CAPTER 2
HANYA LEWAT SAMBUNGAN TELEPON
"Ribet banget sih aku ini," gumam Naura memarahi dirinya sendiri yang tak kunjung
selesai hingga pagi mulai merangkak naik.
Dengan penampilan sederhana ia turun segera khawatir Angga yang menunggu di bawah sudah tak sabar lagi. Selain itu ia sudah menetapkan janji dengan seorang klien pagi ini, sepasang kekasih yang berencana melangsungkan pernikahan dalam dua bulan lagi. Dan Naura sudah melewati waktu yang ia janjikan sendiri. Apa yang membuat Naura sangat rempong pagi ini? Jawabannya tak lain karena ia tak bisa tidur semalam. Walau sang suami sudah setia menepati janjinya untuk selalu menghubungi saat pagi dan juga malam sebelum Naura tidur tapi akhir-akhir ini yang susah lelap.
"Ayo buruan, khawatir mereka berdua sudah datang!" seru Naura, melempar kunci mobil ke Angga yang berdiri menempel di sisi pintu pengemudi.
"Kok kelihatannya nggak cerah gitu Nona?!" tanya Angga, setelah tadi mengamati
penampilan Naura sebelum masuk ke mobil.
"Buru-buru! Ribet sedari tadi pagi!" jawab Naura segera.
"Ohh ... Saya pikir kurang sehat!" ujar Angga, tak berucap lagi setelah itu.
Laki-laki itu hanya fokus menyetir dan Naura
mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Memperhatikan semua yang terlintas, entah kenapa tangannya tanpa instruksi menurunkan kaca mobil, membiarkan angin
menerpa wajahnya dengan riasan tipis. Memperlihatkan apa yang dirasakan jiwanya
saat ini.
"Kok anginnya agak kencang ya? Musim apa sekarang?!" tanya Naura asal.
Angga melempar senyum singkat, bola matanya kembali diarahkan ke spion memperhatikan Naura yang terlihat makin ramping saja pipinya. Ada rasa kasihan melihat perubahan fisik Naura, tapi di lain sisi ia juga merasakan hal sama. Yang menjadi perbedaan hanyalah bagaimana ia menyikapi
serta menghadapi tekanan batin yang ia rasakan. Mungkin karena Angga seorang
pria sehingga hatinya tak se rapuh wanita pada umumnya.
"Emang negara kita ini punya berapa musim, Nona?!" jawabnya malah balik bertanya.
"Iya juga," sahut Naura kembali menatap keluar, matanya memperhatikan dedaunan
yang berjatuhan dari pohon di pinggir jalan.
"Kalo musim buah banyak Nona!" tambah Angga kembali bersuara, alasannya lantaran
tak ingin Naura diam membisu.
Tak terasa mobil yang dikendarai Angga sudah tiba di depan butik, bersamaan keduanya keluar dari mobil. Lisa menyambut
kedatangan Naura begitu wanita itu sudah melewati pintu kaca namun memberikan
sambutan datar ke Angga yang bahkan tidak memperdulikannya.
"Orangnya sudah datang, Mba!" ucapnya memberitahu, tangan kanannya menunjuk ke arah pasangan muda yang sedang duduk di mini kafe.
"Ohh, ajak dia ke atas!" kata Naura, setelah menoleh ke mereka yang terlihat lengket. Timbul rasa iri melihat keintiman mereka, teringat dengan kehangatan perhatian Hasan yang tiap hari ia dapat.
Seusai berucap demikian Naura melangkah
kembali menaiki tangga dengan pandangan lurus ke depan, tak ingin hatinya terusik akan hal-hal yang hanya membuat iri saja. Angga menyusul berjalan tanpa suara menirukan tingkah Naura, apa yang ia rasakan juga sama teringat wajah sedih Lusi saat melepaskan diri dari pelukan. “Saat yang lain saling menatap, aku malah menatap kenangan….” Batinnya berucap sedih sambil terus menaiki
tangga.
Mereka berdua terlebih dulu naik ke lantai
tiga menuju ruang kerja masing-masing. Naura sudah di ruang kerjanya sedangkan
Angga ke ruang kerja bisnis online yang ia tangani.
"Pagi Mas!" sapa seorang karyawan IT bagian pemasaran sewaktu melihat Angga berjalan menuju meja.
"Pagi juga! Gimana awal respon pasar pagi ini?!" tanya Angga sambil melangkah ke
meja kerja laki-laki yang bernama Iwan.
"Alhamdulillah lumayan positif Mas, ini yang sudah berkunjung terus nanya-nanya sudah melebihi target terendah. Yang deal membeli juga sudah mencapai tujuh pemesanan!"
tuturnya namun tetap tak mengubah pandangan hanya menatap layar komputer.
"Kerja bagus! Nanti siang koleksi terbaru segera rilis nunggu hasil pemotretannya
masih diedit!" balas Angga sekaligus menginformasikan.
"Siap Mas!" ucap Iwan.
Angga berlalu dari meja Iwan, langkahnya
tenang menuju mejanya yang berada di paling ujung. Karena tak terlalu banyak pekerjaan baru sedangkan yang sebelumnya sudah rampung Angga mulai browsing hal lain. Laki-laki itu berencana membuka usaha kecil-kecilan sembari bekerja di butik. Tiap kali teringat dengan Lusi ada banyak rancangan masa depan yang ingin ia raih sebelum meminang wanita itu menjadi pendamping hidupnya.
Baru saja ia mulai berselancar mencari
informasi dan artikel mengenai peluang bisnis ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi
masuk, tangannya yang memegang mouse bergeser meraih ponsel yang ia letakkan di
meja. Matanya melirik ke bawah, mengintip layar ponsel yang sudah menyala. Senyum laki-laki itu mengembang manakala nama
sang pujaan hati yang terpajang.
"Dilarang mengganggu orang yang lagi sibuk kerja cari uang biar segera halalin kamu," isi balasan chat yang dikirim ke Lusi. Senyum terbingkai tatkala membaca balasan chat yang dikirim Angga.
Tak berselang lama masuk chat balasan dari
Lusi, ia memberitahu Angga jika bulan depan wanita itu memiliki masa libur panjang setelah menyelesaikan suatu pekerjaan besar. Angga hanya membalas dengan mengirim imoji hati saja, ia sengaja melakukan itu hanya untuk menggoda
Lusi.
Tak suka dengan balasan chat yang diterima
Lusi beralih cara, ia menghubungi Angga saat itu juga. Senyum Angga terjalin, jari jempolnya tertahan di depan layar ponsel antara mengangkat atau menolaknya. Cukup lama ia membiarkan ponsel bergetar, memancing kemarahan Lusi yang tak sabar mendengar suaranya. Namun perasaan lebih tinggi dari akal pikiran, Angga akhirnya menerima panggilan itu.
"Iya Lusi Sayang," ucap Angga memancing emosi. Ia bersuara dengan tenang seolah
tak ada pembicaraan sebelumnya.
"Kenapa chat ku nggak dijawab?!" cerca Lusi menuntut penjelasan.
"Loh bukannya seingat ku tadi dijawab?!" balas Angga, lanjut ia menggoda Lusi bermain dengan emosi wanita tersebut.
"Cuma imoji itu?! Terus tanggapan dari chat yang aku tulis apa?" kata Lusi terpancing amarah juga.
"Tanggapannya ya imoji itu," sahut Angga, semakin menyiram air panas ke hati Lusi.
"Ok kalo gitu, aku rasa kamu nggak suka aku datang!" kata Lusi, menumpahkan emosi lalu memutuskan panggilan. Ya, begitulah wanita saat apa yang diinginkan tak dituruti oleh kamu pria mereka akan merajuk dengan cepat. Bagaimana kaum lelaki menanggapinya? Silahkan temukan sendiri jawabannya dari pasangan masing-masing.
Bukannya cemas Angga malah senyum-senyum, diletakkannya lagi ponsel ke atas meja dan lanjut berselancar. Membiarkan Lusi dengan kemarahannya tanpa diperbaiki.
"Cewek itu emang ribet, masak gara-gara imoji doang udah marah!" gumannya,
menatap layar pc kembali.
Berpindah ke ruang kerja Naura, keromantisan yang dipertontonkan calon pengantin itu membuat Naura jengah. Tapi mau bagaimana lagi, rejekinya berada di mereka berdua. Suka tidak suka ia harus
tetap melayani dengan ramah, melempar senyum pada mereka.
Sedari tadi si cewek mutar-mutar dengan
pilihan tema gaun, pilihan warna juga demikian. Sungguh cocok bahkan keduanya
bisa dinobatkan sebagai pasangan paling lebay tahun ini. Mulai dari cara mereka
memanggil satu sama lain serta si cewek nempel manja membuat Naura mual.
“Aku pengen Beb cantikku terlihat seksi, bagian punggungnya harus terlihat!” ucap
yang cowok menyampaikan keinginannya.
“Ok saya paham keinginan Anda,” sahut Naura.
“Tapi saya mau gaun itu bisa disulap jadi lingerie cantik,” kata si cewek bersuara.
Naura melempar senyum, ini adalah permintaan pertama dari klien selama ia mendesain. Sebelumnya memang tak jarang permintaan yang hampir sama tapi tidak mengarah pada yang demikian.
“Ok saya mengerti, untuk pilihan warnanya?” tanya Naura.
“Saya ingin warna pink,” ucap si cewek.
“Pink? Lantas aku Beb Cantik?!” sahut si cowok dan bertanya pada kekasihnya.
Naura terdiam, dengan khusyuk ia mendengarkan perdebatan kecil keduanya demi memberikan waktu untuk mengetahui keinginan dari masing-masing. Setelah dirasa cukup ia pun bersuara, memberikan solusi tengah bagi pasangan tersebut yang belum mencapai kesepakatan.
“Saya punya opsi buat Anda, gimana jika dasar gaunnya warna putih powder sedangkan lapisan luar warna pink flamingo dengan aksen bordir renda bunga, maksud saya motif renda bunga itu yang warna pink flamingo, Saya ada contoh modelnya!”
tutur Naura lalu ia bangkit mengambil tablet yang ia taruh di meja kerja.
Naura datang lagi, menunjukkan beberapa
model gaun tema warna pink yang pernah dia garap. Sambil menjelaskan ide yang nyantol di otaknya tadi jemarinya mulai menggeser layar tablet.
“Saya rasa model gaun pengantin ball gown cocok untuk model tubuh pearl shape seperti
Anda, Nona! Nantinya saya akan buat kerah v-neck tanpa lengan dengan punggung
model victory. Biar nanti malam pengantinnya lebih membara akan saya buat gaya
punggung embroidery memakai tali pita sehingga pasangan Anda harus mengerahkan
kesabaran untuk melucutinya!” kata Naura berpendapat. Keduanya nampak antusias,
mereka menyetujuinya tanpa bertanya lebih.
“Dalam tiga sampai lima hari akan saya kirim detail contoh gaun pada Anda, silahkan
Anda yang menentukan!” imbuh Naura.
Setelah kepergian mereka berdua Naura
melanjutkan kembali pekerjaan, mendesain gaun pesta sebelum ia kirim pada seorang pemesan yang mendatanginya beberapa hari yang lalu.
Sampai siang menjemput kesibukan Naura
belumlah usai, selesai dengan pengukuran baju ia masih mempunyai garapan yang
harus segera diselesaikan. Untuk mengalihkan pikirannya pada sang suami sengaja ia bekerja dengan giat, lebih dari kata giat mungkin.
Saat ia dan Lisa dengan teliti memasang batu
Amethyst warna merah muda di bagian pinggul ponselnya berdering, Naura menoleh
sempat menaruh curiga pada suaminya, Hasan. Namun itu tidak mungkin, pikir
Naura. Untuk memastikan wanita itu terpaksa beranjak dari duduknya. Langkahnya
diseret untuk mencapai meja dimana ponsel itu masih tersimpan di dalam.
"Hanis!" gumannya manakala melihat nomor kontak Hanis memanggil.
Sangat jarang wanita itu menelfon sehingga
wajar jikalau Naura merasa aneh dan penasaran. Di sebrang sana Hanis masih
mempersiapkan diri untuk bersuara, menambah kecemasan Naura saja.
"Hallo, Hanis! Ada apa?!" tanya Naura, tak sabar lagi menunggu wanita itu bicara
terlebih ia masih memiliki pekerjaan yang menunggu.
"Hallo, Kak ... Saya, maaf saya mau pamit...." ucap Hanis ragu-ragu.
"Pamit? Apa maksudnya?" desak Naura meminta penjelasan yang lebih.
"Maaf Kak, saya nggak bisa tinggal di rumah Kakak!" lanjut Hanis tapi kurang jelas.
"Kenapa? Hanis ... Jangan diambil hati sikapnya Andik! Dia itu keras karena peduli sama kamu," kata Naura, beusaha menggagalkan rencana Hanis.
"Saya ngerti Kak, tapi saya nggak kerasan! Saya sudah dapat kost baru!" tambah
Hanis.
"Tunggulah sampai aku pulang ke rumah!" pinta Naura.
"Maaf Kak, barang saya sudah saya kemasi! Ini saya sudah di kost baru!" ungkap Hanis.
"Ohh ... Ok, tapi sering-sering ya main ke rumah!" seru Naura. Hanis hanya
menjawabnya dengan satu kata saja lalu lekas mengakhiri sambungan telepon yang ia
buat.
Naura tak langsung balik, ia masih menatap
layar ponsel. Pikirannya tertuju pada Andik, bagaimana ia nantinya menjelaskan
pada laki-laki itu mengenai kepindahan adik perempuannya tersebut. Ia menghela
nafas panjang, ponsel di tangan ia geletakkkan begitu saja lalu berjalan
kembali ke sisi Lisa.
Wajahnya tak lagi nampak tenang dan itu
jelas terlihat. Meski demikian Naura berusaha bersikap santai meneruskan apa
yang tadi tersendat.
"Siapa Mba?" tanya Lisa yang tadi menguping pembicaraan Naura di sambungan telepon.
"Ohh itu adik perempuannya Andik," jawab Naura singkat, ia enggan membicarakannya
lagi lebih lanjut.
Lisa tak mengejar berhubung ia sendiri tidak mengenal Andik hanya sebatas tahu saja. Dua wanita itu kembali melanjutkan pekerjaan, mengabaikan apa yang terjadi di sekitar mereka. Sampai sore datang Naura akhirnya bisa istirahat setelah menyelesaikan gaun warna biru langit bertema fantasi. Masih tak ada yang berubah, Angga datang hanya untuk mengingatkan Naura waktu pulang.
"Tunggu bentar ya!" pinta Naura, ia masih membereskan gaun yang tadi di pajang di manekin lalu berlanjut ke meja kerja. Setelah memastikan tak ada lagi yang berserakan
ia menyambar tas, melangkah terburu-buru meninggalkan ruang kerja.
"Semuanya saya duluan!" pamit Naura pada karyawan di lantai satu sebelum keluar
menyusul Angga yang sudah berada di dalam mobil.
"Jam berapa sekarang?!" tanya Naura, tak yakin waktu sudah sangat sore melihat
matahari masih terang.
"Ini sudah mau jam setelah lima, Nona! Tapi mataharinya masih terang!" jawab Angga.
Semenjak berjauhan dengan suaminya Naura
tidak pernah pulang ke rumah lebih awal dari jam empat. Ia tidak suka pulang dalam keadaan sepi sehingga menunggu Ilyas dan Andik sudah berada di rumah. Mereka berdua juga sangat perhatian, setidaknya tidak pernah telat pulang terkecuali ada kepentingan mendesak. Di akhir pekan mereka juga memilih menemani Naura, sabtu malam pun sama tak ada kencan. Kalaupun keluar pasti dengan Naura juga tak jarang mengajak Ilham dan Veny.
Mobil kuning sudah parkir di garasi, Naura
segera turun tapi tak ada tanda keberadaan Andik dan Ilyas di dalam rumah. Raut
wajahnya bermuram, ia duduk di teras di undakan paling atas. Tak kuasa melihat
pemandangan awan kelabu Angga mempercepat langkah kaki, ia duduk di samping Naura walau masih menjaga jarak. Laki-laki itu berencana menemani Naura
setidaknya sampai kedatangan Andik dan Ilyas.
"Tumben mereka belum datang?!" gumam Angga, menatap pagar rumah menunggu
kemunculan mereka berdua.
Andik dan Ilyas masih berada di luar, pagi
ini Ilyas masih berangkat dengan Andik dan pulangnya juga dijemput. Tapi sore ini mereka mampir ke bengkel untuk mengambil motor Ilyas yang sudah selesai diperbaiki.
"Coba dulu Mas, khawatir kurang pas! Tapi tadi sudah dicoba!" kata karyawan bengkel.
"Oh iya Mas," seru Ilyas, detik berikutnya ia mengambil motor yang tadi dipegang oleh karyawan bengkel itu.
Andik duduk tenang di kursi panjang sembari
mengamati Ilyas yang menurunkan motor ke jalan, ke halaman paving. Ia berputar-putar di sana mencoba motor yang sudah diperbaiki. Teringat dengan Naura yang biasanya sudah di rumah Andik menghubunginya.
"Assalamualaikum," ucap Andik saat tersambung.
"Waalaikumussalam, kok belum pulang Dik?" tanya Naura tak sabar bertanya.
"Iya mba, ini masih ngambil motornya Ilyas di bengkel!" jawab Andik segera menjelaskan.
"Ohh, gimana? Apa ada yang diganti?" lanjut mengajukan pertanyaan.
"Sudah kelar Mba, Alhamdulillah nggak ada yang diganti!" sambung Andik.
"Ok, ini aku sudah di rumah," kata Naura memberi kabar.
"Iya Mba bentar lagi kita sudah di rumah," sahit Andik.
Setelah dipastikan kondisi motornya kembali
stabil dan membayar ongkos perbaikan, Andik dan Ilyas segera minggat. Mereka
tak tega membuat Naura menunggu lama dan sendirian di rumah.
Senyum Naura kembali nampak begitu pintu
pagar rumah terbuka, dua motor tak lain Andik dan Ilyas muncul. Sontak ia berdiri, berhambur ke garasi menyambut keduanya. Angga yang tadi setia menemani juga ikutan bangkit, melangkah menyusul Naura ke garasi.
"Gimana motornya?" tanya Nuara mendatangi Andik dan Ilyas.
"Alhamdulillah Mba, bisa dipakai lagi!" sahut Ilyas.
"Kok bisa sampek keserempet Mas?" tanya Angga yang baru saja muncul dari belakang Naura.
"Pas lagi mau nepi Mas ada mobil box mau nyalip, syukur cuma motor aja!" balas Ilyas.
Mereka berempat berlalu dari garasi setelah
Andik dan Ilyas melepas helm dan menanggalkannya di spion motor. Angga tak ikut ke dalam hanya sampai di depan teras lalu pamit ke Naura.
"Makasih Angga udah nemani aku tadi," seru Naura, Angga hanya melempar senyum.
"Hati-hati Mas!" ucap Ilyas, Angga membalas dengan anggukan kepala.
Setelah laki-laki itu menghilang di balik
pagar pintu Naura, Andik dan Ilyas masuk ke dalam rumah. Tak bersuara lagi Naura langsung menaiki tangga, agak cepat ia karena tak sabar ingin segera mencapai kamar.
Sebelum masuk ke kamar mandi Naura menyempatkan diri menyiram bunga matahari big smile yang dihadiahkan Hasan dan memindahkan bunga itu ke dalam, dekat dengan jendela. Juga sengaja ia hadapkan ke sinar matahari.
"Suamiku, aku merindukanmu," gumam Naura kala menatap bunga matahari yang sudah
berganti pot. Andik dan Ilyas membantunya mengganti ke pot yang lebih besar, mereka juga membantu Naura memotong ranting bunga itu agar tumbuh yang baru sehingga bisa bertahan lebih lama.
Selesai mandi dan berganti pakaian ia duduk
di rooftop, menyaksikan matahari yang turun ke barat. Sinarnya yang kemerahan
membakar rindu dalam hati, seolah bayang tubuh suaminya terlukis di ufuk barat
Naura terhanyut dalam tatapan sendu. Untuk mengisi waktu luang Naura mencoba
menghibur dirinya dengan melukis. Semua lukisannya ia posting di sebuah blog
dengan nama lain bukan namanya. Lukisan yang hanya coretan tinta hitam
saja.
Saat kelarutan antara bayang sang suami dan
tangannya yang terus mencoret kanvas, melukis matahari yang mulai tenggelam
serta sosok seorang laki-laki duduk di hamparan pasir dari belakang tiba-tiba
Naura teringat dengan Hanis yang tadi siang menghubunginya. Tangannya bergerak
cepat menyelesaikan lukisan lalu setengah berlari memasuki kamar, menaruh semuanya di atas kasur dan turun segera menemui Andik.
"Andik!" panggil Naura, Andik sedang duduk bersama Ilyas sambil menonton televisi.
Laki-laki itu menoleh, Ilyas juga mengikuti.
Naura datang ke mereka dan duduk satu kursi, Ilyas bergeser dengan sendirinya
memberi tempat lebih ke Naura juga agar mereka tak terlalu dekat walau sebenarnya Naura juga tidak mempermasalahkan.
"Mau minta diantar kemana Mba?" tanya Andik tidak mengerti.
"Kamu ini kalo urusan keluar nomor satu benar!" jawab Naura dengan meledek Andik.
"Kita pikir Mba," sambung Ilyas menolong Andik.
"Bukan ... Tadi siang Hanis nelfon mba, dia pamitan!" tutur Naura mengungkapkan
dengan nada datar. Andik terdiam kaget, Ilyas pun sama tapi tak sekaget Andik.
Tanpa sepatah kata Andik bangkit dari duduk
santainya, mengambil langkah cepat menuju kamar Hanis yang bersebelahan dengan
kamar mereka. Didorongnya pintu yang tertutup rapat itu, sekedar memastikan
benarkah apa yang ia dengar barusan walau mustahil itu lelucon belaka. Naura dan Ilyas pun bangkit, cemas apa yang akan diperbuat Andik mereka datang menyusul.
Ternyata apa yang dikhawatirkan keduanya
salah, Andik mematung di tengah kamar Hanis, matanya memutar mengamati setiap
sudut kamar yang sudah rapi seperti tak berpenghuni. Amarah jelas memuncak tapi
tidak tahu bagaimana meluapkannya, apalagi ia yang telah menguji kesabarannya tak nampak di depan mata.
Langkah Naura pelan kala datang ke samping
Andik, diikuti Ilyas berdiri di sisi lain. Tangan kanan Naura bergerak ke atas, menyentuh punggung Andik dan mengusapnya pelan. Nada suaranya terdengar rendah kala berucap, menasehati Andik demi menurunkan kemarahannya yang bertengger di puncak.
"Sudahlah, kita sudah berusaha ... Biarkan dia memilih apa yang pengen dia lakukan...." ucap Naura, berusaha mengurangi kemarahan serta beban Andik.
"Tapi Mba, dia tidak bisa memilah mana teman yang berdampak positif mana yang
tidak," sahut Andik, jelas ia mencemaskan pergaulan Hanis.
"Mba ngerti tapi semakin kita kekang semakin dia memberontak," lanjut Naura.
"Benar Dik, dia sudah dewasa setidaknya biar dia bertanggungjawab sama hidupnya
sendiri," imbuh Ilyas membantu menasehati Andik agar tak terus terbebani sebagai saudara yang diamanahkan menjaga Hanis.
"Kita lihat gimana nantinya, Mba yakin sekalipun dia tak ingin kamu ikut campur jika
terjadi sesuatu tatap kamu yang bakal dia cari," tambah Naura.
Pada akhirnya Andik menerima nasehat dari kedua orang terdekat dia, membesarkan hatinya menerima keputusan Hanis walau amarah masih belum reda. Dengan langkah tak bertenaga ia keluar dari kamar itu, menutup rapat pintu kamar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 224 Episodes
Comments
🅰🅽🅰 Ig: meqou.te
kenapa habisnya nggak itu gak suka tinggal sama Naura.
2021-02-20
0
Almeera
bawaan nya saya msih sedih klw soal naura ...
2021-01-09
0
Ningsih
udh lama g kepoin novelmu trnyata udh bnyk up nya kok g da notif yg masuk y pdhl msh di favoritkn lo🤔🤔
2020-12-22
2