CAPTER 5
MASIH DIKAITKAN
"Nona, waktunya pulang!." Seperti biasanya Angga selalu mengingatkan walau sebenarnya Naura sudah hafal kapan waktunya ia pulang.
"Iya makasih, Angga kamu pulang duluan ini aku lembur soalnya aku sudah janji besok ke mereka," tutur Naura, Lisa di sampingnya tak bersuara hanya fokus pada pekerjaan.
"Nanti biar Andik atau Ilyas yang jemput aku," imbuh Naura agar laki-laki itu tak mengkhawatirkan dirinya dan menunggu sampai ia selesai.
"Ohh ... Kalo gitu saya balik dulu ya Nona!" sahut Angga, keluar ia dari ruang kerja Naura secepatnya.
Sewaktu Angga sudah tak terlihat giliran Lisa yang bersuara, tak sama dengan Angga tapi intinya masih satu. Ia memberanikan diri bersuara dan meminta ijin untuk pulang lebih
cepat nanti setelah gaun itu selesai.
"Mba, kira-kira ini selesainya jam berapa ya?!" tanya Lisa.
"Kenapa Lis?" tanya Naura balik.
"Itu Mba ... Malam ini Rian ngajak saya ke rumahnya dia, ketemu sama orang tuanya," ungkap Lisa.
"Wahh sudah ke tahap serius ini," seru Naura. Lisa hanya tersipu tak menanggapinya.
Tak nyaman jika membebani wanita itu dengan banyak tugas akhirnya Naura membagi tugas dan dia mengambil pekerjaan yang lebih banyak dan juga rumit.
Tepat jam enam lebih apa yang dilimpahkan Naura ke Lisa terselesaikan. Setelah mendapat ijin pulang lebih dulu ia segera pergi meninggalkan Naura seorang diri di ruang kerjanya, menyelesaikan gaun pengantin.
"Mba saya duluan," ucapnya, setelah mengambil tas yang berada di meja bawah.
"Ya ... Salam buat Rian ya!" sahut Naura, menoleh ke arah pintu dimana Lisa berdiri di sana. Wanita itu mengangguk lalu menghilang di balik pintu dalam sekejap mata.
Di bawah Rian sudah menunggu di dalam mobil saat matanya menangkap sosok Lisa keluar dari dalam butik. Wanita itu singgah sebentar ke dua security yang baru beberapa menit lalu datangnya. Ia memberi tahu jika Naura masih di atas.
"Pak, Mba masih di atas!" ucapnya singkat dan padat.
"Tumben Mba?" tanya salah satu dari mereka.
"Iya lembur Pak, soalnya besok yang pesan bakal ke sini!" jawab Lisa lagi.
"Duluan ya Pak!" pamit Lisa, tak sabar ia ingin segera mendatangi mobil Rian yang sudah parkir cantik di samping mobil Naura. Jalannya juga dipercepat setelah menuruni undakan butik. Tangannya mengetuk kaca mobil samping, Rian menoleh dan membukanya segera.
"Maaf agak lama," ucap Lisa begitu duduk di kursi samping pengemudi.
"Santai, sudah siap ketemu sama Mama Papa?!" Rian balik bertanya, kesedar iseng saja dia.
Lisa menjawabnya dengan senyuman singkat berikutnya ia membuka tas warna coklat milo dan mengeluarkan wadah make-up dari sana. Rian sendiri sudah menjalankan mobil
keluar dari pelataran butik sementara Lisa mengecek kembali dandanannya.
"Sudah cantik," seru Rian, menoleh ke samping melihat Lisa yang belum kelar dengan ritual make-up.
"Ini juga sudah kok!" sahut Lisa, menutup bedak dan menaruhnya lagi. Rian tersenyum lebar, dicubitnya dagu Lisa tapi ta menoleh. Pandangannya tetap fokus ke depan.
Di tempat lain Angga yang baru saja sampai di rumah setelah tadi masih mengobrol sebentar dengan Andik dan Ilyas langsung melempar tas ke kasur. Tergesa-gesa ia kala keluar kamar dan memasuki kamar mandi. Namun baru saja membuka atasan ibunya memanggil.
"Nak, hpnya bunyi!" teriak ibu Gufro memberitahu Angga.
Angga yang sudah kadung membuka baju atasan enggan untuk keluar lagi dari kamar mandi. Ia menjawab dengan suara lantang dari dalam meminta ibu Gufro mengangkat telepon masuk itu.
"Dari siapa Bu?" tanyanya.
"Nggak tahu ibu!" sahut ibu Gufro dari ruang keluarga.
"Tolong angkatin Bu!" pinta Angga.
Ibu Gufro berlari ke kamar putranya segera setelah diminta, tangannya sigap mengeluarkan ponsel dari dalam tas bagian depan. Sebuah nama kontak yang tak biasa terpampang, kelopak matanya melebar dari ukuran normal karena kaget namun senyumnya malah tersemat.
"Kok aku diabaikan? Chatku juga nggak dibalas! Aku sudah beli tiket penerbangan...." kata Lusi meluapkan emosi yang tertahan, namun nadanya merendah di ujung kalimat. Ya dari kemarin Angga mengabaikan dirinya, untuk alasan kenapa hanya Angga yang tahu. Namun yang pasti laki-laki itu hanya ingin menggoda Lusi saja, ia berencana akan
menghubungi wanita itu nanti sebelum ia tidur.
Ibu Gufro kebingungan hendak menjawab apa, mulutnya juga membeku tak bersuara walau sepatah kata saja. Lusi yang sudah tak bisa menahan emosi kembali meluapkannya, mengeluarkan unek-unek yang ingin ia sampaikan.
"Sebenarnya kamu ini serius nggak sih sama aku? Apa kamu sudah dapat yang lain di sana?!" kata Lusi dengan nada berat, tertahan di kerongkongan. Ibu Gufro bertambah bisu, tanpa disadari ia melangkah keluar dari kamar. Bahkan tanpa dipandu ibu Gufro juga melangkah ke kamar mandi dengan ponsel masih di tangan. Ia menunggu Angga yang masih di dalam kamar mandi setelah sekali mengetuk ringan daun pintu.
Lusi yang merasa diabaikan akhirnya memutuskan sambungan telepon. Tak berselang lama pintu kamar mandi terbuka pada akhirnya. Angga terlihat kaget mendapati sosok sang ibu berdiri di depan pintu kamar mandi.
"Ibu!" seru Angga, terlihat malu kerena bertelanjang dada hanya mengenakan handuk.
"Ini ada telfon tapi dimatikan," ucap ibu Gufro, menyerahkan ponsel di tangannya dan berlalu
dari hadapan sang anak, kembali ke ruang keluarga. Melipat kotak nasi lagi, pesanan ibu RT untuk acara pengajian rutin di lingkungannya yang diadakan tiap minggu.
Sambil melangkah ke kamar Angga membuka ponsel, mengecek siapa yang tadi menelfon dirinya. Cukup tercengang saat melihat riwayat panggilan masuk yang tak lain itu dari Lusi. Senyum hambar terlukis, kepalanya berputar menoleh ke ibu Gufro sebelum
menyelinap masuk.
Saat pintu kamar tertutup ibu Gufro menoleh, ia melangkah pelan mendekat ke daun pintu.
Telinganya ia sandarkan ke daun pintu agar bisa menyadap suara dari dalam.
Di dalam kamar Angga tak langsung berpakaian, masih hanya mengenakan handuk ia duduk di tepi kasur. Mencoba menghubungi Lusi yang sudah ia abaikan sedari kemarin. Tak tega juga memancing kemarahan wanita itu.
"Halo...." Suara Lusi, ia terdengar antara marah dan sedih dari nada suara yang didengar.
"Lusi Sayang ... Aku sholat dulu ya! Entar aku telfon lagi!" ucap Angga hanya menambah kemarahan Lusi.
"Terserah kamu," ucapnya sinis.
Angga tersenyum, dilemparnya ponsel di tangan ke atas kasur lalu berjalan gontai ke depan lemari untuk berpakaian sebelum menunaikan sholat.
Di luar ibu Gufro yang sedang menguping ikutan emosi dengan sikap anaknya yang ia nilai keliru. Ingin rasanya ia memukul kepalanya agar tak mempermainkan wanita. Sambil menggerutu tak jelas ia balik lagi ke ruang keluarga. Suami dan putri bungsunya
yang bernama Ira baru saja masuk saat mendapati ibu Gufro terlihat kesal dan masih menggerutu.
"Kenapa Bu?" tanya suaminya, pak Hendra.
"Itu anak laki-lakimu!" sahut ibu Gufro.
"Kenapa sama dia?!" kejar pak Hendra bertanya.
"Ceweknya nelfon tapi diabaikan!" sahut ibu Gufro lagi dengan nada marah.
"Cewek!" seru pak Hendra dan Ira bersamaan.
Ibu Gufro bangkit dari duduknya, jari telunjuknya menempel ke mulut memberi isyarat agar mereka berdua tak berteriak. Ia juga memberi isyarat agar dua orang itu mendekat segera, dengan mencondongkan kepala ibu Gufro berbicara dengan nada sangat rendah.
"Namamya Lusi, habis ini mau ditelfon lagi," ucapnya berbisik.
Sambil menunggu Angga yang di dalam sedang sholat mereka bertiga melipat kotak nasi bersama-sama sementara dua bola matanyan menonton serial televisi. Sesekali ibu Gufro bangun hanya untuk mengecek apakah sang anak sudah selesai sholatnya. Dua kali mengecek akhirnya terdengar suara orang bicara dari dalam, ibu Gufro memberi isyarat agar kedua orang yang menunggu juga lekas merapat.
Di dalam kamar Angga tiduran di atas kasur saat sambungan sudah terhubung dan ia berbicara santai dengan Lusi yang menanggapinya dengan sinis. Jawabnya juga singkat-singkat namun itu justru membuat Angga geli.
"Ayolah Lusi Cantik masak gitu aja kamu marah?!" seru Angga merayu.
"Gimana aku nggak marah kalo sama kamu aku dicuekin, mungkin diriku sudah tersingkir dari hatimu...." kata Lusi meluapkan emosi.
"Ngomong apa sih?! Sumpah hatiku cuma buat kamu!" sanggah Angga mulai genit.
Mereka yang diluar merasa risih mendengar gombalan putra serta kakak mereka terlebih ibu Gufro, ia tak suka mendengar putranya bersikap demikian pada wanita.
"Jam berapa nanti landingnya?" tanya Angga.
"Sekitar jam sembilan malam," jawab Lusi singkat.
"Aku jemput ya nanti, jangan dadakan sehari sebelum balik kasih tahu ke aku!" seru Angga.
Lama ia berbicara di telepon hitung-hitung melepas kangen, setidaknya mendengar suaranya saja sudah bisa mengobati kerinduan apalagi bertemu setelah sekian lama tak bisa diungkapkan lagi bagaimana perasaan Angga.
Obrolan mereka berdua terhenti dikarenakan lapar datang mengganggu. Mendengar Angga menyudahi obrolan mereka yang di luar segera kembali ke tempat mereka duduk sebelumnya.
Angga yang tak tahu obrolannya dengan Lusi didengerin mereka bertiga dengan wajah cerahnya keluar dari kamar. Mendatangi mereka yang duduk bertiga dan melipat kotak nasi sambil menonton serial televisi yang sudah berganti.
"Bu, lapar!" ucap Angga, tangannya mengambil selembar kotak nasi dan melipatnya juga.
Adik perempuannya melirik, ia memberanikan diri menggoda kakaknya dengan wajah cerah terlihat.
"Kak, sekali-kali gitu keluar kencan! Jangan di rumah terus!" ucapnya menyentak Angga.
Laki-laki itu menyipitkan mata, dahinya juga menyatu bersamaan dengan kedua bola mata itu. Cepat-cepat Ira melanjutkan perkataannya agar sang kakak tidak menaruh curiga. Ibu Gufro yang tak pandai berakting memilih bangkit, menyiapkan makan malam buat mereka semua terutama Angga yang sudah kelaparan.
"Kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu?" tanya Angga curiga.
"Itu kak Virza anaknya pak Jalil cowoknya ganti lagi! Katanya yang sekarang cowoknya itu pegawai BUMN!" lanjut Ira malah bergosip.
"Hsst! Kamu ini masih muda udah hobi ngegosip!" sentak Angga memarahi adiknya, Ira.
"Gosip apanya? Itu kenyataan tahu! Katanya ibu tiap pagi kalo belanja yang dipamerin pacar anaknya itu, padahal nggak ada yang nanya!" lanjut Ira semakin bergosip.
"Lah tuh! dasar cewek bakatnya cuma ngegosip!" sahut Angga.
"Aku cuma cerita bukan ngegosip! Emang konon katanya pacarnya yang sekarang pegawai BUMN!" jawab Ira sewot.
Sambil senyum Angga menanggapinya, "Wah kalo cewek kakak model apa nggak jadi trending di komplek ini?!" seru Angga lalu tertawa lantaran omongannya sendiri.
"Jangan kebayakan ngehayal!" sahut ayahnya, pak Hendra. Angga tak nenyahut ia memalingkan muka menghadap layar televisi sambil terus melipat kotak nasi.
Di rumah lain Andik dan Ilyas sedang menonton televisi tiba-tiba suara ponsel menggaggu mereka berdua. Andik bangun karena nada dering itu miliknya, sempat kaget saat melihat nomor kontak yang terpajang. Segera ia angkat panggilan masuk dari ibu Hanis khawatir sesuatu terjadi pada wanita itu. Namun setelah bicara beberapa menit
lamanya hanya emosi yang ia dapat namun ia tetap bersikap tenang saat berbicara dengan ibu Hanis.
Lewat ibu Hanis juga Andik mendapat alamat kost Hanis yang terbaru. Ya, Andik meminta ibu Hanis menyuruh sang putri untuk mengirim chat ke Andik memberitahu kost dia yang sekarang.
Berselang beberapa menit setelahnya Andik keluar dengan mengenakan jaket sebagai baju luar. Di tangannya kunci motor dipegang, ia terlihat buru-buru keluar dari kamar dan melewati Ilyas.
"Ya sorry aku tinggal dulu ya! Mba nanti jangan lupa dijemput!" kata Andik dan berlalu dari hadapan Ilyas sebelum laki-laki itu menjawab.
Ilyas yang dibuat panik langsung bangkit, setengah berlari ia menyusul Andik yang sudah mencapai garasi.
"Kamu mau kemana Dik? Kok buru-buru gini!" seru Ilyas, ia mencegat Ilyas tepat saat laki-laki itu mengeluarkan motor.
"Siapa lagi yang bikin aku emosi terus?! Kalo bukan itu yang selusin!" sahutnya.
"Jangan emosi Dik, kamu ini mau keluar!" tegur Ilyas yang tak ingin temannya celaka gara emosi yang disebabkan Hanis.
"Aku pergi dulu Yas!" pamit Andik setelah naik ke motor.
Berikutnya motor itu menghilang di balik pagar pintu rumah, Ilyas balik lagi ke dalam. Diambilnya ponsel yang ia taruh di kamar lantaran khawatir Naura menelfon dan tak
kedengaran. Sambil lanjut mengarahkan pandangannya ke layar televisi ia sesekali mengintip ponsel di samping.
Di luar Andik berkendara di atas kecepatan normal, ia tak sabar menemui Hanis dan meluapkan emosi yang tertahan. Dada dan kepalanya sudah terasa mau pecah lantaran
menahannya selama dua minggu lebih terutama karena tahu nomor kontaknya sudah diblacklist sehingga ia tak bisa menghubungi atau bahkan hanya sekedar mengirim chat.
Sampailah motor warna merah yang dikendarai Andik di depan kost Hanis. Setelah memarkir motor ia menekan bel di samping pintu. Seorang wanita yang tak dikenal muncul di balik pintu kost, menyapa Andik dan bertanya padanya dengan raut wajah bingung.
"Maaf cari siapa?" tanyanya, membuka pintu hanya separuh.
"Saya kakaknya Hanis," jawab Andik singkat dan padat.
"Ohh anak baru itu, tunggu bentar ya!" ucapnya dan menutup kembali pintu kost.
Andik menunggu di kursi luar, di terasbkost itu tak sabar. Tak berselang lama munculah seorang wanita berambut sebahu yang terikat dengan memakai kaos warna biru dan bawahan celana longgar warna cream yang menutupi separuh pahanya. Jelas mata Andik terbelalak kala menatap kehadirannya dan langsung duduk di samping dengan mulut membisu.
Andik yang tadinya berniat akan memarahinya dan mungkin menceramahi malah terdiam, ia tertunduk beberapa detik lamanya sebelum mengangkat kembali kepala perlahan dan menoleh ke samping.
"Tadi buk De nelfon katanya kamu minta dikirimin uang lagi," ungkapnya dengan nada datar. Hanis tak menjawab, pandangnya bahkan sengaja menoleh ke hal lain tak ingin melihat Andik.
Lanjut laki-laki itu yang bersuara, sudah enggan bersitegang lagi. "Jangan sering-sering minta uang, emang uang bulanan yang dikasih nggak cukup?!" lanjut Andik namun Hanis tetap setia dengan kebisuannya.
Andik bangkit, sikap Hanis yang demikian tentu menyinggung hatinya namun ia enggan berdebat, tak nyaman membuat keributan di tempat itu. Sebaliknya ia menyuruh Hanis untuk berganti pakaian dan ikut bersama
dengannya.
"Ayo ikut aku! Buruan ganti baju!" ajak Andik.
"Kemana?" tanya Hanis, akhirnya ia bersuara juga.
"Katanya kamu butuh uang? Bu De nggak bisa ngirim!" sahut Andik, tangannya meraih tangan Hanis yang bersandar di rebahan pahanya sendiri. Sontak Hanis bangkit walau terlihat berat dan enggan.
"Sana aku tunggu, jangan lama-lama!" tambah Andik.
Hanis tak beranjak masuk sebaliknya ia
bersuara, "Emang kenapa kalo pakai baju ini?!" tanyanya dengan nada sedikit ketus.
"Setidaknya pakai jaket entar kamu masuk angin!" sambung Andik masih berusaha bersabar menghadapi wanita itu.
"Malas mau masuk lagi," balas Hanis.
"Ohh ya sudah ayo buruan!" sahut Andik, ia melangkah lebih dulu setelah berucap demikian.
Hanis berjalan menyusul kakaknya yang sudah mencapai motor dan sedang membuka jok untuk mengambil helm cadangan yang memang ia beli saat Hanis masih baru tinggal bersama dengannya.
"Ini helmnya!" ucap Andik, lalu naik ke motor dan memakai helm yang tadi ia tanggalkan ke spion motor. Segera setelah memakai helm Hanis naik ke boncengan, tangannya ia biarkan bergelantungan, juga sengaja ia menjaga jarak dengan duduk sedikit lebih ke
belakang. Dada Andik berdesir seketika, jelas ia tersinggung dan merasakan sakit di hati. Namun laki-laki itu tak berkomentar, dihidupkannya motor segera dan membawanya pergi dari halaman kost.
Sepanjang jalan keduanya betah membisu, Andik yang hobinya menceramahi Hanis malah terdiam seribu bahasa. Menatap lurus ke depan sembari mengamati tempat ATM terdekat, tak sengaja matanya menangkap toko swalayan dan terdapat ATM di dalamnya. Ia membelokkan setir dan parkir di hadapan toko itu. Tanpa diperintah Hanis turun dari motor, melepas helm yang dipakai namun tak dinyana ia menemukan kesulitan. Tiba-tiba helm yang tadinya mudah dipakainya malah kini tidak bisa dibuka.
"Kenapa?" tanya Andik mengamati Hanis yang kesulitan membuka helm.
"Nggak bisa dilepas!" jawabnya, tak menunggu perintah tangan Andik datang membantu, menggeser kedua tangan Hanis yang sedari tadi berjuang melepas pengait helm.
Ia tak menepis tangan Andik, hanya terdiam memalingkan pandangan ke samping. Tak ingin menatap Andik apalagi dalam jarak terlampau dekat, tak biasa juga. Namun saat tangan Andik berhasil melepas pengait helm yang tak dipasang dengan benar sehingga
tersendat bola mata Hanis melirik. Bertemulah pandangan keduanya untuk pertama kalinya bahkan dalam jarak sedekat itu. Jantung Andik tiba-tiba berdetak kencang, mungkin karena kaget dan tak menyana akan berada dalam situasi seperti itu. Hampir sama dengan apa yang dirasakan Andik sekarang Hanis juga merasakan keanehan yang terjadi di dadanya, rona wajahnya bahkan memerah. Lekas keduanya menarik pandangan mereka agar tak saling menatap lagi.
“Aku tunggu disini,” ucap Hanis saat
pandangannya kembali dialihkan ke samping.
“Sebaiknya ikut saja,” sahut Andik, tangannya langsung meraih pergelangan tangan Hanis dan menyeretnya masuk bersama ke dalam toko swalayan.
Di pojok depan sebelah kiri berjejer mesin ATM, langkah kaki Andik berhenti tepat di depan mesin nomor dua dari paling pojok depan. Selanjutnya ia mengeluarkan dompet dan menarik kartu ATM yang diselipkan di bagian muka dompet.
“Celanamu ada sakunya nggak?” tanya Andik saat uang sudah di tangan.
“Ada,” jawab Hanis singkat.
“Ini uangnya!” sambung Andik dan menyerahkan langsung ke tangan wanita itu.
Tak menunggunya bersuara ia berjalan lagi ke depan, mengambil keranjang belanjaan. Ditariknya lagi tangan Hanis yang cenderung pasif agar mengikuti dirinya. Saat wanita itu
sudah berjalan berdampingan ia serahkan keranjang belanjaan yang tadi ia ambil.
“Belilah yang pengen kamu beli, makanan
mungkin atau lainnya!” ucap Andik.
“Aku nggak mau beli-beli,” sahut Hanis masih dengan nada datar.
“Sudah kadung ke sini, beli aja!” sambung Andik, kemudian tangannya mengambil sebungkus kacang polong secara acak
dan memasukkannya ke keranjang yang dipegang Hanis.
Seorang karyawan toko yang berdiri tak jauh dari mereka yang berjalan ke arahnya menawarkan makanan ringan yang sedang promo. Tanpa pikir panjang Andik langsung mengambil dua bungkus sekaligus lalu menjauh dari wanita itu dengan menyeret tangan Hanis.
Tak banyak yang dibeli dan semuanya hanya makanan ringan, keduanya segera mendatangi kasir nomor dua yang sedang kosong. Saat keranjang sudah diletakkan di meja kasir tiba-tiba Hanis teringat sesuatu. Ia menoleh ke rak toko namun cuma sebentar
saja, mata Andik yang tak lepas memperhatikan langsung berucap.
“Ada yang ketinggalan?” tanyanya, Hanis
tidak menjawab hanya melempar senyum tipis, singkat pula.
“Udah sana balik lagi, mumpung belum
keluar dari sini!” lanjut Andik.
Hanis tak bersuara namun ia mendengarkan ucapan Andik. Ia kembali ke rak barang namun bukan ke bagian makanan melainkan ke bagian khusus perempuan. Andik dari meja kasir memperhatikan apa yang sedang diambil oleh Hanis. Saat tahu benda apa itu
senyumnya terlukis dengan sendirinya, bahkan saat Hanis melangkah kembali
senyum itu belum juga sirna.
Hanis yang malu, diam-diam menyelipkan benda yang ia pegang ke belakang, sontak Andik memalingkan muka. Senyumnya juga kandas di waktu bersamaan, kembali pada raut wajah datarnya lagi. Tangan Hanis nampak ragu-ragu saat meletakkan pembalut ke meja kasir.
“Dijadikan satu Kak?” tanya petugas kasir yang memakai hijab biru. Hanis hanya menganggukkan kepala memberi jawaban.
Setelah membayar apa yang ia beli Andik melangkah lebih dulu dan Hanis di belakang dengan kantong belanjaan yang tadi dibeli sekalian membayar. Kembali pada kebisuan hanya deru motor yang terdengar menyelingi diantara keduanya. Namun tiba-tiba Andik
bersuara, ”Hanis, mampir makan dulu ya aku lapar!.” Hanis tak bersuara.
Kembali Andik melanjutkan ucapannya yang tak mendapat respon, “Ya sudah aku antar kamu dulu,” ucapnya datar. Sedikit kekecewaan ia rasakan namun hatinya berusaha kompromi.
Suasana hening kembali tercipta, Andik fokus berkendara sementara Hanis menatap jalanan yang bising dengan lampu malam menerangi. Saat matanya menangkap warung lesehan di pinggir jalan tangannya tak diminta menepuk paha Andik, mengagetkan lelaki itu.
“Apa?” tanyanya singkat.
“Tadi ada warung lesehan, katanya mau
makan!” jawab Hanis mulai banyak kata
yang keluar dari mulutnya yang tadi hanya singkat-singkat saja.
“Ohh, apa perlu aku putar balik?” seru Andik menawarkan.
“Nggak usah siapa tahu di depan ada lagi,” ucap Hanis tambah santai nadanya.
Beruntung tak jauh berkendara terlihat warung-warung makanan berjejer rapi di pinggir jalan, sempat bingung berhenti yang sebelah mana namun Hanis membantu memberikan pilihan dengan menunjuk warung yang menjual ikan bakar. Lekas Andik memarkir motornya di sisi warung itu lalu Hanis turun segera. Untuk yang kedua kalinya
ia mengalami kesulitan saat membuka pengait helm dan untuk kedua kalinya juga
Andik membantu melepasnya.
“Bawa aja belanjaannya,” tegur Andik saat Hanis berniat meninggalkan kantong belanjaan di atas motor.
Andik tak langsung memesan ia malah memilih selonjoran di atas tikar dengan tangan kiri ia letakkan di atas meja. Laki-laki itu meminta Hanis memesankan untuknya.
“Apa aja!” sahutnya saat Hanis bertanya.
Tampang Andik terlihat lesu, mungkin ia merasa capek setelah seharian beraktivitas dan tadi sempat dibuat emosi sewaktu menerima panggilan dari ibu Hanis. Sambil menunggu pesanan datang diantar Andik menyandarkan tubuhnya ke tembok pagar, tak
bersuara dan juga tak menoleh ke Hanis.
Bukan Andik namanya jika ia tak bisa terlelap dengan mudah, hanya dalam hitungan menit dari kebisuannya laki-laki itu rupanya terlelap.
“Bisa-bisanya ini orang terlelap disini,” guman Hanis rendah. Namun ia tak berniat membangunkan setidaknya sampai pesanan datang.
Saat apa yang dipesan sudah datang tangan Hanis ragu-ragu mengguncang lengan tangan Andik di atas meja. Andik tersentak, seketika ia kembali terjaga dari lelapnya yang tak direncanakan.
Keduanya tanpa banyak obrolan menyantap makanan yang dipesan dengan tangan mereka. Tak ada jedah untuk mengobrol setelah selesai makan, Andik lekas bangun dan berjalan lebih dulu ke penjual untuk membayar.
“Jam berapa sekarang?” tanya Andik sewaktu Hanis sudah di boncengan dan motor kembali melaju dengan kecepatan sedang.
“Aku nggak bawa hp,” jawab Hanis.
Tangan kiri Andik merogoh ponsel di saku celana dengan sendirinya dan menyodorkannya ke Hanis tiba-tiba. Wanita itu sempat terkaget namun ia tetap mengambil ponsel itu.
Dengan mudah ia membuka layar ponsel yang tak memiliki kunci keamanan. Tadinya ia hanya berniat mengecek jam saja namun jemarinya tak diperintah malah bergerak ke hal lain, masuk ke beranda. Satu hal yang membuatnya tercengang, itu adalah gambar layar beranda. Ia mengira akan menemukan sebuah foto seorang wanita terpajang di sana
malah ternyata tak ada apa-apanya, yang dipasang tetap beranda dari pengaturan
ponsel. Rasa penasarannya kian bertambah, namun ia harus menjawab apa yang tadi
ditanyakan.
"Jam delapan lebih," ucapnya, tak menyerahkan kembali ponsel.
"Ohhh...." guman Andik, lalu diam seperti yang sudah-sudah.
Di boncengan Hanis yang penasaran tak mampu melawan godaan hati, lanjut ia membuka beranda ponsel. Hal pertama yang ingin ia lihat tak lain adalah folder galeri, mungkin foto seorang wanita tersimpan di sana.
Sayangnya rasa penasaran yang memuncak tak seimbang dengan hasil yang didapat, ada pun hanya foto kakak dan ibunya, juga Naura sewaktu kumpul bersama dan teman kuliah serta teman mengajar; semuanya foto kelompok bukan foto berdua.
Tiba-tiba suara notifikasi masuk terdengar, kembali rasa penasaran mengetuk hatinya. Padahal belum diperintah jemarinya sudah mengggulir layar ke bawah dan membuka
notifikasi itu. Ternyata datangnya dari Ilyas yang memberitahu jika ia dan Naura sudah di rumah.
"Huh aku pikir," batinnya berguman.
Berawal dari iseng jemarinya memeriksa daftar chat yang masuk. Saat mendapati nama seorang wanita segera ia buka, isinya kembali mengecewakan. Semuanya yang dibicarakan hanya seputar pekerjaan dan tak ada balasan lagi setelahnya.
"Masak masih jomblo? Bukannyansudah tua?!" gumannya lagi di hati.
Kecewa, lekas Hanis keluar dari beranda dan mematikan ponsel. Bukannya menyerahkan tanpa sadar ia malah memasukkan ke saku celananya yang satunya lagi.
Sampai tiba di depan kost Andik masih lupa dengan ponselnya begitu juga dengan Hanis. Wanita itu hanya menyerahkan helm dan Andik langsung menyimpan di dalam jok dan segera pamit. Dengan sekali tancap ia menghilang dari pandangan Hanis. Wanita itu segera masuk ke kost, tak singgah sana sini
melainkan segera menghilang di balik pintu kamar.
Kantong belanjaan ia taruh di atas meja belajar lalu kemudian tubuhnya ia jatuhkan ke atas kasur. Teringat dengan uang di saku bangkit lagi ia, mengeluarkan uang itu dan
menyimpannya ke dalam dompet. Balik lagi ia segera ke atas kasur, menarik selimut dan rebahan santai. Lelah dengan posisi terlentang Hanis mengubah posisinya, tiduran miring. Dan pada saat itu ia merasakan menindih sesuatu, tangannya bergerak meraba ke bawah. Barulah ia ingat dengan ponsel Andik di sakunya.
"Loh ponselnya orang itu, gimana ini!" gumannya.
Andik sudah sampai, setelah memarkir motor di garasi ia bergegas memasuki rumah dan menguncinya. Sebelum masuk ke kamar terlebih dulu ia ke kamar mandi sekalian cuci muka dan mengambil wudhu.
Masih dengan baju yang ia kenakan laki-laki itu berbelok ke tempat sholat dan menunaikan sholat isya' sebelum masuk kamar dan istirahat.
"Dik, tadi Hanis chat aku katanya ponselmu tertinggal?" kata Ilyas langsung mengabari begitu laki-laki masuk dan meletakkan kunci motor.
"Ponselku? Ya Allah kok bisa lupa sih aku ... Mana aku malas yang mau keluar lagi...." ucapnya kehilangan semangat.
Setelah melepasncelana yang dipakai dan berganti dengan sarung ia merangkak naik, merebahkan tubuhnya yang terasa kaku. Ilyas terus menatap, bola matanya mengikuti gerak Andik sampai laki-laki itu tidur di sampingnya.
"Ponselmu gimana?" tanya Ilyas.
"Biar wes aku ambil besok pagi sekalian ke sekolah!" ucap Andik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 224 Episodes
Comments
Ftl03
Bom Like dari LITTLE RAINBOW 😆😆 semangat Thor.. jangan lupa mampir...
2020-12-17
0
IntanhayadiPutri
Aku mampir nih kak, udah 5 like dan 5 rate juga.. jangan lupa mampir ya ke ceritaku
TERJEBAK PERNIKAHAN SMA
makasih 🙏🙏
2020-11-19
0
Eka Sulistiyowati
lnjut
2020-11-18
1