CAPTER 6
RENCANA MASA DEPAN
Naura berdiri di depan cermin setelah menggeser lemari pakaian, diamati tubuhnya yang semakin kurus. Sambil bergumam kedua tangannya mengusap pipi tirusnya itu.
"Bener aku tambah kurusan," gumannya.
Tak mau berlama-lama meratapi tubuhnya yang semakin tipis Naura menggeser lagi pintu lemari menutupi cermin. Diambilnya tas selempang kecil warna hitam kemudian menyambar kunci mobil, entah kenapa kali ini ia ingin mengendarai mobil putihnya yang selama ini menjadi kendaraan Hasan setiap hari.
Sebelum keluar rumah menemui Angga yang selalu tepat waktu Naura singgah dulu ke kamar dua kunyuk. Mendapati pintu kamar terbuka separuh niatnya mengetuk pintu tak jadi, ia memanggil Ilyas yang di dalam. Namun ternyata yang di dalam justru Andik seorang, Ilyas sudah berangkat tadi. Mendengar suara Naura memanggil keluarlah Andik yang tadi masih leya-leya di atas kasur.
"Loh kok masih nyantai? Bukannya biasanya jam enam lima belas sudah berangkat?" tanya Naura.
"Iya mba hari ini masuknya jam sembilan, habis ini aku berangkat jam setengah sembilan aja!" jawab Andik.
"Ohh ... Mba berangkat dulu ya!" pamit Naura kemudian lekas berlalu dari depan pintu kamar.
Di luar Angga yang sudah siap di dekat mobil begitu menangkap kunci yang dilemparkan padanya, ia langsung membuka pintu mobil. Berhubung yang tiap hari dikendarai mobil warna kuning Angga memasukkan kunci itu ke mobil yang biasa dikendarai tanpa memperhatikan kunci tersebut.
"Yang putih!" kata Naura, sambil berjalan ke mobil satunya.
"Tumben?!" sahut Angga kemudian berjalan ke sebelah mencapai mobil warna putih.
Naura tak menjawab, main masuk saja setelah Angga memencet remot mobil. Angga segera membuka pintu pengemudi dan mengeluarkan mobil putih itu segera, meninggalkan rumah menuju butik.
Di dalam Andik masih tiduran, setidaknya ia punya waktu sekitar seperempat jam sebelum bersiap-siap berangkat. Tepat sebelum setengah sembilan kurang ia mengeluarkan motor merahnya dari garasi, meluncur kencang menuju kost Hanis untuk mengambil ponsel yang semalam tertinggal.
Sayangnya saat sudah mencapai kost Hanis ternyata yang dituju sudah tak di kost lagi, terpaksa Andik lanjut berkendara. Meluncur langsung ke sekolah tak singgah kemana-mana lagi.
Langkah Andik tergesa-gesa melewati lorong sekolah dimana ia mengajar. Sekolah itu bisa terbilang sekolah berkelas di kota itu, berbasis agama dan bertaraf internasional. Tidak bisa dipercaya bukan? Tapi Andik bisa menembusnya dan itu yang membuat Ilyas
penasaran sampai saat ini, cukup beralasan. Terlebih bagaimana Andik bersikap di sekolah di hadapan murid-muridnya yang notabene sudah terbilang remaja.
Melihat seorang guru muda sebaya dengannya tengah duduk tenang mempersiapkan materi kelas Andik
mendatanginya segera, menggeser kursi di sebelah dan duduk di sampingnya. Azhar, itu nama guru muda yang berwajah timur tengah dengan hidung mancung melebihi standar warga lokal serta alis tebal; mungkin jika Hanis bertemu dengannya wanita itu langsung jatuh cinta. Ia menoleh ke Andik, sejuta pertanyaan nampak jelas di wajahnya yang tampan bak pangeran arab.
"Ada apa pak Andik?!" tanyanya, meletakkan pen di tangan dan memutar kursi
"Pak, boleh saya pinjam ponselnya bentar?! Saya mau nelfon ke nomor kontak saya!" sahut Andik setengah berbisik.
"Loh! Ponselnya Bapak hilang?!" tanyanya dengan nada kaget.
"Nggak Pak, ketinggalan di kost saudara semalam!" jawab Andik.
“Di kost saudara apa….” Godanya tak dilanjutkan.
Andik tersenyum tipis, “Adik saya Pak,” balasnya.
Setelah mendapat pinjaman ponsel segera Andik membuat panggilan keluar ke nomor kontaknya sendiri yang masih di pegang Hanis. Syukurlah panggilan yang dibuat segera diangkat.
"Assalamualaikum!." Tak sabar Andik berucap begitu terhubung.
"Waalaikumussalam, ada apa?" sahut Hanis, kembali dengan nada datar yang ia gemari.
"Itu ponselku, tadi aku ke kostan mu tapi katanya sudah berangkat!" tutur Andik.
"Ohh...." Cukup membalas dengan seruan singkat dan dengan nada tak bersemangat pula.
"Aku mampir lagi ke kostmu nanti sore, sekitar jam empat ya!" tambah Andik masih dengan pemborosan kata padahal yang diajak bicara hanya sepatah kata saja yang terucap.
“Emm….” Balasnya, walau terpengaruh dengan nada datar serta sikap dingin Hanis padanya laki-laki itu masih berusaha bersikap santai. Setidaknya tak ingin menampakkan kemarahan di depan temannya.
“Makasih Pak!” ucap Andik, mengembalikan ponsel yang ia pinjam.
“Santai Pak!” balasnya.
Sore yang dijanjikan telah tiba ke waktunya, Andik lekas meninggalkan gedung sekolah. Membawa motor keluar melewati gerbang sekolah, sebelum balik ke rumah ia bertolak haluan dulu menuju kostan Hanis. Rupanya ia datang terlalu awal, orang yang dituju belum
pulang sehingga ia memutuskan menunggu. Tak mungkin juga baginya pulang dan kembali nanti, apalagi hanya mendapat sambutan dingin yang memancing emosi
saja.
“Jam berapa sih anak itu pulangnya?!”
gumam Andik, ia mulai bosan dan jenuh. Tak ada yang bisa ia lakukan, hanya menatap jalan dan sesekali mengamati lingkungan sekitar.
“Udah tahu aku mau kesini kok malah sengaja dibuat nunggu,” gumannya lagi, menyentak-nyentak kakinya hanya untuk
mengusir kejenuhan. Daun kering yang tak bersalah ia injak-injak menumpahkan
kekesalan yang mulai menyala.
Selagi jenuh menunggu dan mulai terpancing emosi tiba-tiba sebuah motor memasuki halaman kost. Kepala Andik terangkat sedikit, melirik ke arah datangnya motor. Tak disangka apa yang ia lihat sungguh menyulut emosi, matanya mendelik seketika namun lekas berubah menyipitkan matanya ketat. Jelas nampak ketidaksukaannya melihat pemandangan di depan mata yang hanya menyesakkan dada.
“Aku nungguin disini lama dianya pulang
bareng sama cowok, senyum-senyum kesenangan lagi,” batinnya menggumam.
Andik bangkit saat itu juga, langkahnya juga cepat mendatangi dua orang yang baru turun dari motor. Seorang pria muda memakai kemeja lengan pendek warna biru gelap dan
seorang wanita muda dengan rambut sebahu memakai celana longgar hingga mata kaki dengan atasan kemeja tipis, tak ada lagi kerudung yang menutupi bagian kepala seperti yang terakhir dilihat sewaktu masih tinggal satu atap.
Setelah mencoba mengontrol emosi sebisa mungkin ia mulai membuka mulut namun keburu dibungkam oleh Hanis. Wanita itu menyodorkan ponsel tepat kehadapan Andik sembari berucap sepatah kata. Ya, hanya sepatah kata tak lebih.
"Nih!" ucapnya terdengar tak suka, mungkin juga sebuah perintah bagi Andik agar tak berlama-lama.
Kembali Andik memicingkan mata, sementara tangannya bergerak ke depan mengambil ponsel miliknya dari tangan Hanis. Cowok yang ikut bersama Hanis terus memandang ke arah Andik, ia juga terlihat tak suka namun Andik sepenuhnya abai.
"Siapa cowok ini?" tanya Andik terang-terangan. Jelas laki-laki itu menunjukkan ketidak sukaannya.
"Cowokku," ucap Hanis membuat Andik tersentak untuk kesekian kalinya.
"Oh cowok baru lagi?!" ledek Andik, bola matanya menatap tajam mulai dari ujung kaki hingga kepala tak ada yang terlewatkan.
"Maaf apa masalahnya denganmu?!" ucap laki-laki itu setelah dilihat dengan cara demikian.
"Tentu masalah buatku! Dia adikku dan aku punya hak menunjukkan ketidak sukaan ku!" jawab Andik mulai meninggi nada suaranya, bahkan Hanis yang masih berdiam di sisi cowok itu segera ditarik ke samping dirinya.
Hanis tak terima, ia melepas cengkraman tangan Andik. Dengan suara lantang tak ada keraguan Hanis membela cowok berbaju biru tersebut. Dan akhirnya perdebatan diantara mereka kembali tak bisa dihindari, kali ini ada pendatang baru yang mengeroyok dirinya
seperti yang sudah-sudah.
"Ok aku pergi! Dan jangan lagi aku dikaitkan sama dirimu yang berantakan ini! Mulai sekarang aku tak memiliki tanggungjawab lagi!" kata Andik, detik berikutnya ia meninggalkan keduanya dengan dada sesak penuh emosi.
Sepanjang jalan tak hentinya ia mengumpat, mengeluarkan semua daftar penghuni kebun binatang dari mulutnya yang tak mampu menahan lagi.
"Awas kalo ada apa-apa masih aku yang dicari," ucapnya, tak tanggung-tanggung ia bahkan bersumpah pada dirinya tak akan melirik apalagi menolong wanita itu ke depannya.
Setibanya di rumah Andik memarkir motor dengan emosi, langkahnya juga tak sabar kala memasuki rumah. Dilemparnya tas ransel ke meja lalu menjatuhkan tubuhnya ke kasur tanpa berganti pakaian. Tangan kirinya meraba ke samping, menarik bantal dan menutupi kepalanya agar tak mendengar suara apapun di telinga.
Ilyas baru saja turun dari lantai dua menemani Naura duduk santai di rooftop menikmati sore senja. Ia baru selangkah melewati pintu tak kala matanya menangkap tubuh Andik tergeletak di atas kasur dengan bantal menindih kepalanya.
"Ada apa lagi sama ini anak," batinnya bertanya-tanya.
Diseretnya kedua kaki melangkah mendatangi Andik, pelan ia mengguncang lengan lelaki itu. Andik hanya bergumam namun tak ada tanda ia akan menarik bantal itu dari atas kepala.
"Sudah sholat belum kamu Dik?" tanya Ilyas asal saja.
"Sudah di sekolah," jawabnya datar.
"Ohh ... Tapi mandi sana sebelum keduluan adzan!" lanjut Ilyas menyarankan.
"Iya bentar lagi," sahut Andik, enggan bergerak.
Ilyas tak memaksakan diri laki-laki itu memilih keluar dari kamar dan membawa laptop ke ruang keluarga. Sambil menunggu adzan ia mengerjakan tugas kantor yang ia bawa
pulang.
Tak seberapa lama Naura datang, ia sudah mengenakan mukenah siap untuk sholat berjamaah bersama dua kunyuk. Ia celingak-celinguk mencari keberadaan Andik yang tak nampak di sisi Ilyas.
"Mana Andik?" tanyanya.
"Di kamar Mba, coba Mba yang bujuk biar mau keluar!" jawab Ilyas sekalian meminta tolong.
Naura mengangkat kedua bahunya, menanyakan perihal apalagi yang membuat emosi laki-laki paling manis sedunia itu tak stabil. Ilyas menjawabnya dengan isyarat juga, mengangkat kedua alis bersamaan dengan kedua bahu. Naura tak bertanya lebih lanjut sebaliknya ia bawa langkah kakinya menuju kamar dua kunyuk yang dibiarkan
terbuka.
Ia tak langsung masuk, mengintip dulu ke dalam sekedar memastikan saja. Saat melihat tubuh Andik tergeletak di atas kasur ia pun memutuskan masuk ke dalam. Teramat hati-hati Naura duduk di tepi kasur, menyentuh pundak Andik. Laki-laki itu
sepenuhnya terjaga, ia berucap meminta tak diganggu.
"Ini Mba...." ucap Naura rendah.
Rasa sungkan sekita mendatangi Andik, lelaki itu bahkan dengan sendirinya tanpa dipaksa menyingkirkan bantal kemudian bergerak bangkit. Sambil duduk bersila ia
meluapkan kekesalannya dengan berbagi pada Naura, menceritakan apa yang ia
alami tadi serta bagaimana kemarin malam ia diminta oleh ibu Hanis.
“Benar-benar malin kundang itu anak!” seru Naura yang terpancing emosi juga.
Di luar Ilyas yang setengah menguping gatal
rasanya itu kaki untuk tetap duduk di sana. Alhasil ia pun bergabung ke dalam mendengarkan cerita Andik yang separuh waktunya hanya dibuat marah oleh Hanis.
“Mungkin caramu negur itu terlalu keras
Dik! Harusnya dilembutin!” kata Ilyas, tiba-tiba nimbrung.
“Loh wes mari aku Yas! Dasar arek e ancen dablek ndak iso dikandani!” sahut Andik dalam bahasa jawa.
“Ngemeng apa sih?!” sahut Naura tak mengerti.
“Saatnya penerjemah dibutuhkan! Maksudnya itu Mba Andik ini sudah negur dia secara baik-baik tapi emang dasar anaknya nggak bisa diatur!” ujar Ilyas menerangkan maksud dari ucapan Andik yang menggunakan bahasa Jawa.
"Kalo mba lihat itu anak demam kehidupan perkotaan, apalagi kota besar! Percuma kamu nasehati, kamu tegur apalagi dimarahin nggak bakal mempan terkecuali dia dihadapkan pada suatu kesialan yang memaksa dirinya berpikir, mengingat kembali apa yang sudah dilalui kemungkinan untuk kembali ke jalurnya lebih besar!" kata Naura
berpendapat.
"Ya Allah, masak nunggu ditegur sama yang di Atas Mba?! Nggak tega aku...." sahut Andik menanggapi.
"Nggak ada seorang kakak yang tega lihat adiknya ditimpa musibah Dik, tapi kalo itu proses baginya untuk dewasa dan berpikir bijak apa boleh dikata!" sambung Ilyas mengeluarkan pendapatnya juga.
Andik terdiam menundukkan kepala dan bahu melorot ke bawah, kemarahan yang tadi memuncak malah hilang berganti kekhawatiran yang tak bisa diungkapkan. Baik Naura ataupun Ilyas bisa melihatnya, mereka memaklumi karena bagaimanapun Hanis
tetaplah bagian dari keluarganya dan ia juga memiliki tanggungjawab moral.
"Sudahlah jangan bermuram gitu,bayo kita sholat habis itu makan malam di luar! Mba bosan makan di rumah terus!" ujar Naura, mengakhiri pembicaraan serius mereka. Segera ia keluar dari kamar dan menunggu dua kunyuk di tempat sholat.
Sewaktu Naura sudah tak terlihat Andik tiba-tiba bergerak mendekat ke Ilyas yang duduk di tepi kasur. Ia mencondongkan kepalanya ke dekat telinga Ilyas, berucap rendah ke telinga itu.
"Semenjak ditinggal Mas aku perhatikan Mba jadi lebih dewasa ya?!" ucap Andik.
"Iya juga," sahut Ilyas ikutan berbisik suaranya.
Tak ingin dipanggil oleh Naura dua orang itu segera keluar dari kamar, Ilyas langsung menuju tempat sholat sedangkan Andik ke kamar mandi membersihkan diri. Singkat saja dia mandinya bahkan Naura sampai menegur orang itu saat ia sudah berada di tempat
sholat. Bukan Andik namanya jika tidak menanggapinya dengan cengiran saja.
"Udah ayo salat!" ujar Naura menyudahi.
Ilyas didapuk sebagai pengganti Hasan menjadi imam, mereka bertiga sholat berjamaah seperti biasanya sebagaimana sewaktu Hasan di rumah.
Selesai sholat Naura beranjak lebih dulu, ia naik ke atas untuk berganti pakaian. Untuk memastikan ia mengamati kembali penampilannya khawatir berlebihan dan mengundang mata jahat.
"Gini aja udah cukup kayaknya," gumam Naura dan mengambil kunci mobil warna putih.
Ia bergegas turun menghampiri Andik dan Ilyas yang duduk di ruang tamu menunggunya dan tak berganti pakaian. Mereka memang percaya diri menggunakan baju koko dan sarung, pernah sekali mereka jalan-jalan di mall dan nonton film dengan penampilan seperti itu. Setiap mata yang melihat diabaikan begitu saja bahkan mereka membalasnya dengan senyuman manis.
"Loh gitu aja dandanannya Mba?!" seru Andik, ia menyadari penampilan Naura cukup terbilang sederhana.
"Ya! Emang kenapa? Apa kita bakal diusir hanya karena penampilan kayak gini? Asal kalian tahu aja meski ini termasuk pakaian santai tapi harganya nggak terbilang santai juga! Sudahlah ayo buruan!" tutur Naura sedikit pamer, menyombongkan diri.
"Kalo entar ada yang bisik-bisik soal kita?" sambung Ilyas.
"Tenang ada Mba! Aku tahu cara menangani orang seperti itu!" sahut Naura sambil melangkah keluar rumah.
Semenjak Hasan tak berada di rumah penampilan Naura bisa dibilang cukup mengalami perubahan. Riasan yang dulu maksimal tidak selalu terlihat, mungkin di acara tertentu saja. Setiap hari bekerja di butik pun ia memilih penampilan simpel dengan polesan ringan. Semua koleksi bajunya ia istirahatkan sementara waktu. Apa yang menjadi alasan? Karena ia tak ingin mengundang hal yang tak diinginkan menimpa terlebih jika itu menyangkut soal hubungan pernikahan. Walau sudah mengcasing dirinya sesederhana mungkin masih ada yang melirik padanya, syukurlah Naura bisa menghempaskannya sebelum menjadi parasit yang bisa merusak kelanggengan pernikahan.
"Mba kita makan dimana?!" tanya Andik si pengemudi cabe-cabean yang diandalkan Naura. Kenapa jarang meminta Ilyas? Itu karena gaya menyetir Ilyas sangat kalem dan tak suka menyalip. Naura tidak suka yang demikian, namun tak jarang juga laki-laki itu
diminta menyetir.
"Kita makan di restoran Jepang mau nggak?!" jawab Naura, sayangnya keduanya kompak menolak.
"Apa kalian punya rekomendasi? Yang bisa dibuat nongkrong!" sambung Naura lagi.
"Gimana kalo makan di foodcourt aja Mba?!" usul Andik.
"Boleh juga, emang tempatnya bisa buat nongkrong?!" balas Naura.
"Percayakan aja Mba sama Andik, anak ini pintar cari tempat yang enak buat nongkrong terus ramah di kantong lagi!" sahut Ilyas berpendapat.
"Aku punya Mba rekomendasi, tempat baru suasananya enak dan nggak murahan!" sambung Andik.
"Ok, aku ngikuti kalian!" ucap Naura menyetujuinya.
Sekitar setengah jam berkendara akhirnya mereka tiba di sebuah food court yang berada di lantai dua, di rooftop sebuah bangunan. Lantai satu bangunan itu diperuntukkan untuk toko swalayan. Untuk mencapai lantai dua yang berupa rooftop harus melewati taman di
samping bangunan menuju sebuah tangga di dua sisi.
Naura lumayan menyukai tempat yang direkomendasikan, langkahnya tak sabar ingin segera mencapai lantai dua. Dan ternyata di sana jauh lebih bagus dari yang
dibayangkan, meja lesehan berjejer rapi dengan sket tanaman hias serta bunga,
lampu kelap-kelip juga menghiasi. Ada spot berfoto juga yang berada di dekat pagar besi, dengan tema garden.
Pandangan Naura ditujukan ke Andik, ia
menatap tajam lelaki itu yang tampak kebingungan. Tidak hanya Andik, Ilyas juga
dibuat bingung. Tak tahan hanya berdiam diri ia pun bertanya, "Ada apa Mba?." Naura masih tak mau mengalihkan pandangan.
Masih dengan menatap tajam ke Andik ia
bersuara, "Aku curiga ini anak pasti pernah ke tempat ini sama ceweknya! Secara banyak pasangan muda membanjiri ini tempat!." Andik tersenyum lebar, ia tak merespon tapi melangkah melewati keduanya menuju meja lesehan dekat pagar.
"Tuh kan nggak jawab! Sudah dipastikan benar adanya!" Seru Naura kemudian mengejar Andik yang sudah duduk santai.
Saat mereka bertiga sudah duduk bersama kembali Naura menghujani Andik banyak pertanyaan. Namun dari sekian pertanyaan jawaban yang diberikan cukup sekali saja.
"Pernah kesini sama guru-guru di sekolah!" ucapnya santai.
Naura tak bisa melanjutkan lantaran seorang cowok berseragam mendatangi mereka, menyodorkan menu makanan yang akan dipesan oleh ketiganya. Diantara ketiga orang itu tak ada yang sama, Andik memilih nasi gila level gila abis, sebuah menu baru yang
menjadi maskot tempat tersebut. Lain Andik lain pula Ilyas ia memesan telur grondong dengan sambal level icip-icip sementara Naura memesan nasi goreng merindu.
“Nama menunya kekinian!” seru Naura.
“Biar viral Mba!” sahut Andik.
Sambil bersantai dan bercengkrama mereka menikmati malam hangat itu bertiga. Namun hangatnya suasana tiba-tiba dirusak oleh bunyi ponsel dari balik kantong baju Ilyas. Sontak dua pasang mata langsung terarah padanya.
"Iya Jang! Aku di luar ini sekarang!" sahut Ilyas. Dua di samping dirinya menjadi pendengar yang baik.
"Ohh soal itu? Gimana ya?! Aku belum diskusi sama mba-ku! Aku kasih keputusannya besok pas di kantor gimana?!" kata Ilyas, nampak serius saat berbicara.
"Ok, segera diskusikan ya!" sahut Ujang, teman sekantor Ilyas.
Begitu ponsel kembali diselipkan ke kantong baju koko dua orang yang tadi menjadi pendengar yang baik kini mulai cerewet. Menampakkan ekornya dengan jelas apalagi Andik, dia lebih rempong ketimbang Naura.
Mau tidak mau Ilyas pun bersuara, sekalian meminta pendapat pada Naura dan juga Andik yang pasti. Dua orang itu sudah menyiapkan kedua pasang telinga mereka mendengarkan setiap curahan yang keluar.
"Gini Mba, itu tadi temanku ngajak beli tanah kavling! Tapi aku masih bingung antara beli tanah kavling atau langsung beli yang sudah ada huniannya!" ungkap Ilyas.
"Emm ... Gitu ya! Kalo mba boleh berpendapat, mba sih setuju beli tanahnya aja soal rumah belakangan terus kitanbisa bangun sesuai keinginan kita juga! Tapi kalo kamu lebih suka yang sudah jadi itu sepenuhnya hakmu!" kata Naura berpendapat.
Andik membantu memberikan masukan juga,
"Aku setuju sama pendapatnya Mba, toh kan kamu ... Maksudku kita ini belum punya pacar! Nggak dauber buat halalin si dia!" ucap Andik sambil senyum-senyum.
"Ehh siapa tahu besok atau lusa kita ketemu cewek terus langsung nikah!" sambung Ilyas, dua orang yang mendengarkan sontak tertawa.
"La kok ketawa sih?!." Ilyas tidak terima, ia bahkan mencubit paha Andik untuk menghentikan tawanya yang super itu.
Tak jauh dari meja mereka duduk seorang remaja wanita memperhatikan mereka bertiga wabil khusus Andik yang masih tertawa. Ilyas yang tak sengaja mengarahkan pandangannya ke tempat lain tak sengaja menangkap sosok remaja perempuan yang memperhatikan mereka bertiga.
"Dik Dik! Kunci mulutmu itu sekarang! Kamu ini seorang guru!" tegur Ilyas.
Andik yang tak paham tujuan Ilyas malah tak terima, ia berdebat dengan Ilyas yang enggan menanggapinya. Bukan hanya Ilyas yang menegur kini bertambah Naura yang bergeser ke pihak Ilyas.
"Dik Dik! Tuh lihat ada cewek ngelihatin kita dari tadi!" lanjut Ilyas dengan suara rendah, ia juga memberi kode agar Andik menoleh.
Penasaran siapa gerangan yang memperhatikan mereka kepala Andik berputar arah, ke sisi sebelah kanan dan sontak matanya terbelalak. Nyaris tak percaya siapa yang sedang melempar senyum padanya kini.
Spontan tangan Andik terangkat, menyapa muridnya dengan lambaian tangan pelan. Ia yang sedang duduk bertiga di meja seberang kini bangkit dari duduknya. Sambil nelempar senyum ia melangkah cepat mendatangi meja Andik. Ia yang bernama Putri menyalami tangan Andik, menciumnya sebagaimana yang diterapkan di sekolah. Ia juga melakukan hal sama pada Naura dan Ilyas.
"Ini muridku namanya Putri," ucap Andik memperkenalkan muridnya. Ia juga menyuruh Putri duduk.
Tak ingin melewatkan kesempatan Ilyas dan Naura banyak bertanya mengenai Andik di sekolah. Mereka juga malah bercerita mengenai sikap Andik walau tak jarang Andik meminta keduanya untuk tak berlebihan. Dari apa yang diuangkapkan Putri ternyata apa
yang dipamerkan Andik sebelumnya benar adanya, ia sosok guru humoris yang banyak disukai oleh murid-murid.
“Iya Bu, pak Andik nggak suka marah-marah terus kalo nerangin santai tapi detail jadinya kita nggak bosan,” cerita Putri. Dua orang terdiam sementara Andik semakin lebar senyumnya.
Puas berbincang, anak remaja itu pamit bergabung kembali dengan dua orang temannya di meja tadi. Sementara itu di meja Naura mereka bertiga menyantap makanan yang mereka pesan sambil berbincang santai khas mereka.
Malam bertambah larut dengan terpaksa Naura dan dua kunyuk harus kembali ke sarang mereka sebelum angin malam semakin dingin terasa. Di tempat parkir obrolan mereka masih tak beranjak dari urusan kavling malah di dalam mobil masih bersambung.
“Itu kavling dimana, Yas?” tanya Andik,
rupanya ia juga tertarik meski tabungannya belum seberapa.
“Itu pertigaan habis rumah sakit swasta
di dekat perumahannya Ilham, dari pertigaan itu mungkin sekitar dua kilo gitu jauhnya!” jawab Ilyas.
“Bukannya daerah itu daerah gudang penyimpanan?!” seru Naura.
“Emang iya Mba itu lokasinya paling ujung
di jalan buntu, yang kiri jalan ukuran tujuh kali enam belas sama delapan kali enam belas kalo yang kanan jalan sembilan kali delapan belas sama sepuluh kali delapan belas!” tutur Ilyas menerangkan.
“Ohh … kalo saran Mba mending kamu ambil yang kanan jalan aja Yas!” seru Naura.
“Iya Yas! Pegawai pajak kan besar gajinya!” sahut Andik menggoda Ilyas.
“Gajimu juga nggak sedikit ini Dik? Tambah lagi dari bisnis perjamuan sama terapi khusus pria!” sambung Ilyas membalasnya, Andik tertawa mendengar balasan yang dilontarkan Ilyas.
“Tetap kalah dari kamu tahu!” imbuh Andik.
“Emang berapa gajimu Dik? Tapi kalo melihat sekolahnya aku sepaham sama Ilyas! Tapi yang jadi pertanyaan hingga kini buat aku kok bisa kamu keterima di sana? Sambung Naura.
“Waduh pada penasaran ini ceritanya! Aku kasih tahu nggak ya?!” sahut Andik menambah rasa penasaran mereka berdua.
“Iya Dik, kok bisa sih kamu diterima di sana?!” lanjut Ilyas.
“Itu berkat aku punya ijazah pesantren!
Konon katanya pendirinya itu seorang santri dan juga kepala yayasannya yang sekarang juga pernah nyantri!” tutur Andik.
“Masak cuman karena itu? Paling tidak
guru asrama di sana juga tak sedikit yang punya ijazah pesantren kan?!” seru
Ilyas tidak percaya.
Andik terkekeh, “Sebenarnya kepala yayasannya itu langganan jamunya aku … dia tahu dari temannya!” ungkap Andik,
kembali tertawa. Ilyas dan Naura malah ikut tertawa juga terlebih kala mendengar cerita Andik.
“Gimana Yas? Kamu ambil yang mana?”
tanya Naura ingin tahu sekaligus menyudahi pembahasan soal bab jamu.
Ilyas terdiam dalam hitungan detik lamanya, nampak ia sedang termenung sebelum mengangkat kembali kepalanya dan bersuara dengan nada sedikit datar.
“Maunya sih yang sepuluh tapi tabunganku cukupnya yang ukuran delapan itu Mba!” ucap Ilyas, nada suaranya berbeda dari yang tadi.
“Emang yang ukuran sepuluh itu berapa
harganya yas?” tanya Naura.
“Seratus juta kurang dikit,” jawab Ilyas singkat.
“Kamu ambil saja udah yang sepuluh itu,
jangan mikirin masalah kurangnya! Sekarang uangmu adanya berapa nanti kurangnya mba pinjamin deh!” kata Naura.
“Makasih Mba, tapi … aku nggak pengen
punya hutang! Temanku itu rencananya mau ngajukan pinjaman ke bank aku juga diajak!” kata Ilyas menolak bantuan dari Naura sekaligus menuturkan.
“Pinjaman ke bank? Terus yang dibuat jaminan apa?” lanjut Naura.
“Ya SK punya dia dibuat jaminan, rencananya dia ngajukan pinjaman empat ratus juta! Buat tambah-tambah!” ungkap Ilyas.
“Udah deh nggak usah ikutan temannya!
Mending kamu terima tawaran dari Mba entar kamu simpan uangnya terus akhir tahun
bayar gitu!.” Andik bersuara, memberi masukan ke Ilyas.
“Kamu gimana Dik? Tertarik juga nggak?
Kalo kamu tertarik buat tetanggaan sama Ilyas mba bantu juga!” kata Naura menawarkan bantuan pada Andik yang sepertinya ia juga tertarik.
“Gimana ya Mba, aku pikir-pikir dulu sekalian ngomong sama Umi!” sahut Andik, pandangannya fokus ke depan tapi otanya tengah bekerja menghitung angka dari jumlah tabungan yang ia miliki sekarang.
“Udah kabari temanmu itu, besok siang
jam istirahat kita ketemuan di lokasi!” kata Naura memberi perintah.
“Aku ikut ya Mba! Pengen lihat lokasinya juga!” sambung Andik.
“Ok besok ketemuan disana,” jawab Naura.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 224 Episodes
Comments
Tuti
dermawan nya ba naura
2021-07-14
0
Eka Sulistiyowati
nexs
2020-11-19
1
mieya723
Gitu toh kisahnya Andik jadi pak guru
2020-11-08
1