CAPTER 19
CEMBURU
Sabtu pagi suasana di rumah Hasan lebih santai dari hari biasanya. Andik hanya lima hari saja sehingga ia bisa bermalas ria sembari merawat tanaman herbal yang ia budidaya. Rutin Ilyas menyirami tanaman hias dan bunga di halaman pagi itu, ia juga lebih santai karena jam kerja di akhir pekan jam delapan tiga puluh.
Hanis dari jendela kamar mengintip
keluar, melihat Ilyas sedang menyiram segera ia mengambil kerudung instan.
Berlari cepat keluar rumah mendatang Ilyas. Tiba-tiba saja wanita muda itu
berada di samping Ilyas dan mengguncang lengannya.
Ilyas menoleh, "Aku kira siapa, ngagetin gitu!" seru Ilyas. Membalikkan pandangan ke tanaman yang ia siram.
"Kak, gimana pedekatenya sama ibu
Indah?!" tanya Hanis bersemangat.
Ilyas tidak menjawab hanya fokus menyiram tanaman hias dan bunga, Hanis diabaikan saja. Sudah kepalang tanggung keluar dari kamar Hanis terus mendesak, diguncang lengan Ilyas hingga laki-laki itu buka mulut.
Di lantai dua di rooftop Naura yang juga sibuk merawat bunga -bunga di sana termasuk bunga big smile, tak ia sengaja menoleh ke bawah. Melihat adegan dimana Hanis dan Ilyas terlihat akrab ia tersentak bahkan tangannya yang tadi sedang menyiram bunga terhenti saat itu juga. Itu pemandangan pertama yang ia lihat, sebenarnya ia tidak mempermasalahkan tapi bagaimana mereka bisa menjadi akrab itu tanda tanya besar.
"Mereka? Kapan mulai akrabnya?!" gumam Naura.
Sama dengan Naura yang dibuat kaget, Andik baru saja selesai menjemur baju sekaligus membersihkan kamar mandi di lantai satu dan memasuki kamar. Niatnya ingin melihat tanaman herbal di luar, di depan kamar maksudnya namun matanya tak sengaja melihat sebuah pemandangan tak biasa lewat jendela kamar yang terbuka.
Kaki Andik tanpa disuruh melangkah ke jendela, detak jantungnya mulai tak beraturan saat memusatkan penglihatan ke luar jendela. Melihat Hanis dan Ilyas menyirami tanaman berdua sambil berbincang akrab menyentak hatinya yang tenang. Penasaran apa yang mereka bicarakan hingga se akrab itu tergugah Andik untuk menghampiri mereka berdua.
"Perasaan baru kemarin dibilangin
jangan ngelihat cowok lain, ehh ini aku malah dikasih adegan live!" gumam
Andik kesal.
Langkahnya cepat keluar kamar, membuka pintu gudang untuk mengambil peralatan berkebun seperti sekop kecil, ember, sudip tangan dan lainnya. Tidak ada senyum di wajahnya kala keluar ke halaman depan, ia juga tidak bersuara. Di atas Naura melihat semua drama itu, Hanis dan Ilyas yang akrab dan muka Andik marah berjalan mendatangi mereka.
Melihat pemandangan itu justru senyum
Naura mengembang, "Andik itu," gumamnya.
Kembali ke bawah Andik tak tahan lagi melihat keakraban mereka berdua, langkahnya tambah tergesa-gesa
mendatangi Hanis dan Ilyas. Seenaknya
saja ia muncul diantara keduanya, memisahkan mereka agar tak menempel lagi.
"Ngagetin beneran kamu Dik!" sentak Ilyas.
"Bukan aku yang ngagetin tapi
kalian yang terlalu fokus berduaan tahu!" sahut Andik tak kalah tinggi nada suaranya. Dari atas Naura menahan tawa melihat kecemburuan Andik yang terlalu kentara walau laki-laki itu tidak akan mengakuinya.
"Udah sana urus tanamanmu itu! Gangguin aja!" seru Ilyas mengusir Andik. Hanis menangkap signal kecemburuan di wajah Andik, senang hatinya.
"Nis, bantuin aku!" ucap Andik. Tangannya menarik Hanis agar tidak nempel ke Ilyas, sayangnya Hanis jelas menolak.
Mata Andik melotot, hendak keluar dari lubangnya mendapati penolakan Hanis terang-terangan. Tetap dia tidak berniat melepaskan genggaman tangan walau Hanis memintanya.
"Ayo bantuin," ucapnya lagi. Menyeret paksa Hanis yang kekeh menolak namun tetap diabaikan.
"Aku nggak mau kotor-kotor!" seru Hanis. Tetap saja diseret paksa, Ilyas hanya memperhatikan saja.
Sudah cukup bagi Naura menjadi penonton, segera ia turun ke bawah untuk menyiapkan sarapan. Tadinya ia berniat mengajak Hanis membantunya di dapur tapi kini ia tak jadi, biarlah ia sendirian saja dia tidak ingin mengusik keasyikan mereka.
"Perasaan itu tanaman sehat wal afiat nggak perlu dirawat lagi!" seru Hanis. Ia hanya berdiam diri tidak membantu, mukanya juga nampak tak senang. Bahkan suara yang keluar hanya menyakitkan hati saja.
“Hatimu itu yang perlu dirawat biar
nggak panas!” imbuhnya.
“Apa kamu bilang?!” sentak Andik tidak
terima. Hanis menjawabnya dengan menggerutu tak jelas. Andik yang kesal menarik telinga wanita itu, akhirnya perang mulut pun tidak bisa dihindari.
Pekerjaan Ilyas sudah hampir selesai, sebentar ia melirik melihat percekcokan kecil mereka berdua. Lumayan terhibur sehingga ia tidak berniat masuk diantara mereka berdua apalagi ikut campur hanya menonton saja.
"Kok nggak dibantuin, Nis?!" tanya Ilyas saat sudah berada di dekat mereka.
"Iya ini anak kalo ke aku perlakuannya beda, coba kalo sama yang lain termasuk dirimu beda banget!" sahut Andik menyindir Hanis. Namun sayangnya wanita itu sama sekali tidak tersinggung malah menikmatinya. Justru ia semakin menggodok kemarahan Andik.
"Itu kan terserah aku ... Siapa dirimu?!" ucap Hanis percaya diri.
"Daripada di sini kena marahan terus mending aku bantu masak aja!" lanjutnya.
Kemudian tidak melihat ke arah Andik lagi ia bangkit. Melangkah lurus ke dalam rumah meninggalkan Andik dan Ilyas. Tak kuasa lagi Ilyas pun meledak tawanya. Merasa dipermalukan dan bahkan kini Ilyas menertawakan dirinya Andik pun menginjak kaki Ilyas. Tawa berubah jadi jeritan kesakitan.
"Benar-benar Kamu, Dik!" sentak Ilyas.
"Rasain itu siapa suruh ketawa! Teman lagi emosi malah menikmati!" sahut Andik.
Ilyas yang tak terima menendang ember hitam di dekatnya kemudian berlari ke dalam rumah. Kabur sebelum ia terkejar oleh Andik yang bahkan tak beranjak dari duduk jongkoknya itu. Laki-laki itu justru melampiaskan kemarahan pada tanaman herbal yang ia budidaya, daun-daun kering ia pangkas dengan serampangan sambil mengomel tak karuan.
"Awas kamu, begitu yang lain berangkat saatnya buat perhitungan," batin Andik tak hentinya mengomel.
Selesai merawat tanaman herbal termasuk memberinya pupuk organik Andik membersihkan semua peralatan berkebun, sisa pupuk ia bawa lagi dan disimpan di gudang bersama dengan peralatan lain.
Aktivitas di dapur sudah selesai, tampak meja makan dihiasi makanan yang dimasak Naura dan dibantu Hanis. Ilyas lebih dulu selesai berdandan, keluar ia dari kamar dengan penampilan tidak bisa. Ada sedikit perubahan dari caranya berpenampilan, termasuk aroma parfum yang berganti. Andik saat itu duduk di ujung tangga bawah memperhatikan Ilyas, mulai dari sepatu ia pelototin hingga rambut yang nampak licin oleh pomade.
"Kebanyakan ngasih pomade itu, sampek mengkilap! Entar dikira minyak goreng yang dituangkan ke rambut!" sindir Andik.
"Nggak usah ngada-ngada deh! Urus
saja dirimu!" sahut Ilyas tidak terima.
"Nggak percaya, ngaca tuh di depan
kamar mandi!" kata Andik menyarankan.
Ilyas tidak menghiraukan, ia melangkah ke ruang makan. Namun pikirannya tak nyaman, kata-kata Andik barusan masuk ke rongga otaknya dan mengganggu pikiran. Ia pun berbelok ke kamar mandi walau langkahnya berat. Andik sang pengamat kembung mulutnya menahan tawa.
Diperhatikan rambutnya dengan seksama oleh Ilyas setelah sampai depan kaca di wastafel luar kamar mandi. Benar juga sangking menggebu-gebu hatinya tak sadar jarinya mencolok pomade terlalu banyak.
"Benar juga, ini kebanyakan," gumamnya.
Dengan muka datar Ilyas berjalan kembali ke kamar dan detik kemudian ia keluar lagi tanpa mengenakan baju alias bertelanjang dada. Oh, tepatnya cuma memakai kaos oblong warna abu-abu.
"Tuh untung dengerin omonganku,
ini gunanya teman Bung!" ujar Andik.
Kesal, Ilyas berjalan ke rak sandal. Menarik secara asal dan melemparkannya ke Andik. Namun sayang Andik bisa menghindar, sandal itu hanya memukul angin saja. Tawa Andik pecah lantaran tampang Ilyas bertambah kesal. Ilyas tidak menanggapi terus saja melangkah ke kamar mandi dan menutup pintu dengan kasar.
Dalam kamar Hanis ikut geram mendengar tawa Andik, tak hentinya itu mulut menggerutu tak jelas. Ingin rasanya ia keluar dan berteriak pada Andik tapi itu tidak mungkin. Sangking geramnya ia bahkan menghayal, menyumbal mulut Andik. Wanita itu tertawa sendiri dengan khayalan yang ia ciptakan.
"Ketularan gila aku," gumamnya dan berjalan ke depan lemari mengecek penampilan.
Penampilan sudah bagus, Hanis keluar segera dari kamar. Baru saja menutup pintu dan berjalan beberapa langkah terlihat sosok Andik duduk di ujung tangga paling bawah
memperhatikan dirinya. Ia yang tadi bahkan sempat menghayal menyumbal mulut
Andik kini malah tertunduk malu.
Andik terkesima, ia hendak bangun namun tak jadi kala mendengar suara pintu kamar mandi dibuka. Berikutnya keluar Ilyas sambil mengelap rambutnya dengan handuk supaya kering. Ia tak memperhatikan Andik terus melangkah menuju kamar.
"Baru selesai mandi Kak?!" ujar Hanis, menghentikan langkah kaki Ilyas.
"Oh nggak cuma keramas, tadi
kebanyakan ngasih minyak rambut!" sahut Ilyas, menoleh ke Hanis.
Sebelum bersuara lagi Hanis masih sempat melirik ke Andik. Kemudian dengan sengaja ia menawarkan bantuan pada Ilyas.
"Kak, biar cepat kering pakai hair
dryer aja! Mau aku ambilkan di kamar?!" ucapnya, perhatian.
Perasaan Andik mulai
waspada, giginya mengatup rapat menahan gelombang emosi yang menerpa. Abai saja
Hanis, ia berlari ke kamar begitu Ilyas mengangguk. Dan tak berselang lama
wanita itu muncul lagi dengan membawa pengering rambut di tangan, ia serahkan
segera ke Ilyas; di hadapan Andik tentunya.
"Makasih, aku pinjam ya bentar!" ucap Ilyas tulus.
Di pertengahan tangga Naura yang juga sudah siap sekali lagi melihat adegan asmara diselimuti amarah. Sambil senyum-senyum ia menuruni tangga dengan pelan, duduk tepat satu tangga di atas Andik. Kemudian, ia dorong tubuhnya ke depan dan berbisik di
telinga Andik.
"Cemburu artinya cinta, sudah
nyatakan saja," ucap Naura memprovokasi.
Seketika itu Andik menoleh ke belakang, matanya terbuka lebih lebar menatap Naura. Namun mulut laki-laki itu membeku, tidak bisa membalasnya. Senyum di wajah Naura belumlah hilang. Bahkan semakin mengembang karena ternyata Hanis mendatangi mereka dengan langkah kaki yang sangat ringan. Wanita itu berdiri mungkin setengah meter dari posisi Andik duduk. Tidak ada suara hanya melempar senyum, Naura memberi kode supaya Andik berbalik badan lagi menoleh ke depan.
"Huh Kamu!" sentaknya kaget.
Naura dan Hanis kompak tertawa karena berhasil menjahili Andik. Laki-laki itu ingin membalas namun tak bisa lantaran ada Naura diantara mereka. Jika tidak ada ia sudah pasti membuat perhitungan pada Hanis. Alih-alih melampiaskan kemarahan Andik menyambar tangan Hanis dan menariknya hingga Hanis terpaksa duduk di samping dirinya.
"Kenapa kita malah duduk di sini?!" seru Naura menyadari mereka berkerumun di tangga.
"Tetap aja di sini Mba, kita tunggu sampai si bujang yang lagi jatuh cinta muncul!" saru Andik. Hanis kaget mendengarnya, ia menoleh ke Andik dengan kedua alis menyatu.
"Jatuh cinta?!" seru Hanis terlepas dengan sendirinya.
Andik menoleh, mengamati Hanis yang nampak kaget. Dalam hitungan detik lamanya ia tidak bersuara, mencari sesuatu yang tersembunyi di balik ekspresi wajah Hanis.
"Iya, kenapa kaget gitu? Ngerasa
kamu kalo dia lagi jatuh cinta?!" ujar Andik, salah paham.
"Nggak tuh!" sahut Hanis, memalingkan muka.
Tubuh Naura terdorong ke depan lagi,
untuk kedua kalinya ia berbisik di telinga Andik, "Darimana kamu tahu kalau dia lagi jatuh cinta?!" tanya Naura menggoda Andik.
"Orang yang paling sederhana
penampilannya, terus agak nggak suka sama minyak rambut malah pagi ini tadi dia
pakai minyak rambut sampek mengkilap! Bukan cuma itu aja Mba, bau parfumnya
sudah ganti!" tutur Andik menceritakan.
"Ohh gitu ya kalo cowok lagi jatuh
cinta?! Emm ... Tapi ngomong-ngomong Kamu jatuh cinta kok malah marah-marah
terus bawaannya?!" seru Naura malah menyindir Andik.
"Emang siapa bilang aku ini lagi jatuh cinta Mba?!" balas Andik membela diri tapi mukanya memerah.
"Siapa yang bilang?! Ya mbalah ...
Jelas kok kelihatan!" lanjut Naura.
Hanis yang tadi hanya menutup mulut kini ikutan bersuara, wanita itu memilih berada di satu perahu dengan Naura; menggoda Andik. Memancing laki-laki itu lepas bicara namun sayangnya masih tidak berhasil.
"Emang Kakak lagi jatuh cinta?
Sama siapa? Aku pikir nggak bakal bisa merasakan yang namanya cinta!" kata
Hanis menambah panas dada Andik.
Andik sudah membuka mulut namun belum bersuara saat Ilyas keluar dari kamar dan nampak sudah rapi. Dengan pengering rambut di tangan ia berjalan mendatangi mereka yang berkerumun di tangga tapi Hanis cepat-cepat bangun datang ke Ilyas.
"Wah Kakak kelihatan beda, ganteng
banget!" pujinya membuat Ilyas tersipu.
Dua orang di tangga memperhatikan keakraban Hanis dan Ilyas yang disangkakan memiliki hubungan khusus. Naura tak hentinya memanas-manasi Andik, berbisik di telinga.
"Kayaknya kamu kalah cepat deh,
tuh lihat Hanis langsung beda sikapnya! Nggak kayak pas di dekat kamu,"
ucap Naura.
Mulut Andik rapat tertutup sementara dadanya mendidih dengan amarah. Dua orang terduga malah tidak menyadari, dengan langkah santai Ilyas mendatangi mereka berdua sedangkan Hanis menaruh pengering rambut ke kamar.
"Ada apa gerangan kok malah duduk
di tangga pagi-pagi?!" tanyanya tanpa dosa.
"Tak ada gerangan! Sudah ayo
sarapan entar Kamu telat!" sahut Andik bangun dari duduknya.
Naura menyusul, sebelum melewati Ilyas
ia menepuk pundak laki-laki itu seraya berkata dengan nada rendah. "Ayo
sarapan," ajaknya.
Ada perasaan tak nyaman mengganjal di hati Ilyas. Ia ingin meminta penjelasan tapi merasa itu berlebihan jadinya ia bungkam saja; berjalan menyusul mereka yang di depan. Baru beberapa langkah berjalan menyusul Hanis yang keluar dari kamar berlari untuk mencapai Ilyas.
"Kak, nanti sore jemput aku kan?!" tanya Hanis dengan maksud lain.
Dua orang yang sudah mencapai meja makan masih bisa mendengar ucapan Hanis, mereka cukup terpengaruh dan bertambah curiga saja sementara mereka berdua yang tidak menyadari dengan santai bergabung.
Di meja makan Andik tidak banyak bersuara, hanya menikmati sarapan yang terasa hambar di mulut. Hingga sarapan selesai hatinya tetaplah gundah, tak sabar ia menunggu mereka berdua berangkat.
Baik Naura ataupun Ilyas sudah bersiap-siap meninggalkan rumah, Hanis kembali lagi ke kamar memasukkan beberapa buku ke dalam tas; bersiap-siap untuk berangkat walau jadwal kuliah hari itu masih jam sembilan pagi.
"Berangkat ya," pamit Naura pada Andik yang berdiri di teras rumah.
Andik membalasnya dengan senyuman dan mengangkat tangan kanan saat mobil kuning yang dikendarai Angga meninggalkan garasi; keluar dari pagar. Berikutnya Ilyas yang pamit, Andik hanya berguman. Mengangkat tangan dengan enggan saat Ilyas menjalankan motor.
Dua orang sudah keluar, Andik bergesas masuk ruang. Ia mengetuk kamar Hanis sekali kemudian dengan berani menerobos masuk. Hanis cukup kaget, tas yang ditangan ia taruh
lagi di meja.
"Main nyelonong gitu aja ke kamar
cewek itu nggak sopan," tegur Hanis.
Andik tak peduli, ia sudah mengetuk pintu setidaknya yang di dalam mendengarnya. Ia berdiri tegak di dekat Hanis, menatapnya lekat sebelum meluapkan emosi yang tertahan sedari tadi. Hanis tahu perihal kemunculan Andik, ingin rasanya ia melompat merayakan keberhasilan besar telah membuat Andik marah; cemburu tepatnya. Alih-alih merayakan kemenangan Hanis semakin memancing amarah.
"Kamu ini emang geganjenan ya,
rasanya belum berganti bulan aku yang bilang jangan ngelihat cowok lain ini malah sok manis, sok akrab!" kata Andik menggebu.
"Yes, berhasil!" batin Hanis menjerit kesenangan.
"Lah bagiku kak Ilyas itu sudah
kayak kakak sendiri, wajar dong kalo aku akrab sama dia?! Tambah lagi kak Ilyas
orangnya nyaman, dewasa dan melindungi!" sanggah Hanis.
"Wah sejak kapan dirimu manggil
kakak?! Berasa kayak mimpi saja Hanis yang angkuh, tidak mau diatur kini sok
manis dan bahkan manggil kakak! Kepincut sama Ilyas Kamu?!" sindir Andik
bertambah menggebu.
"Terserah aku dong mau panggil dia
kakak apa nggak, kak Ilyas baik ... Ganteng juga rasanya cukup masuk akal kalo
aku suka sama dia!" balas Hanis tambah membakar amarah.
"Hanis!" sentak Andik.
"Apa sih kok bentak aku?! Kan
sudah jelas Kamu bilang kalo kita nggak terlibat dalam sebuah hubungan, dan
juga biarkan mengalir apa adanya! Aku hanya ngikuti hatiku akrab sama kak
Ilyas!" sanggahnya lagi.
"Kamu boleh akrab sama yang lain
asal jangan sama Ilyas!" ujar Andik kalah berdebat.
"Loh kenapa? Terserah aku kan?!
Cemburu Kamu? Terus kalo aku akrab sama cowok selain kak Ilyas artinya Kamu
nggak cemburu gitu?!" cerca Hanis semakin menikmati aktingnya.
Andik tidak menjawab, mulutnya terbujur kaku antara mengakui jika dirinya cemburu atau menyanggahnya. Tak kalah akal Hanis bersuara lagi, memancing laki-laki itu
mengungkapkan apa yang dirasakan.
"Berhubung tak ada jawaban maka
aku anggap tidak cemburu so lampu hijau nih buat aku," ucapnya. Kemudian
meraih tas di meja meski tak ada niatan untuk pergi sebenarnya namun kakinya
dipaksa melangkah. Bertaruh dengan keyakinan jika lelaki itu akan menghentikan
dirinya. Batin Hanis menghitung langkah kaki penuh harap.
"Ayo buka mulutnya, please...." gumam batin Hanis.
Tepat di depan pintu kamar Andik yang tadi terdiam akhirnya terlepas juga suara dari mulutnya meski rendah namun terdengar jelas di telinga Hanis yang sudah mekar sedari tadi.
"Ya cemburu juga ... Tapi ... Nggak sebegitu menyakitkan ngelihatnya...." aku Andik rendah.
Jantung Hanis serasa berhenti berdetak mendengar pengakuan itu, ia ingin lebih dari sekedar pengakuan saja. Namun suara lemah Andik cukup membuat hatinya luluh. Ia
berbalik badan, melangkah maju mencapai Andik.
"Udah sana mandi! Mau antar aku ke
kampus nggak?!" ujarnya masih menahan diri tak jatuh kepelukan.
Andik tetap tak bergeming, melangkah pun tidak. Terpaksa Hanis mengambil tindakan, tangannya meraih tangan Andik dan menyerat pelan laki-laki itu keluar dari kamar. Tidak ada perlawanan yang didapat, namun langkahnya tak bertenaga menuruti Hanis yang menyeret dirinya ke kamar mandi.
"Aku tunggu jagan lama-lama,"
ucap Hanis sebelum meninggalkan Andik di depan pintu kamar mandi.
Masih tidak bersuara Andik kala mendorong pintu dan masuk. Hanis duduk di ruang keluarga, menyalakan televisi dan menonton apa saja yang terputar. Hingga lebih dari seperempat jam lamanya Andik muncul dari belakang hanya dengan melilitkan handuk warna abu-abu, menutupi bagian tertuntu namun mempertontonkan bagian atas tubuh.
Kulit coklat basah mampu mengusik ketenangan batin Hanis, matanya melotot
melihat pemandangan langka itu. Otot lengannya mengolok batin Hanis, juga dada
bidangnya hasil latihan teratur juga turut serta mempermainkan batin wanita
itu.
"Duh cowok ini kenapa kelihatan
seksi sekarang?!" baginya menjerit frustasi.
Andik memasuki kamar
tanpa menoleh kanan kiri termasuk Hanis yang duduk di kursi ia abaikan begitu
saja. Tak berselang lama dari hilangnya ia di balik pintu laki-laki itu muncul
dengan penampilan lumayan. Setelan celana jeans, kaos garis-garis dan jaket
warna hijau seaweed model blouson membalut tubuh Andik.
Tanpa disuruh senyum
Hanis terjalin, tangannya tak sabar meraih remot dan mematikan televisi. Ia
bangkit segara dari duduknya, melangkah mendatangi Andik yang juga berjalan ke
arahnya.
"Kenapa senyum-senyum?!"
tanya Andik masih nempel amarah di dada.
"Aku suka penampilannya, serasa
mau kencan aja!" ucap Hanis.
Ada satu hal lagi yang
sebenarnya ingin ia ucapkan namun besarnya rasa malu mencegah dirinya untuk
berucap. Cukup dalam hati ia mengakui dan memuji ketampanan Andik, ketampanan
lelaki Indonesia sepenuhnya, murni tanpa campuran.
"Ayo berangkat entar telat,"
ucap Andik datar.
Selesai berucap ia
langsung berlalu dari hadapan Hanis, tidak ada adegan tanganya meraih Hanis
atau sekedar berjalan berdampingan. Hanis menyusul sambil menggerutu tak jelas,
ia cukup sakit hati karena tak diperhatikan oleh Andik.
"Nih!" seru Andik,
menyerahkan helm.
Selagi helm dipasang
Andik menyalakan motor, memutar balik dan keluar dari garasi. Hanis bertambah
kesal, ia melangkah keluar dari garasi yang tertutup secara otomatis. Dengan
muka kusut ia naik ke boncengan, baru saja duduk nyaman dan motor melaju tak
kuasa menahan kedongkolan hati tangan kanan Hanis mencubit keras perut Andik.
"Aww!" jerit Andik kesakitan.
Seketika ia menepi;
menghentikan laju motor. Andik melepas helm dan menggantung di spion motor
kemudian menoleh ke belakang. Muka Hanis masih kusut kala Andik menatapnya.
"Kenapa berhenti? Katanya tadi
buruan takut telat?!" omel Hanis.
"Jelaskan kenapa tadi nyubit
aku?" sahut Andik terpancing emosi.
"Habisnya Kamu ... Aku
diabaikan...." ungkap Hanis merendah suaranya.
"Ayo jalan!" ujar Hanis tidak
ingin berdebat lagi.
"Janji dulu ke aku kalo kamu nggak
bakal dekat sama cowok lain termasuk Ilyas!" kata Andik bernegosiasi.
"Atas dasar apa ngasih peraturan
gitu ke aku?!" jawab Hanis menolak.
"Aku nggak suka...." ucap
Andik pelan.
"Lucu masak gara-gara nggak suka
bikin peraturan kayak gitu?! Aku menolak, terkecuali aku milikmu!" ujar
Hanis bermain perasaan.
"Kamu akan menjadi milikku,"
ucap Andik cepat dan rendah.
Senangnya hati
Hanis, ingin ia memeluk Andik. Penuh perjuangan ia bertahan menjaga sikap,
kembali ia bersuara memancing Andik lebih jelas mengungkapkan perasaannya.
"Oh benarkah? Kalo memang demikian
ungkapkan perasaanmu dengan sungguh, sebelum kamu mengungkapkan maka bebas
bagiku menjalin hubungan dengan siapa saja!" kata Hanis memberi jalan pada
Andik. Tinggal bagaimana laki-laki itu tetap jalan ditempat atau mengambil
langkah cepat.
Sesuai dugaan awal
Andik tidak memberi jawaban sebalikya ia memasang helm dan menjalankan motor
lagi. Dengan laju sedikit di atas normal ia mengantar Hanis hingga depan
kampus. Hanis membalas sikap bisu Andik, diserahkan helm yang tadi dipakai
tanpa menoleh padanya. Namun sebelum berjalan melewati gerbang Hanis berucap,
"Nanti aku pulangnya jam dua." Seusai berucap demikian Hanis tidak
menoleh lagi ke belakang, berjalan lurus melewati gerbang yang terbuka lebar.
Andik di atas motor
memperhatikan wanita itu, tidak ada senyum juga tidak nampak kemarahan datar
saja ia. Saat Hanis semakin menjauh dan tak terlihat ia berkendara lagi. Tidak
jelas tujuannya hanya berkeliling saja, di tengah jalan ia teringat dengan
ucapan Naura di tangga tadi pagi membuat wajah Hanis terlintas.
"Cewek itu," gumannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 224 Episodes
Comments
Ibunya Esbelfik
iiihh geeemmmnuuussssshhhhh sm andik😊😊😊
2020-12-05
1
mieya723
Ayoo lanjut Nis 😁😁😁😁
2020-11-09
1
Kiki Sulandari
Hanis berhasil membuat Andik cemburu
Dan mengatakan isi hatinya pada Hanis...❤❤❤❤❤
2020-11-06
1