SUAMI PILIHAN PAPA 2
CAPTER 1
POSTINGAN ANDIK
Hari ini Ilyas berangkat kerja diantar oleh
Andik lantaran kemarin laki-laki itu kena apes, motornya keserempet mobil box. Kebetulan
juga sekolah tempat Andik mengajar satu jalur namun lebih jauh jaraknya. Dan
sore itu tepat pukul tiga tiga puluh Andik keluar dari gedung sekolah, sekolah
dimana ia mengajar menerapkan system full day. Ia agak terburu-buru meninggalkan ruang guru, langkahnya juga cepat menyusuri lorong sekolah melewati lapangan untuk bisa
mencapai tempat parkir.
"Udah keluar belum ya itu anak?!" gumannya sambil naik ke motor. Kemudian segera
tancap gas meninggalkan sekolah, menerobos gerbang. Seperti biasa tangan
kirinya selalu terangkat manakala melewati pos keamanan.
Baru beberapa menit berkendara menyusuri
jalanan yang mulai padat ponsel Andik berdering namun ia abai, yakin jika dering
ponsel itu tak lain dari Ilyas yang memintanya dijemput. Benar juga setibanya ia di depan kantor pemerintah tepatnya kantor Pajak dan Retribusi Daerah Ilyas sudah nongol di luar. Berdiri tak sabar menunggu kedatangan Andik di depan tulisan instansi tersebut.
"Lama, Dik?!" cerca Ilyas, dan memasang helm segera.
"Lama apanya?! Orang langsung keluar habis ngajar! ... Tapi mampir dulu ke ruang guru buat absen...." ucapnya yang meninggi di awal namun rendah di akhir kalimat.
"Ya … sorry nggak usah ngegas!" balas Ilyas, ditepuknya pundak Andik supaya menjalankan motor secepatnya.
Sambil berkendara mereka tak hentinya bicara ini itu seputar pekerjaan mereka masing-masing. Namun ujung-ujungnya tema pembicaraan malah menjurus pada bisnis receh-receh yang digeluti Andik.
"Aku itu sampek hari ini nggak percaya kamu ini jadi guru, Dik!" seru Ilyas,
cukup beralasan mengingat karakter slengean Andik, tak bisa dibayangkan
bagaimana sosoknya di sekolah terutama saat berhadapan dengan murid-murid.
"Kenapa?! Kamu meragukan kemampuanku?!" cerca Andik, tidak terima dengan pendapat sentimen yang masih ditujukan padanya.
"Kalo soal akademik aku masih bisa kompromi, tapi ... Karaktermu itu! Nanti jadi stres semua murid mu Dik!" ujar Ilyas, meledek dan meremehkan Andik.
Andik yang tak terima dengan pernyataan Ilyas, dibukanya itu mulut untuk membuat
pembelaan diri. "Enak aja! Gini-gini aku ini guru idola tahu!" seru Andik, memamerkan dirinya sendiri.
"Idola?! Idola dari Hongkong?!" sahut Ilyas.
"Loh nggak percaya! Apalagi di kalangan guru terutama yang cowok beh! Bisa diibaratkan
aku ini dewa mereka! Dewa khusus percintaan!" kata Andik, terkekeh dengan
ucapannya sendiri.
Ilyas tak menggubris, tiba-tiba saja sesuatu
yang terlupakan muncul kembali di ingatannya. Tak sengaja tangan Ilyas merespon duluan, ditepuknya kencang pundak Andik bahkan laki-laki itu protes lantaran terasa sakit.
"Dik, aku lupa!" ujar Ilyas, tanggapan Andik berada di seberang lain. Kakinya spontan menginjak pedal rem sehingga nyaris saja mereka berdua salto.
Sialnya Andik, sudah hampir jatuh untung
kakinya yang satu sigap turun ke aspal malah kini mendapat omelan dari Ilyas.
Laki-laki itu menyalahkan Andik padahal secara tidak langsung ucapannya yang
ambigu diterima lain oleh Andik, dan itulah penyebabnya kaki Andik menginjak rem dadakan.
"Kok malah nyalahin aku?!" sentak Andik tidak terima.
"Lantas nyalahin siapa?! Orang Afrika sana?! Atau Ferguson yang nggak tahu apa-apa?!" balas Ilyas tak kalah meninggi.
"Itu tadi Kamu lupa apa?! Suara melengking gitu ngomongnya!" lanjut Andik masih belum turun level.
"Oh iya Dik, temanku lagi renggang sama
istrinya," ucap Ilyas, menyampaikan apa yang tadi tiba-tiba muncul diingatan.
Masih dengan nada tinggi belum turun level Andik menjawabnya, "Apa hubungannya
sama aku?!" tanyanya tak kalem.
Kepala Ilyas bergerak maju, mulutnya ia bimbing mendekat ke telinga Andik. Dengan nada rendah ia berbicara, "Katanya istrinya ngambek, mempermasalahkan dia yang
mainnya berasa kayak kedip mata udah selesai." Andik nyengir mendengar cerita Ilyas.
Ia tak langsung menjawab, santai saja menatap jalanan yang di depan sampai-sampai tangan Ilyas menepuknya lagi namun rendah. Menuntut laki-laki itu memberi kepastian jawaban.
"Nggak bisa langsung jamu itu Yas, aku lihat dulu ... Ok bilang ke temannya itu kapan
bisanya terus nanti janjian," kata Andik akhirnya bersuara.
"Ok, siap!" sahut Ilyas.
“Harap diingat ilmu itu mahal nggak gratis, Bung!” tambah Andik.
“Iya aku paham, harap diingat juga aku layak dapat komisi!” balas Ilyas tidak mau kalah.
“Kapan aku nggak ngasih komisi, Bung?!” lanjut Andik mengejar argument.
“Iya juga sih….” Ilyas nyengir saat menimpali ucapan Andik.
Ilyas tak lagi bicara hanya diam menikmati suasana sore jalan raya yang bising dan padat. Namun tak seberapa lama dari diamnya itu tak sengaja matanya menangkap sesuatu yang menyegarkan mata.
Untuk kesekian kalinya Ilyas menepuk pundak
Andik, menyuruh laki-laki itu menepi sekitar lima meter di depan. Lebih tepat lagi menepi di dekat pedagang yang sedang menjajakan buah mangga. Begitu Andik memarkir motor turun segera Ilyas yang tak sabar membeli, sembari menanyakan harga buah mangga itu tangannya sibuk memilih buah yang tidak terlalu matang.
"Ini masih segar, Mas! Saya beli langsung ke yang punya pohon!" kata pedagang itu menjelaskan padahal Ilyas tak menanyakan.
Andik datang di dekat Ilyas tapi tiba-tiba ia
bergeser menjauh, membuat jarak dengan Ilyas. Seiras dengan otak jahilnya yang
mulai bergerak tangannya juga resek mengeluarkan ponsel dari persembunyian.
Cekatan ia mengambil gambar Ilyas yang sedang fokus memilih buah mangga
kemudian memposting hasil jepretannya saat itu juga.
Ilyas belum juga menyadari jika Andik
mengambil foto dirinya dan memposting ke akunnya dengan caption ‘Hingga musim
mangga masih betah menjomblo’. Tak sadar Andik padahal dirinya juga sama, masih
betah menjomblo.
Sambil nyengir Andik berjalan kembali ke
motor, ia menunggu Ilyas yang masih tak beranjak dari lapak pedagang buah.
Terus ia nyengir menatap layar ponsel, sementara jari jemarinya cekatan membalas setiap komentar yang membanjiri beranda akun. Tak luput Ilham turut mengomentari postingan itu dengan mengetik penggalan lirik lagu dari Wali band namun sedikit improvisasi; timur ke barat selatan ke utara, tak juga aku berjumpa. Dari musim duren hingga musim mangga tak kunjung aku dapatkan tak juga aku temukan, Tuhan, inikah cobaan? Demikian yang ditulis Ilham di laman komentar yang diakhiri dengan imoji memakai kacamata hitam sebanyak tiga kali serta satu imoji menjulurkan lidah.
Tawa Andik pecah sampai lupa dimana ia saat itu membaca komentar yang ditulis Ilham. Mendapati temannya kumat, Ilyas
memutar kepala menyoroti Andik yang bahkan tak menoleh, sibuk menatap layar
ponsel sambil senam jari. Berhubung teguran saja tak akan mempan bola mata Ilyas melirik ke bawah, mencari kerikil kecil untuk dilemparkan ke Andik.
"Rasain ini ya!" gumam Ilyas, mengatupkan gigi kala bergumam. Dengan kekuatan maksimal ia melempar kerikil itu tepat mengenai paha Andik, memang sengaja diarahkan ke bagian itu.
Kaget, Andik menoleh ke datangnya kerikil. Mata Ilyas sudah siap melotot sewaktu Andik berpaling ke arahnya, mencekal ia yang hendak protes.
"Apa?! Benar-benar kamu ini, Dik!" ujar Ilyas memarahi sebelum dirinya dimarahi oleh Andik.
"Ayo buruan! Kayak cewek aja beli sesuatu kelamaan di nawarnya!" balas Andik,
agak kesal juga namun tak sampai terpancing. Masih ada hal lain yang menyita
fokusnya namun ia harus segera menutup layar ponsel dan mengembalikan ke tempat
persembunyian.
Ilyas sudah di boncengan dengan kresek
berisi buah mangga di tangan, ia menyuruh Andik segera menjalankan motor.
Mengingat matahari sudah tak sabar ingin beristirahat, lekas Andik membawa motor dengan kecepatan di atas normal.
Naura di rumah sedang duduk di rooftop
sambil mendesain gaun saat suara motor Andik terdengar, segera ia turun dari
lantai dua menggeletakkan semuanya di meja begitu saja hanya untuk berhambur menyambut keduanya yang melangkah memasuki rumah. Seolah tak kehabisan bahan pembicaraan mereka berdua masih saja bersilat lidah, Naura tak menegur karena
justru suara mereka tak ubahnya hiburan buat dirinya selagi berada di rumah tanpa kehadiran sang suami.
"Mba, pak Pegawai kita beli oleh-oleh nih!" seru Andik dengan ciri khas gaya bicaranya.
"Lantas pak Guru kita bawa apa?!" balas Naura, memancing tawa Ilyas. Ia merasa puas mendapati Naura membalas demikian, secara tidak langsung ia telah mewakili Ilyas.
Lekas Ilyas menyahut, membantu Naura mencemooh Andik yang memiliki mulut jahil. "Pak Guru kita bawa buku modul Mba!" kata Ilyas menyindir.
Tak mau jadi bulan-bulanan mereka berdua
yang sedang bersatu padu, tak kehilangan akal Andik melempar pertanyaan yang
melenceng. Menyudahi sahutan pedas mulut Ilyas dan Naura yang bergantian menyindir.
"Mba, itu ... cewek selusin udah balik belum?" tanya Andik dengan nada serius. Ya, dia selalu serius jika itu menyangkut adik sepupunya tersebut.
Naura tak berucap hanya mengangkat kedua
pundaknya, gerakan itu sudah cukup memancing emosi Andik yang tak ubahnya grafik semenjak kedatangan Hanis, naik turun. Agar tak semakin meletup-letup emosi laki-laki itu Naura menyeret Andik dan Ilyas ke ruang makan.
"Mending kita makan ini buah," ucap Naura, lalu menyambar kresek berisi buah mangga
dari tangan Ilyas. Sebelum beranjak ke dapur untuk mencuci buah mangga itu Naura menyuruh keduanya duduk tenang di meja makan.
Ia juga tak mengharapkan bantuan cukup duduk manis buatnya itu sudah membantu menenangkan hati dan pikiran. Setelah
mengambil beberapa buah dan mencuci bersih Naura datang lagi dengan piring
kosong serta pisau di atasnya dan juga garpu. Di tangan satunya wadah berisi
buah mangga yang sudah dibersihkan.
"Nah sekarang giliran kalian ini yang ngupas!" seru Naura, meletakkan apa yang dipegang tangan kanan dan kiri.
"Sini biar aku yang ngupas!" sahut Andik, segera menyeret wadah berisi buah ke hadapannya.
Dengan duduk berhadapan di meja makan ketiga orang itu menikmati buah yang dibeli Ilyas sambil berbincang santai. Tak diduga
suara Hanis menguluk salam sembari melangkah masuk terdengar, pecahlah obrolan mereka seketika. Ketiganya bersamaan memutar kepala, menatap kehadiran Hanis di ruang tengah walau tak bisa terlihat lantaran terhalang dinding.
Naura bangkit, ia menyusul Hanis dan
menariknya bergabung bersama dirinya, Andik dan Ilyas. Dengan langkah kaki
enggan Hanis mengikuti langkah Naura yang tak mau melepaskan genggaman tangan.
Hanis duduk di samping Naura dan berhadapan langsung dengan Andik, membuat mood Hanis rusak. Jelas ia tak menoleh ke Andik apalagi menyapa padahal laki-laki itu bukanlah orang asing; ia tak lain adalah saudaranya sendiri dan bahkan lebih tua darinya. Sebaliknya Ilyas yang tak
berhadapan ia sapa bahkan melempar senyum walau singkat.
Emosi Andik yang sudah leya-leya terbangun
seketika namun ia masih berusaha mengontrol setidaknya di depan Naura yang ia sungkani. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut keduanya, hanya fokus menikmati irisan buah mangga; saling mengabaikan keberadaan masing-masing.
Naura dan Ilyas menjadi pengamat, diliriknya
mereka berdua yang belum berdamai juga namun tak bisa berbuat banyak. Tak betah
berlama-lama berada di hadapan Andik lekas Hanis pamit, ia bangkit setelah berucap dua patah kata.
Andik menilai sikap yang ditunjukkan Hanis
tidaklah sopan, mulut bawelnya akhirnya mengakhiri masa cuti. Hanis saat itu juga mendapat teguran, ia tak terima terlebih setiap tindakannya tak pernah benar di mata Andik.
"Sebenarnya apa sih masalahmu?!" sentak Hanis, abai dengan kehadiran Naura dan Ilyas.
Dada Andik semakin memanas, matanya melotot bersamaan dengan mulutnya yang menganga. Nada keras Hanis menyentak dirinya, mukanya memerah saat berucap dengan nada sama keras.
"Apa? Manggil apa barusan Kamu?! Coba ulangi?!" sentak Andik, bangkit dari duduknya. Ia melangkah maju, mendekat ke Hanis yang juga sudah berdiri tegak.
Tak ada rasa takut yang terlihat, sebaliknya
ia berdiri tegap seolah menantang Andik. Sudah lupa siapa pria itu, dan bagaimana dirinya harus bersikap pada yang lebih tua.
"Duh ... Cina sama Amerika kembali memanas," gumam Ilyas, bangkitlah ia dari
duduknya sebagai penonton. Melangkah datang di antar keduanya yang sama-sama
siaga satu. Tangan Ilyas perlahan meraih lengan Andik, hendak membawanya pergi
namun segera ditepis.
Dan akhirnya pecahlah perdebatan diantara keduanya setelah tadi saling beradu tatapan, Ilyas dan Naura serasa tak ada lagi kehadiran mereka.
Hanis beranjak pergi, cukup sudah baginya
menghadapi sikap keras Andik. Ia melangkah cepat memasuki kamar meninggalkan
semuanya terlebih Andik yang masih berdiri. Siapa mengira Andik akan menyusul bukan membiarkan seperti sikapnya yang sudah-sudah; mengakhiri pertengkaran dengan membebaskan Hanis namun tidak kali ini. Langkah laki-laki itu cepat kala menyusul Hanis yang sudah memasuki kamar. Bahkan Naura dan Ilyas yang tak menyangka justru mematung di tempat mereka berdiri. Masih tertegun dengan apa yang mereka lihat sehingga batang otaknya koma sementara.
"Hanis, aku belum selesai bicara!" kata Andik, masih kesal namun nada suaranya
berhasil ia tekan agar tak meninggi seperti tadi.
"Sudahlah, aku nggak betah di sini! Sebaiknya aku keluar daripada tiap hari ribut nggak
ada hentinya!" balas Hanis, juga sama dengan nada suara yang merendah. Turun dua tingkat dari level yang sebelumnya berada di posisi kedua dari puncak.
Kaki Andik melangkah dengan sendirinya, maju mendekat ke Hanis yang menjatuhkan diri di tepi kasur. Kepalanya tertunduk,
menatap kedua kaki yang ia rapatkan bersama dengan duduknya. Andik ikutan duduk di samping wanita itu, kepalanya juga sama-sama tertunduk walau tak jelas apa
yang ia tatap.
Dalam kebisuan tiba-tiba tangan kanan Andik
bergerak ke samping, meraih tangan kiri Hanis. Mulanya hanya meraih saja namun
perlahan digenggamnya juga, mulutnya yang tadi terdiam mengatup kini bersuara.
"Maaf aku ... Aku hanya cemas, di sini tidak sama seperti tempat tinggal kita, kamu
harus pandai- pandai memilih teman dalam bergaul...." ucap Andik mulai
berbicara dengan hati .
Di luar Naura dan Ilyas yang tersadar segera
menyusul, mereka khawatir pertengkaran lebih sengit kembali pecah dan Andik tak
mampu mengontrol diri. Namun kekhawatiran itu terbantahkan, kaki mereka bahkan
terhenti tepat di depan pintu manakala mereka melihat pemandangan yang berbeda.
Secara naruliah baik kaki Naura ataupun Ilyas mundur dengan sendirinya, bergeser ke samping mencapai tembok lalu menjulurkan kepala mengintip ke dalam.
"Sebaiknya kita tinggalkan aja ya," ucap Naura, tak nyaman sendiri.
"Iya, Mba ... Ini sudah bisa dikendalikan, dan juga bukan wilayah kita lagi," sambung Ilyas.
Akhirnya berlalu mereka dari sana,
memberikan ruang penuh bagi adik kakak tersebut menyelesaikan kesalahpahaman
yang tak kunjung usai. Naura dan Ilyas memilih kembali ke meja makan, lanjut
menghabiskan irisan mangga di piring.
Sedangkan Andik di dalam kamar masih
berusaha memberikan penjelasan sekaligus menasehati Hanis yang ia nilai telah salah pergaulan, terkena demam gaya hidup bebas kota besar.
"Tapi aku nggak bisa tinggal di sini lagi," ucap Hanis, masih belum berubah keinginannya yang sudah membulat untuk pindah dari rumah Hasan dan Naura.
Ia memang tak betah berada di sana bahkan
sejak di awal ia datang. Bukan karena sikap pemilik rumah yang kurang baik melainkan
ia merasa tak bebas dan sungkan setiap kali bertindak. Ditambah sikap keras Andik menambah berat pikirannya.
"Pikirkan lagi, jujur aku nggak setuju!" kata Andik, jelas menolaknya.
Hanis memilih diam, tak mau bersuara yang
hanya akan memancing perdebatan saja. Baginya percuma berbicara mengenai hal
itu karena ia tahu jawabannya tetap penolakan dari Andik.
"Mandi sana! Bentar lagi sudah mau magrib!" perintah Andik, lalu bangkit dari tepi kasur dan melangkah keluar. Tak lupa ia menutup pintu kamar Hanis sebelum menghilang di balik pintu itu.
Hanis menjatuhkan separuh dirinya ke atas kasur sementara kedua kakinya masih dalam posisi yang sama. Pendangan matanya lurus ke atas, menatap langit-langit lamar sambil memikirkan sesuatu yang terlintas di benaknya.
Suasana di rumah Naura masih seperti
biasanya sehabis makan malam mereka akan berkumpul di ruang tengah. Mereka bertiga kecuali Hanis akan bermain karambol, supaya seru selalu mereka membuat kesepakatan siapa yang kalah akan dijepit telinganya dengan jepitan baju.
Sebenarnya Naura tak mengabaikan Hanis, ia
selalu berusaha mendekatinya tapi mungkin perbedaan usai membuat Hanis merasa
tak nyambung. Tapi bukan berarti mereka tak saling komunikasi, tetap saling bersua sapa namun sekadarnya saja. Seperti tadi Naura mengajak Hanis keluar, bergabung dengannya serta Andik dan Ilyas. Dengan alasan mengerjakan tugas kampus ia memilih menyendiri di kamar.
"Lama kelamaan Mba ini mulai jadi pemain ulung!" seru Andik, saat Naura berhasil
memasukkan bedak yang berada di posisi sulit yakni di tepi papan bedak sebelah
kiri darinya.
"Iya dong, jam terbang serta pengalaman mengajari aku!" sahut Naura, masih dalam giliran bermain.
Jepitan baju saat itu masih bertahan di
Ilyas, entah kenapa kelincahan laki-laki itu dalam bermain karambol sepertinya
semakin memburuk saja. Tapi walau tetap kalah ia tetap meneruskan permainan sampai tuntas.
Kebersamaan mereka usai lantaran Ilyas tak hentinya menguap, tampaknya ia sudah tak kuat menahan kantuk yang melanda.
"Aku ngantuk wes, nggak kuat!" seru Ilyas, lalu bangun.
"Yah, cepat banget!" seru Andik, merapikan bedak dan papan karambol.
Mereka bertiga kembali ke alam masing-masing, Naura melangkah ke lantai dua menuju kamar sedangkan Andik dan
Ilyas menyelinap cepat ke kamar mereka. Sebelum merangkak naik tak dipandu mata
Ilyas mencari keberadaan ponsel miliknya.
"Cari apa, Yas?!" tanya Andik tidak mengerti.
"Ponsel, aku taruh mana ya?!" jawab Ilyas sekaligus bertanya pada sendiri.
Andik turut membantu Ilyas mencari ponsel di dalam kamar. Hampir setiap bagian di kamar itu sudah dicari tapi ponsel itu belum juga ketemu.
"Bodoh! Kenapa nggak aku miscall ya?!" ujar Andik, mengatai kebodohannya sendiri.
Sambil duduk capek di pinggir kasur Andik mengeluarkan ponsel dari saku celana
pendek yang ia kenakan. Berikutnya membuat panggilan keluar ke nomor kontak Ilyas, kebodohan keduanya tercipta lagi namun kali ini bukan Andik melainkan Ilyas.
Ilyas nyengir begitu suara dering ponsel nyaring bunyinya dari balik saku celana yang ia kenakan. Andik memalingkan penglihatan, menoleh ke Ilyas yang senyum sendiri.
"Dasar pikun!" seru Andik mencemooh Ilyas.
"Sorry sorry, lawong seingatku aku nggak bawa hp pas keluar!" kata ilyas, tidak terima.
Setelah berhasil menemukan apa yang dicari Ilyas langsung menjatuhkan diri ke ranjang dengan kedua kaki tetap bergelantungan.
Jari jemarinya cekatan menyalakan ponsel, mengecek satu persatu notifikasi yang
masuk. Tiba-tiba saja mata Ilyas menyipit, bertemu di kedua sisi manakala mendapat grub mosmed kantornya lumayan ramai lebih dari tiga puluh chat tertera. Penasaran apa yang sedang dibahas oleh mereka jari jempol Ilyas bergerak tangkas, menekan logo grub untuk masuk ke beranda.
Mulanya ia tak mengerti apa yang dibahas
namun kenapa namanya terus disebut? Jari jempol Ilyas tak sabar menggulir chat
ke atas sampai pada cikal bakal pembahasan mereka. Sebuah foto yang masih kabur
terpajang, segera ia klik download ingin tahu kenapa foto itu menjadikan dirinya tema pembahasan.
"Hah!." Mata Ilyas seketika melotot, melihat foto dirinya yang lagi fokus memilih
mangga. Foto itu sepertinya diambil dari sebuah postingan sebuah akun, sangat
jelas milik siapa akun itu.
Mulut Ilyas masih menempel ketat saat
dadanya terasa panas, tangan kirinya segera menyambar bantal dan melemparnya ke
Andik yang sedang duduk di kursi, senyum-senyum sendiri menatap layar ponsel.
"Apa sih Yas?!" sentak Andik, kepalanya berputar menoleh ke Ilyas yang masih berada
di tempat tidur namun tak lagi rebahan.
Tidak ada kata yang keluar, sebaliknya Ilyas
menyambar bantal yang satu lagi dan kembali melemparkannya tepat ke arah Andik.
Posisi Andik sudah siap, dengan tangkas kedua tangannya menangkap bantal itu
dan melemparnya kembali ke kasur, ke tubuh Ilyas maksudnya.
"Apa sih Yas?! Orang lagi main hp kok malah dilempar bantal!" sentak Andik kedua kalinya.
"Apa ... apa! Habis posting apa kamu tadi sore hah?!." Suara Ilyas meninggi, ia tersulut emosi karena Andik malah seolah lupa apa yang telah diperbuat.
"Ohh itu!" seru Andik, santai saja dia menanggapi. Kepalanya berputar mengenyampingkan Ilyas yang belum reda amarahnya, seolah tak peduli Andik menatap layar ponsel lagi.
Merasa diabaikan bangkitlah Ilyas,
langkahnya lebar kala mendatangi Andik. Bantal yang tadi ia lempar dipungut
kembali dan sejurus kemudian laki-laki itu memukulkannya ke punggung Andik.
Perkelahian tak bisa dihindari lagi, keduanya
terus bergulat seperti anak kecil membuat kegaduhan. Hanis yang berada di kamar
sebelah bahkan terganggu dengan suara gaduh mereka, dengan malas ia melangkah
keluar dari kamar mendatangi kamar sebelah dan menyambar gagang pintu.
Bersamaan saat tangannya sudah meraih gagang pintu di dalam Andik berusaha
meloloskan diri dari bantaian Ilyas yang emosi penuh. Gimana tidak emosi jika
grub kantor Ilyas tengah dibuat petisi mencarikan dia pasangan.
"Aww!" teriak Hanis kesakitan dibentur badah Andik yang tak nyana wanita itu berada di luar pintu.
Langkah Ilyas terhenti dengan bantal di
tangan kirinya, apa yang membuatnya terhenti karena melihat darah keluar dari hidung Hanis. Ya, tadi saat Andik membenturnya tak sengaja siku lengan Andik menyenggol muka Hanis.
"Dik!" ucap Ilyas, tangan kanannya terangkat lalu menunjuk ke Hanis.
Kepala Andik berputar mengikuti arah yang
ditunjuk Ilyas, seketika matanya terbelalak melihat darah keluar dari salah satu hidung wanita itu. Cepat-cepat tangan Andik bergerak ke kepala Hanis, menengadahkan kepalanya untuk menghentikan darah keluar.
"Ayo aku obati!" ucapnya, menyeret Hanis memasuki kamarnya sendiri.
Bola mata Andik mencari keberadaan tisu di
meja rias, saat apa yang dicari tertangkap oleh matanya lekas ia mengambil
kotak tisu itu dan mengelap darah yang keluar. Syukurlah kini darah itu tak keluar lagi.
"Maaf ya..." Ucap Andik, merasa bersalah pada wanita itu.
Ilyas berjalan pelan keluar dari kamar, mengintip dari balik pintu yang terbuka. "Gimana Dik?! Masih keluar?" tanyanya ikut cemas juga.
"Nggak wes!" sahut Andik dari dalam kamar.
"Ohh...." seru Ilyas, lalu kembali ke kamar menunggu laki-laki itu di dalam sana.
Di kamar sebelah Andik masih mengurus Hanis yang ia dudukkan di tepi kasur. Wanita itu diam seribu bahasa dan menerima
perhatian Andik yang cukup langka.
"Hidungmu nggak sakit kan?!" tanya Andik.
"Gimana nggak sakit kena sikunya!" jawab Hanis mengakhiri kebisuan.
"Maaf nggak sengaja, kamu sih ngapain ada di luar pintu?!" kata Andik membuat pembelaan.
"Sadar nggak, kalian itu berisik!" sambung Hanis dengan nada ketus.
"Sorry, udah buruan tidur! Aku balik ke kamar ya!" kata Andik, lalu meninggalkan Hanis sendiri di kamarnya.
Begitu laki-laki itu muncul dari balik pintu
Ilyas sudah tak sabar menghujani pertanyaan namun Andik memberi isyarat dengan
menempelkan jari telunjuknya ke mulut, lalu menunjuk ke kamar sebelah memberi
kode supaya Ilyas tak bersuara. Alih-alih tak bersuara Ilyas berucap hanya dengan gerakan mulut saja, bertanya mengenai keadaan Hanis. Andik membalasnya dengan isyarat pula, melingkarkan jari telunjuk serta jari jempol sembari berjalan mendekat.
"Gimana?" tanya Ilyas lagi dengan berbisik.
"Sudah beres," jawab Andik, merangkak naik ke tempat tidur tak ingat lagi dengan ponsel miliknya yang berada di meja.
"Syukurlah ... Aku khawatir dia marah besar...." Ilyas ikutan merebahkan tubuhnya ke
atas kasur, bersiap tidur.
foto yang diposting Andik!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 224 Episodes
Comments
Sukar Miyati
Ayo semangat...
Lanjutkan dan tuangkan ide kreatifmu Tor ! 😍
2023-03-03
0
Tuti
iyah ilyas ganteng....
2021-07-13
0
🅰🅽🅰 Ig: meqou.te
Hanisnya ketus banget
2021-02-20
0