Tubuhku dibaluti dengan gaun putih tulang, gaun khusus muslimah yang di jahit Ibu. Ibu sangat pandai menjahit, setau ku semanjak aku kecil baju lebaran kami Ibulah yang membuat. Aku tidak tau kapan Ibu membeli bahan kain serta menjahitnya. Berarti jauh hari gaun tersebut sudah dipersiapkan Ibu.
Acara lamaran kali ini hanya di hadiri oleh keluarga inti saja, kedua abangku yang harus segera pulang serta dari pihak laki-laki.
"Baca Basmalah nak" cuma itu yang dibisikkan Ibu ketika keluarga laki-laki sudah tiba di depan pagar rumah.
"Assalamualaikum " serentak beberapa orang mengucapkan salam. Ayah dan Ibu menyambutnya paling depan serta menjawab salam mereka.
Mataku tertuju pada 'dia', wajahnya sedikit beda dengan pertama kali kami dulu bertemu. Wajahnya yang tersenyum membuatku mengakui kalau dia memang 'tampan'. Lebih tampan dari Rangga. Hah Rangga? bagaimana ini? bukannya Rangga malam ini juga akan bertandang disini? aku tiba-tiba cemas.
"Ssstt jangan grogi gitu" Bang Arsya abangku yang nomor dua berbisik ditelingaku, aku meleletkan lidah didepan wajahnya, kode biar dia tau aku tidak grogi sama sekali. Sepertinya Bang Arsya dari tadi memperhatikanku.
Aku kembali memperhatikan rombongan yang hadir sebanyak 8 orang ini, aku bingung yang mana orang tuanya. Wajah mereka tidak mirip satu sama lain.
"Maksud kami datang kesini seperti yang bapak dan Ibuk tau kalau kami akan melamar ananda Rea untuk anak kami Rayhan" kata salah satu paman yang berbicara didepan. Orang tersebut menatap Rayhan dan ayah sepertinya minta suatu persetujuan untuk mengatakan sesuatu.
"Hmm begini nak Rea, nak Rayhan ini sudah Yatim piatu sejak kelas 2 SMP. Kami ini adalah orang kepercayaan mendiang kedua orang tuanya. Setelah itu nak Rayhan melanjutkan sekolah dan kuliah di Turki, tempat negara asal Maminya. Alm. Ayah nak Rayhan warga negara Indonesia. Setamat kuliah baru kembali ke Indonesia melanjutkan bisnis orang tuanya. Jadi nak Rea jangan heran ya kalau kami gak ada mirip-miripnya"
Hampir semua yang hadir tertawa. Sial, ternyata Paman ini cerdas juga, bisa menerjemahkan mimik wajahku. Sial.
"Jadi bagaimana pak Irwanto apakah lamaran kami di terima?"
Paman tersebut melanjutkan kalimatnya, pertanyaan yang rasanya terasa begitu terburu-buru.
"Kami dengan senang hati pasti menerima nak Rayhan jadi menantu kami" Ayah mengatakan dengan tegas tanpa bertanya padaku terlebih dahulu.
Acara kemudian adalah menyematkan cincin di masing-masing jari, anehnya ukuran cincinnya sangat pas di jariku padahal aku tidak pernah memberikan ukuran jari manisku padanya.
Acara lamaran dilanjutkan dengan makan-makan, setelah basa-basi rombongan yang mengantar Rayhan pulang sedangkan dia tetap duduk di tempatnya semula.
Ngapain nih orang? kog gak ikut pulang saja? Batinku.
"Hmm Bu, Yah, izinkan Ray bicara pada Rea ya"
what? dia memanggil kedua orang tuaku ibu dan ayah?sejak kapan?kenapa bisa?.
"Boleh, silahkan" ucap ayah, aku melirik kedua orang tuaku tapi kembali bang Arsya mengusiliku dengan mengedipkan sebelah matanya padaku. Aku melotot kesal padanya, abang ku yang satu itu sejak kecil suka sekali menggangguku bahkan kalau aku mengis dia akan tersenyum menatap wajah ku. Tapi dia lah yang paling pasang badan kalau ada yang coba-coba menggangguku.
Rayhan membawa ku ke teras depan rumah, kami duduk bersebelahan. Aku hanya diam menunggunya untuk berbicara.
"Rea, ku harap kita nanti saling mengerti satu sama lain" Sungguh aku kurang paham maksudnya apa, sepertinya dia agak jinak dari pada pertama kali kami bertemu.
"Iya kak" hanya itu yang terlontar dari bibirku.
"Aku tidak suka dipanggil kakak, aku bukan kakakmu. Aku calon suamimu"
"Terserah, yang penting adek maunya manggil 'kakak'. Aku menyebut diriku dengan panggilan 'adek' dirumah dan aku tidak bisa memungkiri itu.
"Oke" kemudian dia menghembuskan napasnya dengan berat.
"Apa kakak menyukai perjodohan ini?'' aku berharap dia bisa berubah pikiran.
"Kita tidak dijodohkan tapi aku yang menginginkanmu untuk menjadi istriku''
"Tapi kenapa?bagaimana kalau aku tidak mencintaimu?"
"Kamu pasti akan mencintaiku''
"Luar biasa, sangat percaya diri" ucapku lirih.
Tidak lama kami bicara, dia masuk kedalam rumah untuk kembali menemui orang tuaku dan aku mengekor dibelakangnya. Mereka ngobrol-ngobrol sebentar tapi tidak lama kemudian Rayhan pamit untuk pulang.
Tidak berapa lama Rayhan pulang, mobil Rangga memasuki halaman rumah. Aku hendak keluar rumah tapi ayah menahan langkahku, ayah melarang aku menemui Rangga. Aku sedih kemudian berlari ke kamar.
Acara pernikahan kami bulan depan, sekitar satu bulan lagi. Hari ini aku mau ketemu dengan kedua sahabatku, aku merindukan mereka. Kami janjian dekat kafe kampus, disana Putri dan Rayhan sudah duduk menungguku. Aku memarkirkan sepeda motorku lari berjalan cepat menuju mereka.
''Ini nih yang kita tunggu" kata Putri, aku terseyum kemudian melirik ke arah Rangga sepertinya dia kurang bersemangat.
"Rangga, kamu kenapa?" aku bertanya dan pura-pura lupa kejadian malam minggu kemarin.
"Rea, aku ingin kamu menemaniku di hari ulang tahun mamiku"
"Kapan?"
"Malam ini'
"Maaf ya Rangga, kalau malam aku tidak bisa keluar rumah. Ayah pasti tidak akan mengizinkanku"
"Hei...aku gak di ajak lagi?'' Putri tiba-tiba menimpali perboncangan kami.
"Kalau begitu bagaimana kalau siang ini kita menemui mami ku"
"Ayok, sekalian makan siang disana ya''
Putri yang sepertinya paling bersemangat kali ini dan terpaksa aku ngikut aja. Dan Rangga tentu senang sekali.
Kami menuju rumah Rangga diperumahan elit kota Jakarta, seperti biasa aku duduk paling depan. Diperjalanan Rangga sesekali melirikku, aku tersipu malu.
Kami sampai dirumah Rangga, rumahnya sangat besar dan indah, ada beberapa patung didepan rumah. Rumah ini dikelilingi pagar rumah yang tinggi, ciri khas rumah pengusaha.
Didalam rumah cukup ramai orang yang menghias ruang tengah, beberapa pasang mata menatap kami. mereka pasti menerka yang mana calon Tuannya.
Rangga menarik tanganku, Putri mengekor dengan pasrah. Kami keluar dari ruang keluarga tembus ke kolam renang samping rumah.
"Mi.. mi" seorang wanita cantik dengan rambut pendek, dengan baju seksi menoleh ke arah kami. Benar itu Mamanya? beda jauh dengan Ibuku yang selalu berhijab.
"Ada apa sayang?" ternyata memang ini Mamanya. Sangat cantik dan muda.
"Mi,perkenalkan ini Rea yang sering Rangga ceritakan" Tante ini melihatku dari ujung kepala hingga kaki.
"Oo selamat datang ya" hanya itu kalimatnya kemudian dia melirik Putri dan berkenalan dengannya.
Entah mengapa sepertinya mamanya Rangga kurang menyukaiku, dan entah mengapa aku juga merasa kurang menyukainya.
Dalam hatinya Mami Rangga berucap 'Ternyata ini anaknya, mirip sekali dengan Dia'
"Hmm Rangga kami pulang aja ya" aku yang kurang merasa enak hati minta pulang pada Rangga, Putri seperti mengernyitkan dahi dan sepertinya dia masih betah berada disni.
"Kenapa Re? kan kita belum makan"
"Ini dah sore, nanti ayah dan Ibu risau" jawabku.
"Oke deh kalau gitu, yuk ku antar pulang"
Setelah itu Rangga pamit pulang mengantar kami, aku juga minta izin pamit pulang pada Maminya Rangga, wanita itu mengangguk tapi masih tetap dengan pandangan yang tajam.
Dalam perjalanan pulang Putri bertanya tentang Maminya Rangga, sepertinya Putri memyukai Mami seksy itu. Aku hanya mendengarkan cerita Rangga tentang betapa hebatnya Maminya itu, sesekali aku tersenyum mendengarnya.
Sudah dipenghujung sore ketika Rangga mengantarkan aku sampai didepan rumah. Setelah aku keluar Putri pindah beranjak duduk didepan sambil melambaikan tangan padaku.
"Re, bisakah besok kita bertemu?" kali ini Rangga menarik tanganku. Belum sempat menjawab Ayah sudah berdiri didepan pintu.
"Aku masuk dulu ya" kataku pelan sambil melepaskan tangan Rangga.
Aku mengintip dibalik tirai, memastikan Rangga sudah pergi atau belum. Aku pamit pada ayah kemudian masuk kamar dan mandi.
"Adek, ayah minta kamu jangan lagi terlalu bergaul dengan Rangga. Kamu sudah punya calon suami nak. Itu tidak baik"
"Iya yah" hanya itu kalimat yang bisa aku katakan, siapa yang berani menantang ayah dirumah ini? ayah sangat berwibawa ditambah lagi dengan suaranya yang berat.
"Selingkuh itu dosa dek" Bang Arsya bersuara, benar-benar mencari gara-gara. Awas saja nanti.
Setelah makan malam aku kembali masuk ke kamar,aku membayangkan wajah Rangga seolah tersenyum padaku. Kalau boleh jujur aku juga punya perasaan sama seperti dirinya. Tapi semua sudah terlambat, sepertinya tidak ada celah untuk kami berdua melanjutkan tali kasih. Aku sedih membayangkan wajah Rangga jika suatu saat dia tau aku akan menikah.
Malam semakin larut, pikiranku masih tertuju pada Rangga. Hoamm...lama kelamaan mataku mulai mengantuk dan aku tertidur masih dengan membayangkan wajah tampan Rangga.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Nur Lizza
lanjut
2021-05-27
0
Neyla Zalfa
semangat
2020-12-18
0