CAPTER 10
KEPEDULIAN ANDIK
Hari ini dan tiga hari kedepan jadwal pulang dari sekolah dimajukan satu jam dari jadwal biasanya selama acara kompetisi sekolah berlangsung. Andik yang enggan berlama-lama langsung keluar dari ruang guru begitu selesai menempel sidik jarinya di layar sensor absen. Rencananya sore itu ingin istirahat tenang sebelum nanti malam
akan membuat racikan herbal untuk beberapa pesanan yang ia terima. Sungguh, ia menikmati bisnis sampingan tersebut bahkan bermimpi memiliki toko herbal sekaligus apotek sebagai usaha sampingan selain profesinya sebagai seorang guru.
"Maaf saya balik duluan!" pamit Andik pada semuanya yang masih duduk manis.
"Rasa-rasanya janjian sama ceweknya ini!" sahut pak Azhar menggoda teman sekompinya yang sama-sama masih jomblo, namun ia lebih tua dua tahun dari Andik.
"Kok ngerti Pak? teman curhat ya?!" Sambung ibu Dian, wanita berumur yang saat ini menjabat sebagai Waka Kesiswaan.
"Tahu juga ibu Dian!" sahut pak Azhar meladeninya.
“Saya ini heran sama pak Azhar sama pak Andik, tampang perasaan cakep tapi kenapa kok betah menjomblo? Masak nggak ada yang naksir? Atau jangan-jangan pada ditolak semuanya?! Pilih-pilih gitu?!” kata ibu Dian membombardir keduanya dengan pertanyaan.
Baik Andik ataupun Azhar keduanya kompak melempar senyum, lanjut ibu Dian mengintrogasi mereka berdua tak patah arang. Kali ini pak Azhar buka suara mewakili Andik sekaligus.
“Bukan kita yang pemilih Bu, mungkin mereka sungkan yang mau dekatin kita! Iya nggak pak Andik?!” jawabnya.
Andik yang dituju hanya melempar senyum singkat kemudian menghilang di balik pintu seiring langkahnya yang cepat. Sementara di dalam sana introgasi ibu Dian belumlah usai, pak Azhar tekun meladeninya.
Baru beberapa meter meninggalkan ruang guru dering ponsel menghentikan langkah cepat kaki Andik . Agak kesal juga saat ia menarik ponsel dari saku celana, namun kekesalan itu berubah seketika sewaktu nama kontak tertera. Kembali, ia mendapat panggilan masuk dari ibunya Hanis, ibu Muawanah. Pasti bikin ulah lagi, pikir Andik kala menjawab panggilan masuk itu.
Tak luput dari dugaannya namun kali bukan kesalahan yang sengaja dibuat. Antara pergi dan tidak hatinya Andik bingung, ia sudah bersumpah tak akan mencampuri segala yang berkaitan dengan wanita itu lagi. Namun di sisi lain tak tega juga saat isak tangis ibu Muawanah memohon ia mengurus Hanis yang katanya terjatuh di kamar mandi.
"Iya bu De ... Saya langsung ke sana, bu De yang tenang nanti gimananya saya kabari...." ucap Andik, pada akhirnya tetap dirinyalah orang pertama yang dicari meski bukan oleh Hanis.
Niatnya untuk rebahan dan tiduran hancur sudah, laju motor ia putar arah menuju kost Hanis yang jaraknya tak dekat namun juga tak jauh. Syukurlah laki-laki itu selalu membawa minyak urut kemana pun ia pergi sebagai antisipasi ada pasien dadakan.
Andik sabar berdiri di dekat pintu setelah menekan bel sebanyak dua kali tadi. Dan tak seberapa lama keluar seorang wanita berhijab abu-abu membukakan pintu. Ia menyambutnya dengan ramah, Andik pun membalasnya tak kalah ramah juga.
"Saya kakaknya Hanis...." ucap Andik, memperkenalkan diri. Wajah manisnya dihiasi senyum sewajarnya.
"Oh iya mari masuk, kasihan tadi buru-buru mau keluar dari kamar mandi jatuh!" sahutnya menanggapi.
"Kenapa kok buru-buru?!" tanya Andik ingin tahu, sambil berjalan beriringan menuju kamar Hanis yang berada di lantai satu nomor enam.
"Ponselnya bunyi katanya, terus sama teman sebelah kamar dipanggil dikasih tahu," tutur wanita berkerudung abu-abu itu menceritakan kejadian yang menimpa Hanis.
“Panggilan masuk,” gumam Andik terlampau rendah.
Ia hanya mengantar sampai depan pintu kamar, ada dua orang di sana yang menemani. Mereka langsung bergeser begitu Andik masuk, memberi ruang padanya agar bisa berada di samping Hanis yang terlentang menahan sakit di bagian lengan dan pinggul.
"Yang mana yang sakit?" tanya Andik dengan suara lembut, tak hambar seperti biasanya ia bicara.
"Lengan kirinya sama pinggul Kak yang agak merah," jawab salah satu dari dua orang itu mewakili Hanis.
"Coba Han aku lihat," ucap Andik, meminta Hanis memberikan lengannya.
Sambil menahan rasa sakit Hanis mencoba mengangkat lengan kiri, menyerahkan pada Andik. Andik bergeser mendekat lantaran tahu tak mungkin bagi Hanis bangkit dari posisi rebahannya tersebut.
"Harus cepetan diurut ini," gumannya kemudian mengeluarkan minyak urut dari dalam tas yang ia simpan di kantong dalam.
Sebelum menuangkan minyak urut itu Andik melepas kancing lengan kemeja yang ia kenakan, melipat sampai siku. Barulah kemudian ia tuangkan sebanyak dua tetes dan membalurnya dengan hati-hati agar Hanis tak merintih kesakitan.
"Ditahan ya agak sakit soalnya ini," ucap Andik mengingatkan. Hanis hanya mampu mengangguk pelan tapi tak melihat ke arah Andik.
Saatnya bagi Andik memperlihatkan bakat terpendam yang diturunkan dari sang ayah; perlahan mengurut lengan Hanis setelah memastikan apakah engkelnya bergeser atau tidak.
Kendatipun sudah pelan dan hati-hati tetap saja Hanis merintis kesakitan, sering ia meminta Andik menghentikan sebentar urutnya terlebih saat laki-laki itu menarik tangannya dan juga memutar tangannya perlahan dengan cara menempelkan telapak tangannya ke tangan Hanis dengan posisi jempol berada di area pergelangan.
"Aww sakit!" jerit Hanis, menangislah wanita itu tak kuasa menahan sakit.
"Ditahan, ini tanganmu terkilir kalo dibiarin bisa tambah bengkak lantaran uratnya kecentit!" kata Andik menerangkan.
Tetap saja Hanis menangis dan merintih kesakitan apalagi sewaktu Andik mulai menambah tekanan mengurut lengan wanita itu. Namun laki-laki itu tak peduli, telinganya seolah rusak saja.
"Coba luruskan tangannya terus mengepal yang kuat biar ototnya ketarik, sakit apa nggak?" pinta Andik sambil menerangkan.
"Bukan gitu, buka dulu telapak tangannya terus mengepal! Bisa nggak?!" tambah Andik menegur.
Hanis berusaha mengikuti apa yang diinstruksikan Andik padanya. Masih terasa sakit walau tidak separah waktu baru terjatuh tadi. Dua orang yang menjadi pendamping sekaligus penonton bertanya padanya.
"Gimana Nis?! Masih sakit banget apa udah mendingan?!" tanya salah satu dari keduanya.
"Masih sakit, tapi nggak kayak yang tadi!" jawab Hanis.
"Sini aku urut lagi," ucap Andik dan meraih lengan Hanis. Kembali ia mengurut dengan sabar dan telaten.
Jeritan dan rintihan yang keluar dari mulut Hanis sama sekali tak diindahkan, terus saja ia mengurut dan juga meminta Hanis menggerakkan tangannya hingga ia tak merintih kesakitan lagi sewaktu lengannya itu digerakkan.
"Gimana?" tanya Andik.
"Nggak terlalu sakit," jawab Hanis singkat.
Selesai dengan urusan lengan kini Andik berpindah pada bagian lain yang dikeluhkan. Untuk memastikan kembali ia bertanya lagi, setelah mendapat jawaban untuk yang kedua kalinya ia malah terdiam. Antara lanjut atau tidak namun kondisi Hanis tetap yang menjadi prioritas utamanya kini. Ragu-ragu Andik meminta Hanis berbalik, berganti posisi telungkup.
"Nggak bisa sakit...." ucap Hanis.
Dengan amat berat hati Andik bergeser lebih maju, membantu Hanis berganti posisi. Dengan suara rendah ia berucap pada wanita yang selalu mengajaknya bertengkar tersebut.
"Hanis, aku buka ya…." ucap Andik meminta ijin.
Saat kedua tangan Andik menyingkap kaos baju Hanis dua orang yang tadi setia menjadi pendamping sekaligus mengawasi kini malah menyelinap keluar. Entah apa yang menjadi alasan bukankah harusnya mereka tetap disana?
"Lah kok keluar!" gumam Andik rendah. Tangannya yang sudah bergerak kini malah terhenti, pandangannya juga teralihkan dengan sendirinya. Laki-laki itu terdiam, berkecamuk dengan pikirannya sendiri.
"Pelan-pelan ya...." pinta Hanis menyentak kembali Andik dari lamunan.
"Oh ... Iya...." Sahutnya, mulailah ia menuangkan minyak oles ke bagian yang sakit juga.
"Hanis, ini celananya aku tarik dikit ya...." ucap Andik meminta ijin lagi.
"Emmm...." Sahutnya rendah.
Agak was-was juga hati Andik saat bola matanya dihadapkan pada pinggul seorang wanita. Lama ia terdiam sebelum suara batinnya berbisik menyuruh laki-laki itu segera memeriksanya khawatir cidera yang dialami lebih serius dari yang di lengan. Baru saja tangannya bergerak pelan mengurut, Hanis sudah kesakitan. Bahkan tangan kanannya yang tak cidera dengan sendirinya menangkap tangan Andik, menghalangi laki-laki itu mengurut.
"Ditahan bentar, setidaknya biar kamu bisa jalan dikit-dikit! Habis ini aku bawa kamu ke rumah sakit, kayaknya ini serius!" kata Andik mencoba menerangkan.
"Tahan ya!" ucapnya lagi. Hanis tak menjawab namun tangannya yang tadi mencengkram tangan Andik ia lepaskan perlahan.
Kembali, Andik mengurut dengan pergerakan lebih pelan dan sangat hati-hati, sebisa mungkin ia berusaha membuat Hanis tak merasakan sakit meski tetap saja terasa. Tangan Hanis tak lagi menghalangi, ia berusaha menahan sakit walau tangisnya tak surut malah semakin nyaring terdengar.
"Kecilin nangisnya itu," pinta Andik yang tak tega mendengar isak tangis Hanis.
"Sakit...." sahut Hanis di balik isak tangisnya.
“Iya aku tahu….” Balas Andik.
Setelah beberapa menit lamanya mengurut Andik meminta Hanis menggerakkan kakinya. Perlahan Hanis berusaha menggerakkannya, sakit yang terasa membuat dirinya tak kuasa merintih kesakitan.
Secara naluriah Andik bergeser maju, membantu wanita itu menggerakkan kakinya yang kiri. Kembali, ia menuangkan minyak urut dan berusaha mengurutnya sampai terasa lemas tak kaku seperti tadi.
"Coba gerakkan lagi," pinta Andik menyuruh Hanis.
Terus ia mengamati sewaktu wanita itu mencoba menggerakkan kaki kiri yang terasa sakit. Tak disangka Hanis mulai bisa menggerakkan kakinya walau masih dengan perjuangan. Kini Andik membantu Hanis berganti posisi, merentangkan tubuhnya kemudian meminta wanita itu menurunkan kaki dari kasur.
"Ayo aku bantu berdiri," ucap Andik. Sigap kedua tangannya merangkul tubuh Hanis dan membantunya berdiri.
"Coba jalan dikit bisa nggak!" seru Andik kembali meminta wanita itu melangkah.
Lumayan ada hasilnya, Andik membawa Hanis duduk di kasur lagi. Masih dengan posisi berdiri ia berbicara dengan nada tenang; nyaris tak ada perdebatan diantara keduanya bahkan perlakuan Andik terlihat hangat.
"Hanis itu bajunya kamu agak basah, apa nggak sebaiknya ganti baju dulu habis ini langsung ke rumah sakit!" kata Andik memberanikan diri mengusulkan.
Hanis tak menjawab ia terdiam beberapa saat sebelum meminta tolong Andik mengambilkan pakaian di dalam lemari. Bingung pakaian apa yang hendak dipakai Andik menoleh, bertanya lagi ke Hanis
"Pakai baju kaos ya?!" ucapnya, Hanis mengangguk saja.
Diambilnya kaos longgar lengan pendek dan bawahan celana longgar juga. Ia melangkah kembali ke sisi Hanis dan menyerahkan.
"Aku tunggu di luar ya," ucapnya melangkah pergi namun tak disangka tangan Hanis malah menghentikannya.
"Gimana aku mau pakai?!" ucapnya, memegang pergelangan tangan Andik.
Andik hanya diam, pandangannya diputar keluar kamar manakala muncul sebuah ide di otaknya. Detik kemudian ia melepaskan tangan Hanis dan melangkah keluar. Matanya menoleh kanan kiri mencari keberadaan seseorang yang bisa dimintai tolong. Bahkan ia memberanikan diri melangkah ke kamar sebelah, mengetuk pintu ragu-ragu. Sayangnya dari beberapa kamar yang ia ketuk tak ada satupun yang membuka pintu.
"Masak pada keluar, nggak ada satupun yang buka pintu" gumannya.
Syukurlah saat dirinya sudah putus asa melangkah lemas kembali ke kamar Hanis tiba-tiba seorang wanita keluar dari kamarnya yang berada diurutan nomor dua dari depan. Setengah berlari Andik menghampirinya, meminta wanita itu membantu memakaikan baju Hanis.
Andik berdiri di luar pintu sementara Hanis berganti pakaian yang dibantu oleh temannya. Sebentar saja wanita itu sudah keluar lagi, tak lupa Andik berterimakasih padanya kemudian menyelinap masuk.
"Ayo aku bantu jalan, aku sudah pesan taksi," ucap Andik, meraih Hanis dan memapahnya keluar dari kamar.
Wanita berhijab yang membukakan pintu muncul dari depan ia berhambur menghampiri mereka berdua; ikut membantu memapah Hanis sampai ke teras, sampai duduk di kursi. Ia juga tak langsung pergi melainkan menunggu sampai taksi datang. Lagi, ia membantu Andik memapah Hanis sampai masuk ke dalam taksi.
"Makasih Dita," ucap Hanis.
"Moga nggak ada yang serius," balasnya.
Tiba di rumah sakit Andik masih dengan sepenuh hati mengurus Hanis yang selalu membuatnya marah, tak pernah mendengarkan perkataannya selama ini. Dua orang perawat datang menghampiri dengan membawa kursi roda. Mereka membantu Hanis duduk kemudian mendorongnya hingga memasuki ruang IGD.
Andik menunggu di luar dengan setia, kecemasan nampak jelas di wajahnya yang letih. Melihat kursi tunggu agak sepi melangkah ia kesana, belum lama duduk teringatlah ia, lekas diraihnya ponsel dari saku celana dan menghubungi ibu Hanis yang memang menunggu kabar darinya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam," balas ibu Muawanah.
"Gimana Nak sama adikmu?" tanyanya lanjut, kekhawatiran jelas terdengar dari nada suaranya di ujung telepon.
"Nggak perlu cemas bu De, tadi sudah saya urut terus ini saya bawa ke rumah sakit biar dapat penanganan dokter!" tutur Andik menceritakan. Tak kuasa tangis ibu Muawanah terdengar jelas mendengar putrnya dibawa ke rumah sakit. Begitulah hati seorang ibu, langsung rapuh seketika. Cepat-cepat Andik melanjutkan; mencoba meredakan tangisnya yang membuat dirinya bertambah bingung.
"Bu De, tolong jangan nangis ... Insyaallah Hanis nggak kenapa-napa! Bu De sama Paman nggak perlu kesini, nanti gimananya saya hubungi lagi...." ucap Andik menjelaskan. Cepat memutuskan sambungan lantaran tak kuasa mendengar tangis ibu Muawanah.
"Makasih ya Nak! Hubungi bu De lagi masalah biaya rumah sakitnya ya Nak!" kata ibu Muawanah sebelum sambungan telepon diputus.
Cukup lama menunggu di luar akhirnya seorang perawat yang tadi menangani Hanis mendatangi dirinya. Menjelaskan jika wanita itu perlu perawatan lebih lanjut dan diperlukan pemeriksaan untuk mengetahui cidera yang dialami.
“Lakukan apa yang menurut dokter baik buatnya, Sus!” ucap Andik memutuskan.
Segera setelah Andik mengurus administrasi dan memilih kamar, Hanis di keluarkan dari ruang IGD setelah dilakukan pemeriksaan tadi. Kaki Andik datang menyertai mereka yang membawa Hanis ke kamar rawat inap. Baiknya perlakuan Andik dengan memilih kamar yang nyaman buat Hanis kendati ia bukanlah orang beruang dan wanita itu selalu melawan.
Saat Hanis sudah berpindah ke ranjang pasien dan hanya tinggal mereka berdua di kamar itu Andik melangkah mendekatinya, "Hanis, aku balik dulu ya bentar! Mau mandi, ganti baju juga!" ucapnya.
"Lama nggak?" tanya Hanis.
"Nggak lama insyaallah, apa kamu mau nitip sesuatu? Makanan mungkin?" seru Andik menawarkan.
"Terserah kamu aja sudah," jawabnya.
"Aku balik dulu ya bentar, ini ponselku khawatir kamu bosan!" kata Andik kemudian menyerahkan ponselnya ke Hanis. Kurang baik gimana lagi? Semoga Hanis bisa menilai kebaikan Andik yang ditunjukkan.
Detik berikutnya ia melangkah keluar segera dari kamar. Dengan langkah kaki cepat ia menyusuri lorong rumah sakit menuju pintu gerbang untuk menyetop ojek. Tidak langsung kembali ke rumah akan tetapi bertolak ke kost Hanis untuk mengambil motor barulah kemudian tancap gas segera menuju rumah.
Sesampainya di rumah Andik nampak tergesa-gesa lagi, pertanyaan Ilyas ia abaikan. Dengan mulut terbungkam ia meletakkan tas lalu keluar lagi dari kamar.
“Ada apa sama itu anak?!” gumam Ilyas dibuat cemas.
Andik berlari keluar rumah, ke halaman samping tepatnya depan kamarnya sendiri. Dengan jeli tangan Andik memilih daun sirih yang uratnya menyambung, juga akar sirih yang masih muda. Kenapa harus yang menyambung? Entahlah mungkin itu warisan dari sang ayah. Ia mengambil beberapa lembar daun dan batang akar sirih sebelum kembali masuk rumah. Halaman samping tepatnya depan kamar mereka berdua memang Andik jadikan kebun untuk koleksi tanaman herbal sebagai penunjang bisnis receh-recehnya. Naura tidak keberatan sama sekali dan Andik juga rutin membuatkan minuman herbal untuknya dan juga Ilyas.
"Buat apa Dik? Ada pasien baru?" kata Ilyas mencercanya dengan banyak pertanyaan namun laki-laki itu hanya menjawab dengan satu kata saja.
"Iya!" jawabnya sambil memanggang daun sirih dan batang akar muda yang diambil tadi hingga layu.
"Bukannya ini buat urat?" tanya Ilyas lagi. Mengintip apa yang dikerjakan Andik dari samping, sangat penasaran ia.
"Itu sudah tahu," sahut Andik, lanjut ia menumbuk semua yang sudah ia panggang sebentar di wadah plastik kecil menggunakan kepala ulekan.
“Siapa yang mau diurut, Dik?” tanya Ilyas tak bosan. Kali ini Andik tak menjawab.
Langkahnya masih buru-buru kala meninggalkan dapur dan juga Ilyas yang masih berdiri di sana. Ilyas berlari menyusul Andik yang memasuki kamar lagi, tak menjawab pertanyaannya yang terakhir. Di dalam sana Andik menuangkan minyak urut pada wadah plastik berisi tumbukan daun sirih dan batang akar muda dari daun sirih.
"Siapa Dik yang lagi kamu tangani?" tanya Ilyas mengulangi pertanyaan yang sama.
"Biasa, siapa lagi beban hidupku yang suka mancing amarah itu?!" jawab Andik akhirnya angkat bicara.
"Loh kenapa sama dia?" tanya Ilyas yang ikutan cemas.
"Habis jatuh, aku mandi dulu ya!" jawab Andik kemudian meninggalkan Ilyas.
Andik tak berlama-lama di dalam kamar mandi hanya beberapa belas menit saja ia sudah muncul di kamar. Segera ia berpakaian dan menunaikan sholat di dalam kamar. Ilyas duduk diam di tepi kasur, menunggu dan mengamati temannya yang nampak sibuk namun lelah. Selesai sholat Andik membuka lemar lagi mengambil sarung bersih, handuk bersih kemudian dimasukkan ke tas ransel kecil warna coklat. Peci yang ia kenakan juga dimasukkan ke sana menjadi satu dengan yang lain.
“Kayak orang mau minggat kamu, Dik!” seru Ilyas memperhatikan Andik yang sangat sibuk.
"Aku berangkat ya Yas! Kayaknya aku nggak balik malam ini!" ucapnya menimpali lalu mengambil wadah plastik di atas meja.
"Mau kemana kamu? Ke kosanya Hanis?!" tanya Ilyas lagi.
"Nggak, ke rumah sakit! Udah ya aku berangkat dulu!" jawab Andik dan berlalu dari kamar. Menyisakan kecemasan bagi Ilyas juga terlebih jika Naura mengetahuinya.
Keluarlah Ilyas dari kamar secepatnya, ia setengah berlari menuju teras hanya demi mengantar Andik yang nampak letih namun tetap sibuk dan peduli pada Hanis.
“Hati-hati Dik, bawa motornya!” kata Ilyas mengingatkan manakala Andik keluar dari garasi dan mulai berkendara keluar rumah.
“Iya Yas, tolong bilang ke Mba aku nggak balik malam ini!” kata Andik mengulangi pesannya, Ilyas mengangguk segera. Pandangannya sama sekali tak teralihkan hingga motor merah itu melewati pagar pintu dan tak terlihat lagi.
Baru saja Ilyas hendak menjatuhkan diri di kursi kala Naura menuruni tangga, ia menyapa Ilyas dan menanyakan keberadaan Andik yang tak nampak bersamanya. Wanita itu khawatir keduanya tengah bersitegang seperti dulu.
“Loh Andik mana kok nggak kelihatan?” tanya Naura, melangkah mendatangi Ilyas di kursi ruang keluarga.
“Baru aja keluar lagi Mba, kasihan anak itu….” Jawab Ilyas sekaligus meluapkan apa yang ia rasakan saat itu.
“Kenapa sama Andik?” tanya Naura seketika dilanda kecemasan.
Cepat-cepat ia duduk di samping Ilyas, mendesak laki-laki itu agar membuka mulut. Menjelaskan apa yang sedang dialami Andik sekarang. Tangannya tak sabar mengguncang lengan Ilyas, menuntutnya.
“Itu Mba … si Hanis….” Ungkap Ilyas dengan nada datar.
“Hanis?! Kenapa lagi ma itu anak?!” ujar Naura meninggi, terdengar agak emosi kala nama Hanis dikaitkan.
“Iya Mba … katanya jatuh, terus sekarang Andik sibuk ngurus dia! Kalo lihat sikap Hanis yang berani ke dia aku ini kasihan Mba….” Ungkap Ilyas lebih.
“Semoga anak itu sadar lewat musibah ini, tapi kalo sikapnya nggak berubah kasihan juga Andik!” kata Naura menanggapi.
“Ayo Mba kita jenguk nanti habis sholat isya,” ajak Ilyas.
“Ok ayo! Kamu tahu dimana sekarang anak itu dirawat?” tanya Naura, Ilyas menggelengkan kepala.
“Coba kamu tanya ke Andik habis ini,” pinta Naura sebelum menyambar remot televisi di meja. Berdua dengan Ilyas ia duduk santai menonton film di saluran luar.
“Jadi sepi ya Mba kalo nggak ada Andik!” seru Ilyas tiba-tiba.
Naura menoleh, “Iya, biasanya ada aja yang mau dibikin perdebatan sama dia….” Sahut Naura, sama ia merasakan suasana rumah seketika berubah tanpa kehadiran lelaki itu.
“Coba kamu kabari Ilham, siapa tahu dia mau ikut juga jenguk Hanis!” sambung Naura lagi.
Sementara Naura memusatkan pandangannya ke layar televisi Ilyas tak jauh dari sana sedang menghubungi Ilham. beberapa kali mencoba panggilan keluar namun langsung tersambung ke operator. Lanjut Ilyas menghubungi Veny, sayangnya hasil yang didapat juga sama. Bukan operator yang menjawab namun tak kunjung diangkat
sampai Ilyas akhirnya menyerah.
“Ilham sama Veny nggak ada yang ngangkat,” kata Ilyas memberitahu Naura.
“Ya sudah kita berdua aja, mungkin mereka lagi nggak pegang hp!” sahut Naura.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 224 Episodes
Comments
Mama amiinn Asis
kenapa cerita andrik sama hanes aja kurang seruu,,,,,thor aku maunya cerita hasan sama naura
2021-01-14
0
Mama amiinn Asis
waduu,,,,thor sangat d sayangkan kalau tidak jodoh tapi hasue d jodoh
2021-01-14
0
Almeera
mas hasan gk nlpon lagi ya ? kangen aku sama keromantisan nya
2021-01-09
0