CAPTER 13
KEMARAHAN ANDIK, CEMBURU KAH?
Kini Hanis sudah bisa menggerakkan kakinya tanpa bersusah payah lagi meski rasa sakit belum sepenuhnya hilang. Ia baru saja keluar dari kamar mandi saat Andik tengah duduk di sofa kecil memperhatikan dirinya. Tak ada suara yang terucap hanya memperhatikan hingga Hanis beberapa langkah dari pintu kamar mandi. Laki-laki itu bangkit dari duduknya dan menghampiri Hanis, membantu mencapai ranjang lebih cepat dengan mengangkat tubuh wanita itu.
“Apa ini hobi Mu?!” sindir Hanis.
“Iya, ini hobi baru ku! Apa kamu menyukainya atau mungkin sebaliknya?!” sahut Andik merespon.
“Kadang aku menyukainya kadang tidak!” balas Hanis, memalingkan muka.
“Biar aku tebak, yang sekarang pasti kamu tidak suka!” ujar Andik sambil menurunkan tubuh Hanis di tepi kasur.
"Aku bosan disini, pengen cepat keluar!" ungkap Hanis, setelah duduk.
"Kita tunggu waktu kunjungan habis ini, kalo dokter bilang sudah bisa pulang secepatnya aku urus!" sahut Andik.
"Oh iya aku balik dulu ya, mau ganti baju sekalian beli sarapan!" lanjut Andik.
"Jangan lama-lama," pinta Hanis terdengar tak rela ditinggalkan.
"Iya!" ucap Andik.
Setelah pamit lekas ia menyambar tas dan juga kunci motor, langkahnya cepat saat keluar dari sana meninggalkan Hanis yang menyalakan televisi untuk mengusir kebosanan. Sebenarnya tak jarang Andik mengajaknya keliling rumah sakit, berjalan di halaman sambil melatih ototnya lagi namun tetap saja ia tak betah.
Pagi itu saat Andik tiba baik Naura ataupun Ilyas belum berangkat, maklum jam belum lewat dari angka enam. Ilyas tiap hari berangkat jam tujuh sedangkan Naura biasanya jam delapan kurang. Yang paling pagi diantara mereka tak lain adalah Andik, jam setengah tujuh ia sudah meluncur ke sekolah dikarenakan tepat jam tujuh pintu gerbang sudah ditutup. Dan juga tak mungkin ia datang lebih akhir, memberi contoh jelek pada murid-muridnya yang sudah tiba sebelum jam tujuh bahkan jam setengah tujuh sudah banyak yang datang.
Sebelum masuk rumah, Andik menyempatkan diri menghampiri Ilyas, sekedar menyapa kemudian melangkah pergi meninggalkan laki-laki itu dengan kesibukannya.
"Assalamualaikum," ucap Andik kala mencapai ruang keluarga.
"Waalaikumussalam!" sahut Naura dari dapur.
Waktu itu Naura tengah sibuk di dapur membuat sarapan sedangkan Ilyas menyiram bunga dan tanaman termasuk tanaman herbal milik Andik.
"Gimana keadaannya, Hanis?!" tanya Naura dari dapur.
"Sudah agak lancar jalannya Mba, tunggu kata dokter pagi ini kalo boleh pulang rencananya langsung keluar!" sahut Andik, sembari melangkah ke kamar mandi.
"Kenapa langsung keluar?!" tanya Naura lagi.
"Tiap hari anaknya wiridan minta pulang, nggak betah katanya! Oh iya Mba!" ujar Andik tak dilanjutkan. Ia yang tadinya hendak ke kamar mandi berbelok ke dapur mendatangi Naura.
"Oh iya Mba, boleh nggak buat sementara waktu sampai dia benar-benar sembuh tinggal di sini?!" kata Andik meminta ijin.
"Ya bolehlah ... Emang anaknya mau?!" tanya Naura.
"Nggak tahu juga sih, aku belum ngomong ... Tapi mungkin mau!" jawab Andik.
Andik melangkah pergi dari dapur saat Naura menghentikan langkahnya, wanita itu bertanya apakah Andik sudah sarapan. Andik menggelengkan kepala memberi jawaban.
"Kita sarapan bareng! Habis itu mba siapin buat Hanis!" ucap Naura.
Andik melempar senyum dan juga berterimakasih yang pasti, langkahnya agak cepat menuju kamar mandi.
Ilyas yang di luar sudah selesai dengan pekerjaan rutinnya, ia segera masuk ke dalam rumah dan menyambar handuk yang digantung di luar kamar mandi. Ia mencoba membuka pintu yang ternyata terkunci dari dalam.
"Dik, masih lama?!" tanyanya.
"Nggak!" jawab Andik dari dalam.
Sambil menunggu Andik selesai mandi Ilyas mengambil sepatu, duduk di teras belakang dekat dapur menyemir sepatu. Dari dalam dapur tak sengaja Naura melihatnya, ia melangkah ke dekat jendela menjulurkan kepala hanya untuk menggoda Ilyas.
"Waduh calon pak camat ini rajin benar nyemir sepatunya?!" ucapnya dengan suara lantang.
Ilyas menoleh, ia melempar senyum kemudian membalas, "Ya beginilah Mba sepatu murah harus sering di semir biar mengkilap! Beda sama punya Mba ada perawatan khusus!." Naura tertawa mendapat balasan dari Ilyas. Bisa-bisanya laki-laki itu merendah.
Kembali lagi Naura bersuara, "Kalo entar kamu naik jabatan jadi kepala mba hadiahkan sepatu mahal!." Ilyas hanya melempar senyum kemudian menggelengkan kepala sembari terus menyemir sepatu.
Tak disangka Andik sudah keluar, mendengar Naura berucap demikian langkahnya berbelok ke dapur mendatangi Naura dan berdiri beberapa meter di belakangnya.
"Kalo aku Mba?!" ucapnya mengagetkan Naura.
Naura seketika membalikkan badan, Ilyas yang mendengar suara Andik juga langsung beranjak, menyudahinya secepat mungkin.
"Kamu ini ... denger aja orang lagi ngomong!" seru Naura tak memberikan jawaban.
Ilyas melangkah ke dapur melalui pintu satunya bukan dari ruang makan seperti saat ia keluar ke teras. Saat mencapai pintu ia menimpali pembicaraan mereka berdua.
"Mba, Andik ini cita-citanya pengen jadi dosen kayak, Mas!" ungkap Ilyas. Andik tersipu malu sementara Naura malah tertawa mendengarnya. Tidak ada yang lucu juga sebenarnya namun satu hal yang ia tangkap, pastilah Andik mengidolakan suaminya sehingga bercita-cita menjadi seorang dosen.
"Diam-diam kamu mengidolakan suamiku ya?!" seru Naura dan melangkah kembali menuju kompor yang ia tinggalkan.
Andik nampak protes lantaran tak mendapat jawaban sementara Ilyas sudah jelas akan mendapat sepatu dari Naura sedangkan dirinya tak dapat apa-apa. Terus ia mendesak agar Naura juga menjanjikannya hadiah.
"Ok, kalo kamu berhasil jadi dosen aku bakal kasih hadiah dasi mewah buatmu!" ucap Naura menyenangkan hati Andik.
"Pegang janjinya ya Mba!" ucap Andik serius.
"Iya, akan aku ingat!" balas Naura.
Dengan penuh semangat Andik melangkah meninggalkan dapur menuju kamar, lekas ia membuka lemari dan mengambil kaos warna biru serta celana chino warna coklat milo. Pintu ia tutup rapat tak lupa menguncinya juga khawatir Ilyas langsung menerobos masuk.
Setelah menerapkan body cologne ia mengenakan kaos itu segera. Rambut ia rapikan dan tak lupa diberi pomade tipis-tipis saja. Terakhir tentu parfum ia terapkan agar semakin sempurna penampilannya.
Tepat saat Ilyas mencapai depan pintu tangan Andik memutar kunci dan menarik pintu dari dalam. Aroma parfum semerbak tercium saat itu juga, Ilyas mengamati penampilan Andik dari atas hingga bawah. Sebenarnya tak ada yang istimewa, hanya setelan kaos lengan pendek dan celana saja tapi ada sesuatu yang membuat laki-laki itu tampak beda. Ilyas tak bisa menangkapnya.
"Sebotol kamu semprotkan semua, Dik? Baunya jadi seisi kamar!" seru Ilyas sambil berjalan ke lemari.
"Cuma dua kali semprotan kok! Oh tiga deng!" sahut Andik.
"Mau kemana kamu? Ngajar?" tanya Ilyas penasaran.
"Ke rumah sakitlah!" jawab Andik.
"Ke rumah sakit harum gini?! Oh jangan-jangan naksir perawat di sana ya?!" ledek Ilyas.
"Ngomong apa sih?! Masak aku nggak boleh dandan?!" seru Andik menanggapinya.
"Ya ya ya ... Sudah bisa dicium ini gelagatnya!" sahut Ilyas sambil memakai baju.
Di luar Naura memanggil keduanya untuk segera datang ke ruang makan. Tepat jam enam lebih lima menit sarapan sudah tertata rapi di meja walau Naura sendiri belum bersiap-siap. Andik keluar lebih dulu menuju ruang makan, sama dengan Ilyas tadi Naura menangkap ada sesuatu yang berbeda pada diri Andik. Wanita itu bahkan bangkit dari duduknya dan melangkah mendatangi Andik. Menyambar lengannya sehingga langkah kaki Andik terpaksa terhenti. Terus Naura mengamati juga mengendus aroma parfum yang lebih kuat dari biasanya.
"Kamu ketemu dokter cantik ya di sana?!" tanya Naura menaruh curiga.
"Apa sih Mba?!" sahut Andik malas menanggapi.
"Lantas kenapa beda gini?! Harum lagi!" cerca Naura.
"Oh tunggu!" imbuhnya. Ia melepaskan tangannya dari lengan Andik, menyuruh laki-laki itu tetap berdiri dan tak boleh bergerak sama sekali.
Naura mundur beberapa langkah, mengamati setiap detail penampilan Andik. Mencari sesuatu yang kurang namun baginya itu sudah pas, nampak kasual dan rapi. Tiba-tiba ia menangkap wajah Andik yang nampak berbeda, wajahnya terlihat lebih cerah dan berseri-seri. Kaki Naura melangkah maju, kedua tangannya mendarat di pipi Andik
membuat laki-laki itu malu. Tak hanya itu Naura menariknya kepelukan hanya untuk memastikan saja.
"Mba!" seru Andik, canggung dipeluk oleh Naura.
"Aku rasa wajahmu cerah karena aroma cinta ini," ucap Naura kala melepaskan pelukan.
"Betul sekali, itu yang aku tangkap tadi Mba!" ujar Ilyas sambil melangkah mendatangi mereka berdua.
"Sudahlah ayo sarapan, entar kamu telat lagi!" seru Andik, melangkah melewati Naura yang masih senyum-senyum. Ia turut bahagia jika benar kini Andik sedang dilanda demam cinta.
"Mba doakan semoga cintamu berlabuh!" ucap Naura sambil menjatuhkan diri di kursi.
"Amin gitu dong, Dik!" goda Ilyas.
Dalam hati Andik yang belum menyadari suatu perasaan aneh kini hadir malah mempertanyakan hal yang sama pada dirinya sendiri. Tanggapan dua orang tadi cukup berpengaruh membuat dirinya terus menerka sendiri.
"Masak aku suka sama anak itu?!" gumam batinnya setengah meledek diri sendiri.
Obrolan seputar jatuh cinta tak berlanjut saat Ilyas mengintip jam tangan, mereka bertiga hanya fokus menyantap sarapan setelah Andik yang sedang berseri-seri diminta memimpin doa.
Seusai sarapan Andik langsung pamit, ia tancap gas mengeluarkan motor bahkan Naura harus berlari keluar agar tak ketinggalan.
"Andik, tunggu!" teriak Naura memanggilnya.
Syukurlah Andik masih bisa mendengar, ia hentikan laju motor seketika tepat beberapa meter dari pagar pintu. Naura segera menuruni undakan, berlari cepat mencapai Andik yang tak turun dari motor, hanya menoleh saja.
"Kenapa Mba?!" tanyanya.
"Kamu ini gimana, mba kan sudah siapin sarapan buat Hanis!" seru Naura sambil menyerahkan kantong tas
berisi kotak makanan.
"Ya Allah, lupa Mba! Beneran lupa!" seru Andik.
"Gegara jatuh cinta, hampir lupa! Untung hatinya nggak lupa dibawa!" sahut Naura.
"Mba ini ngomong apa sih?!" seru Andik, nampak tersipu malu.
"Sudah sana buruan entar itu anak murka lagi!" kata Naura, menepuk pundak Andik.
"Berangkat dulu ya Mba!" pamit Andik, Naura mengangguk.
Motor Andik sudah hilang dibalik pagar pintu, Naura berbalik badan kala Ilyas juga sudah siap dengan motornya. Ia
bergegas mencapai Ilyas, "Mba, berangkat dulu!" pamit Ilyas, tak lupa laki-laki itu menjulurkan tangannya untuk menyalami Naura, mencium tangan selayaknya kakak sendiri.
"Hati-hati ya! Mba doakan semoga kamu lekas menyusul Andik, jatuh cinta juga!" ucap Naura.
"Mba ini...." sahut Ilyas.
Masih berdiri di luar rumah Naura memperhatikan Ilyas hingga laki-laki itu tak nampak lagi. Barulah ia kembali ke dalam, melangkah cepat ke lantai dua untuk bersiap-siap ke butik.
Tak lama setelah itu Andik sudah mencapai rumah sakit, ia memarkir motor segera dan melangkah santai menyusuri lorong rumah sakit menuju lantai tiga melalui lift agar lekas sampai. Tak ada firasat apa-apa yang ia rasakan manakala langkahnya semakin mendekat ke kamar dimana Hanis dirawat. Tangannya juga dengan pelan memutar gagang pintu, mendorong rendah dan melangkah masuk. Baru satu kaki masuk saat matanya
menangkap seseorang yang tak asing duduk di tepi ranjang menemani Hanis. Seketika wajah berserinya kering diterpa musim gugur, ia sempat terhenti di sana. Batinnya bergejolak sebelum Hanis memanggilnya, suara itu menyentak Andik; membakar amarah namun ia berusaha menutupinya.
Tak ada sapaan apalagi uluran tangan kala ia melangkah masuk, diletakkannya kantong tas di atas meja kemudian ia menjatuhkan diri di sofa kecil dengan kesal. Lelaki yang berada di samping Hanis juga tak berinisiatif menyapa, meski memang kesan pertama mereka bertemu sebelumnya sudah tidak bagus; kian memperburuk suasana
hati Andik.
Sepenuhnya laki-laki yang tidak diketahui namanya itu mengabaikan kehadiran Andik diantara mereka berdua. Santai saja ia menunjukkan perhatian yang berlebihan serta tutur kata manis pada Hanis meski respon Hanis tak berlebihan. Sesekali bola mata Hanis melirik, melihat sepintas Andik yang duduk membisu dengan kedua tangan dilipat sementara pandangannya sama sekali tak goyah menatap mereka berdua.
"Dasar mulut buaya, yang kayak gitu didemenin," umpat batin Andik kesal.
Ingin rasanya ia bangun dari sana dan menyeret laki-laki itu namun banyak hal berkecamuk, ia tak bisa melakukan itu. Tak ingin dadanya semakin menyempit dan meledak karena amarah ia bangkit segera, dengan langkah cepat ia keluar dari sana. Tak lupa juga menutup rapat pintu, memberikan ruang privasi bagi dua sejoli tersebut. Sambil melangkah menyusuri lorong rumah sakit mulutnya tak henti meluapkan emosi.
"Nasib, sudah pontang-panting ternyata jagain ceweknya orang! Giliran udah nggak susah payah jaganya nongol!" omelnya tak henti.
Saat sudah mencapai parkiran motor ia bingung hendak kemana menghilangkan emosi yang memenuhi dada.
Pikiran buntu akhirnya membuat ia memutuskan pulang lagi.
Setibanya di rumah suasana sudah sepi, tak nampak orang satupun di dalam. Ia sendirian di sana ditemani kemarahan yang tak berkesudahan menghimpit dada, membuatnya susah bernafas. Bahkan rasanya itu meja yang tak bersalah ingin ia tendang; melupakan emosi yang tertahan menyakitkan.
Dijatuhkan tubuhnya begitu saja ke kursi kemudian menyambar remot, menyalakan televisi. Walau tak bersungguh ia berusaha menatap layar. Namun itu tak membuahkan hasil, akhirnya ia bangkit setelah mematikan televisi. Berjalan cepat ke kamar, berganti pakaian namun bawahnya saja yang ia ganti, memakai celana olahraga.
Mengeluarkan sepatu dari rak, memakainya segera kemudian mengambil tas ransel ukuran sedang untuk diisi dengan handuk serta perlengkapan olahraga lainnya dan juga baju ganti. Sejurus kemudian ia keluar lagi dari rumah, membawa motor dengan laju kencang.
Di pertigaan depan ia singgah dulu untuk membeli air botol mineral sebanyak dua botol kemudian tancap gas lagi menuju tempat fitnes yang tak jauh jaraknya. Hanya membutuhkan waktu kira-kira seperempat jam lamanya ia sudah sampai di tujuan.
Langkahnya cepat saat memasuki gedung dua lantai dan segera menyimpan tas di loker. Agar tak mendapat gangguan ponselnya ia matikan dan juga disimpan menjadi satu di dalam loker.
"Emang takdirnya aku harus olahraga mungkin," gumannya saat melakukan peregangan otot-otot sebelum
lanjut pada gerakan yang lebih bertenaga dan berat. Biasanya ia bersama dengan Ilyas dan Ilham menghabiskan waktu olahraga bersama sementara Veny menemani Naura di tempat lain.
Di rumah sakit tepatnya di kamar dimana Hanis dirawat laki-laki yang dipanggil Boy itu masih betah menemani walau sebenarnya hati Hanis gundah memikirkan amarah yang nampak jelas memenuhi raut wajah Andik.
Di sisi lain rasa tidak sukanya dengan pria itu kian jelas saat tujuan sebenarnya mulai nampak dan ia tak datang sepenuh hati. Mulut manisnya tak henti merayu serta membujuk agar Hanis bisa memberinya uang, dengan dalih meminjam. Sungguh tak tahu malu, datang ke rumah sakit tak bawa apa-apa hanya mulut manis dan perhatian palsu. Jengah rasanya Hanis namun ia tetap menutupinya, bersikap tenang.
Sebelumnya ia juga pernah meminjam dan entah jampi-jampi apa yang dimiliki Hanis memberikannya dan itu tak hanya sekali saja. Namun kali ini Hanis tak bisa memenuhinya lagi, ia sendiri tak memegang dompet apalagi uang.
Tak mendapat apa yang diinginkan akhirnya laki-laki itu enyah juga dari sana, tampangnya dibungkus dengan manis padahal dadanya kesal tak mendapatkan apa-apa.
"Itu cowok tambah hari bikin ilfil aja, dikit-dikit pinjam uang ... Belum juga dibayar yang sebelumnya," gumam Hanis.
Pikirannya masih belum teralihkan dari Andik, segera ia mengambil ponsel dari balik bantal kemudian berusaha menghubungi laki-laki itu namun sayangnya suara operator yang terdengar. Ia mencoba beberapa kali namun hasil yang didapat tetaplah sama.
Wajahnya bermuram, dilemparnya begitu saja ponsel ke ranjang lalu ia turun dan melangkah lesu menuju sofa. Penasaran apa isi di dalam kantong tas ia pun mengintip.
"Kotak makanan?!" gumannya.
Hanis mencoba duduk, mengeluarkan kotak makanan dan menaruhnya di meja. Seorang diri ia menyantap makanan itu termasuk dengan buah yang juga diberikan oleh Naura. Tiba-tiba pintu terbuka, Hanis mengira itu adalah Andik ternyata dua orang perawat dan seorang dokter, kunjungan rutin.
Dokter itu tersenyum lembut saat menyapa Hanis sementara kedua perawat bergerak membantu Hanis
mencapai ranjang.
"Sendirian?!" tanya dokter.
"Iya dokter, kakak saya masih keluar!" jawab Hanis.
Dibantu oleh kedua perawat dokter itu memeriksa kondisi lengan serta pinggul Hanis. Ia juga meminta Hanis
menggerakkan tangan kirinya juga kaki kirinya.
"Ini sudah banyak perkembangan, syukurlah tidak ada yang serius!" ucap dokter tersebut. Hanis menggunakan
kesempatan itu untuk bisa berbicara.
"Dokter apa saya boleh rawat jalan? Sakitnya sudah nggak terasa, hanya sesekali!" ucapnya yang sudah
tidak betah di berlama-lama di sana.
"Sebenarnya tidak masalah, dengan catatan tidak melakukan aktivitas berat dulu dan rutin menggerakkan tangan dan kakinya!" sahut dokter.
Merasa mendapat lampu hijau ia tak sabar ingin meminta Andik mengurus biaya rumah sakit dan membawanya pulang ke kost secepat mungkin.
Saat tiga orang itu keluar meninggalkan dirinya Hanis segera menghubungi Andik lagi tapi sayang panggilan itu tak bisa terhubung. Masih operator yang mengangkat panggilan darinya. Ia memutuskan menunggu Andik sambil menonton televisi namun sampai berakhir apa yang ia tonton laki-laki itu belum nongol juga. Telepon pun juga
tak bisa dihubungi, Hanis mulai kesal.
"Kemana sih dia!" sentaknya meluapkan emosi.
Hingga matahari semakin terik Andik akhirnya keluar dari ruang olahraga setelah tadi ia masih duduk leya-leya berbincang dengan beberapa cowok yang juga berolahraga. Langkahnya kelewat santai saat melangkah menuju loker untuk mengambil handuk, serta baju ganti dari dalam tas. Sewaktu mandi pun ia tak mau buru-buru, menikmati dinginnya air mengguyur tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Membilas tubuh sambil bernyanyi, melupakan Hanis.
Kira-kira lebih dari setengah jam lamanya akhirnya ia keluar dengan bawahan yang sudah rapi sementara bagian atasnya dibiarkan telanjang saja. Tangannya cekatan menerapkan pewangi badan dan juga deodorant kemudian memakai baju ganti, tetap kaos lengan pendek hanya berganti warna.
Selesai berdandan Andik meraih ponsel, ia hidupkan lagi ponsel yang tadi istirahat. Baru menyala sempurna beberapa notifikasi masuk termasuk riwayat panggilan dari Hanis.
"Rajin banget dia nelfon aku? Pasti udah ditinggal sama cowoknya," gumam Andik, ia tak berniat membuat
panggilan. Namun segera meluncur ke rumah sakit setelah amarah yang tadinya meluap kini berangsur hilang, nyaris tak dirasakan lagi.
Begitu membuka pintu dan melangkah masuk Andik disambut dengan amarah oleh Hanis, banyak pertanyaan
keluar dari mulut wanita itu namun tak ada satupun yang ditanggapi oleh Andik. Santai saja ia menjatuhkan diri ke sofa, Hanis turun dari ranjang, melangkah mendatangi Andik.
"Katanya dokter aku sudah boleh pulang...." Ucapnya dengan nada rendah.
"Ohh...." gumam Andik menanggapi.
"Aku ingin balik sekarang juga!" ucap Hanis setengah memelas.
"Ok, tapi untuk sementara waktu kamu tinggal sama aku," seru Andik namun langsung ditolak oleh Hanis.
"Nggak, aku mau balik ke kost!" ucapnya tegas.
"Kalo di sana lantas siapa yang ngurus kamu?" sahut Andik agak terpancing.
"Pokoknya aku nggak mau, tetap balik ke kost!" kata Hanis tak mau dibantah.
"Ini anak nggak bisa diomongin baik-baik! Mentang-mentang udah sembuh ngelunjak, nggak ingat waktu sakit … siapa yang ngurus?!" sentak Andik memancing kemarahan Hanis.
"Yang minta diurus siapa? Bukan aku kan?! Aku kira ikhlas nyatanya!" sahut Hanis, melangkah menjauh dari Andik.
Ia tak mau berdiam lebih lama lagi, dengan langkah tak normal ia mengemasi barang-barangnya seperti baju kotor dan yang lain. Andik datang mencoba berbicara lebih lembut, memberikan penjelasan namun Hanis tetap pada pendirian ia tak mau pulang ke rumah Naura.
"Ok, aku urus dulu! Berikutnya terserah kamu!" sentak Andik, melangkah pergi dari sana.
Tak berselang lama dari keluarnya Andik ponsel Hanis berdering, rupanya itu panggilan masuk dari ibunya. Segera Hanis menjawab panggilan masuk tersebut.
"Alhamdulillah sudah bisa keluar! Mana kakakmu umi mau bicara soal biaya rumah sakit, sekalian sama yang kapan hari umi minta dia pinjamin Hanis uang!" ucap ibu Muawanah menanyakan Andik.
"Nggak ada masih ngurus biaya rumah sakit," jawab Hanis.
"Nanti kalo balik minta notanya ya Nak, biar umi bisa langsung transfer ke kakakmu! Mintakan juga nomor
rekeningnya, dari kemarin umi nanya pas nelfon nggak dijawab sama dia!" pinta ibu Muawanah.
"Iya Mi," ucap Hanis singkat saja.
Cukup lama bicara lewat telepon akhirnya ibu Muawanah menyudahi, Hanis duduk di tepi ranjang saat sudah tak berbicara dengan ibunya lagi. Nampak ia merenung, menundukkan wajahnya menatap lantai rumah sakit.
Tak berselang lama Andik datang, cukup kaget juga mendapati Hanis bermurung di tepi ranjang. Ia melangkah mendatanginya, menyentuh pundak wanita itu. Hanis menoleh, menatap lekat Andik sebelum membenamkan diri kepelukan laki-laki itu.
"Ada apa?" tanya Andik kebingungan.
"Habis berapa semuanya?!" tanya Hanis tak menjawab pertanyaan Andik.
"Sudah nggak usah nanya soal biaya rumah sakit, yang penting kamu sembuh!" sahut Andik enggan membicarakannya.
Ia melepaskan pelukan ketat Hanis, "Tunggu perawat dulu, bentar lagi kesini!" ucapnya.
"Aku pulang sama Kamu...." ucapnya rendah serta ragu-ragu.
"Yakin?!" tanya Andik, Hanis mengangguk.
Tak lama menunggu dua perawat datang, memeriksa lagi lengan serta pinggul atas Hanis dan juga menyerahkan resep obat sebelum membantu Hanis duduk di kursi roda dan membawanya keluar dari kamar. Andik mengikuti dari belakang, sampai di lobi rumah sakit sambil menunggu taksi datang ia menebus resep obat terlebih dulu sementara Hanis ditemani oleh dua orang perawat.
Taksi akhirnya datang, dua orang perawat membantu Hanis masuk ke dalam taksi sampai wanita itu duduk dengan nyaman.
“Semoga lekas sembuh,” ucap salah satu dari mereka.
“Termakasih!” balas Hanis.
Andik sendiri segera mencapai motor mengikuti laju taksi dari belakang hingga sampai di depan rumah Naura motor itu mendahului dikarenakan sensor pintu hanya terbuka pada motor atau mobil yang sudah terpindai sebelumnya. Taksi itu menyusul di belakang, berhenti di depan teras rumah.
Setelah menurunkan Hanis ia berlari ke pintu pagar, menempelkan tangannya agar pagar kembali terbuka untuk memberi jalan pada taksi tersebut.
“Ayo aku bantu,” ucap Andik tapi ditolak oleh Hanis. Ia sudah bisa berjalan sendiri walau tidak begitu normal.
Sesampainya di dalam kamar Hanis membaringkan tubuhnya segera sementara Andik meletakkan kantong tas yang berisi kota makanan. Ia juga mencuci bersih kotak makanan itu serta memasukkan baju kotor Hanis ke dalam mesin cuci untuk dicuci, tentu tanpa sepengetahuan Hanis.
“Kemana dia?” gumam Hanis bertanya-tanya lantaran Andik tak kunjung datang.
Namun baru saja ia bangkit dari tidurnya langkah kaki Andik terdengar mendekati kamar, berikutnya ia muncul dari pintu yang terbuka lebar.
“Darimana saja kok lama?” tanya Hanis.
“Ohh habis nyuci kota makanan,” jawab Andik melangkah mendatanginya.
“Aku pikir langsung keluar lagi,” seru Hanis.
“Apa kamu butuh sesuatu?” tanya Andik.
“Nggak ada,” jawab Hanis singkat.
“Kalo gitu aku ke kamar sebelah ya … kalo kamu butuh apa-apa panggil saja!” kata Andik sebelum pergi meninggalkan Hanis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 224 Episodes
Comments
Eka Sulistiyowati
next
2020-11-19
0
Tri murni Setyowati
hanis juga pasti merasakan getaran cinta ke andik......
2020-11-08
1
Kiki Sulandari
Rasa cemburu dihati Andik....
Apakah itu cinta?.....
Semangaaat🌹🌹🌹🌹🌹
2020-11-04
1