk lama lg
2021-01-13
0
Mama amiinn Asis
di mana hasan thor,
2021-01-13
0
Almeera
😢😢😢😢😭😭😭😭😭😭😭
2021-01-09
0