Kepedulian Andik

CAPTER 10

KEPEDULIAN ANDIK

Hari ini dan tiga hari kedepan jadwal pulang dari sekolah dimajukan satu jam dari jadwal biasanya selama acara kompetisi sekolah berlangsung. Andik yang enggan berlama-lama langsung keluar dari ruang guru begitu selesai menempel sidik jarinya di layar sensor absen. Rencananya sore itu ingin istirahat tenang sebelum nanti malam

akan membuat racikan herbal untuk beberapa pesanan yang ia terima. Sungguh, ia menikmati bisnis sampingan tersebut bahkan bermimpi memiliki toko herbal sekaligus apotek sebagai usaha sampingan selain profesinya sebagai seorang guru.

"Maaf saya balik duluan!" pamit Andik pada semuanya yang masih duduk manis.

"Rasa-rasanya janjian sama ceweknya ini!" sahut pak Azhar menggoda teman sekompinya yang sama-sama masih jomblo, namun ia lebih tua dua tahun dari Andik.

"Kok ngerti Pak? teman curhat ya?!" Sambung ibu Dian, wanita berumur yang saat ini menjabat sebagai Waka Kesiswaan.

"Tahu juga ibu Dian!" sahut pak Azhar meladeninya.

“Saya ini heran sama pak Azhar sama pak Andik, tampang perasaan cakep tapi kenapa kok betah menjomblo? Masak nggak ada yang naksir? Atau jangan-jangan pada ditolak semuanya?! Pilih-pilih gitu?!” kata ibu Dian membombardir keduanya dengan pertanyaan.

Baik Andik ataupun Azhar keduanya kompak melempar senyum, lanjut ibu Dian mengintrogasi mereka berdua tak patah arang. Kali ini pak Azhar buka suara mewakili Andik sekaligus.

“Bukan kita yang pemilih Bu, mungkin mereka sungkan yang mau dekatin kita! Iya nggak pak Andik?!” jawabnya.

Andik yang dituju hanya melempar senyum singkat kemudian menghilang di balik pintu seiring langkahnya yang cepat. Sementara di dalam sana introgasi ibu Dian belumlah usai, pak Azhar tekun meladeninya.

Baru beberapa meter meninggalkan ruang guru dering ponsel menghentikan langkah cepat kaki Andik . Agak kesal juga saat ia menarik ponsel dari saku celana, namun kekesalan itu berubah seketika sewaktu nama kontak tertera. Kembali, ia mendapat panggilan masuk dari ibunya Hanis, ibu Muawanah. Pasti bikin ulah lagi, pikir Andik kala menjawab panggilan masuk itu.

Tak luput dari dugaannya namun kali bukan kesalahan yang sengaja dibuat. Antara pergi dan tidak hatinya Andik bingung, ia sudah bersumpah tak akan mencampuri segala yang berkaitan dengan wanita itu lagi. Namun di sisi lain tak tega juga saat isak tangis ibu Muawanah memohon ia mengurus Hanis yang katanya terjatuh di kamar mandi.

"Iya bu De ... Saya langsung ke sana, bu De yang tenang nanti gimananya saya kabari...." ucap Andik, pada akhirnya tetap dirinyalah orang pertama yang dicari meski bukan oleh Hanis.

Niatnya untuk rebahan dan tiduran hancur sudah, laju motor ia putar arah menuju kost Hanis yang jaraknya tak dekat namun juga tak jauh. Syukurlah laki-laki itu selalu membawa minyak urut kemana pun ia pergi sebagai antisipasi ada pasien dadakan.

Andik sabar berdiri di dekat pintu setelah menekan bel sebanyak dua kali tadi. Dan tak seberapa lama keluar seorang wanita berhijab abu-abu membukakan pintu. Ia menyambutnya dengan ramah, Andik pun membalasnya tak kalah ramah juga.

"Saya kakaknya Hanis...." ucap Andik, memperkenalkan diri. Wajah manisnya dihiasi senyum sewajarnya.

"Oh iya mari masuk, kasihan tadi buru-buru mau keluar dari kamar mandi jatuh!" sahutnya menanggapi.

"Kenapa kok buru-buru?!" tanya Andik ingin tahu, sambil berjalan beriringan menuju kamar Hanis yang berada di lantai satu nomor enam.

"Ponselnya bunyi katanya, terus sama teman sebelah kamar dipanggil dikasih tahu," tutur wanita berkerudung abu-abu itu menceritakan kejadian yang menimpa Hanis.

“Panggilan masuk,” gumam Andik terlampau rendah.

Ia hanya mengantar sampai depan pintu kamar, ada dua orang di sana yang menemani. Mereka langsung bergeser begitu Andik masuk, memberi ruang padanya agar bisa berada di samping Hanis yang terlentang menahan sakit di bagian lengan dan pinggul.

"Yang mana yang sakit?" tanya Andik dengan suara lembut, tak hambar seperti biasanya ia bicara.

"Lengan kirinya sama pinggul Kak yang agak merah," jawab salah satu dari dua orang itu mewakili Hanis.

"Coba Han aku lihat," ucap Andik, meminta Hanis memberikan lengannya.

Sambil  menahan rasa sakit Hanis mencoba mengangkat lengan kiri, menyerahkan pada Andik. Andik bergeser mendekat lantaran tahu tak mungkin bagi Hanis bangkit dari posisi rebahannya tersebut.

"Harus cepetan diurut ini," gumannya kemudian mengeluarkan minyak urut dari dalam tas yang ia simpan di kantong dalam.

Sebelum menuangkan minyak urut itu Andik melepas kancing lengan kemeja yang ia kenakan, melipat sampai siku. Barulah kemudian ia tuangkan sebanyak dua tetes dan membalurnya dengan hati-hati agar Hanis tak merintih kesakitan.

"Ditahan ya agak sakit soalnya ini," ucap Andik mengingatkan. Hanis hanya mampu mengangguk pelan tapi tak melihat ke arah Andik.

Saatnya bagi Andik memperlihatkan bakat terpendam yang diturunkan dari sang ayah; perlahan mengurut lengan Hanis setelah memastikan apakah engkelnya bergeser atau tidak.

Kendatipun sudah pelan dan hati-hati tetap saja Hanis merintis kesakitan, sering ia meminta Andik menghentikan sebentar urutnya terlebih saat laki-laki itu menarik tangannya dan juga memutar tangannya perlahan dengan cara  menempelkan telapak tangannya ke tangan Hanis dengan posisi jempol berada di area pergelangan.

"Aww sakit!" jerit Hanis, menangislah wanita itu tak kuasa menahan sakit.

"Ditahan, ini tanganmu terkilir kalo dibiarin bisa tambah bengkak lantaran uratnya kecentit!" kata Andik menerangkan.

Tetap saja Hanis menangis dan merintih kesakitan apalagi sewaktu Andik mulai menambah tekanan mengurut lengan wanita itu. Namun laki-laki itu tak peduli, telinganya seolah rusak saja.

"Coba luruskan tangannya terus mengepal yang kuat biar ototnya ketarik, sakit apa nggak?" pinta Andik sambil menerangkan.

"Bukan gitu, buka dulu telapak tangannya terus mengepal! Bisa nggak?!" tambah Andik menegur.

Hanis berusaha mengikuti apa yang diinstruksikan Andik padanya. Masih terasa sakit walau tidak separah waktu baru terjatuh tadi. Dua orang yang menjadi pendamping sekaligus penonton bertanya padanya.

"Gimana Nis?! Masih sakit banget apa udah mendingan?!" tanya salah satu dari keduanya.

"Masih sakit, tapi nggak kayak yang tadi!" jawab Hanis.

"Sini aku urut lagi," ucap Andik dan meraih lengan Hanis. Kembali ia mengurut dengan sabar dan telaten.

Jeritan dan rintihan yang keluar dari mulut Hanis sama sekali tak diindahkan, terus saja ia mengurut dan juga meminta Hanis menggerakkan tangannya hingga ia tak merintih kesakitan lagi sewaktu lengannya itu digerakkan.

"Gimana?" tanya Andik.

"Nggak terlalu sakit," jawab Hanis singkat.

Selesai dengan urusan lengan kini Andik berpindah pada bagian lain yang dikeluhkan. Untuk memastikan kembali ia bertanya lagi, setelah mendapat jawaban untuk yang kedua kalinya ia malah terdiam. Antara lanjut atau tidak namun kondisi Hanis tetap yang menjadi prioritas utamanya kini. Ragu-ragu Andik meminta Hanis berbalik, berganti posisi telungkup.

"Nggak bisa sakit...." ucap Hanis.

Dengan amat berat hati Andik bergeser lebih maju, membantu Hanis berganti posisi. Dengan suara rendah ia berucap pada wanita yang selalu mengajaknya bertengkar tersebut.

"Hanis, aku buka ya…." ucap Andik meminta ijin.

Saat kedua tangan Andik menyingkap kaos baju Hanis dua orang yang tadi setia menjadi pendamping sekaligus mengawasi kini malah menyelinap keluar. Entah apa yang menjadi alasan bukankah harusnya mereka tetap disana?

"Lah kok keluar!" gumam Andik rendah. Tangannya yang sudah bergerak kini malah terhenti, pandangannya juga teralihkan dengan sendirinya. Laki-laki itu terdiam, berkecamuk dengan pikirannya sendiri.

"Pelan-pelan ya...." pinta Hanis menyentak kembali Andik dari lamunan.

"Oh ... Iya...." Sahutnya, mulailah ia menuangkan minyak oles ke bagian yang sakit juga.

"Hanis, ini celananya aku tarik dikit ya...." ucap Andik meminta ijin lagi.

"Emmm...." Sahutnya rendah.

Agak was-was juga hati Andik saat bola matanya dihadapkan pada pinggul seorang wanita. Lama ia terdiam sebelum suara batinnya berbisik menyuruh laki-laki itu segera memeriksanya khawatir cidera yang dialami lebih serius dari yang di lengan. Baru saja tangannya bergerak pelan mengurut, Hanis sudah kesakitan. Bahkan tangan kanannya yang tak cidera dengan sendirinya menangkap tangan Andik, menghalangi laki-laki itu mengurut.

"Ditahan bentar, setidaknya biar kamu bisa jalan dikit-dikit! Habis ini aku bawa kamu ke rumah sakit, kayaknya ini serius!" kata Andik mencoba menerangkan.

"Tahan ya!" ucapnya lagi. Hanis tak menjawab namun tangannya yang tadi mencengkram tangan Andik ia lepaskan perlahan.

Kembali, Andik mengurut dengan pergerakan lebih pelan dan sangat hati-hati, sebisa mungkin ia berusaha membuat Hanis tak merasakan sakit meski tetap saja terasa. Tangan Hanis tak lagi menghalangi, ia berusaha menahan sakit walau tangisnya tak surut malah semakin nyaring terdengar.

"Kecilin nangisnya itu," pinta Andik yang tak tega mendengar isak tangis Hanis.

"Sakit...." sahut Hanis di balik isak tangisnya.

“Iya aku tahu….” Balas Andik.

Setelah beberapa menit lamanya mengurut Andik meminta Hanis menggerakkan kakinya. Perlahan Hanis berusaha menggerakkannya, sakit yang terasa membuat dirinya tak kuasa merintih kesakitan.

Secara naluriah Andik bergeser maju, membantu wanita itu menggerakkan kakinya yang kiri. Kembali, ia menuangkan minyak urut dan berusaha mengurutnya sampai terasa lemas tak kaku seperti tadi.

"Coba gerakkan lagi," pinta Andik menyuruh Hanis.

Terus ia mengamati sewaktu wanita itu mencoba menggerakkan kaki kiri yang terasa sakit. Tak disangka Hanis mulai bisa menggerakkan kakinya walau masih dengan perjuangan. Kini Andik membantu Hanis berganti posisi, merentangkan tubuhnya kemudian meminta wanita itu menurunkan kaki dari kasur.

"Ayo aku bantu berdiri," ucap Andik. Sigap kedua tangannya merangkul tubuh Hanis dan membantunya berdiri.

"Coba jalan dikit bisa nggak!" seru Andik kembali meminta wanita itu melangkah.

Lumayan ada hasilnya, Andik membawa Hanis duduk di kasur lagi. Masih dengan posisi berdiri ia berbicara dengan nada tenang; nyaris tak ada perdebatan diantara keduanya bahkan perlakuan Andik terlihat hangat.

"Hanis itu bajunya kamu agak basah, apa nggak sebaiknya ganti baju dulu habis ini langsung ke rumah sakit!" kata Andik memberanikan diri mengusulkan.

Hanis tak menjawab ia terdiam beberapa saat sebelum meminta tolong Andik mengambilkan pakaian di dalam lemari. Bingung pakaian apa yang hendak dipakai Andik menoleh, bertanya lagi ke Hanis

"Pakai baju kaos ya?!" ucapnya, Hanis mengangguk saja.

Diambilnya kaos longgar lengan pendek dan bawahan celana longgar juga. Ia melangkah kembali ke sisi Hanis dan menyerahkan.

"Aku tunggu di luar ya," ucapnya melangkah pergi namun tak disangka tangan Hanis malah menghentikannya.

"Gimana aku mau pakai?!" ucapnya, memegang pergelangan tangan Andik.

Andik hanya diam, pandangannya diputar keluar kamar manakala muncul sebuah ide di otaknya. Detik kemudian ia melepaskan tangan Hanis dan melangkah keluar. Matanya menoleh kanan kiri mencari keberadaan seseorang yang bisa dimintai tolong. Bahkan ia memberanikan diri melangkah ke kamar sebelah, mengetuk pintu ragu-ragu. Sayangnya dari beberapa kamar yang ia ketuk tak ada satupun yang membuka pintu.

"Masak pada keluar, nggak ada satupun yang buka pintu" gumannya.

Syukurlah saat dirinya sudah putus asa melangkah lemas kembali ke kamar Hanis tiba-tiba seorang wanita keluar dari kamarnya  yang berada diurutan nomor dua dari depan. Setengah berlari Andik menghampirinya, meminta wanita itu membantu memakaikan baju Hanis.

Andik berdiri di luar pintu sementara Hanis berganti pakaian yang dibantu oleh temannya. Sebentar saja wanita itu sudah keluar lagi, tak lupa Andik berterimakasih padanya kemudian menyelinap masuk.

"Ayo aku bantu jalan, aku sudah pesan taksi," ucap Andik, meraih Hanis dan memapahnya keluar dari kamar.

Wanita berhijab yang membukakan pintu muncul dari depan ia berhambur menghampiri mereka berdua; ikut membantu memapah Hanis sampai ke teras, sampai duduk di kursi. Ia juga tak langsung pergi melainkan menunggu sampai taksi datang. Lagi, ia membantu Andik memapah Hanis sampai masuk ke dalam taksi.

"Makasih Dita," ucap Hanis.

"Moga nggak ada yang serius," balasnya.

Tiba di rumah sakit Andik masih dengan sepenuh hati mengurus Hanis yang selalu membuatnya marah, tak pernah mendengarkan perkataannya selama ini. Dua orang perawat datang menghampiri dengan membawa kursi roda. Mereka membantu Hanis duduk kemudian mendorongnya hingga memasuki ruang IGD.

Andik menunggu di luar dengan setia, kecemasan nampak jelas di wajahnya yang letih. Melihat kursi tunggu agak sepi melangkah ia kesana, belum lama duduk teringatlah ia, lekas diraihnya ponsel dari saku celana dan menghubungi ibu Hanis yang memang menunggu kabar darinya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam," balas ibu Muawanah.

"Gimana Nak sama adikmu?" tanyanya lanjut, kekhawatiran jelas terdengar dari nada suaranya di ujung telepon.

"Nggak perlu cemas bu De, tadi sudah saya urut terus ini saya bawa ke rumah sakit biar dapat penanganan dokter!" tutur Andik menceritakan. Tak kuasa tangis ibu Muawanah terdengar jelas mendengar putrnya dibawa ke rumah sakit. Begitulah hati seorang ibu, langsung rapuh seketika. Cepat-cepat Andik melanjutkan; mencoba meredakan tangisnya yang membuat dirinya bertambah bingung.

"Bu De, tolong jangan nangis ... Insyaallah Hanis nggak kenapa-napa! Bu De sama Paman nggak perlu kesini, nanti gimananya saya hubungi lagi...." ucap Andik menjelaskan. Cepat memutuskan sambungan lantaran tak kuasa mendengar tangis ibu Muawanah.

"Makasih ya Nak! Hubungi bu De lagi masalah biaya rumah sakitnya ya Nak!" kata ibu Muawanah sebelum sambungan telepon diputus.

Cukup lama menunggu di luar akhirnya seorang perawat yang tadi menangani Hanis mendatangi dirinya. Menjelaskan jika wanita itu perlu perawatan lebih lanjut dan diperlukan pemeriksaan untuk mengetahui cidera yang dialami.

“Lakukan apa yang menurut dokter baik buatnya, Sus!” ucap Andik memutuskan.

Segera setelah Andik mengurus administrasi dan memilih kamar, Hanis di keluarkan dari ruang IGD setelah dilakukan pemeriksaan tadi. Kaki Andik datang menyertai mereka yang membawa Hanis ke kamar rawat inap. Baiknya perlakuan Andik dengan memilih kamar yang nyaman buat Hanis kendati ia bukanlah orang beruang dan wanita itu selalu melawan.

Saat Hanis sudah berpindah ke ranjang pasien dan hanya tinggal mereka berdua di kamar itu Andik melangkah mendekatinya, "Hanis, aku balik dulu ya bentar! Mau mandi, ganti baju juga!" ucapnya.

"Lama nggak?" tanya Hanis.

"Nggak lama insyaallah, apa kamu mau nitip sesuatu? Makanan mungkin?" seru Andik menawarkan.

"Terserah kamu aja sudah," jawabnya.

"Aku balik dulu ya bentar, ini ponselku khawatir kamu bosan!" kata Andik kemudian menyerahkan ponselnya ke Hanis. Kurang baik gimana lagi? Semoga Hanis bisa menilai kebaikan Andik yang ditunjukkan.

Detik berikutnya ia melangkah keluar segera dari kamar. Dengan langkah kaki cepat ia menyusuri lorong rumah sakit menuju pintu gerbang untuk menyetop ojek. Tidak langsung kembali ke rumah akan tetapi bertolak ke kost Hanis untuk mengambil motor barulah kemudian tancap gas segera menuju rumah.

Sesampainya di rumah Andik nampak tergesa-gesa lagi, pertanyaan Ilyas ia abaikan. Dengan mulut terbungkam ia meletakkan tas lalu keluar lagi dari kamar.

“Ada apa sama itu anak?!” gumam Ilyas dibuat cemas.

Andik berlari keluar rumah, ke halaman samping tepatnya depan kamarnya sendiri. Dengan jeli tangan Andik memilih daun sirih yang uratnya menyambung, juga akar sirih yang masih muda. Kenapa harus yang menyambung? Entahlah mungkin itu warisan dari sang ayah. Ia mengambil beberapa lembar daun dan batang akar sirih sebelum kembali masuk rumah. Halaman samping tepatnya depan kamar mereka berdua memang Andik jadikan kebun untuk koleksi tanaman herbal sebagai penunjang bisnis receh-recehnya. Naura tidak keberatan sama sekali dan Andik juga rutin membuatkan minuman herbal untuknya dan juga Ilyas.

"Buat apa Dik? Ada pasien baru?" kata Ilyas mencercanya dengan banyak pertanyaan namun laki-laki itu hanya menjawab dengan satu kata saja.

"Iya!" jawabnya sambil memanggang daun sirih dan batang akar muda yang diambil tadi hingga layu.

"Bukannya ini buat urat?" tanya Ilyas lagi. Mengintip apa yang dikerjakan Andik dari samping, sangat penasaran ia.

"Itu sudah tahu," sahut Andik, lanjut ia menumbuk semua yang sudah ia panggang sebentar di wadah plastik kecil menggunakan kepala ulekan.

“Siapa yang mau diurut, Dik?” tanya Ilyas tak bosan. Kali ini Andik tak menjawab.

Langkahnya masih buru-buru kala meninggalkan dapur dan juga Ilyas yang masih berdiri di sana. Ilyas berlari menyusul Andik yang memasuki kamar lagi, tak menjawab pertanyaannya yang terakhir. Di dalam sana Andik menuangkan minyak urut pada wadah plastik berisi tumbukan daun sirih dan batang akar muda dari daun sirih.

"Siapa Dik yang lagi kamu tangani?" tanya Ilyas mengulangi pertanyaan yang sama.

"Biasa, siapa lagi beban hidupku yang suka mancing amarah itu?!" jawab Andik  akhirnya angkat bicara.

"Loh kenapa sama dia?" tanya Ilyas yang ikutan cemas.

"Habis jatuh, aku mandi dulu ya!" jawab Andik kemudian meninggalkan Ilyas.

Andik tak berlama-lama di dalam kamar mandi hanya beberapa belas menit saja ia sudah muncul di kamar. Segera ia berpakaian dan menunaikan sholat di dalam kamar. Ilyas duduk diam di tepi kasur, menunggu dan mengamati temannya yang nampak sibuk namun lelah. Selesai sholat Andik membuka lemar lagi mengambil sarung bersih, handuk bersih kemudian dimasukkan ke tas ransel kecil warna coklat. Peci yang ia kenakan juga dimasukkan ke sana menjadi satu dengan yang lain.

“Kayak orang mau minggat kamu, Dik!” seru Ilyas memperhatikan Andik yang sangat sibuk.

"Aku berangkat ya Yas! Kayaknya aku nggak balik malam ini!" ucapnya menimpali lalu mengambil wadah plastik di atas meja.

"Mau kemana kamu? Ke kosanya Hanis?!" tanya Ilyas lagi.

"Nggak, ke rumah sakit! Udah ya aku berangkat dulu!" jawab Andik dan berlalu dari kamar. Menyisakan kecemasan bagi Ilyas juga terlebih jika Naura mengetahuinya.

Keluarlah Ilyas dari kamar secepatnya, ia setengah berlari menuju teras hanya demi mengantar Andik yang nampak letih namun tetap sibuk dan peduli pada Hanis.

“Hati-hati Dik, bawa motornya!” kata Ilyas mengingatkan manakala Andik keluar dari garasi dan mulai berkendara keluar rumah.

“Iya Yas, tolong bilang ke Mba aku nggak balik malam ini!” kata Andik mengulangi pesannya, Ilyas mengangguk segera. Pandangannya sama sekali tak teralihkan hingga motor merah itu melewati pagar pintu dan tak terlihat lagi.

Baru saja Ilyas hendak menjatuhkan diri di kursi kala Naura menuruni tangga, ia menyapa Ilyas dan menanyakan keberadaan Andik yang tak nampak bersamanya. Wanita itu khawatir keduanya tengah bersitegang seperti dulu.

“Loh Andik mana kok nggak kelihatan?” tanya Naura, melangkah mendatangi Ilyas di kursi ruang keluarga.

“Baru aja keluar lagi Mba, kasihan anak itu….” Jawab Ilyas sekaligus meluapkan apa yang ia rasakan saat itu.

“Kenapa sama Andik?” tanya Naura seketika dilanda kecemasan.

Cepat-cepat ia duduk di samping Ilyas, mendesak laki-laki itu agar membuka mulut. Menjelaskan apa yang sedang dialami Andik sekarang. Tangannya tak sabar mengguncang lengan Ilyas, menuntutnya.

“Itu Mba … si Hanis….” Ungkap Ilyas dengan nada datar.

“Hanis?! Kenapa lagi ma itu anak?!” ujar Naura meninggi, terdengar agak emosi kala nama Hanis dikaitkan.

“Iya Mba … katanya jatuh, terus sekarang Andik sibuk ngurus dia! Kalo lihat sikap Hanis yang berani ke dia aku ini kasihan Mba….” Ungkap Ilyas lebih.

“Semoga anak itu sadar lewat musibah ini, tapi kalo sikapnya nggak berubah kasihan juga Andik!” kata Naura menanggapi.

“Ayo Mba kita jenguk nanti habis sholat isya,” ajak Ilyas.

“Ok ayo! Kamu tahu dimana sekarang anak itu dirawat?” tanya Naura, Ilyas menggelengkan kepala.

“Coba kamu tanya ke Andik habis ini,” pinta Naura sebelum menyambar remot televisi di meja. Berdua dengan Ilyas ia duduk santai menonton film di saluran luar.

“Jadi sepi ya Mba kalo nggak ada Andik!” seru Ilyas tiba-tiba.

Naura menoleh, “Iya, biasanya ada aja yang mau dibikin perdebatan sama dia….” Sahut Naura, sama ia merasakan suasana rumah seketika berubah tanpa kehadiran lelaki itu.

“Coba kamu kabari Ilham, siapa tahu dia mau ikut juga jenguk Hanis!” sambung Naura lagi.

Sementara Naura memusatkan pandangannya ke layar televisi Ilyas tak jauh dari sana sedang menghubungi Ilham. beberapa kali mencoba panggilan keluar namun langsung tersambung ke operator. Lanjut Ilyas menghubungi Veny, sayangnya hasil yang didapat juga sama. Bukan operator yang menjawab namun tak kunjung diangkat

sampai Ilyas akhirnya menyerah.

“Ilham sama Veny nggak ada yang ngangkat,” kata Ilyas memberitahu Naura.

“Ya sudah kita berdua aja, mungkin mereka lagi nggak pegang hp!” sahut Naura.

Terpopuler

Comments

Mama amiinn Asis

Mama amiinn Asis

kenapa cerita andrik sama hanes aja kurang seruu,,,,,thor aku maunya cerita hasan sama naura

2021-01-14

0

Mama amiinn Asis

Mama amiinn Asis

waduu,,,,thor sangat d sayangkan kalau tidak jodoh tapi hasue d jodoh

2021-01-14

0

Almeera

Almeera

mas hasan gk nlpon lagi ya ? kangen aku sama keromantisan nya

2021-01-09

0

lihat semua
Episodes
1 Postingan Andik
2 Hanya lewat sambungan telepon
3 Akhir pekan
4 Menemani makan
5 Masih dikaitkan
6 Rencana masa depan
7 Pertemuan kembali
8 Menjemput
9 Siang menjelang sore
10 Kepedulian Andik
11 Menepati janji
12 Tiba-tiba
13 Kemarahan Andik, cemburukah?
14 Takdir si Bujang
15 Kesungguhan Angga
16 Kencan singkat
17 Kencan dadakan
18 Kedatangan Sahat dan ibu Merli
19 Cemburu
20 Lelah raga
21 Kegundahan hati
22 Permintaan ibu Gufro
23 Sebelum pagi
24 Nyanyian Andik
25 Andik dan Hanis
26 Merasa bersalah
27 Sebuah chat
28 Usaha Hanis
29 Muncul lagi
30 Tak berdaya
31 Kesepakatan baru yang dibuat
32 Kepedulian Angga
33 Jawaban yang diberikan Naura
34 Akhir dari kebungkaman Hanis
35 Kebersamaan yang tak direncanakan
36 Permintaan manja Hasan
37 Akhir dari permainan Boy
38 Tindakan spontan Angga
39 Cara Andik
40 Mengantar ke rumah
41 Sebelum magrib
42 Setelah magrib
43 Tiba-tiba bersikap aneh
44 Kehebohan di lantai empat
45 Dibuat terharu
46 Malam minggu yang tidak dinanti
47 Permintaan Hasan
48 Tawaran Naura
49 Setangkai mawar kuning
50 Mencari keberadaan mawar kuning
51 Mawar kuning kedua
52 Aktivitas rahasia Naura
53 Suara Hasan
54 Nasehat tiga orang
55 Suara Hasan lagi
56 Makan bersama lagi
57 Hadiah untuk menantu
58 Belajar main gitar
59 Senyum bangga pak Malik
60 Membuat cemas semuanya
61 Mie ayam rasa merindu
62 Tidak tenang
63 Berawal dari nasehat, lanjut bergosip
64 Tiang listrik konslet
65 Paket kiriman
66 Pertemuan di malam minggu
67 Di apartemen
68 Tengah malam
69 Sehabis subuh
70 Selembar kertas
71 Di pinggir kolam
72 Undangan pernikahan
73 Pesan dari Andik
74 Menerima tantangan
75 Sebuah keputusan, berakhir
76 Belajar memahami
77 Masih jaga sikap
78 Nyaris saja
79 Permintaan maaf
80 Menyiapkan hadiah
81 Berangkat bersama
82 Menghadiri pernikahan
83 Mengantar
84 Tek terduga
85 Membuka hadiah
86 Malam pertama
87 Mulai lagi akal jahil
88 Bakti Ilyas
89 Mengikuti pertandingan
90 Papan Mading
91 Bukan masalah
92 Teman lama
93 Bahasa Cinta
94 Entah kenapa
95 Bertemu pandang
96 Saat pak Malik bertindak
97 Mengajari suami
98 Beradu argumen
99 Ucapan pak Salahi
100 Saat cinta menyertai malam
101 Kecupan di pagi hari
102 Teguran dari menantu
103 Tujuan pak Malik
104 Menyusun pesan cinta
105 Malu sendiri
106 Mempraktekkan ilmu yang dipelajari
107 Hening sore di lantai dua
108 Sebuah sepatu
109 Demi sebuah hadiah
110 Balasan dari Ilham
111 Yah, melewatkan sarapan
112 Menemani kontrol
113 Bertambah akrab
114 Berlibur juga
115 Hayalan pagi di kamar hotel
116 Om Cowboy
117 Akal-akalan dua wanita
118 Menangkap ikan
119 Lagu untuk Hasan
120 Pak Malik
121 Kesempatan dalam kesempitan
122 Telepon dari bik Siti
123 Penjelasan dokter Fahmi
124 Ucapan Hasan
125 Minta ditemani
126 Kesedihan Ilyas
127 Mood booster
128 Program kehamilan
129 Kesedihan Naura
130 Hari pertama di kampus baru
131 Tradisi kampus
132 Nasi goreng
133 Perbincangan dua orang
134 Ada-ada saja Naura
135 Sikap Hasan
136 Ajakan pak Malik
137 Majlis ilmi
138 Obrolan kaum Hawa
139 Ucapan Hasan
140 Teguran adik sendiri
141 USILNYA NAURA
142 Suasana setelah magrib
143 Salah tingkah
144 Berbalas pesan
145 Kesepakatan yang dibuat
146 Mulai manja
147 Hanya sepuluh menit
148 Sisi lain Naura
149 CERITA NAURA
150 Saat kebersamaan
151 Kumpulan para jomblo
152 Mulai rewel
153 Menyanyikan lagu
154 Di rumah masa kecil
155 Sarapan pagi
156 Opening
157 Oppa-nya kampus
158 Live streaming
159 Kabar duka
160 Berkabung
161 Kedatangan Kyai Fawaid
162 162
163 163
164 164
165 165
166 Menyambut
167 Memancing ikan
168 Setelah sekian lama
169 Mimpi Hasan
170 Laporan dari David
171 Sama sama jatuh sakit
172 Sore di rumah Hanah
173 Takdir
174 Hadiah dibalik rasa kecewa
175 Nasehat Lusi
176 Saat Zadid marah
177 Permintaan Zadid
178 Menjemput belahan jiwa
179 Firasat Ilyas
180 Berita dari 3 kunyuk
181 Sebuah jalan
182 Penemuan besar
183 Upaya si Kembar
184 Email dari aunty Lusi
185 Obrolan Zadid dan Kim
186 Pernikahan Lusi
187 Membiarkan pergi
188 Jawaban Lusi
189 Sama-sama mencari jalan
190 Rencana Naura
191 Akhirnya, mendarat juga
192 Tangis Nada
193 Kejahilan pertama,terus berlanjut
194 Lanjut yang berikutnya
195 Mimpi Zadid
196 Secarik kertas dan permen
197 Menyapa sang ayah
198 Saling berbalas pesan
199 Berlatih basket
200 Kecelakaan
201 Kedatangan Hasan
202 Berbagi makanan
203 Tidak ayah, tidak anak
204 Kesalahpahaman Zadid, tangisan Nada
205 Tetesan embun
206 Kedatangan Naura, kekecewaan Hasan
207 Memilih pergi
208 Bablu si pemancing tawa
209 Sekali tepuk, dua lalat kena
210 Keacuhan pak Malik
211 Menggendong buah hati
212 Bisikan Hasan
213 Perkataan Hasan, runtuhlah hati Naura
214 Lawakan tiga kunyuk, pemersatu keluarga
215 Suara tangis di malam hari
216 Hanya bisa marah
217 Hatsuhinode
218 Pertandingan basket
219 Pelukan Nada
220 Masakan Daddy
221 Kecupan singkat
222 Kencan Daddy and Mom
223 Proposal cinta
224 pengumuman
Episodes

Updated 224 Episodes

1
Postingan Andik
2
Hanya lewat sambungan telepon
3
Akhir pekan
4
Menemani makan
5
Masih dikaitkan
6
Rencana masa depan
7
Pertemuan kembali
8
Menjemput
9
Siang menjelang sore
10
Kepedulian Andik
11
Menepati janji
12
Tiba-tiba
13
Kemarahan Andik, cemburukah?
14
Takdir si Bujang
15
Kesungguhan Angga
16
Kencan singkat
17
Kencan dadakan
18
Kedatangan Sahat dan ibu Merli
19
Cemburu
20
Lelah raga
21
Kegundahan hati
22
Permintaan ibu Gufro
23
Sebelum pagi
24
Nyanyian Andik
25
Andik dan Hanis
26
Merasa bersalah
27
Sebuah chat
28
Usaha Hanis
29
Muncul lagi
30
Tak berdaya
31
Kesepakatan baru yang dibuat
32
Kepedulian Angga
33
Jawaban yang diberikan Naura
34
Akhir dari kebungkaman Hanis
35
Kebersamaan yang tak direncanakan
36
Permintaan manja Hasan
37
Akhir dari permainan Boy
38
Tindakan spontan Angga
39
Cara Andik
40
Mengantar ke rumah
41
Sebelum magrib
42
Setelah magrib
43
Tiba-tiba bersikap aneh
44
Kehebohan di lantai empat
45
Dibuat terharu
46
Malam minggu yang tidak dinanti
47
Permintaan Hasan
48
Tawaran Naura
49
Setangkai mawar kuning
50
Mencari keberadaan mawar kuning
51
Mawar kuning kedua
52
Aktivitas rahasia Naura
53
Suara Hasan
54
Nasehat tiga orang
55
Suara Hasan lagi
56
Makan bersama lagi
57
Hadiah untuk menantu
58
Belajar main gitar
59
Senyum bangga pak Malik
60
Membuat cemas semuanya
61
Mie ayam rasa merindu
62
Tidak tenang
63
Berawal dari nasehat, lanjut bergosip
64
Tiang listrik konslet
65
Paket kiriman
66
Pertemuan di malam minggu
67
Di apartemen
68
Tengah malam
69
Sehabis subuh
70
Selembar kertas
71
Di pinggir kolam
72
Undangan pernikahan
73
Pesan dari Andik
74
Menerima tantangan
75
Sebuah keputusan, berakhir
76
Belajar memahami
77
Masih jaga sikap
78
Nyaris saja
79
Permintaan maaf
80
Menyiapkan hadiah
81
Berangkat bersama
82
Menghadiri pernikahan
83
Mengantar
84
Tek terduga
85
Membuka hadiah
86
Malam pertama
87
Mulai lagi akal jahil
88
Bakti Ilyas
89
Mengikuti pertandingan
90
Papan Mading
91
Bukan masalah
92
Teman lama
93
Bahasa Cinta
94
Entah kenapa
95
Bertemu pandang
96
Saat pak Malik bertindak
97
Mengajari suami
98
Beradu argumen
99
Ucapan pak Salahi
100
Saat cinta menyertai malam
101
Kecupan di pagi hari
102
Teguran dari menantu
103
Tujuan pak Malik
104
Menyusun pesan cinta
105
Malu sendiri
106
Mempraktekkan ilmu yang dipelajari
107
Hening sore di lantai dua
108
Sebuah sepatu
109
Demi sebuah hadiah
110
Balasan dari Ilham
111
Yah, melewatkan sarapan
112
Menemani kontrol
113
Bertambah akrab
114
Berlibur juga
115
Hayalan pagi di kamar hotel
116
Om Cowboy
117
Akal-akalan dua wanita
118
Menangkap ikan
119
Lagu untuk Hasan
120
Pak Malik
121
Kesempatan dalam kesempitan
122
Telepon dari bik Siti
123
Penjelasan dokter Fahmi
124
Ucapan Hasan
125
Minta ditemani
126
Kesedihan Ilyas
127
Mood booster
128
Program kehamilan
129
Kesedihan Naura
130
Hari pertama di kampus baru
131
Tradisi kampus
132
Nasi goreng
133
Perbincangan dua orang
134
Ada-ada saja Naura
135
Sikap Hasan
136
Ajakan pak Malik
137
Majlis ilmi
138
Obrolan kaum Hawa
139
Ucapan Hasan
140
Teguran adik sendiri
141
USILNYA NAURA
142
Suasana setelah magrib
143
Salah tingkah
144
Berbalas pesan
145
Kesepakatan yang dibuat
146
Mulai manja
147
Hanya sepuluh menit
148
Sisi lain Naura
149
CERITA NAURA
150
Saat kebersamaan
151
Kumpulan para jomblo
152
Mulai rewel
153
Menyanyikan lagu
154
Di rumah masa kecil
155
Sarapan pagi
156
Opening
157
Oppa-nya kampus
158
Live streaming
159
Kabar duka
160
Berkabung
161
Kedatangan Kyai Fawaid
162
162
163
163
164
164
165
165
166
Menyambut
167
Memancing ikan
168
Setelah sekian lama
169
Mimpi Hasan
170
Laporan dari David
171
Sama sama jatuh sakit
172
Sore di rumah Hanah
173
Takdir
174
Hadiah dibalik rasa kecewa
175
Nasehat Lusi
176
Saat Zadid marah
177
Permintaan Zadid
178
Menjemput belahan jiwa
179
Firasat Ilyas
180
Berita dari 3 kunyuk
181
Sebuah jalan
182
Penemuan besar
183
Upaya si Kembar
184
Email dari aunty Lusi
185
Obrolan Zadid dan Kim
186
Pernikahan Lusi
187
Membiarkan pergi
188
Jawaban Lusi
189
Sama-sama mencari jalan
190
Rencana Naura
191
Akhirnya, mendarat juga
192
Tangis Nada
193
Kejahilan pertama,terus berlanjut
194
Lanjut yang berikutnya
195
Mimpi Zadid
196
Secarik kertas dan permen
197
Menyapa sang ayah
198
Saling berbalas pesan
199
Berlatih basket
200
Kecelakaan
201
Kedatangan Hasan
202
Berbagi makanan
203
Tidak ayah, tidak anak
204
Kesalahpahaman Zadid, tangisan Nada
205
Tetesan embun
206
Kedatangan Naura, kekecewaan Hasan
207
Memilih pergi
208
Bablu si pemancing tawa
209
Sekali tepuk, dua lalat kena
210
Keacuhan pak Malik
211
Menggendong buah hati
212
Bisikan Hasan
213
Perkataan Hasan, runtuhlah hati Naura
214
Lawakan tiga kunyuk, pemersatu keluarga
215
Suara tangis di malam hari
216
Hanya bisa marah
217
Hatsuhinode
218
Pertandingan basket
219
Pelukan Nada
220
Masakan Daddy
221
Kecupan singkat
222
Kencan Daddy and Mom
223
Proposal cinta
224
pengumuman

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!