CAPTER 12
TIBA-TIBA
Di tempat lain di waktu yang bersamaan Andik masih disibukkan oleh Hanis. Ia baru datang lagi sehabis keluar ke supermarket
untuk membeli minuman botol, juga gelas plastik, beberapa makanan ringan dan
lainnya. Tadi sehabis berbelanja ia juga singgah sebentar di warteg membeli dua
bungkus makanan untuknya juga untuk Hanis.
"Darimana lagi?" tanya Hanis yang tak nyaman seorang diri di rumah sakit. Terlebih Andik tak pamit henda pergi keluar dalam waktu yang terbilang lama.
"Keluar bentar soalnya tadi makanannya nggak kamu makan," jawab Andik.
Mengeluarkan semua yang dibeli dari kantong kresek putih. Untuk makanan ringan
ia simpan di lemari kecil sedangkan dua botol minuman di taruh diatasnya. Selanjutnya ia membuka nasi yang ia beli tadi dan diserahkan ke Hanis.
"Ini makan, kamu pasti lapar!" ucapnya, menyodorkan makanan yang ia taruh di
piring yang tadi ia beli juga bersama dengan makanan dan minuman.
Selagi Hanis menyantap makanan ia membuka botol minuman, dituangkan ke gelas yang tadinya sudah ia cuci bersih di
wastafel.
"Ini airnya ya!" ucap Andik, menaruh di dekat botol minuman.
Makanan untuk dirinya sendiri ia bawa ke
sofa kecil di sisi kanan ranjang. Ia menyantap makanannya seorang diri disana, menjaga jarak dari Hanis khawatir wanita itu tak suka bersama dirinya. Andik menghindar dari yang namanya perdebatan lantaran ia sendiri sebenarnya sangat lelah setelah seharian bergerak sana-sini dan belum juga merehatkan tubuhnya meski hanya sejenak saja.
“Taruh dimana ini?” tanya Hanis yang sudah menyelesaikan makannya.
“Taruh udah disana, habis ini aku ambil!” jawab Andik, menunjuk lemari kecil dekat
ranjang dimana segelas air putih sudah ia tuangkan tadinya.
Belumlah habis punya Andik kala suara gagang pintu di putar. Andik menoleh, ternyata Ilyas dan Naura muncul setelahnya.
Mereka melempar senyum, menyapa keduanya serta melambaikan tangan. Sambil
berjalan diam-diam Ilyas mengamati kamar yang dipilih Andik. Rasa simpati semakin besar ia rasakan, walau tak tahu berapa bulanan yang didapat namun ia yakin biaya rumah sakit itu tak murah jika melihat kelas kamar yang diambil. Tak terlalu lebar sebenarnya namun kamar itu hanya memiliki satu bed dengan kamar mandi di dalam. Ada televisi serta sofa kecil sebagai pelengkap. Ditambah rumah sakit itu adalah rumah sakit swasta.
"Ya Allah Dik, kalo kebaikanmu nantinya masih dibalas kasar sama Hanis emang dia
keterlaluan," batinnya berucap.
Naura mendatangi Hanis sementara Ilyas
memilih duduk bersama Andik yang tetap melanjutkan makanannya sampai habis.
Beranjak Andik sambil membawa piring dan mengambil piring milik Hanis. Setelah
membuang bungkus di tempat sampah dan mencuci kembali piring ia bergabung
dengan Ilyas. Tak lupa ia membawa minuman botol dan juga dua bungkus cemilan untuk Ilyas.
"Gimana katanya dokter?" tanya Ilyas.
"Masih nunggu hasil ronsennya besok," jawab Andik.
"Semoga aja nggak ada yang serius, Dik!" balas Ilyas.
Di tepi ranjang obrolan dua wanita itu tak jauh berbeda, Naura bertanya bagaimana
Hanis bisa terjatuh. Wanita muda itu pun bercerita di soare hari waktu kejadian
tersebut dan bagaimana temannya menghubungi ibunya hingga akhirnya datanglah Andik sebagai pengurus dirinya.
“Andik itu pintar ngurut, gimana habis diurut sama dia?” tanya Naura sambil melihat lengan Hanis.
“Lumayan Kak, ini sudah bisa digerakkan meski masih sakit rasanya!” jawab Hanis,
menggerakkan tangannya.
“Semoga aja nggak ada yang serius,” ucap Naura.
“Iya Kak, ini aku sudah bosan tinggal di sini!” sahut Hanis.
Lama mereka di sana sampai Ilyas mendatangi Naura, mengajaknya balik lantaran ia ingin istirahat lebih awal. Terpaksa Naura pamit segera, Andik mengantar keduanya sampai lobi rumah sakit. Sambil berjalan Ilyas tiba-tiba berbisik ke telinga Andik, "Dik, kalo ada masalah sama biaya rumah sakit, kamu telfon aku ya," ucapnya.
Andik cukup tersentak, ia menepuk pundak Ilyas. Berterimakasih lantaran lelaki itu
peduli padanya, dengan nada rendah ia menjawabnya. "Iya, inshallah!."
Setelah menunggu kepergian Ilyas dan Naura
ia kembali lagi ke kamar. Langkahnya tenang mendatangi Hanis yang sedang menonton televisi. Tanpa diminta ia berjongkok di depan lemari kecil dekat ranjang, mengambil sebungkus makanan ringan. Dibukanya lalu diserahkan ke tangan Hanis.
"Ini biar nggak bosen," ucapnya.
Habis berkata demikian ia melangkah
meninggalkan Hanis, merebahkan dirinya di atas sofa kecil yang sesak. Tak butuh
waktu lama bagi dirinya terlelap namun tak lama. Tiba-tiba Andik terbangun, teringat
dia dengan ramuan yang ia buat dan belum diurutkan. Buru-buru Andik menurunkan
kakinya, melangkah cepat ke Hanis dan mengambil kotak kecil yang diletakkan di
meja lemari.
"Kamu ini sakit apa gimana sih Nis? Belum lama udah habis sebungkus kripik!" seru
Andik mengetahui makanan yang ia kasih tinggal bungkusnya saja.
"Yang sakit kan bukan mulutku," sahut Hanis namun pandangan terpusat ke arah televisi.
Andik tak membalas sebaliknya ia meraih
tangan kiri Hanis, direntangkan ke pahanya lalu membuka lilitan gip untuk sementara
waktu. Segera setelah terbuka ia membalurkan racikannya menyeluruh di area yang tak terlalu merah.
"Kenapa mau diurut lagi?!" tanya Hanis.
"Udah nggak usah banyak nanya, lihat hasilnya besok pagi!" sahut Andik, mulai
bergerak pelan mengurut lengan Hanis.
Tak seperti tadi sore kini wanita itu bisa
menahan rasa sakit walau terkadang suara rintihan masih terdengar pelan dan Andik akan mengurangi tekanannya. Agak lama hingga intensitas rintihan kesakitan tak sering terdengar Andik menyudahi. Membungkus kembali lengan itu sebelum berpindah ke pinggul atas sebelah kiri.
"Hanis, miringkan badanmu!" perintah Andik.
Meski enggan Hanis tetap bergerak mengganti posisi rebahannya ke posisi miring. Kedua tangan Andik bergerak menyingkap pakaian Hanis termasuk celana yang dikenakan, ditarik molor ke bawah sedikit. Sentuhan tangan Andik menimbulkan rasa aneh dirasakan oleh wanita itu. Tanpa
sadar mulutnya mengerang pelan, Andik menghentikan gerakannya.
"Kenapa, Nis?" tanyanya rendah.
"Nggak apa-apa," jawab Hanis tersadar kembali.
"Inshallah nggak bakal sesakit kayak yang tadi sore asal ini nggak serius," lanjut Andik sebelum memulainya lagi.
Mulut Hanis terkunci rapat kendati sesuatu
yang dirasakan tetap tak enyah, jika tadi terasa seperti geli kini malah gelombang
panas menghampiri. Bahkan kini rasa sakit yang dirasakan malah tak terasa lagi seiring gelombang panas menyelimuti sekujur tubuh; rona merah juga menutupi wajah yang ia sembunyikan.
“Aku mau ke kamar mandi,” ucap Hanis, tiba-tiba saja ia terasa hendak pipis.
Andik menyudahi, ditariknya lagi celana itu
ke atas hingga menutupi kulit. Kemudian membantu Hanis turun dari ranjang dengan sepenuh hati hingga masuk ke dalam kamar mandi.
“Bisa kan?” tanyanya memastikan.
“Emm….” Jawab Hanis.
“Apa nggak sekalian sikat gigi sama cuci muka?!” sambung Andik lagi.
Belum juga dijawab Andik berlari keluar,
mengambil apa yang ia simpan di lemari lalu kembali lagi ke kamar mandi yang belum ditutup. Segera ia serahkan botol sabun cair, odol, sikat gigi dan juga handuk.
“Aku tunggu di luar, hati-hati ya!” ucap Andik kemudian keluar dari kamar mandi, tak
lupa ia menutup pintu rapat-rapat.
Tak seberapa lama Hanis mendorong pintu dari dalam hingga terbuka lebar. Sigap, Andik mendatangi Hanis yang kesulitan berjalan. Handuk di tangan ia ambil kemudian bergerak ke sisi kanan wanita itu dan detik berikutnya ia mengangkat tubuh Hanis tanpa persetujuannya, ia membawanya segera ke ranjang. Dengan hati-hati Andik menidurkan tubuh Hanis, wanita itu hanya diam menghayati jantungnya yang kini berdetak kencang.
“Sudah tidur,” ucap Andik menyadarkannya kembali. Memutar bagian kepala agar terangkat sedikit. Kemudian tangannya menarik selimut menutupi separuh tubuh Hanis dan hendak mematikan televisi tapi segera dicegah oleh wanita itu.
“Aku nggak ngantuk, aku mau nonton tv!” ucapnya, mengambil remot dari tangan Andik.
“Ohh….” Seru Andik, hendak beranjak namun dicegah lagi oleh Hanis.
Tak ada yang memerintah dengan sendirinya
tubuh Hanis bergeser ke sisi kiri ranjang, berikutnya ia menyuruh laki-laki itu menemani dirinya menonton televisi. Tangannya memberi isyarat dengan menepuk sisi ranjang yang kosong.
Begitu halnya Hanis tadi Andik seolah terhipnotis, dirinya berjalan ke sisi kanan ranjang lalu merangkak naik merebahkan tubuhnya disamping Hanis. Pandangan Hanis mulai teralihkan pada layar televisi saat
drama kesukaannya telah diputar. Hampir tiap malam ia dan teman-teman di kost menonton drama yang sedang viral diperbincangkan tersebut. Keseriusan Hanis
menatap layar membuat Andik keheranan.
“Film apa sih ini?” ucapnya mengganggu konsentrasi Hanis.
“Ini drama Korea, seru banget!” kata Hanis, tak menoleh ke Andik.
“Ini mah filmnya cewek, nggak nyambung aku!” lanjut Andik, ia hendak turun dari
ranjang namun kembali dicegah oleh Hanis.
“Tetap disini,” perintahnya.
Andik yang merasa letih setelah pontang
panting kesana kemari akhirnya menurutinya. Ia sandarkan kepalanya ke bagian atas kasur yang dinaikkan, menatap layar televisi walau tak bersungguh-sungguh menonton. Dalam hitungan menit saja matanya mulai terpejam, nafasnya perlahan mengambang di udara. Hanis masih tak mengalihkan pandangan hingga jedah iklan, menolehlah ia ke samping.
“Cepat banget ini orang tidurnya,” guman Hanis, tangan kanannya berusaha menyingkap selimut, menutupi tubuh Andik hingga perut.
“Emmm….” Andik berguman manakala merasakan sesuatu menyentuh dirinya, tangan kanannya tanpa sadar menyambar tangan Hanis. Menariknya hingga wanita itu menyandarkan kepala sejajar dengannya. Kembali perasaan aneh itu muncul, dengan sendirinya Hanis menoleh ke samping. Dipandangnya wajah Andik yang sudah terlelap, tak disadari tangan kirinya yang masih merasakan sakit bergerak pelan; menyentuh pipi laki-laki itu dan mengusapnya pelan.
Tak ada kata yang keluar dari mulutnya hanya
tatapan sendu saja. Jaraknya yang terlalu dekat membuat Andik merasakan hembusan hangat nafas Hanis. Tiba-tiba saja ia tersentak, matanya terbuka seketika yang langsung dihadapkan pada tatapan Hanis.
Serasa terkunci keduanya saling menatap
dalam kebisuan yang tercipta, suara televisi yang sedang menyala tak terdengar
lagi. Hanya suara hembusan nafas dari hidung yang mampu didengar oleh keduanya.
Andik mengedipkan mata sekali kemudian tanpa ia sadari wajahnya terdorong ke
depan, bergerak maju hingga tak berjarak lagi.
Seakan mengerti kedua mata Hanis terpejam
dengan sendirinya, menyambut sebuah kecupan lembut serta hangat mendarat di
keningnya. “Ayo tidur, aku capek banget,” ucapnya setelah kecupan itu terlepas.
Tangan kiri Hanis yang tadinya menempel di pipi Andik bergerak pelan. Dimatikannya televisi dengan remot yang berada di sisi kiri tubuhnya.
Masih dalam posisi saling menatap keduanya
mulai memejamkan mata, tubuh Andik berganti ke posisi miring menghadap ke Hanis sedangkan tangan kanannya melingkar di perut wanita itu.
Masih di seperempat malam kala Andik
tiba-tiba terbangun, perlahan ia membuka mata yang disambut oleh wajah Hanis.
Dalam keadaan setengah sadar ditatapnya wajah Hanis yang terpejam, tangan Andik
yang setia melingkar ia lirik kemudian. Perlahan ditarik tangan itu, Hanis menggeliat pelan menyentak Andik sehingga terjaga sepenuhnya. Laki-laki itu turun segera dari ranjang yang tak begitu lebar, langkahnya ia seret menuju kamar mandi.
Suara gemericik air dari dalam kamar mandi
membangunkan Hanis dari tidur lelapnya, kepalanya seketika dipalingkan ke samping; Andik tak ada lagi di situ. Tangan kanan Hanis bergerak mengusap matanya yang masih terasa mengantuk, bersusah payah ia menggerakkan tubuh untuk bersandar namun suara pintu dibuka membuatnya kembali memejamkan mata, pura-pura lelap tidur.
Tak tahu jika dirinya telah membuat Hanis
terjaga Andik dengan langkah ringan berjalan menuju sofa kecil. Dibukanya tas warna coklat miliknya dan mengeluarkan sarung yang ia bawa. Dengan posisi membelakangi Hanis ia memasang sarung yang dari kepala menurun hingga pusar dan digigit dengan mulut untuk menahan sarung itu. Sementara kedua tangannya menarik celana yang ia pakai hingga melorot ke bawah.
Bergantian kedua kaki Andik meloloskan diri
dari celana, sebelum merapikan sarung ia pungut terlebih dulu celana tersebut. Wanita di belakangnya yang sudah terjaga samar-samar mengamatinya dalam diam,
Andik yang tak tahu merapikan sarung dengan santai lalu mengambil peci yang
ditaruh di atas tas coklat. Ia nampak kebingungan mencari sesuatu yang bisa
dibuat alas untuk dirinya sholat.
"Kok aku nggak bawa sajadah ya?!" gumannya.
Alhasil ia pun sholat di atas lantai lantaran tak menemukan apa-apa yang bisa dibuat alas. Gatal kaki Hanis untuk turun saat menyaksikan lelaki itu sholat di lantai, diam-diam ia juga mengamati di dekatnya saat kedua bola matanya menangkap selimut yang mereka pakai lekaslah ia meraihnya.
Perlahan Hanis mencoba bangkit, turun dari
ranjang dengan membawa selimut. Langkahnya tertatih-tatih kala berusaha
mencapai Andik. Ia menunggu Andik yang masih dalam posisi sujud untuk bisa
menggelar selimut itu di lantai. Begitu laki-laki itu terbangun dari sujud segera ia berusaha membungkuk dan menggelar selimut tersebut walau tak rapi hasilnya.
Ia tak menunggu Andik sholat melainkan
kembali ke tempat dimana ia merebahkan tubuhnya, mengamati Andik yang nampak
khusyuk dalam salatnya hingga akhir. Ia tak langsung bangkit, tak menyiakan waktu hanya dengan menunaikan sholat isya' saja melainkan menambah lagi dengan sholat malam dan bermunajat sejenak.
Selesai dengan semuanya Andik perlahan
bangkit, kedua tangannya meraih selimut itu kemudian diselempangkan ke pundak
kiri. Sebelum mengembalikan selimut ia
meletakkan dulu peci putih ke atas tas dan barulah bertolak menuju ranjang dimana Hanis masih terjaga.
Andik melempar senyum hangat kala berjalan
menghampiri, Hanis membalas senyuman itu walau masih nampak ragu-ragu.
"Kenapa bangun? Ini masih malam, sana tidur lagi!" ucap Andik sambil menyelimuti kembali tubuh Hanis.
"Aku nggak ngantuk lagi," sahut Hanis yang memang terjaga penuh.
"Nonton film yuk! Siapa tahu jam segini yang diputar film horor atau thriller!" Imbuh Hanis dan meraih remot televisi yang berada di sampingnya.
Ia juga meminta Andik mematikan sebagian
lampu dan menyuruh laki-laki itu kembali ke ranjang menemaninya menonton film. Dengan patuhnya Andik berjalan ke sisi ranjang, naik segera dan merebahkan tubuhnya di sisi Hanis.
"Kamu ini sakit apa gimana?!" seru Andik menoleh ke Hanis dan juga mengamati
wanita itu.
Dengan pandangan fokus ke depan menatap layar televisi Hanis menjawab, "Yang sakit tangan kiriku sama kaki, masak aku nggak boleh nonton televisi?! Aku kan nggak sakit mata!." Jawaban lugas Hanis tak pelak membuat geram Andik, telinganya serasa panas mendengarkan jawaban itu.
"Ini anak benar-benar berani, nggak ada sopan-sopannya sama yang lebih tua!" sahut Andik terpancing emosi. Hanis mengerutkan jidadnya mendengar omelan Andik, seketika itu juga ia menoleh menatap tajam ke arah laki-laki di dekatnya tersebut.
"Letak kesalahanku dimana? Aku kan nggak demam, nggak sakit seluruh badan!"
lanjut Hanis membalas omelan Andik.
"Kamu ini kebiasaan ngebantah aku ya?! Ngomong sama yang lebih tua itu sopan dikit
napa?!" balas Andik menyentak Hanis. Mukanya yang tadi kalem berubah garang seperti biasanya.
Hanis tak menjawab ia hanya menatap Andik
beberapa saat lamanya sebelum mengalihkan perhatian pada layar televisi lagi. Kali ini ia tak membalas, malas dia buat bersitegang di malam itu.
Andik pun demikian ia tidak memperpanjang
walau hatinya masih menyimpan amarah, ia menyandarkan tubuhnya menatap layar
televisi menemani Hanis menonton film. Tiba-tiba tangan kanan Hanis bergerak ke
paha Andik, menarik sarung laki-laki itu.
"Emm...." guman Andik malas menanggapi.
Kembali tangan Hanis menarik sarung lantaran hanya ditanggapi begitu saja oleh laki-laki tersebut. Akhirnya Andik terpancing
juga, mulutnya terbuka meski enggan bersuara.
"Ada apa? Kalo takut jangan ditonton!" seru Andik. Hanis menoleh namun tangannya belum juga dilepas.
"Cemilannya masih ada nggak?" tanyanya dengan suara sok manis.
"Cemilan?! Kenapa?" tanya Andik menyahutinya.
"Nggak enak nggak ada cemilan pas nonton film," jawab Hanis dengan maksud lain
menyuruh Andik mengambilkan cemilan di rak.
Dengan malas Andik turun dari ranjang,
tangan Hanis yang masih memegang sarung seketika dilepas. Andik mengambil sebungkus cemilan kemudian kembali ke sisi Hanis dan menyerahkan cemilan itu setelah ia buka sebelumnya.
"Nih Tuan Putri!" ucap Andik, kembali ia menyandarkan tubuhnya.
Hanis tak membalas, tatapannya fokus ke
layar televisi menonton film yang diputar. Sementara tangan kanannya tak henti
bergerak mengambil cemilan dan menghantarkannya ke mulut. Hingga jedah iklan bola mata Hanis melirik ke samping, sadar akan sesuatu tangannya tiba-tiba
mengambil cemilan dan disuapkan ke mulut Andik.
Andik cukup kaget dengan itu namun mulutnya terbuka juga. Ia pikir itu hanya sekali namun tebakannya keliru, sambil menatap layar tangan Hanis bergantian menyuapi mulutnya dan juga mulut Andik hingga cemilan itu habis.
"Kenapa lagi?" tanya Andik kala Hanis celingak-celinguk.
"Itu ... Tisu...." ucapnya, masih celingak-celinguk.
"Tisu?! Sorry aku lupa sama tisu!" seru Andik, segera bungkus cemilan yang sudah kosong ia sambar dan membuangnya ke tempat sampah.
Berhubung tak ada tisu akhirnya Hanis
menjilati jemarinya, Andik melotot menyaksikan Hanis melakukan hal itu.
Mulutnya tak dipandu langsung bersuara. "Ihh joroknya kamu ini, Nis!" sentak Andik.
"Habisnya mau turun cuci tangan malas!" sahut Hanis membela diri.
"Gini aja dibilang jorok, kayak nggak pernah ngelakuin!" imbuhnya lagi.
Andik hanya geleng-geleng kepala
menanggapinya, sementara Hanis sudah tidak peduli lagi. Fokus kembali pada yang
ia tonton. Andik yang sebenarnya tak berselera berjuang agar tak tumbang walau
tak jarang ia terlelap dan kembali terjaga saat tangan Hanis mencengkram sarungnya setiap adegan menegangkan diputar.
"Hanis, jangan ditarik terus sarungku entar melorot!" ujar Andik kala tangan Hanis
kembali mencengkram.
Wanita itu menoleh, disandarkan kepalanya
yang tadi setengah tegak sambil terus menatap layar televisi. Film sudah berada
di ujung cerita saat kantuk tak kuat ia tahan, Hanis yang kepalanya bersandar bergerak mendekat ke bahu depan Andik; mencari posisi yang nyaman untuk bisa lelap. Jika tadi ia yang berjuang agar tetap terjaga kini situasinya terbalik, mata Andik cengar setelah menegur Hanis tadi.
“Tadi serius, sekarang tumbang juga,” guman Andik.
Kedua matanya melirik ke kepala Hanis yang
sudah bersandar ke bahunya dengan nyaman, senyum manis terjalin saat itu juga. Dengan sendirinya tangan kirinya bergerak membebaskan diri, terangkat ke atas menopang kepala Hanis sambil menariknya lebih rapat. Samar-samar Hanis terjaga
namun ia tak membuka mata, dengan mata terpejam ia merasakan hangat tubuh Andik
mendekapnya.
"Coba gini terus nggak membantah pasti aku juga nggak bakal keras ke kamu," guman Andik yang didengar sepenuhnya oleh Hanis.
Andik tak meneruskan apa yang ia tonton,
tangan kirinya meraba-raba sisi samping Hanis untuk mencari remot. Kepalanya
setengah terangkat mencari keberadaan remot, saat sudah ditemukan tangannya
yang sambil menopang kepala Hanis bergerak lagi meraih remot yang jaraknya
cukup jauh dari jangkauan. Mau tidak mau hanya ada satu cara yakni sedikit mengangkat tubuhnya dan mengambil dengan tangan kanannya. Perlahan Andik
bangkit hingga tubuhnya setengah menindih Hanis kemudian tangan kanannya ia gerakkan untuk meraih remot. remot sudah di tangan dan segera dimatikan saat mata Hanis tak betah terpejam lagi.
"Sudah habis filmnya?!" ucapnya bertanya padahal tahu film itu belum juga berakhir.
Bola mata Andik bergerak turun sehingga
bertemu dengan kedua bola mata Hanis yang juga mantapnya. Saat itu juga senyum mengembang di wajah Hanis.
'Deg'
Jantung Andik berdebar kencang seketika
hingga tak sadar remot yang dipegang terlepas begitu saja mengenai tubuh Hanis
namun wanita itu abai saja. Masih saling menatap saat tiba-tiba tangan kanan
Hanis bergerak, mendarat ke pipi Andik. Di awal tangan itu hanya menempel saja
namun perlahan mengusap lembut; memancing rasa aneh melanda laki-laki itu.
Dalam kesadaran penuh tangan kanannya menyusul tangan Hanis, mendarat lembut di
pipi halus wanita itu.
"Hanis...." panggilnya dengan nada berat, nyaris tak bisa diakhiri.
Hanis tak menjawab namun tetap tak
memalingkan wajahnya, menatap Andik yang sama-sama menatap dirinya. Untuk kedua
kalinya suara berat Andik menyebut nama Hanis sembari bergerak kian mendekat.
“Hanis….”
Sampai detik itu barulah jantung Hanis
berdebar kencang, panas yang sama yang pernah ia rasakan hadir lagi. Kali ini
matanya tak terpejam masih saling menatap sementara nafas mereka mulai tendengar berat. Terus Andik bergerak mendekat hingga sentuhan hangat mendarat di bibir Hanis yang sudah terasa hangat. Kedua mata Hanis terpejam dengan sendirinya, menyambut sentuhan itu dengan sepenuh hati. Mulanya ia hanya diam menerima namun dengan sendirinya memberi balasan sehingga sentuhan Andik semakin berkembang.
Entah apa yang membuat mereka terhipnotis
padahal sangat sulit bagi mereka sepertinya menjadi akur. Namun malam itu yang
terlintas lebih dari kata akur, hubungan saudara juga tak nampak.
Cukup lama adegan itu berlangsung, sambutan Hanis membuat Andik tak mau menyudahinya. Pengalaman pertama justru membuatnya lupa diri dan hilang kendali, sepenuhnya ia menganggap Hanis sebagai wanita bukan lagi sebagai adik sepupu. Saat nafas tak menemukan jalan keluar akibat
rongga hidung saling terhalang barulah sentuhan itu terlepas.
"Mas...." ucap Hanis membuat hati Andik semakin berdebar. Panggilan itu tidak pernah
terlontar dari mulutnya terlebih mereka memang jarang bertemu dulu sebelum Hanis kuliah.
"Emm...." guman Andik.
"Tidur...." ucap Hanis, memalingkan muka ke sisi kanan. Menyembunyikan rona merah di kedua pipi padahal Andik sudah menangkapnya.
Tubuh Andik yang tadi masih bertahan di atas
tubuh Hanis berangsur ke samping, bersandar seperti semula. Tangan kirinya juga kembali terangkat, menarik kepala Hanis ke bahu. Dengan posisi agak miring Andik memejamkan mata menyusul Hanis yang lebih dulu menutup mata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 224 Episodes
Comments
Muda MACMUDAH
ceritanya gimana ni thor katanya saudara kok bs berciuman thor🙏🙏🙏
2022-11-07
0
Cha_cha"🐾
Naaaahh hilang beneran kan si naura...
2020-12-28
2
Basri Rese
astagfirullah,ini gimna sih baru aj sholat eh gk lama mlh trgoda setan.zina it bukn muhrim tp mlh ciuman
2020-12-24
1