CAPTER 4
MENEMANI MAKAN
Naura tak sabar ingin menunjukkan layangan yang ia terbangkan, maksudnya yang diterbangkan oleh pak Malik pada suaminya, Hasan. Namun ia tak bisa menghubungi Hasan khawatir laki-laki itu tengah sibuk, yang bisa ia lakukan hanya menunggu saja. Ada godaan di hati untuk mendatangi Andik dan Ilyas, bertanya sekaligus memancing mereka berdua untuk menghubungi sang suami. Namun rasa malu menahannya untuk tidak berbuat demikian. Alhasil ia tak pernah lepas dari ponsel miliknya yang ia simpan di saku celana, menunggu ponsel itu berdering, panggilan masuk dari Hasan.
Agar ingatannya yang hanya tertuju pada sang suami tak menggerogoti jiwanya yang kesepian Naura memutuskan turun, mendatangi bik Siti yang tengah sibuk di dapur menyiapkan makan malam untuk mereka semua termasuk dirinya.
“Masak apa, Bik?” tanya Naura begitu
memasuki dapur.
“Masak bebek sinjay Non, Bapak request
tadi siang mumpung lagi musim mangga!” jawab bik Siti yang tengah menyiapkan
bumbu untuk olahan bebek sebelum dimasukkan ke presto bersama dengan bumbu yang ia buat.
“Apa hubungannya mangga sama bebek sinjay?” tanya Naura yang memang tidak mengerti.
“Biasanya sambalnya itu dikasih cincangan
manga muda Non!” jawab bik Siti.
“Ohh….” seru Naura, memanfaatkan kesempatan akhirnya bik Siti meminta Naura mengupas mangga lalu dicincang. Naura
menjalankan tugasnya dengan segera sedangkan bik Siti sibuk dengan daging bebek yang sudah dibumbui lalu dipresto sebelum nantinya di goreng.
Sebagai menu pelengkap bik Siti juga menggoreng tempe serta terong yang diminta oleh pak Malik serta sayuran lainnya sebagai lalapan.
“Kalo den Hasan apa makanan kesukaannya
Non?” tanya bik Siti tiba-tiba, kembali Naura teringat dengan suaminya padahal ia sudah berjuang agar tak tertuju pada laki-laki itu.
“Suamiku itu apa aja suka Bik, nggak
pilih-pilih makanan. Tapi kalo masakan luar dia kurang suka katanya nggak cocok
ke lidahnya, untuk makanan kesukaannya mie ayam!” jawab Naura, mencoba berbicara dengan santai dan tenang.
“Sudah bibik tebak, Aden emang menantu
idaman deh!” puji bik Siti, senyum Naura terlukis. Di hati ia juga memuji sang suami.
“Beruntungnya Non dapat suami seperti
Aden … Bapak pintar milihnya!” lanjut bik Siti belum puas memuji Hasan.
“Sebenarnya Bik sebelum Papa jodohin
aku sama dia, Nana itu sudah pernah ketemu sama suamiku itu!” ungkap Naura, mengenang kembali pertemuan pertama mereka serta pertengkaran mereka di halaman masjid. Senyum Naura terjalin dnegan sendirinya, bik Siti yang mengamati
menjadi penasaran.
“Beneran Non? Dimana? Kapan itu Non? Kok
bisa?!” cerca bik Siti penuh antusias ingin mendengarkan kisah cinta Naura.
“Mungkin sekitar seminggu sebelum Papa bilang mau jodohin aku sama dia,” jawab Naura singkat, bik Siti tak puas mendengarnya.
“Terus Non?!” desak bik Siti tak sabar.
“Waktu mau pulang Nana mampir ke
masjid, kita ketemunya di sana! Tapi aku marah-marah ke dia soalnya suamiku itu
lihatin aku terus, Bik!” ungkap Naura melanjutkan kisahnya.
“Mungkin Aden terpana pas lihat Non!”
seru bik Siti. Naura tersipu malu, teringat dengan pengakuan Hasan yang demikian, sama persis seperti pendapat bik Siti.
“Habis dari masjid kita ketemu lagi Bik dalam hitungan menit, dia nolongin aku tapi … aku marahin dia lagi….” Ungkap Naura dengan nada rendah, ada penyesalan di balik nada suaranya.
“Non itu emang super galak ke Aden,
padahal jelas terlihat sejak awal Aden datang ke sini dipertemukan sama Non, itu Aden sudah suka sama Non!” kata bik Siti berpendapat.
“Masak sih Bik?!” seru Naura.
“Iya Non … soalnya bibik ini diam-diam
mengamati bahasa tubuh Aden!” ungkap bik Siti, Naura tertawa mendengar pengakuan itu.
“Ohh Bibik ini emang sesuatu deh, top
banget!” puji Naura dan mengacungkan jempol.
Tak terasa juga pekerjaan mereka di dapur sudah kelar, Naura menata makanan di meja lengkap dengan piring dan lainnya sedangkan bik Siti membersihkan dapur kembali sebelum ia menyelinap ke belakang untuk menonton sinetron favoritnya yang tak boleh
terlewatkan.
Naura memanggil semuanya yang berada di teras samping dimana pak Malik mengajari mereka berdua bermain catur walau tak satupun penjelasan pak Malik yang mampu mereka tangkap sebaliknya mereka berdua bertambah pusing. Sambil belajar mereka memperhatikan layangan mereka yang masih mengudara. pak Martin dan temannya pak Iskak juga sama sambil menjalankan tugas mereka memperhatikan layangan di atas langit dengan lampu menyala.
Setelah mendengar panggilan suara Naura, bubarlah mereka semua dari perkumpulan mereka. Langkah ketiganya cepat mendatangi Naura yang sudah siap di meja makan.
“Ayo makan malam dulu, baru dilanjut
lagi!” ucap Naura.
“Dari aromanya ini kayaknya bebek sinjay deh!” seru Andik menebak.
“Iya ini spesial buat kalian, ayo siapa yang pimpin do’a?” sahut pak Malik.
“Saya rasa pak De aja yang pimpin do’a,”
balas Ilyas mengusulkan.
Berhubung sudah ditunjuk tida mungkin bagi pak Malik menolaknya, ia pun memimpin doa sebelum dengan lahapnya menyambar bebek sinjay yang dimasak bik Siti.
Setelah makan malam yang katanya pak Malik spesial mereka berkumpul di ruang keluarga Naura tetap teguh membawa ponsel bersamanya. Di dapur tadi sewaktu menyiapkan makan malam juga ia membawa ponsel yang disembunyikan di saku celana.
"Jangan main catur pak De, kita nggak bisa!" kata Andik menolak usul pak Malik.
"Main ps aja, Pa!" usul Naura.
"Ok, ayo buruan!" sahut pak Malik menyetujui.
Saat seru-serunya bermain ps melawan pak Malik yang dibantu oleh putrinya tiba-tiba Ilyas bersuara, "Ngomong-ngomong rasanya rumah kita di sana gelap gulita ini," ucapnya menyentak Naura dan Andik.
"Iya, gimana ini? Khawatir ada maling nyelinap ke dalam!" sambung Andik. Naura jadi tak tenang, dilain sisi ia ingin menunjukkan layangan miliknya pada Hasan, di sisi lain mencemaskan rumahnya yang mereka tinggalkan.
Semangat Naura yang tadi nampak tenggelam seiring kesedihan menyertai dirinya, pak Malik menangkap hal itu. Sebagai ayah tentu ia tak ingin melihat wajah sedih sang putri tercinta, demi wajah cantik itu kembali nampak ia dengan sengaja meminta Naura untuk mengambilkan HT yang berada di ruang keluarga.
"Sayang, tolong ambilkan HT di
ruang kerja papa sana!" perintah pak Malik yang langsung dilaksanakan oleh
Naura.
Wanita itu melangkah dengan cepat untuk mengambil benda hitam yang mirip dengan ponsel jaman dulu. Segera Naura serahkan ke pak Malik yang masih duduk santai memegang remot ps. Naura kembali duduk di sampingnya, bersama dengan dua kunyuk ia mendengarkan perkataan pak Malik yang meminta pak Martin datang segera.
Tak seberapa lama dari perintah yang dikeluarkan tadi pak Martin nongol dari pintu samping berjalan menuju ruang keluarga untuk menghadap pak Malik.
"Pak Martin di luar pak Iskak datang?!" tanya pak Malik meyakinkan dirinya saja.
"Iya Tuan," jawab pak Martin.
Pak Malik tak menanggapinya lagi sebaliknya ia malah meminta Naura untuk yang kedua kalinya mendatangi ruang kerja, mengambil salah satu kunci mobil yang hampir tiap hari
dikendarai. Naura datang dengan kunci mobil di tangan, diserahkan langsung ke pak Malik yang sudah menunggu, sama dengan pak Martin yang berdiri mematung menunggu perintah yang akan diberikan.
"Pak Martin, untuk malam ini tolong nginap di rumah nak Hasan! Di sini biar pak Iskak yang jaga. Kalo pak Martin bosan sendirian bisa ajak temannya yang sering ke sini itu!" tutur
pak Malik memberikan tugas lain.
"Baik Tuan," sahut pak Martin lalu mengambil kunci mobil yang dijulurkan oleh pak Malik padanya.
Kemudian pak Martin pamit namun sebelum ia melangkah pergi lagi-lagi pak Malik meminta Naura untuk mengambil dompet miliknya yang juga disimpan di ruang kerja.
"Papa, nyuruhnya kok nyicil gitu sih!" protes Naura namun pak Malik hanya tersenyum. Dengan muka kesal Naura bangkit lagi, langkahnya cepat dan dipaksakan berjalan menuju ruang kerja. Mengambil dompet yang pak Malik simpan di laci paling atas.
"Jangan bilang ada lagi ya Pa!" ucap Naura sambil menyerahkan dompet.
Kali ini pak Malik tak memberi respon apa-apa, senyum pun tidak. Sebaliknya ia langsung membuka dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang untuk diserahkan ke pak Martin.
"Ini Pak, buat beli makanan nemani
pak Martin jaga-jaga di sana!" ucapnya, menyerahkan uang itu segera.
Langkah pak Martin semangat meninggalkan ruang keluarga, berjalan menuju garasi dan mengeluarkan mobil secepatnya. Saat mobil itu mencapai pos ia turun sebentar mengambil jaket miliknya yang digantung sekalian pamit pada temannya pak Iskak. Tak lupa juga ia berbagi rejeki padanya, memberikan selembar uang yang diberikan pak Malik tadi.
"Ini buatmu," ucapnya singkat. Pak Iskak menerima meski ia penasaran hendak kemana temannya itu keluar dengan mobil majikan.
"Aku disuruh jaga rumah Non, buat malam ini kamu sendirian ya!" lanjut pak Martin memberitahu, menjawab rasa penasaran pak Iskak yang tertahan.
Di dalam rumah lanjut mereka bermain game setelah masalah kecil terselesaikan. Sampai malam mulai terasa hening mereka mengakhirinya. Naura kembali lesu, sesampainya di kamar ia menjatuhkan diri di atas kasur. Tangan kanannya lekas mengeluarkan ponsel dari dalam saku, menatap ponsel itu tapi tak berani membuat panggilan; menunggu itulah yang ia pilih.
"Kok belum nelfon," gumannya saat matanya melirik jam dinding dan jarum jam sudah lewat dari angka sepuluh.
Untuk menghilangkan kejenuhan dari rasa bosan yang timbul Naura merangkak turun dari tempat tidur. Langkah wanita itu terkesan dipaksakan kala berjalan ke sofa. Dijatuhkan
tubuhnya di sana, bersandar lesu lalu menyalakan televisi. Kakinya yang tadi terdiam menyentuh lantai ia naikkan perlahan sebab tak kuat menahan dinginnya lantai
itu. Sambil meringkuk di sana Naura menatap layar televisi berusaha melarutkan dirinya pada film yang ia tonton.
Hawa dingin masih tetap terasa, ia pun akhirnya bangkit melangkah lagi ke tempat tidur. Selimut yang tertata rapi ia tarik begitu saja, membawanya ke sofa untuk membungkus dirinya yang merasa kedinginan.
Waktu terus berjalan rasa kantuk juga belum datang menghinggapi kedua kelopak matanya, sesekali bola matanya melirik ke dinding dimana jam dinding terpajang.
“Sudah jam sebelas lebih!" gumam mulut
Naura yang mulai lelah menunggu, juga bertambah sedih saja hatinya kini, bahkan air
mata mulai merangkak naik mengintip dari celah mata namun ia berusaha bertahan.
Naura tak lagi bisa fokus menonton film yang ia putar, berjalanlah ia ke balkon kamar. Berdiri disana menatap layangan yang masih bertahan di udara. Niatnya untuk memamerkan layangan pada sang suami sepertinya tak terwujud.
“Kalo tahu dia nggak bakal nelfon mending aku pulang,” gumannya sekali lagi, dinginnya udara malam tak terasa lagi kalah dengan kesedihan yang ia rasakan.
Disaat kegundahan hati mencapai puncak tiba-tiba suara ponsel berbunyi, Naura berlari ke dalam kamar. Benar ponsel yang tergeletak di atas kasur dekat bantal berdering dan
nomor kontak Hasan tertera di sana. Nomor kontak yang sudah ia tunggu sedari siang, senyum Naura langsung tersemat. Ia jatuhkan tubuhnya ke kasur, berguling disana
menerima panggilan masuk dari Hasan.
"Malam Sayang...." ucap Hasan menyapa sang istri yang sudah gundah menunggu. Sudah sangat hafal dengan perbedaan waktu.
"Malam ... Kok telat banget nelfonnya?!" cerca Naura dengan cerewet.
"Maaf mas baru aja balik, ini baru masuk kamar terus langsung nelfon Adek! Tapi siang habis ini keluar lagi!" tutur Hasan menjelaskan khawatir terjadi prasangka buruk.
"Ohh sibuk banget ya ternyata suamiku ini, emang apa yang dikerjakan?!" tanya Naura lagi.
"Loh kok sek nanya? Terus Adek ngirim mas kesini buat apa? Jualan mie ayam gitu?!" sahut Hasan malah balik mencerca Naura.
Naura tertawa, ia membetulkan bahasa pertanyaan yang keliru tadi. "Bukan itu maksudku ... Maksudku itu ... Sekarang sibuk
apa? Pokoknya bukan itu maksud aku!" kata Naura bingung menjelaskan maksud dari pertanyaannya tadi.
Kini gantian Hasan yang tertawa, sebenarnya ia mengerti maksud pertanyaan sang istri. Ia hanya menggoda saja dan ternyata Naura terpancing dengan mudah.
"Mas ini lagi ngejar observasi, soalnya harus segera selesai!" kata Hasan menjelaskan kesibukannya seharian.
"Wah ketat banget ya! Emang harus
selesai kapan?!" tanya Naura sesungguhnya.
"Ya secepatnya Dek, biar ... Biar bisa kumpul lagi sama belahan jiwa mas...." Ucap Hasan menggoda sang istri.
Naura tersipu, ia terdiam beberapa detik lamanya sebelum teringat dengan layangan yang ingin ia pamerkan.
"Oh Suamiku, aku punya sesuatu
yang mau aku tunjukkan!" ucapnya riang.
Hasan nampak kaget, ia mendesak Naura segera menunjukkan apa yang ingin ia tunjukkan. Naura tak segera menjawab, ia malah turun dari kasur cepat-cepat lalu berlari keluar kamar. Sebelum ke halaman rumah Naura dengan sengaja menghidupkan lampu taman dulu agar tidak gelap gulita.
"Kok agak gelap Dek?" tanya Hasan, ia tahu Naura tadi keluar rumah tapi tidak tahu maksud dari tindakannya.
"Kenapa keluar rumah, Dek?!" tanya Hasan lagi.
Naura mengarahkan kamera ke langit sambil menjawab pertanyaan yang Hasan lontarkan tadi. Dengan riang Naura menunjuk ke langit, menjelaskan satu-satu layangan yang masih di udara.
"Lihat nggak layangan yang di atas? tanya Naura.
Sebenarnya tidak terlalu jelas hanya lampu yang redup-redup tapi untuk menyenangkan hati sang istri Hasan mengiyakan pertanyaan itu. Ia juga balik bertanya mengenai lampu
yang tak nampak jelas itu pada istrinya.
"Itu yang lampunya warna hijau punya pak Said sama pak Martin, yang warna merah putih punya Andik and the geng ... Terus yang warna warni itu punyaku sama Papa!" tutur Naura menjelaskan satu-satu.
"Wah kenapa tiba-tiba main layangan? Masa kecil kurang bahagia?!" ledek Hasan menggoda.
"Ya berhubung masa kecilku emang
nggak pernah nerbangin layangan jadi pas Andik ngajak aku langsung setuju! Katanya kalo angin kencang kayak gini pasti lagi musim tebu!" tutur Naura menjelaskan.
"Itu buat apa beli?!" tanya Hasan lagi.
"Tadinya mau buat tapi berhubung
susah nyari bahannya jadinya beli!" imbuh Naura masih dengan nada semangat.
"Ohh niat banget kalian ini Dek," seru Hasan.
Puas memamerkan layangan miliknya Hasan yang tak tega sang istri berada di luar tengah malam lelaki itu meminta Naura masuk lagi khawatir istrinya akan masuk angin. Dengan
patuh Naura berjalan masuk, kembali lagi ke kamar dan menarik selimut yang ia abaikan di sofa, juga mematikan layar televisi.
Agar posisinya nyaman bicara dengan suaminya Naura tiduran di atas kasur, banyak hal yang diceritakan oleh Hasan mulai dari tugas akhir kuliah sampai teman-temannya disana. Namun tiba-tiba suara sesuatu mengganggu pembicaraan santai mereka. Daun telinga Naura mekar dua kali dari ukuran normal saat suara itu terdengar dan detik kemudian baik Hasan ataupun Naura tertawa bersama.
"Belum makan?" tanya Naura saat tawanya sudah terhenti.
"Ya belumlah, ini baru nyampek udah absen dulu sama Adek!" jawab Hasan.
"Lihat perutnya!" kata Naura melenceng dari pembahasan.
"Kenapa mau lihat perut mas?" tanya Hasan bingung dengan maksud serta tujuan dari permintaan itu.
"Bisakah nggak banyak pertanyaan?!
Langsung ditunjukkan gitu?!" sahut Naura tidak ingin menjawab.
Dengan rasa penasaran serta bingung Hasan meletakkan ponsel di meja, menyanggah dengan buku lalu ia bangkit dan mundur beberapa langkah. Ia melambaikan tangan, memastikan apakah Naura bisa melihatnya dengan jelas dan utuh.
"Adek bisa lihat mas nggak?!" tanya Hasan dengan suara lantang.
"Iya, buruan!" jawab Naura dan meminta Hasan segera memperlihatkan perutnya.
"Buat apa sih Dek?" tanya Hasan lagi, masih berusaha mengulur waktu siapa tahu istrinya akan berubah pikiran.
"Jangan jauh-jauh!" pinta Naura semakin membuat bingung Hasan.
Kembali ia melangkah maju, mungkin berjarak kurang dari satu meter saja dari layar ponsel di atas meja. Tangan kanannya bergerak menyentuh perut yang masih tertutup kaos. Dengan ragu-ragu ia menarik ujung kaos ke atas namun hanya sedikit. Naura memprotes ia meminta Hasan menarik lagi kaos bajunya sampai di atas pusar.
"Buat apa sih Sayang?!" tanya Hasan semakin penasaran. Walau enggan tangannya tetap menarik kaos ke atas sesuai perintah sang istri.
Saat sudah terangkat seperti permintaannya Naura malah menambah perintah lagi, ia meminta Hasan lebih maju. Laki-laki itu dengan sabar menuruti keinginan istrinya, ia
melangkah sampai jaraknya dari ujung meja mungkin hanya se senti.
Senyum Naura mengembang, ia tak bersuara lagi hanya menfokuskan penglihatannya ke perut sang suami.
"Tambah kurus kayaknya suamiku," batinnya bicara.
"Adek, udah ya malu!" pinta Hasan namun Naura menolak. Detik kemudian nampak Naura semakin mendekatkan wajahnya ke kamera ponsel lalu mendaratkan kecupan hangat dan lama. Hasan tersenyum, walau itu aneh dan ia radak risih tapi itu cukup membuat hatinya bergetar. Ia diam berdiri di tempatnya tak bergerak walau hanya sekali seolah merasakan kecupan sang istri.
"Sudah Sayang? Mas lapar...." ucapnya menyudahi, tidak ingin menuruti kegilaan Naura.
"Ok, kalo gitu sampai ketemu besok pagi!" sahut Naura, langsung ditanggapi oleh Hasan yang masih tidak mau menyudahi obrolan mereka.
"Loh kok habis manis sepah dibuang?! Nggak boleh ditutup harus temani mas makan!" ucap Hasan, memberi perintah pada sang istri. Naura tertawa dibuatnya. Niatnya untuk menyudahi urung malah sebaliknya ia menemani Hasan mulai dari masak hingga makan.
Hasan meletakkan ponsel di meja dapur dalam posisi berdiri agar bisa melihat dirinya. Sambil mengutak-atik dapur ia bicara dengan Naura di sambungan.
"Mau masak apa?" tanya Naura kala melihat Hasan membuka rak dapur.
"Masak mie instan," sahut Hasan segera.
"Mie instan?!" seru Naura, tak percaya jika suaminya memakan mie instan. Hasan menunjukkan stok mie instan di rak dapur pada sang istri. Mulut Naura menganga lebar, bukan kaget namun lebih cenderung merasa sedih. Itu bisa dilihat dengan kedipan mata yang lebih sering dari biasanya.
"Kemarin lusa mas habis belanja di toko milik orang Indonesia, jadinya mas nyetok yang banyak!" sambung Hasan lantaran Naura terdiam.
"Kenapa beli mie? Kok nggak beli yang lain?" tanya Naura, ia khawatir sang suami kekurangan uang di sana namun tak mau bercerita.
Sebelum menjawab Hasan melempar senyum, "Soalnya itu paling simpel and nggak ngabisin waktu di dapur," jawabnya santai, sambil menghidupkan kompor setelah menaruh panci kecil yang berisi air. Tak tanggung-tanggung Hasan mengambil dua bungkus mie instan dan itu semakin membuat Naura sedih.
"Suamiku ... Kenapa nggak pesan makanan aja? Apa uangnya nggak cukup?!" ucapnya dengan nada rendah, kesedihan nampak jelas di raut wajahnya.
"Sayang, mas nggak tiap hari kok mulai dari sarapan sampai makan malam sama mie instan aja, mas juga beli ... Lebih dari kata cukup Sayang ... Ayo senyum dong! Jangan bikin mas sedih!" sahut Hasan menjelaskan, ia tak tega melihat kesedihan di raut wajah sang istri lantaran mengkhawatirkan dirinya.
"Ohh ... Terus itu telurnya juga dua?" tanya Naura lagi saat Hasan membuka kulkas untuk mengambil telur.
Urunglah tangan Hasan mengambil telur, ia menoleh ke kamera di meja dapur. Senyuamnya mengembang lebar kala berucap menjawab pertanyaan Naura sekaligus menggodanya.
"Adek Sayang, telur mas kan memang
dua!" ucapnya menyentak telinga Naura.
Ucapan Hasan cukup membuat Naura
membisu dalam hitungan detik lamanya, senyum tipis dan singkat tersungging di
wajahnya yang ayu.
"Mr. Hasan istrimu ini bertanya dengan serius!" sentak Naura.
"Loh Adek pikir mas nggak serius? Lebih dari serius Sayang!" balas Hasan, mengeluarkan dua butir telur lalu bergeser ke kompor.
“Ohh makin pintar ngerayu plus genit ya!” sindir Naura, Hasan tertawa.
Sambil berucap membalas sindiran istrinya perhatian Hasan tertuju pada panci di atas tungku kompor. “Emang ini termasuk katagori genit?! Mas ini termasuk katagori cowok polos lho Dek!.”
“Polos dari Hongkong!” sahut Naura.
Hasan tertawa lepas mendengar ucapan tak terima Naura. Namun tiba-tiba terdiam
saat menoleh ke air di panci.
Melihat air di panci sudah mendidih ia pecahkan dua telur yang ia ambil dan mengecilkan api supaya tak naik ke atas.
Naura tak bersuara lagi ia hanya menatap kamera menyaksikan suaminya yang sedang memasak mie instan. Tak berselang lama mie yang dimasak sudah matang, cepat-cepat Hasan mengambil mangkok, sendok dan garpu.
“Sudah matang?” tanya Naura saat melihat kompor dimatikan dan Hasan dengan langkah cepat mengambil sesuatu di rak.
“Iya, simpel dan nggak ribet kan?!” sahut Hasan, tidak menoleh ke kamera. Naura terus memperhatikan suaminya yang tengah sibuk namun tak mengabaikan dirinya sama sekali.
Setelah menuangkan semua bumbu instan ke mangkok Hasan menuangkan mie yang sudah matang direbus. Mengaduknya sampai bumbu merata dan aroma tercium menggelitik ujung hidung.
Hasan membawa mangkok mie ke meja makan begitu dengan ponsel yang ia letakkan. Kembali ia mengatur posisi ponsel sebelum menggeser kursi, duduk dengan tenang menghadap kamera dan mangkok yang pasti.
"Mari makan Adek!" ucap Hasan.
"Makasih, selamat makan Sun of my
life!" balas Naura, melempar senyum juga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 224 Episodes
Comments
Bunda Linda
Hanya novel ini yg certay panjang banget , aku suka ... sehat trus yaa thor
2021-02-09
0
Mama amiinn Asis
kasihan,,,,,de sama dede nya hasan lama nga di mandiin, hahaha.......
2021-01-13
0
PutriSina
hanya novel ini yg cerita nya panjang banget, aku suka gk d gantung2 ceritanya. lanjut thor semangat
2020-12-28
1