Menemani makan

CAPTER 4

MENEMANI MAKAN

Naura tak sabar ingin menunjukkan layangan yang ia terbangkan, maksudnya yang diterbangkan oleh pak Malik pada suaminya, Hasan. Namun ia tak bisa menghubungi Hasan khawatir laki-laki itu tengah sibuk, yang bisa  ia lakukan hanya menunggu saja. Ada godaan di hati untuk mendatangi Andik dan Ilyas, bertanya sekaligus memancing mereka berdua untuk menghubungi sang suami. Namun rasa malu menahannya untuk tidak berbuat demikian. Alhasil ia tak pernah lepas dari ponsel miliknya yang ia simpan di saku celana, menunggu ponsel itu berdering, panggilan masuk dari Hasan.

Agar ingatannya yang hanya tertuju pada sang suami tak menggerogoti jiwanya yang kesepian Naura memutuskan turun, mendatangi bik Siti yang tengah sibuk di dapur menyiapkan makan malam untuk mereka semua termasuk dirinya.

“Masak apa, Bik?” tanya Naura begitu

memasuki dapur.

“Masak bebek sinjay Non, Bapak request

tadi siang mumpung lagi musim mangga!” jawab bik Siti yang tengah menyiapkan

bumbu untuk olahan bebek sebelum dimasukkan ke presto bersama dengan bumbu yang ia buat.

“Apa hubungannya mangga sama bebek sinjay?” tanya Naura yang memang tidak mengerti.

“Biasanya sambalnya itu dikasih cincangan

manga muda Non!” jawab bik Siti.

“Ohh….” seru Naura, memanfaatkan kesempatan akhirnya bik Siti meminta Naura mengupas mangga lalu dicincang. Naura

menjalankan tugasnya dengan segera sedangkan bik Siti sibuk dengan daging bebek yang sudah dibumbui lalu dipresto sebelum nantinya di goreng.

Sebagai menu pelengkap bik Siti juga menggoreng tempe serta terong yang diminta oleh pak Malik serta sayuran lainnya sebagai lalapan.

“Kalo den Hasan apa makanan kesukaannya

Non?” tanya bik Siti tiba-tiba, kembali Naura teringat dengan suaminya padahal ia sudah berjuang agar tak tertuju pada laki-laki itu.

“Suamiku itu apa aja suka Bik, nggak

pilih-pilih makanan. Tapi kalo masakan luar dia kurang suka katanya nggak cocok

ke lidahnya, untuk makanan kesukaannya mie ayam!” jawab Naura, mencoba berbicara dengan santai dan tenang.

“Sudah bibik tebak, Aden emang menantu

idaman deh!” puji bik Siti, senyum Naura terlukis. Di hati ia juga memuji sang suami.

“Beruntungnya Non dapat suami seperti

Aden … Bapak pintar milihnya!” lanjut bik Siti belum puas memuji Hasan.

“Sebenarnya Bik sebelum Papa jodohin

aku sama dia, Nana itu sudah pernah ketemu sama suamiku itu!” ungkap Naura, mengenang kembali pertemuan pertama mereka serta pertengkaran mereka di halaman masjid. Senyum Naura terjalin dnegan sendirinya, bik Siti yang mengamati

menjadi penasaran.

“Beneran Non? Dimana? Kapan itu Non? Kok

bisa?!” cerca bik Siti penuh antusias ingin mendengarkan kisah cinta Naura.

“Mungkin sekitar  seminggu sebelum Papa bilang mau jodohin aku sama dia,” jawab Naura singkat, bik Siti tak puas mendengarnya.

“Terus Non?!” desak bik Siti tak sabar.

“Waktu mau pulang Nana mampir ke

masjid, kita ketemunya di sana! Tapi aku marah-marah ke dia soalnya suamiku itu

lihatin aku terus, Bik!” ungkap Naura melanjutkan kisahnya.

“Mungkin Aden terpana pas lihat Non!”

seru bik Siti. Naura tersipu malu, teringat dengan pengakuan Hasan yang demikian, sama persis seperti pendapat bik Siti.

“Habis dari masjid kita ketemu lagi Bik dalam hitungan menit, dia nolongin aku tapi … aku marahin dia lagi….” Ungkap Naura dengan nada rendah, ada penyesalan di balik nada suaranya.

“Non itu emang super galak ke Aden,

padahal jelas terlihat sejak awal Aden datang ke sini dipertemukan sama Non, itu Aden sudah suka sama Non!” kata bik Siti berpendapat.

“Masak sih Bik?!” seru Naura.

“Iya Non … soalnya bibik ini diam-diam

mengamati bahasa tubuh Aden!” ungkap bik Siti, Naura tertawa mendengar pengakuan itu.

“Ohh Bibik ini emang sesuatu deh, top

banget!” puji Naura dan mengacungkan jempol.

Tak terasa juga pekerjaan mereka di dapur sudah kelar, Naura menata makanan di meja lengkap dengan piring dan lainnya sedangkan bik Siti membersihkan dapur kembali sebelum ia menyelinap ke belakang untuk menonton sinetron favoritnya yang tak boleh

terlewatkan.

Naura memanggil semuanya yang berada di teras samping dimana pak Malik mengajari mereka berdua bermain catur walau tak satupun penjelasan pak Malik yang mampu mereka tangkap sebaliknya mereka berdua bertambah pusing. Sambil belajar mereka memperhatikan layangan mereka yang masih mengudara. pak Martin dan temannya pak Iskak juga sama sambil menjalankan tugas mereka memperhatikan layangan di atas langit dengan lampu menyala.

Setelah mendengar panggilan suara Naura, bubarlah mereka semua dari perkumpulan mereka. Langkah ketiganya cepat mendatangi Naura yang sudah siap di meja makan.

“Ayo makan malam dulu, baru dilanjut

lagi!” ucap Naura.

“Dari aromanya ini kayaknya bebek sinjay deh!” seru Andik menebak.

“Iya ini spesial buat kalian, ayo siapa yang pimpin do’a?” sahut pak Malik.

“Saya rasa pak De aja yang pimpin do’a,”

balas Ilyas mengusulkan.

Berhubung sudah ditunjuk tida mungkin bagi pak Malik menolaknya, ia pun memimpin doa sebelum dengan lahapnya menyambar bebek sinjay yang dimasak bik Siti.

Setelah makan malam yang katanya pak Malik spesial mereka berkumpul di ruang keluarga Naura tetap teguh membawa ponsel bersamanya. Di dapur tadi sewaktu menyiapkan makan malam juga ia membawa ponsel yang disembunyikan di saku celana.

"Jangan main catur pak De, kita nggak bisa!" kata Andik menolak usul pak Malik.

"Main ps aja, Pa!" usul Naura.

"Ok, ayo buruan!" sahut pak Malik menyetujui.

Saat seru-serunya bermain ps melawan pak Malik yang dibantu oleh putrinya tiba-tiba Ilyas bersuara, "Ngomong-ngomong rasanya rumah kita di sana gelap gulita ini," ucapnya menyentak Naura dan Andik.

"Iya, gimana ini? Khawatir ada maling nyelinap ke dalam!" sambung Andik. Naura jadi tak tenang, dilain sisi ia ingin menunjukkan layangan miliknya pada Hasan, di sisi lain mencemaskan rumahnya yang mereka tinggalkan.

Semangat Naura yang tadi nampak tenggelam seiring kesedihan menyertai dirinya, pak Malik menangkap hal itu. Sebagai ayah tentu ia tak ingin melihat wajah sedih sang putri tercinta, demi wajah cantik itu kembali nampak ia dengan sengaja meminta Naura untuk mengambilkan HT yang berada di ruang keluarga.

"Sayang, tolong ambilkan HT di

ruang kerja papa sana!" perintah pak Malik yang langsung dilaksanakan oleh

Naura.

Wanita itu melangkah dengan cepat untuk mengambil benda hitam yang mirip dengan ponsel jaman dulu. Segera Naura serahkan ke pak Malik yang masih duduk santai memegang remot ps. Naura kembali duduk di sampingnya, bersama dengan dua kunyuk ia mendengarkan perkataan pak Malik yang meminta pak Martin datang segera.

Tak seberapa lama dari perintah yang dikeluarkan tadi pak Martin nongol dari pintu samping berjalan menuju ruang keluarga untuk menghadap pak Malik.

"Pak Martin di luar pak  Iskak datang?!" tanya pak Malik meyakinkan dirinya saja.

"Iya Tuan," jawab pak Martin.

Pak Malik tak menanggapinya lagi sebaliknya ia malah meminta Naura untuk yang kedua kalinya mendatangi ruang kerja, mengambil salah satu kunci mobil yang hampir tiap hari

dikendarai. Naura datang dengan kunci mobil di tangan, diserahkan langsung ke pak Malik yang sudah menunggu, sama dengan pak Martin yang berdiri mematung menunggu perintah yang akan diberikan.

"Pak Martin, untuk malam ini tolong nginap di rumah nak Hasan! Di sini biar pak Iskak yang jaga. Kalo pak Martin bosan sendirian bisa ajak temannya yang sering ke sini itu!" tutur

pak Malik memberikan tugas lain.

"Baik Tuan," sahut pak Martin lalu mengambil kunci mobil yang dijulurkan oleh pak Malik padanya.

Kemudian pak Martin pamit namun sebelum ia melangkah pergi lagi-lagi pak Malik meminta Naura untuk mengambil dompet miliknya yang juga disimpan di ruang kerja.

"Papa, nyuruhnya kok nyicil gitu sih!" protes Naura namun pak Malik hanya tersenyum. Dengan muka kesal Naura bangkit lagi, langkahnya cepat dan dipaksakan berjalan menuju ruang kerja. Mengambil dompet yang pak Malik simpan di laci paling atas.

"Jangan bilang ada lagi ya Pa!" ucap Naura sambil menyerahkan dompet.

Kali ini pak Malik tak memberi respon apa-apa, senyum pun tidak. Sebaliknya ia langsung membuka dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang untuk diserahkan ke pak Martin.

"Ini Pak, buat beli makanan nemani

pak Martin jaga-jaga di sana!" ucapnya, menyerahkan uang itu segera.

Langkah pak Martin semangat meninggalkan ruang keluarga, berjalan menuju garasi dan mengeluarkan mobil secepatnya. Saat mobil itu mencapai pos ia turun sebentar mengambil jaket miliknya yang digantung sekalian pamit pada temannya pak Iskak. Tak lupa juga ia berbagi rejeki padanya, memberikan selembar uang yang diberikan pak Malik tadi.

"Ini buatmu," ucapnya singkat. Pak Iskak menerima meski ia penasaran hendak kemana temannya itu keluar dengan mobil majikan.

"Aku disuruh jaga rumah Non, buat malam ini kamu sendirian ya!" lanjut pak Martin memberitahu, menjawab rasa penasaran pak Iskak yang tertahan.

Di dalam rumah lanjut mereka bermain game setelah masalah kecil terselesaikan. Sampai malam mulai terasa hening mereka mengakhirinya. Naura kembali lesu, sesampainya di kamar ia menjatuhkan diri di atas kasur. Tangan kanannya lekas mengeluarkan ponsel dari dalam saku, menatap ponsel itu tapi tak berani membuat panggilan; menunggu itulah yang ia pilih.

"Kok belum nelfon," gumannya saat matanya melirik jam dinding dan jarum jam sudah lewat dari angka sepuluh.

Untuk menghilangkan kejenuhan dari rasa bosan yang timbul Naura merangkak turun dari tempat tidur. Langkah wanita itu terkesan dipaksakan kala berjalan ke sofa. Dijatuhkan

tubuhnya di sana, bersandar lesu lalu menyalakan televisi. Kakinya yang tadi terdiam menyentuh lantai ia naikkan perlahan sebab tak kuat menahan dinginnya lantai

itu. Sambil meringkuk di sana Naura menatap layar televisi berusaha melarutkan dirinya pada film yang ia tonton.

Hawa dingin masih tetap terasa, ia pun akhirnya bangkit melangkah lagi ke tempat tidur. Selimut yang tertata rapi ia tarik begitu saja, membawanya ke sofa untuk membungkus dirinya yang merasa kedinginan.

Waktu terus berjalan rasa kantuk juga belum datang menghinggapi kedua kelopak matanya, sesekali bola matanya melirik ke dinding dimana jam dinding terpajang.

“Sudah jam sebelas lebih!" gumam mulut

Naura yang mulai lelah menunggu, juga  bertambah sedih saja hatinya kini, bahkan air

mata mulai merangkak naik mengintip dari celah mata namun ia berusaha bertahan.

Naura tak lagi bisa fokus menonton film yang ia putar, berjalanlah ia ke balkon kamar. Berdiri disana menatap layangan yang masih bertahan di udara. Niatnya untuk memamerkan layangan pada sang suami sepertinya tak terwujud.

“Kalo tahu dia nggak bakal nelfon mending aku pulang,” gumannya sekali lagi, dinginnya udara malam tak terasa lagi kalah dengan kesedihan yang ia rasakan.

Disaat kegundahan hati mencapai puncak tiba-tiba suara ponsel berbunyi, Naura berlari ke dalam kamar. Benar ponsel yang tergeletak di atas kasur dekat bantal berdering dan

nomor kontak Hasan tertera di sana. Nomor kontak yang sudah ia tunggu sedari siang, senyum Naura langsung tersemat. Ia jatuhkan tubuhnya ke kasur, berguling disana

menerima panggilan masuk dari Hasan.

"Malam Sayang...." ucap Hasan menyapa sang istri yang sudah gundah menunggu. Sudah sangat hafal dengan perbedaan waktu.

"Malam ... Kok telat banget nelfonnya?!" cerca Naura dengan cerewet.

"Maaf mas baru aja balik, ini baru masuk kamar terus langsung nelfon Adek! Tapi siang habis ini keluar lagi!" tutur Hasan menjelaskan khawatir terjadi prasangka buruk.

"Ohh sibuk banget ya ternyata suamiku ini, emang apa yang dikerjakan?!" tanya Naura lagi.

"Loh kok sek nanya? Terus Adek ngirim mas kesini buat apa? Jualan mie ayam gitu?!" sahut Hasan malah balik mencerca Naura.

Naura tertawa, ia membetulkan bahasa pertanyaan yang keliru tadi. "Bukan itu maksudku ... Maksudku itu ... Sekarang sibuk

apa? Pokoknya bukan itu maksud aku!" kata Naura bingung menjelaskan maksud dari pertanyaannya tadi.

Kini gantian Hasan yang tertawa, sebenarnya ia mengerti maksud pertanyaan sang istri. Ia hanya menggoda saja dan ternyata Naura terpancing dengan mudah.

"Mas ini lagi ngejar observasi, soalnya harus segera selesai!" kata Hasan menjelaskan kesibukannya seharian.

"Wah ketat banget ya! Emang harus

selesai kapan?!" tanya Naura sesungguhnya.

"Ya secepatnya Dek, biar ... Biar bisa kumpul lagi sama belahan jiwa mas...." Ucap Hasan menggoda sang istri.

Naura tersipu, ia terdiam beberapa detik lamanya sebelum teringat dengan layangan yang ingin ia pamerkan.

"Oh Suamiku, aku punya sesuatu

yang mau aku tunjukkan!" ucapnya riang.

Hasan nampak kaget, ia mendesak Naura segera menunjukkan apa yang ingin ia tunjukkan. Naura tak segera menjawab, ia malah turun dari kasur cepat-cepat lalu berlari keluar kamar. Sebelum ke halaman rumah Naura dengan sengaja menghidupkan lampu taman dulu agar tidak gelap gulita.

"Kok agak gelap Dek?" tanya Hasan, ia tahu Naura tadi keluar rumah tapi tidak tahu maksud dari tindakannya.

"Kenapa keluar rumah, Dek?!" tanya Hasan lagi.

Naura mengarahkan kamera ke langit sambil menjawab pertanyaan yang Hasan lontarkan tadi. Dengan riang Naura menunjuk ke langit, menjelaskan satu-satu layangan yang masih di udara.

"Lihat nggak layangan yang di atas? tanya Naura.

Sebenarnya tidak terlalu jelas hanya lampu yang redup-redup tapi untuk menyenangkan hati sang istri Hasan mengiyakan pertanyaan itu. Ia juga balik bertanya mengenai lampu

yang tak nampak jelas itu pada istrinya.

"Itu yang lampunya warna hijau punya pak Said sama pak Martin, yang warna merah putih punya Andik and the geng ... Terus yang warna warni itu punyaku sama Papa!" tutur Naura menjelaskan satu-satu.

"Wah kenapa tiba-tiba main layangan? Masa kecil kurang bahagia?!" ledek Hasan menggoda.

"Ya berhubung masa kecilku emang

nggak pernah nerbangin layangan jadi pas Andik ngajak aku langsung setuju! Katanya kalo angin kencang kayak gini pasti lagi musim tebu!" tutur Naura menjelaskan.

"Itu buat apa beli?!" tanya Hasan lagi.

"Tadinya mau buat tapi berhubung

susah nyari bahannya jadinya beli!" imbuh Naura masih dengan nada semangat.

"Ohh niat banget kalian ini Dek," seru Hasan.

Puas memamerkan layangan miliknya Hasan yang tak tega sang istri berada di luar tengah malam lelaki itu meminta Naura masuk lagi khawatir istrinya akan masuk angin. Dengan

patuh Naura berjalan masuk, kembali lagi ke kamar dan menarik selimut yang ia abaikan di sofa, juga mematikan layar televisi.

Agar posisinya nyaman bicara dengan suaminya Naura tiduran di atas kasur, banyak hal yang diceritakan oleh Hasan mulai dari tugas akhir kuliah sampai teman-temannya disana. Namun tiba-tiba suara sesuatu mengganggu pembicaraan santai mereka. Daun telinga Naura mekar dua kali dari ukuran normal saat suara itu terdengar dan detik kemudian baik Hasan ataupun Naura tertawa bersama.

"Belum makan?" tanya Naura saat tawanya sudah terhenti.

"Ya belumlah, ini baru nyampek udah absen dulu sama Adek!" jawab Hasan.

"Lihat perutnya!" kata Naura melenceng dari pembahasan.

"Kenapa mau lihat perut mas?" tanya Hasan bingung dengan maksud serta tujuan dari permintaan itu.

"Bisakah nggak banyak pertanyaan?!

Langsung ditunjukkan gitu?!" sahut Naura tidak ingin menjawab.

Dengan rasa penasaran serta bingung Hasan meletakkan ponsel di meja, menyanggah dengan buku lalu ia bangkit dan mundur beberapa langkah. Ia melambaikan tangan, memastikan apakah Naura bisa melihatnya dengan jelas dan utuh.

"Adek bisa lihat mas nggak?!" tanya Hasan dengan suara lantang.

"Iya, buruan!" jawab Naura dan meminta Hasan segera memperlihatkan perutnya.

"Buat apa sih Dek?" tanya Hasan lagi, masih berusaha mengulur waktu siapa tahu istrinya akan berubah pikiran.

"Jangan jauh-jauh!" pinta Naura semakin membuat bingung Hasan.

Kembali ia melangkah maju, mungkin berjarak kurang dari satu meter saja dari layar ponsel di atas meja. Tangan kanannya bergerak menyentuh perut yang masih tertutup kaos. Dengan ragu-ragu ia menarik ujung kaos ke atas namun hanya sedikit. Naura memprotes ia meminta Hasan menarik lagi kaos bajunya sampai di atas pusar.

"Buat apa sih Sayang?!" tanya Hasan semakin penasaran. Walau enggan tangannya tetap menarik kaos ke atas sesuai perintah sang istri.

Saat sudah terangkat seperti permintaannya Naura malah menambah perintah lagi, ia meminta Hasan lebih maju. Laki-laki itu dengan sabar menuruti keinginan istrinya, ia

melangkah sampai jaraknya dari ujung meja mungkin hanya se senti.

Senyum Naura mengembang, ia tak bersuara lagi hanya menfokuskan penglihatannya ke perut sang suami.

"Tambah kurus kayaknya suamiku," batinnya bicara.

"Adek, udah ya malu!" pinta Hasan namun Naura menolak. Detik kemudian nampak Naura semakin mendekatkan wajahnya ke kamera ponsel lalu mendaratkan kecupan hangat dan lama.  Hasan tersenyum, walau itu aneh dan ia radak risih tapi itu cukup membuat hatinya bergetar. Ia diam berdiri di tempatnya tak bergerak walau hanya sekali seolah merasakan kecupan sang istri.

"Sudah Sayang? Mas lapar...." ucapnya menyudahi, tidak ingin menuruti kegilaan Naura.

"Ok, kalo gitu sampai ketemu besok pagi!" sahut Naura, langsung ditanggapi oleh Hasan yang masih tidak mau menyudahi obrolan mereka.

"Loh kok habis manis sepah dibuang?! Nggak boleh ditutup harus temani mas makan!" ucap Hasan, memberi perintah pada sang istri. Naura tertawa dibuatnya. Niatnya untuk menyudahi urung malah sebaliknya ia menemani Hasan mulai dari masak hingga makan.

Hasan meletakkan ponsel di meja dapur dalam posisi berdiri agar bisa melihat dirinya. Sambil mengutak-atik dapur ia bicara dengan Naura di sambungan.

"Mau masak apa?" tanya Naura kala melihat Hasan membuka rak dapur.

"Masak mie instan," sahut Hasan segera.

"Mie instan?!" seru Naura, tak percaya jika suaminya memakan mie instan. Hasan menunjukkan stok mie instan di rak dapur pada sang istri. Mulut Naura menganga lebar, bukan kaget namun lebih cenderung merasa sedih. Itu bisa dilihat dengan kedipan mata yang lebih sering dari biasanya.

"Kemarin lusa mas habis belanja di toko milik orang Indonesia, jadinya mas nyetok yang banyak!" sambung Hasan lantaran Naura terdiam.

"Kenapa beli mie? Kok nggak beli yang lain?" tanya Naura, ia khawatir sang suami kekurangan uang di sana namun tak mau bercerita.

Sebelum menjawab Hasan melempar senyum, "Soalnya itu paling simpel and nggak ngabisin waktu di dapur," jawabnya santai, sambil menghidupkan kompor setelah menaruh panci kecil yang berisi air. Tak tanggung-tanggung Hasan mengambil dua bungkus mie instan dan itu semakin membuat Naura sedih.

"Suamiku ... Kenapa nggak pesan makanan aja? Apa uangnya nggak cukup?!" ucapnya dengan nada rendah, kesedihan nampak jelas di raut wajahnya.

"Sayang, mas nggak tiap hari kok mulai dari sarapan sampai makan malam sama mie instan aja, mas juga beli ... Lebih dari kata cukup Sayang ... Ayo senyum dong! Jangan bikin mas sedih!" sahut Hasan menjelaskan, ia tak tega melihat kesedihan di raut wajah sang istri lantaran mengkhawatirkan dirinya.

"Ohh ... Terus itu telurnya juga dua?" tanya Naura lagi saat Hasan membuka kulkas untuk mengambil telur.

Urunglah tangan Hasan mengambil telur, ia menoleh ke kamera di meja dapur. Senyuamnya mengembang lebar kala berucap menjawab pertanyaan Naura sekaligus menggodanya.

"Adek Sayang, telur mas kan memang

dua!" ucapnya menyentak telinga Naura.

Ucapan Hasan cukup membuat Naura

membisu dalam hitungan detik lamanya, senyum tipis dan singkat tersungging di

wajahnya yang ayu.

"Mr. Hasan istrimu ini bertanya dengan serius!" sentak Naura.

"Loh Adek pikir mas nggak serius? Lebih dari serius Sayang!" balas Hasan, mengeluarkan dua butir telur lalu bergeser ke kompor.

“Ohh makin pintar ngerayu plus genit ya!” sindir Naura, Hasan tertawa.

Sambil berucap membalas sindiran istrinya perhatian Hasan tertuju pada panci di atas tungku kompor. “Emang ini termasuk katagori genit?! Mas ini termasuk katagori cowok polos lho Dek!.”

“Polos dari Hongkong!” sahut Naura.

Hasan tertawa lepas mendengar ucapan tak terima Naura. Namun tiba-tiba terdiam

saat menoleh ke air di panci.

Melihat air di panci sudah mendidih ia pecahkan dua telur yang ia ambil dan mengecilkan api supaya tak naik ke atas.

Naura tak bersuara lagi ia hanya menatap kamera menyaksikan suaminya yang sedang memasak mie instan. Tak berselang lama mie yang dimasak sudah matang, cepat-cepat Hasan mengambil mangkok, sendok dan garpu.

“Sudah matang?” tanya Naura saat melihat kompor dimatikan dan Hasan dengan langkah cepat mengambil  sesuatu di rak.

“Iya, simpel dan nggak ribet kan?!” sahut Hasan, tidak menoleh ke kamera. Naura terus memperhatikan suaminya yang tengah sibuk namun tak mengabaikan dirinya sama sekali.

Setelah menuangkan semua bumbu instan ke mangkok Hasan menuangkan mie yang sudah matang direbus. Mengaduknya sampai bumbu merata dan aroma tercium menggelitik ujung hidung.

Hasan membawa mangkok mie ke meja makan begitu dengan ponsel yang ia letakkan. Kembali ia mengatur posisi ponsel sebelum menggeser kursi, duduk dengan tenang menghadap kamera dan mangkok yang pasti.

"Mari makan Adek!" ucap Hasan.

"Makasih, selamat makan Sun of my

life!" balas Naura, melempar senyum juga.

Terpopuler

Comments

Bunda Linda

Bunda Linda

Hanya novel ini yg certay panjang banget , aku suka ... sehat trus yaa thor

2021-02-09

0

Mama amiinn Asis

Mama amiinn Asis

kasihan,,,,,de sama dede nya hasan lama nga di mandiin, hahaha.......


2021-01-13

0

PutriSina

PutriSina

hanya novel ini yg cerita nya panjang banget, aku suka gk d gantung2 ceritanya. lanjut thor semangat

2020-12-28

1

lihat semua
Episodes
1 Postingan Andik
2 Hanya lewat sambungan telepon
3 Akhir pekan
4 Menemani makan
5 Masih dikaitkan
6 Rencana masa depan
7 Pertemuan kembali
8 Menjemput
9 Siang menjelang sore
10 Kepedulian Andik
11 Menepati janji
12 Tiba-tiba
13 Kemarahan Andik, cemburukah?
14 Takdir si Bujang
15 Kesungguhan Angga
16 Kencan singkat
17 Kencan dadakan
18 Kedatangan Sahat dan ibu Merli
19 Cemburu
20 Lelah raga
21 Kegundahan hati
22 Permintaan ibu Gufro
23 Sebelum pagi
24 Nyanyian Andik
25 Andik dan Hanis
26 Merasa bersalah
27 Sebuah chat
28 Usaha Hanis
29 Muncul lagi
30 Tak berdaya
31 Kesepakatan baru yang dibuat
32 Kepedulian Angga
33 Jawaban yang diberikan Naura
34 Akhir dari kebungkaman Hanis
35 Kebersamaan yang tak direncanakan
36 Permintaan manja Hasan
37 Akhir dari permainan Boy
38 Tindakan spontan Angga
39 Cara Andik
40 Mengantar ke rumah
41 Sebelum magrib
42 Setelah magrib
43 Tiba-tiba bersikap aneh
44 Kehebohan di lantai empat
45 Dibuat terharu
46 Malam minggu yang tidak dinanti
47 Permintaan Hasan
48 Tawaran Naura
49 Setangkai mawar kuning
50 Mencari keberadaan mawar kuning
51 Mawar kuning kedua
52 Aktivitas rahasia Naura
53 Suara Hasan
54 Nasehat tiga orang
55 Suara Hasan lagi
56 Makan bersama lagi
57 Hadiah untuk menantu
58 Belajar main gitar
59 Senyum bangga pak Malik
60 Membuat cemas semuanya
61 Mie ayam rasa merindu
62 Tidak tenang
63 Berawal dari nasehat, lanjut bergosip
64 Tiang listrik konslet
65 Paket kiriman
66 Pertemuan di malam minggu
67 Di apartemen
68 Tengah malam
69 Sehabis subuh
70 Selembar kertas
71 Di pinggir kolam
72 Undangan pernikahan
73 Pesan dari Andik
74 Menerima tantangan
75 Sebuah keputusan, berakhir
76 Belajar memahami
77 Masih jaga sikap
78 Nyaris saja
79 Permintaan maaf
80 Menyiapkan hadiah
81 Berangkat bersama
82 Menghadiri pernikahan
83 Mengantar
84 Tek terduga
85 Membuka hadiah
86 Malam pertama
87 Mulai lagi akal jahil
88 Bakti Ilyas
89 Mengikuti pertandingan
90 Papan Mading
91 Bukan masalah
92 Teman lama
93 Bahasa Cinta
94 Entah kenapa
95 Bertemu pandang
96 Saat pak Malik bertindak
97 Mengajari suami
98 Beradu argumen
99 Ucapan pak Salahi
100 Saat cinta menyertai malam
101 Kecupan di pagi hari
102 Teguran dari menantu
103 Tujuan pak Malik
104 Menyusun pesan cinta
105 Malu sendiri
106 Mempraktekkan ilmu yang dipelajari
107 Hening sore di lantai dua
108 Sebuah sepatu
109 Demi sebuah hadiah
110 Balasan dari Ilham
111 Yah, melewatkan sarapan
112 Menemani kontrol
113 Bertambah akrab
114 Berlibur juga
115 Hayalan pagi di kamar hotel
116 Om Cowboy
117 Akal-akalan dua wanita
118 Menangkap ikan
119 Lagu untuk Hasan
120 Pak Malik
121 Kesempatan dalam kesempitan
122 Telepon dari bik Siti
123 Penjelasan dokter Fahmi
124 Ucapan Hasan
125 Minta ditemani
126 Kesedihan Ilyas
127 Mood booster
128 Program kehamilan
129 Kesedihan Naura
130 Hari pertama di kampus baru
131 Tradisi kampus
132 Nasi goreng
133 Perbincangan dua orang
134 Ada-ada saja Naura
135 Sikap Hasan
136 Ajakan pak Malik
137 Majlis ilmi
138 Obrolan kaum Hawa
139 Ucapan Hasan
140 Teguran adik sendiri
141 USILNYA NAURA
142 Suasana setelah magrib
143 Salah tingkah
144 Berbalas pesan
145 Kesepakatan yang dibuat
146 Mulai manja
147 Hanya sepuluh menit
148 Sisi lain Naura
149 CERITA NAURA
150 Saat kebersamaan
151 Kumpulan para jomblo
152 Mulai rewel
153 Menyanyikan lagu
154 Di rumah masa kecil
155 Sarapan pagi
156 Opening
157 Oppa-nya kampus
158 Live streaming
159 Kabar duka
160 Berkabung
161 Kedatangan Kyai Fawaid
162 162
163 163
164 164
165 165
166 Menyambut
167 Memancing ikan
168 Setelah sekian lama
169 Mimpi Hasan
170 Laporan dari David
171 Sama sama jatuh sakit
172 Sore di rumah Hanah
173 Takdir
174 Hadiah dibalik rasa kecewa
175 Nasehat Lusi
176 Saat Zadid marah
177 Permintaan Zadid
178 Menjemput belahan jiwa
179 Firasat Ilyas
180 Berita dari 3 kunyuk
181 Sebuah jalan
182 Penemuan besar
183 Upaya si Kembar
184 Email dari aunty Lusi
185 Obrolan Zadid dan Kim
186 Pernikahan Lusi
187 Membiarkan pergi
188 Jawaban Lusi
189 Sama-sama mencari jalan
190 Rencana Naura
191 Akhirnya, mendarat juga
192 Tangis Nada
193 Kejahilan pertama,terus berlanjut
194 Lanjut yang berikutnya
195 Mimpi Zadid
196 Secarik kertas dan permen
197 Menyapa sang ayah
198 Saling berbalas pesan
199 Berlatih basket
200 Kecelakaan
201 Kedatangan Hasan
202 Berbagi makanan
203 Tidak ayah, tidak anak
204 Kesalahpahaman Zadid, tangisan Nada
205 Tetesan embun
206 Kedatangan Naura, kekecewaan Hasan
207 Memilih pergi
208 Bablu si pemancing tawa
209 Sekali tepuk, dua lalat kena
210 Keacuhan pak Malik
211 Menggendong buah hati
212 Bisikan Hasan
213 Perkataan Hasan, runtuhlah hati Naura
214 Lawakan tiga kunyuk, pemersatu keluarga
215 Suara tangis di malam hari
216 Hanya bisa marah
217 Hatsuhinode
218 Pertandingan basket
219 Pelukan Nada
220 Masakan Daddy
221 Kecupan singkat
222 Kencan Daddy and Mom
223 Proposal cinta
224 pengumuman
Episodes

Updated 224 Episodes

1
Postingan Andik
2
Hanya lewat sambungan telepon
3
Akhir pekan
4
Menemani makan
5
Masih dikaitkan
6
Rencana masa depan
7
Pertemuan kembali
8
Menjemput
9
Siang menjelang sore
10
Kepedulian Andik
11
Menepati janji
12
Tiba-tiba
13
Kemarahan Andik, cemburukah?
14
Takdir si Bujang
15
Kesungguhan Angga
16
Kencan singkat
17
Kencan dadakan
18
Kedatangan Sahat dan ibu Merli
19
Cemburu
20
Lelah raga
21
Kegundahan hati
22
Permintaan ibu Gufro
23
Sebelum pagi
24
Nyanyian Andik
25
Andik dan Hanis
26
Merasa bersalah
27
Sebuah chat
28
Usaha Hanis
29
Muncul lagi
30
Tak berdaya
31
Kesepakatan baru yang dibuat
32
Kepedulian Angga
33
Jawaban yang diberikan Naura
34
Akhir dari kebungkaman Hanis
35
Kebersamaan yang tak direncanakan
36
Permintaan manja Hasan
37
Akhir dari permainan Boy
38
Tindakan spontan Angga
39
Cara Andik
40
Mengantar ke rumah
41
Sebelum magrib
42
Setelah magrib
43
Tiba-tiba bersikap aneh
44
Kehebohan di lantai empat
45
Dibuat terharu
46
Malam minggu yang tidak dinanti
47
Permintaan Hasan
48
Tawaran Naura
49
Setangkai mawar kuning
50
Mencari keberadaan mawar kuning
51
Mawar kuning kedua
52
Aktivitas rahasia Naura
53
Suara Hasan
54
Nasehat tiga orang
55
Suara Hasan lagi
56
Makan bersama lagi
57
Hadiah untuk menantu
58
Belajar main gitar
59
Senyum bangga pak Malik
60
Membuat cemas semuanya
61
Mie ayam rasa merindu
62
Tidak tenang
63
Berawal dari nasehat, lanjut bergosip
64
Tiang listrik konslet
65
Paket kiriman
66
Pertemuan di malam minggu
67
Di apartemen
68
Tengah malam
69
Sehabis subuh
70
Selembar kertas
71
Di pinggir kolam
72
Undangan pernikahan
73
Pesan dari Andik
74
Menerima tantangan
75
Sebuah keputusan, berakhir
76
Belajar memahami
77
Masih jaga sikap
78
Nyaris saja
79
Permintaan maaf
80
Menyiapkan hadiah
81
Berangkat bersama
82
Menghadiri pernikahan
83
Mengantar
84
Tek terduga
85
Membuka hadiah
86
Malam pertama
87
Mulai lagi akal jahil
88
Bakti Ilyas
89
Mengikuti pertandingan
90
Papan Mading
91
Bukan masalah
92
Teman lama
93
Bahasa Cinta
94
Entah kenapa
95
Bertemu pandang
96
Saat pak Malik bertindak
97
Mengajari suami
98
Beradu argumen
99
Ucapan pak Salahi
100
Saat cinta menyertai malam
101
Kecupan di pagi hari
102
Teguran dari menantu
103
Tujuan pak Malik
104
Menyusun pesan cinta
105
Malu sendiri
106
Mempraktekkan ilmu yang dipelajari
107
Hening sore di lantai dua
108
Sebuah sepatu
109
Demi sebuah hadiah
110
Balasan dari Ilham
111
Yah, melewatkan sarapan
112
Menemani kontrol
113
Bertambah akrab
114
Berlibur juga
115
Hayalan pagi di kamar hotel
116
Om Cowboy
117
Akal-akalan dua wanita
118
Menangkap ikan
119
Lagu untuk Hasan
120
Pak Malik
121
Kesempatan dalam kesempitan
122
Telepon dari bik Siti
123
Penjelasan dokter Fahmi
124
Ucapan Hasan
125
Minta ditemani
126
Kesedihan Ilyas
127
Mood booster
128
Program kehamilan
129
Kesedihan Naura
130
Hari pertama di kampus baru
131
Tradisi kampus
132
Nasi goreng
133
Perbincangan dua orang
134
Ada-ada saja Naura
135
Sikap Hasan
136
Ajakan pak Malik
137
Majlis ilmi
138
Obrolan kaum Hawa
139
Ucapan Hasan
140
Teguran adik sendiri
141
USILNYA NAURA
142
Suasana setelah magrib
143
Salah tingkah
144
Berbalas pesan
145
Kesepakatan yang dibuat
146
Mulai manja
147
Hanya sepuluh menit
148
Sisi lain Naura
149
CERITA NAURA
150
Saat kebersamaan
151
Kumpulan para jomblo
152
Mulai rewel
153
Menyanyikan lagu
154
Di rumah masa kecil
155
Sarapan pagi
156
Opening
157
Oppa-nya kampus
158
Live streaming
159
Kabar duka
160
Berkabung
161
Kedatangan Kyai Fawaid
162
162
163
163
164
164
165
165
166
Menyambut
167
Memancing ikan
168
Setelah sekian lama
169
Mimpi Hasan
170
Laporan dari David
171
Sama sama jatuh sakit
172
Sore di rumah Hanah
173
Takdir
174
Hadiah dibalik rasa kecewa
175
Nasehat Lusi
176
Saat Zadid marah
177
Permintaan Zadid
178
Menjemput belahan jiwa
179
Firasat Ilyas
180
Berita dari 3 kunyuk
181
Sebuah jalan
182
Penemuan besar
183
Upaya si Kembar
184
Email dari aunty Lusi
185
Obrolan Zadid dan Kim
186
Pernikahan Lusi
187
Membiarkan pergi
188
Jawaban Lusi
189
Sama-sama mencari jalan
190
Rencana Naura
191
Akhirnya, mendarat juga
192
Tangis Nada
193
Kejahilan pertama,terus berlanjut
194
Lanjut yang berikutnya
195
Mimpi Zadid
196
Secarik kertas dan permen
197
Menyapa sang ayah
198
Saling berbalas pesan
199
Berlatih basket
200
Kecelakaan
201
Kedatangan Hasan
202
Berbagi makanan
203
Tidak ayah, tidak anak
204
Kesalahpahaman Zadid, tangisan Nada
205
Tetesan embun
206
Kedatangan Naura, kekecewaan Hasan
207
Memilih pergi
208
Bablu si pemancing tawa
209
Sekali tepuk, dua lalat kena
210
Keacuhan pak Malik
211
Menggendong buah hati
212
Bisikan Hasan
213
Perkataan Hasan, runtuhlah hati Naura
214
Lawakan tiga kunyuk, pemersatu keluarga
215
Suara tangis di malam hari
216
Hanya bisa marah
217
Hatsuhinode
218
Pertandingan basket
219
Pelukan Nada
220
Masakan Daddy
221
Kecupan singkat
222
Kencan Daddy and Mom
223
Proposal cinta
224
pengumuman

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!