CAPTER 8
MENJEMPUT
Jarum jam sudah lewat selangkah dari angka
sembilan malam itu, Angga terus menanti ponselnya berdering di atas kasur. Panggilan ibunya untuk makan malam tidak ia indahkan sampai-sampai sang ibu harus menerobos masuk dan menyeret Angga keluar.
"Iya Bu bentar," ucapnya dan menyambar ponsel di dekat bantal.
“Taruh dulu itu hp!” tegur ibu Gufro namun tak diindahkan.
Di meja makan bola mata Angga tak henti
melirik ke layar ponsel walau tahu layarnya tak menyala apalagi berbunyi. Semua yang duduk di dekatnya dibuat kesal dengan sikap tak normalnya malam itu namun dua orang hanya mengamati tidak dengan ibu Gufro yang sudah tidak bisa menahannya lagi.
"Makan itu yang tenang! Nggak usah lirik sana lirik sini!" tegur ibu Gufro.
“Dari tadi hp terus yang dilirik, kenapa nggak sekalian itu hp taruh di piringnya!” tambah ibu Gufro memarahi Angga.
"Iya Bu...." sahutnya, memalingkan pandangan dari posisi ponsel berada.
Namun belum juga Angga menghabiskan makanan akhirnya apa yang ia tunggu datang juga. Panggilan masuk berdering kencang,
lekas tangan Angga menyambar ponsel dan menerima panggilan dari Lusi sambil bangun dari kursi itu. Melangkah agak tergesa-gesa menuju kamar untuk mengambil dompet. Saat panggilan diakhiri ia segera memesan taksi untuk menjemput Lusi di bandara. Keberadaan tiga orang sebagai penonton nyaris dilupakan.
"Bu, berangkat! Pak berangkat dulu!" pamitnya, mengabaikan tatapan penuh tanya
mereka bertiga.
Ibu Gufro bangkit tak tenang ia hanya dengan
mengangguk saja, ia melangkah menyusul putranya yang sudah berada di teras
menunggu taksi datang. Angga menatap jalan gang saat tangan ibu Gufro menepuk
pundaknya kemudian berucap rendah.
"Nak ... Bawa main ke sini biar ibu sama bapak kenal juga...." ucapnya, sontak Angga menoleh namun ia tak memberikan jawaban.
"Itu yang nelfon kamu tadi sama kan pas waktu kamu mandi itu? Yang dimatikan?"
ucapnya lebih lanjut.
Angga masih tak memberi jawaban, di hati ia
tak hentinya memarahi diri sendiri yang tak mampu membawa diri. Bukankah harusnya ia tak bersikap berlebihan sehingga orang tuanya tidak tahu hubungannya dengan Lusi? Baginya ini bukan waktu yang tepat untuk
memperkenalkan Lusi dan ia sendiri belum siap secara materi. Tapi apalah dikata, perasaan bahagia, cinta tak bisa ia kontrol.
"Tuh taksi datang!" ucap ibu Gufro lagi.
Angga segera pamit, tak memberikan respon
pada apa yang ibu Gufro bicarakan sebelumya. Namun sepenuhnya sang ibu tidak menuntut, ditatapnya taksi itu sampai menjauh barulah ia kembali ke dalam.
Mereka yang tengah duduk di ruang makan langsung menyambutnya dengan berbagai
pertanyaan tapi ia mengikuti jejak Angga, tak ada ucapan keluar dari mulut
wanita itu.
"Ibu!" tuntut Ira.
"Ayo habiskan makannya!" sahut ibu Gufro.
Sementara itu di jalan Angga terus berbicara
dengan Lusi melalui sambungan telepon bahkan sampai tiba di bandara ia masih
tak mau mengakhiri. Sambil berjalan ke dalam ponsel itu masih menempel di
telinga dan baru berakhir kala Lusi memanggilnya, berlari ke arah Angga yang
memberikan senyum hangat.
"Kok nggak ngasih tahu kalo hari ini? Telfon langsung bilang di bandara, iya kalo aku nggak sibuk kalo aku sibuk terus nggak diangkat entar ngambek lagi!" tanya Angga, pura-pura protes padahal ia sudah tahu.
Lusi hanya menanggapinya dengan senyuman kemudian datang kepelukan Angga, melepas rindu akan hangat tubuhnya serta aroma lelaki tersebut.
"Kamu nggak lapar?" tanya Angga agar Lusi melepaskan pelukan.
"Siapa bilang aku nggak lapar? Aku lapar!" jawabnya, masih memeluk tubuh laki-laki itu, enggan melepaskan.
"Apa mungkin dengan meluk aku laparnya bisa hilang?!" goda Angga sekaligus mengandung makna sindiran.
"Aku pengen makan nasi goreng buatan ibumu lagi," ucap Lusi cukup menyentak
hati Angga.
Mulutnya tak merespon sebaliknya tangan
kanannya terangkat, mengelus rambut Lusi kemudian mengecup kepala wanita itu
cukup lama.
"Ayo kita cari makan," ucapnya setelah melepaskan diri dari lilitan pelukan sang kekasih.
Selama pernyataan cinta dan kembalinya Lusi
ini adalah kali kedua mereka bertemu lagi, sebelumnya Lusi juga berlibur namun
hanya sebentar lantaran mendapat job dadakan sehingga ia dengan terpaksa
mempersingkat masa liburnya.
"Gimana kalo pesan makanan aja! Aku pengen mandi terus rebahan ... Rasanya pegel-pegel semua!" seru Lusi begitu ia masuk ke dalam taksi.
"Ohh gitu?! Ok kamu mau makan apa?!" tanya Angga.
"Boleh aku pilih sendiri?!" jawab Lusi, menyodorkan tangannya meminta ponsel yang dipegang Angga diberikan padanya.
Sambil menyelam minum air, sambil memilih
menu makanan yang hendak dipesan ia menyelinap sedikit keluar dari aplikasi. Ponsel sudah kadung di tangan, saatnya menggerakkan jari ke hal lain menurut Lusi. Senyum tersungging di wajah Angga kala mengetahui apa yang dilakukan Lusi, dengan
suara rendah ia berucap.
"Nggak percaya sama aku? Cek aja semuanya...." Kemudian Angga mencondongkan tubuhnya, ikut mengintip apa yang sedang dibuka oleh Lusi. Kepalang tanggung untuk dikembalikan jadinya Lusi terang-terangan memeriksa satu-satu semua akun jejaring sosial yang dimiliki oleh kekasihnya itu. Hampir semua chat dan pesan masuk ia buka namun tak ada satupun yang memancing kemarahan.
“Apa kamu punya dua ponsel?” tanya Lusi, Angga hanya mengangkat kedua bahunya
memberikan jawaban.
Walaupun sudah tiba di apartemen ponsel
Angga masih ia pegang sementara kaki-laki itu menjadi pendorong koper. Belum puas
baginya mengutak-atik ponsel lelaki itu meski tak ada apa-apa di sana.
"Nih! Aku mau mandi dulu biar seger lagi!" seru Lusi dan mengembalikan ponsel pada sang pemilik.
Koper yang tadi ada di tangan Angga kini sudah berpindah tangan, dengan langkah santai ia berjalan memasuki kamar sambil
menyeret koper warna merah yang tak begitu besar.
“Cewek itu mulai menjalankan perannya,” gumam Angga manakala membuka ponsel dan mendapati foto di beranda layar sudah berganti.
Untuk mengusir kebosanan Angga menyalakan televisi, menonton chanel
luar secara acak dan tak diduga ada banyak remaja berlenggak memperagakan busana namun itu sebuah cuplikan tayangan di sebuah show beberapa tahun yang lalu dan tak berlangsung lama. Sepertinya itu sebuah program televisi yang membahas soal fashion namun bukan itu yang membuat Angga terus fokus menatap layar tadi melainkan penampilan para model.
Sebuah bel pintu merusak konsentrasi Angga,
ia pun segera bangkit untuk membuka pintu. Rupanya seorang kurir pengantar makanan, ia menyodorkan bungkusan makanan ke Angga.
"Makasih!" ucapnya dan memberikan tip kemudian menutup pintu saat kurir itu pergi.
Tanpa menunggu sang empunya apartemen muncul dari kamar Angga menata makanan itu di meja makan tak lupa ia juga menyiapkan air putih.
"Lupa ngasih tahu kalo aku sudah makan," gumannya lalu kembali ke kursi tengah
lanjut menonton program televisi yang ternyata sudah berganti.
Tak berselang lama muncul Lusi dari belakang, ia melilitkan kedua tangannya di
pundak lelaki itu. Aroma wangi tubuh Lusi menyentak Angga, ia menoleh, "Ayo makan!" ucapnya agar wanita itu melepaskan lilitannya.
"Sebenarnya aku ini sudah makan tadi tapi lupa mau ngasih tahu ke kamu," seru Angga,
menarik kursi agar Lusi duduk.
"Terus siapa yang makan dua kotak ini?!" ujar Lusi sewaktu Angga sudah duduk berhadapan.
"Ya akulah! Aku kan nggak harus jaga berat badan, tapi kalo kamu mau ngabisin semuanya aku mah nggak nolak!" kata Angga menimpali.
"Ya nggak lah...." ucap Lusi, kemudian membuka kotak makanan itu agar Angga
segera menyantapnya.
Sambil makan keduanya bicara santai hingga
tak terasa tahunya sudah habis begitu saja. Selesai makan malam yang kedua bagi
Angga, mereka berdua kembali ke ruang tengah dan menyalakan televisi lagi. Lusi
terus menempel dan Angga juga tak menolak sikap manja kekasihnya.
"Oh iya ... Tadi aku nggak sengaja lihat di televisi model lagi lenggak-lenggok!" seru Angga tiba-tiba teringat dengan tayangan program televisi yang sempat menyita konsentrasi dirinya.
"Hmm ... Terus?!" sahut Lusi.
"Terus aku lihat beberapa modelnya itu pakai baju tipis dan nggak pakai bra jadi kelihatan
itunya," lanjut Angga masih dengan nada tenang.
"Lantas inti dari ini maksudnya?!" sahut Lusi lagi, namun sebenarnya ia mampu menebak apa yang ada dipikiran laki-laki tersebut.
"Itu ... Apa ... Apa kamu juga kayak mereka?" tanya Angga ragu-ragu, ia khawatir menyinggung perasaan Lusi.
Lusi melepaskan diri dari Angga, ia juga
membetulkan posisinya hingga duduk tegak di dekat laki-laki itu. Sedikit memiringkan tubuh agar menghadap ke Angga. Ia bersiap diri membuka mulut, memberi klarifikasi pada hati kekasihnya yang jelas gelisah.
"Kamu mau jawaban jujur atau nggak?!" ucap Lusi.
"Ya jujurlah, nggak mungkin juga aku nanya kan?!" balas Angga.
"Jujur aku pernah sekali tapi setelahnya aku nggak pernah lagi ngikuti tren nggak
pakai bra soalnya aku risih aja! Di samping itu aku ini nggak direstui sama orang tuaku dulu pas mutusin buat berkarir di dunia modeling, setelah melewati banyak hal akhirnya mereka merestui tapi tidak mau aku sampai mempertontonkan tubuhku maksudnya bagian yang tak boleh! Kalo memakai baju seksi dan bikini aku mengakuinya!" tutur Lusi berterus terang.
"Bikini?! Yang cuma bh sama celana segitiga itu kan?!" sahut Angga dengan nada tinggi. Lusi hanya menganggukkan kepala membenarkan.
“Ya Tuhan … kamu yang bugil kenapa aku yang nggak terima?!” seru Angga, jelas ia
terpengaruh namun tak tahu bagaimana menyikapi.
Detik berikutnya Lusi memperlihatkan sebuah
koleksi foto dari ponsel ke Angga. Nampak kedua mata Angga menyatu bersama dengan dahinya, tak ada suara yang terucap manakala ia memeriksa satu persatu deretan foto yang tersimpan.
"Nih!" ucapnya dan mengembalikan ponsel. Wajahnya sudah tak bersahabat lagi,
ketegangan nampak jelas terlihat. Lusi mengamati namun ia tak berani berucap.
Saat keheningan tercipta tiba-tiba Angga kembali bersuara, "Kalo aku minta kamu
berhenti jadi model apa kamu mau?!." Lusi tersentak kaget namun ia berusaha sesantai mungkin menanggapinya.
Diraihnya tangan kiri Angga, menggenggam erat di atas pahanya lalu berucap, "Kalo
kamu minta aku berhenti maaf aku nggak bisa, tapi kalo membatasi job job yang
vulgar aku bisa!."
"Oh iya aku punya sesuatu untukmu, ini aku dapat sewaktu habis show nggak sengaja!
Tunggu ya aku ambil!" kata Lusi lagi tiba-tiba teringat akan sesuatu yang ia belikan untuk Angga.
"Sudah aku bilang jangan ngasih aku hadiah sebelum aku mampu ngasih hadiah ke Kamu!
Simpan aja!" ujar Angga, mencegah Lusi yang hendak bangun dari kursi.
"Jam berapa sekarang?" lanjut Angga bertanya.
"Entahlah!" sahut Lusi.
Sekedar ingin tahu Lusi mengintip ponsel
memastikan jam berapa saat itu, cukup kaget juga dia begitu mengetahui jam sudah lewat dari angka sepuluh. Ia menunjukkan layar ponsel ke Angga supaya lelaki itu bisa mengecek sendiri.
"Cepat banget!" seru Angga. Lekas ia bangkit dari kursi, ponsel miliknya yang tergeletak di meja ia raih.
"Mau kemana?!" tanya Lusi dengan nada sedih. Ia masih tak ingin laki-laki itu berlalu dari hadapannya. Seolah belum cukup baginya melepas rindu.
"Mau pulang, masak nginap disini?!" kata Angga memberi jawaban.
"Kamu pernah kok nginap disini...." balas Lusi dengan nada datar, jelas ia tak setuju dan masih berharap laki-laki itu menemani, melepas rindu yang sudah tertahan.
"Besok kan masih ketemu lagi!" sahut Angga berusaha menolak keinginan Lusi yang
tersirat dari pertanyaannya barusan.
"Ok tapi setidaknya sampai aku tertidur kamu boleh balik!" kata Lusi membuat kesepakatan.
Angga tak bersuara, ia merenung sejenak
sebelum memberi jawaban dan menyetujui kesepakatan yang diajukan Lusi. Ia menyuruh wanita itu kembali ke kamar agar mudah baginya memejamkan mata namun Lusi tak mau. Sebaliknya wanita itu menarik tangan Angga kembali ke kursi dan menjatuhkan kepalanya di rebahan sesaat setelah Angga duduk.
"Manja banget sih Kamu!" protes Angga, namun tangannya malah mengusap pipi mulus sang tambatan hati.
"Setiap wanita pasti ingin bermanja dengan kekasihnya, termasuk aku," kata Lusi membuat pembelaan.
"Sudah cepat pejamkan matanya!" perintah Angga kemudian menutup kedua mata Lusi
dengan telapak tangan.
"Emm...." protes Lusi, tangannya yang tadi hanya tergeletak di sisi tubuhnya meraih
lengan Angga dan menggenggamnya erat.
"Sudah tidur!" ucap Angga.
“Tapi jangan ditutup,” sahutnya.
“Biar lekas tidur,” balas Angga.
Lusi berusaha bertindak patuh, ia tak
membuat pergerakan lagi dan hanya memejamkan mata. Saat suara hembusan nafasnya mulai mengambang tiba-tiba Lusi berganti posisi miring, wajahnya ia benamkan ke perut Angga. Angga yang tadi sempat ikut terlelap kembali terjaga, bola matanya
yang mengantuk melirik ke bawah melihat wajah Lusi yang terbenam di perutnya.
Tangan itu dengan sendirinya mengusap punggung wanita itu untuk membuatnya
semakin pulas.
Tak sebentar baginya menunggu Lusi
benar-benar lelap, setelah memastikan ia pun bergerak pelan membaringkan tubuh Lusi terlebih dulu di atas kursi lalu kemudian mengangkatnya dan membawnya ke kamar.
"Maaf ya aku harus balik," guman Angga rendah kemudian mengecup kening Lusi.
Menarik selimut menutupi tubuh sang kekasih kemudian melangkah pergi dari
kamar.
Sebelum keluar dari apartemen ia mengambil
ponsel yang tadi sempat ia ambil namun kembali diletakkan karena hasutan Lusi
untuk tak pergi. Langkahnya sangat pelan saat hendak mencapai pintu apartemen,
membukanya dan melangkah keluar.
Beberapa langkah sebelum mencapai lift
hatinya tiba-tiba tak tenang meninggalkan wanita itu seorang diri. Segala sesuatu mengusik hati dan pikirannya sehingga ia menyerah dan kembali namun sebelum membuka pintu Angga terlebih dulu menghubungi ibunya, ia tak ingin wanita
itu menunggu dan membuatnya cemas.
"Kok belum pulang, Nak?!" ucapan pertama langsung disambut demikian oleh ibu Gufro. Wajarlah seorang ibu pasti mengkhawatirkan anaknya dan di lain sisi ia tak ingin anaknya bertindak melanggar norma, melampaui batasan.
"Bu maaf aku nggak balik, nanti habis subuh baru balik!" ucap Angga mencoba memberanikan diri.
"Loh kenapa?" tanya ibu Gufro bertambah cemas.
"Ini ... Lusi ... Dia tinggal sendirian, aku khawatir!" jawab Angga jujur.
"Kalo dia sendirian bawa ke sini aja! Biar tidur sama ibu!" sahut ibu Gufro, jelas ia tak setuju dengan ide putranya tersebut.
"Gimana mau bawanya ke rumah orang dia udah tidur! Tadinya aku sudah mau balik tapi dia minta setelah dianya tertidur!" lanjut Angga menjelaskan namun tanggapan ibu Gufro malah berbeda.
"Angga! Apa-apaan kamu ini, kalian belum nikah!" kata ibu Gufro dengan nada marah.
"Kok Ibu marah-marah?!" ujar Angga.
"Ya jelaslah marah, seenaknya kalian tidur berdua!" tambah ibu Gufro memarahi.
"Ya Allah Bu, Ibu salah tanggap ... Aku nggak tidur berdua!" kata Angga menjelaskan kesalah pahaman yang terjadi.
Lega ibu Gufro setelah mendapat penjelasan
lebih dari Angga, putranya. Namun kegundahan hatinya tak langsung lenyap begitu saja. Mungkin sekarang putranya bisa mengontrol diri tapi berikutnya tak ada
yang bisa dipastikan. Ia meminta Angga untuk pulang namun rasa cinta yang
tengah membara mengalahkan permintaan sang ibu. Terus Angga berusaha meyakinkan dan meminta maaf tidak bisa pulang. Pada akhirnya ibu Gufro melunak, ia memberi ijin dengan satu syarat yakni mewajibkan Angga membawa Lusi besok, memperkenalkan wanita itu. Angga menyetujuinya asal ia bisa mendapat ijin.
Kembalilah lagi Angga memasuki apartemen
Lusi, meletakkan ponsel di meja lalu berjalan ke kamar mandi luar sebelum merebahkan tubuhnya di kursi. Tak butuh waktu lama bagi laki-laki itu terlelap setelah memejamkan mata.
Di tengah malam tiba-tiba Lusi terbangun,
setelah keluar dari kamar mandi entah kenapa kakinya malah berbelok keluar, tak
langsung kembali ke tempat tidur. Dalam suasana remang ia terus melangkah,
nampak sebuah telapak kaki muncul di ujung kursi.
"Katanya mau balik?!" gumannya, langkah kakinya ia percepat guna lekas sampai pada
yang dituju.
Saat berada di samping tubuh Angga yang
tertidur di kursi senyumnya mengembang, perlahan ia menjatuhkan diri duduk di
tepi kursi. Sontak tubuh Angga bergeser memberi ruang bagi wanita itu agar
nyaman duduknya.
Dalam setengah sadar tangannya bergerak
meraih pergelangan tangan Lusi, menarik wanita itu hingga terjatuh di kursi. Tubuh Angga bergeser memberi ruang lebih kemudahan tanpa ia sadar kedua tangannya memeluk erat sang kekasih.
"Tidurlah masih malam," ucapnya antara sadar dan tidak.
Lusi tak menjawab ia hanya berusaha memejamkan mata kembali. Kursi yang tak besar membuat Angga tak nyaman, sering ia
menggeliat mencari posisi yang nyaman atau sekedar meregangkan otot tubuh yang kaku.
Karena seringnya menggeliat Lusi yang diminta kembali tidur tak bisa memejamkan mata, ia hanya diam. Tak ada yang bisa ia perbuat namun tiba-tiba Angga bersuara,
"Pindah yuk disini sempit," ucapnya kelewat rendah dan datar.
Lusi cukup kaget mendengarnya ada keraguan pula, ia tak bisa memastikan apakah laki-laki itu tersadar atau ini hanya
mengigau saja. Namun detik berikutnya setelah berucap Angga bangkit dari posisi
tidur miring yang membuatnya tak nyaman, ikutlah Lusi bangkit juga. Wanita itu
langsung memisahkan diri dan berdiri di dekat kursi, Angga menyusul kemudian.
Ia bangun dari posisi duduk dan tanpa jedah mengangkat tubuh Lusi, berjalan tenang tanpa suara ke kamar wanita itu.
Mulut Lusi terbungkam antara kaget dan tak
percaya, apakah itu mimpi atau nyata namun yang pasti perlahan kini tubuhnya dibaringkan di atas kasur. Jantung Lusi berdegup kencang terlebih saat laki-laki itu merangkak naik ke atas kasur juga. Bersembunyi di balik selimut
yang ia tarik barusan. Godaan itu belumlah berakhir tangan Angga menariknya kepelukan, mendekap tubuhnya yang memanas dan membenamkan kepalanya ke dada.
Tak ada suara yang keluar hanya gerak tubuh
saja dan itu membuat Lusi tersiksa, ia tak bisa tidur namun juga tak bisa berbuat apa-apa. Sementara orang yang telah menyebabkan kantuk itu hilang malah
lelap tidurnya, nafasnya mengambang seperti kapas tertiup angin.
Lusi yang tak bisa tidur memilih bangun,
dengan amat hati-hati ia berusaha meloloskan diri lalu merangkak turun
meninggalkan Angga seorang diri di sana. Mungkin sekitar satu jam setelahnya ia keluar dari kamar mandi dengan mengenakan jubah mandi, melangkah pelan menuju lemari untuk mengambil pakaian dan kembali ke kamar mandi.
Namun tak disangka olehnya Angga terjaga,
suara laki-laki tersebut mampu membuat Lusi kaget, tangannya yang sudah meraih lemari
kembali terhenti.
"Darimana?" tanya Angga masih dalam posisi tiduran. Suara gemericik air membuatnya
terbangun tadi dan ia cukup sabar menunggu Lusi keluar.
"Aku...." ucap Lusi tak bisa melanjutkan ucapannya.
Perlahan Angga merangkak turun, langkahnya
tenang saat mencapai Lusi yang berada di depan lemari. Entah dalam keadaan sadar seratus persen atau masih belum menyatu dengan sukmanya, tangannya meraih
pinggul wanita itu dan menariknya ke dekapan.
"Kenapa mandi malam-malam?" tanyanya di dekat telinga Lusi.
Tentu tubuh Lusi terpengaruh, nada suara
rendah yang sengaja dibisikkan di dekat ketelinga kembali membuat suhu tubuhnya
memanas. Angga mengulangi lagi pertanyaan yang sama dan itu membuat Lusi semakin gelisah.
"Itu ... Itu aku nggak bisa tidur terus ... Aku olahraga...." ucapnya berusaha menyelesaikan kalimat.
"Ayo tidur lagi," ucap Angga dan mengangkat tubuh Lusi.
"Aku mau ambil...." seru Lusi tak bisa diteruskan keburu tubuhnya sudah mencapai kasur.
Ia mencoba bangkit namun tangan Angga
mencegahnya, laki-laki itu menarik Lusi ke pelukan dan tak membiarkannya melepaskan diri.
"Aku nggak bisa tidur, bantu aku biar terlelap," ucap Angga, Lusi terdiam. Ia yang tadinya membelakangi Angga kini berganti posisi dan masih dalam pelukan laki-laki itu.
"Kok bisa? Aku rasa tidurmu terlampau lelap!" ucap Lusi ingin tahu penyebabnya.
"Itu tadi sebelum aku dengar suara air," ungkap Angga.
"Ohh...." seru Lusi kemudian kembali berbalik badan, membelakangi Angga yang masih tak
mau melepaskan pelukan.
"Tidurlah besok kamu masih harus kerja," imbuh Lusi.
"Emm...." sahut Angga.
Tak ada lagi suara yang keluar dari keduanya
baik Angga ataupun Lusi, keduanya sama-sama berusaha memejamkan mata. Tak seberapa lamanya terjadi sebuah pergerakan, tangan Angga semakin mengencangkan pelukan sedangkan kepalanya bergerak turun mendarat di leher belakang wanita itu.
"Lusi!" panggilnya dengan suara berat.
"Emm...." sahut Lusi mencoba tak terpengaruh.
Tak ada tanggapan namun tangan Angga yang erat memeluk tiba-tiba dilepaskan, bergeser pelan menuruni tubuh Lusi yang
hanya dibalut jubah mandi saja. Bukannya menolak atau mencegah Lusi malah terkesan membiarkan, memejamkan mata pula.
"Lusi!" panggil Angga lagi namun tak dijawab.
Walau mulut tak bersuara tapi bahasa tubuh
tak bisa dikhianati. Seolah mendapat jawaban tangan Angga terus bergerak pelan dan ringan, menyelinap di balik jubah mandi setelah melepas pengikat yang hanya
dililitkan saja.
"Jangan...." ucap Lusi saat tangan laki-laki itu bergerak naik menangkup sesuatu yang kembar disana.
"Aku mohon jangan diteruskan...." ucap Lusi lagi sewaktu tangan itu tak mau berhenti malah bermain disana, memancing tubuh Lusi menggeliat.
“Please aku mohon … aku ingin menjadikan ini sebagai momen terindah saat kita menikah nanti….” Imbuh Lusi, berusaha mencegah Angga.
Sebuah perjuangan bagi Angga untuk tidak
meneruskan, dengan enggan ia menarik tangan itu meninggalkan godaan kenikmatan
yang mungkin akan meninggalkan cerita panjang setelahnya.
Laki-laki itu memasang kembali tali yang
sudah ia lepas kemudian turun dari kasur meninggalkan Lusi yang masih terbaring
meringkuk di sana. Tanpa ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya ia menyelinap masuk ke kamar mandi. Tak berselang lama suara air samar-samar terdengar. Lusi segera turun dari kasur, membuka lemari dan dengan cepat berpakaian.
Cukup lama Angga berada di kamar mandi dan setelah laki-laki itu keluar ia langsung berjalan keluar kamar tak menoleh ke
tempat tidur lagi agar godaan yang tadi membuatnya nyaris menyerah tak kembali
datang.
Kembali, ia menjatuhkan tubuhnya ke kursi
mencoba memejamkan mata menanti pagi datang menjemput. Tak lupa ia memasang
alarm sebelum melipat kedua tangannya dan membiarkan mata itu terpejam walau berat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 224 Episodes
Comments
Hatijahanwar
pasti ada sesuatu di kamar mandi ha ha ha
2020-11-22
0
Eka Sulistiyowati
anggah
2020-11-19
1
mieya723
Makanya diresmiin Ngga
2020-11-08
2