Tok!! Tok!! Tok!!
"Masuk!" Bram berucap dari dalam kamar.
"Belum tidur, Mas?" Yuri berdiri di pintu melihat laki-laki itu masih duduk bersandar pada kepala ranjang.
"Belum. Kemarilah! Duduk di sampingku," pinta Bram sambil menepuk ranjangnya. Yuri pun berjalan menghampiri laki-laki itu dan duduk di sampingnya.
Setelah perdebatan kecil di tepi pantai sore tadi, Yuri dan Bram tidak berbicara setelahnya. Entah mengapa mereka berdua sama-sama bertingkah konyol, seperti anak kecil yang cepat tawar hati.
"Maafkan saya! Tidak seharusnya saya ikut campur dalam masalah pribadi Mas Bram. Bagaimanapun juga, saya adalah orang asing. Tidak sepantasnya saya masuk terlalu dalam." Yuri menyentuh telapak tangan Bram. Laki-laki itu pun membalas sentuhan tangan Yuri dengan menggenggamnya lebih erat.
"Tidak!" Bram menggeleng kepalanya.
"Aku yang seharusnya meminta maaf padamu. Apa yang kamu ucapkan di pantai tadi sore, semuanya adalah benar." Laki-laki itu benar-benar menyesal atas sikapnya yang kekanak-kanakan.
"Sudah lupakan saja, Mas. Yang penting kita sudah tidak dalam mode bisu lagi kan?" Yuri dan Bram kemudian sama-sama tertawa. Tangan yang tadinya saling menggenggam, kini telah terlepas.
"Bolehkah aku bertanya padamu?" Bram melanjutkan percakapan mereka.
"Apa Mas?" Yuri mulai penasaran.
"Mengapa kamu tahu bahwa mawar merah itu adalah Rosalie?" Bram sebenarnya tidak menyangka bahwa Yuri memahami siapa mawar merah yang ia maksud saat itu.
"Rosalie berarti bunga Rose atau bunga Mawar," jawab Yuri dengan logika sederhananya.
"Kau benar. Dia memang bunga Mawarku. Bunga Mawar merahku," tutur Bram sambil membayangkan wajah Rosalie di dalam benaknya.
"Aku sebenarnya merasa malu pada diriku sendiri. Aku merasa rendah diri. Aku yang belum bisa menerima keadaanku, kemudian mengukur perasaan Rosalie dengan ukuran yang sama, yang aku berlakukan pada diriku. Terima kasih karena telah menyadarkanku Yuri," jawab Bram sambil mencari tangan Yuri kembali dan kali ini ia menggenggam tangan gadis itu lebih erat dari sebelumnya.
"Dulu, ayah pernah mengatakan padaku. Rendah diri sesungguhnya adalah bentuk lain dari sebuah kesombongan yang terselubung. Saat kita merasa rendah diri, sebenarnya kita sedang menempatkan diri kita sangat tinggi, hingga ketika kita tidak mencapai gambaran yang kita buat bagi diri kita sendiri, kita merasa gagal dan kehilangan rasa bangga akan kemampuan yang kita miliki." Yuri menatap Bram dengan lembut.
"Ayahmu benar! Aku sebenarnya terlalu sombong untuk mengakui bahwa aku pun bisa gagal dan jatuh di dalam hidup ini. Sejak kecil, aku selalu hidup dengan segala kemewahan yang ada. Orang tuaku adalah pengusaha yang sangat sukses sehingga kami hidup dengan bergelimang harta. Tidak hanya itu, di antara saudara-saudaraku yang lain, aku dikaruniai otak yang paling cerdas. Sekalipun aku bukan anak pertama di dalam keluarga, papa selalu menginginkan, kelak aku yang akan melanjutkan bisnisnya." Bram masih tersenyum mengingat peristiwa di masa lalu.
"Lalu bagaimana Mas bisa menjadi Perwira Angkatan Laut?" Yuri membenarkan posisi duduknya. Sepertinya malam ini akan terasa lebih panjang dari malam yang lain.
"Aku selalu bisa mengendalikan semua. Orang tuaku tidak bisa memaksaku mengikuti kemauan mereka sehingga harus pasrah ketika aku mengikuti pendidikan militer. Selama pendidikan, aku meraih banyak berprestasi. Setelah lulus pendidikan, aku meraih kembali keberhasilan demi keberhasilan, hingga aku bisa mendapatkan pangkat Laksamana di usia yang masih sangat muda." Bram menjeda sejenak ucapannya. Setelah ini, laki-laki itu akan menceritakan bagian yang paling berat.
"Aku yang begitu hebat, cerdas, dan tangguh dalam kaca mata dunia, kini harus puas dengan sebuah tongkat di tangan, yang membantuku melangkah kemanapun aku pergi. Itu sebabnya, aku takut Rosalie meninggalkanku. Aku bukan Abraham Adiputera yang sama, yang dulu berhasil membuatnya jatuh cinta." Malam ini, laki-laki itu akhirnya membuka diri dan menceritakan apa yang sebenarnya ia pikirkan dan rasakan.
"Aku bisa merasakan apa yang Mas Bram rasakan. Tentu itu sangat menyakitkan." Yuri menggenggam tangan Bram dengan ke dua tangannya.
"Sekarang, aku tidak lagi sempurna. Secara fisik, aku tidak sempurna. Kegelapan ini benar-benar telah merenggut segalanya dariku." Laki-laki itu tersenyum saat menyebutkan kalimat itu, padahal di dalam hatinya ia amat terluka.
"Di mataku, Mas adalah laki-laki yang paling sempurna yang pernah aku temui," ucap Yuri dengan tidak sadar. Awalnya ia hanya ingin menguatkan laki-laki itu.
"Hah?" Bram mengerutkan keningnya. Yuri pun menyadari bahwa laki-laki itu merespons ucapannya dengan makna yang berbeda.
"M-maksudku, di mataku, sekalipun mas tidak bisa melihat, tapi Mas tetap terlihat sangat tampan dan...." Yuri yang awalnya ingin meralat perkataannya malah membuat semuanya menjadi semakin kacau.
Gadis itu sadar bahwa ia sudah salah berbicara. Ia menghukum dirinya dengan menepuk bibirnya beberapa kali tanpa suara dengan satu tangannya yang masih bebas. Sementara, tangan yang satu lagi masih digenggam oleh Bram.
"Dan apa?" Bram tersenyum. Entah kenapa ucapan Yuri itu membuat hatinya terhibur.
"Dan.......... Dan..........." Yuri kehabisan kata-kata. Sekarang ia menampar pipinya sendiri tanpa suara.
"Dan apa?" Bram mengulang lagi pertanyaannya sambil semakin mengeratkan genggamannya.
"Dan sudah waktunya bagi kita untuk tidur," balas perempuan itu kembali sambil berdiri hendak meninggalkan laki-laki itu, namun Bram masih menahan tangannya.
"Tidur? Kita berdua?" Bram kembali menggoda Yuri.
"M-maksudku di kamar milik kita masing-masing." Yuri berusaha lagi melepaskan tangannya, namun sepertinya Bram tidak berniat untuk mengabulkan keinginan gadis itu. Laki-laki itu masih menahannya.
"Mau kemana? Bukankah kamar ini milikmu? Sebab seingatku, aku belum pernah membelinya darimu." Bram menarik tangan Yuri hingga gadis itu jatuh terduduk kembali di atas ranjang.
"Mas!" Yuri berteriak karena kehilangan keseimbangannya. Mereka berdua kini sudah dalam posisi duduk berhadapan.
Bram melepaskan tangannya dari tangan Yuri. Ia beralih menyentuh kedua pipi gadis itu. Wajah Yuri seketika bersemu dan memerah. Gadis itu menjadi salah tingkah.
Cup!!!
Laki-laki itu tiba-tiba mengecup kening Yuri dengan penuh perasaan. Ia mengecup kening gadis itu cukup lama, seolah ingin menyampaikan rasa sayang yang teramat dalam.
"Terima kasih. Terima kasih karena tetap mendampingiku, saat aku tidak memiliki siapapun," Bram melepaskan kecupannya.
"Mulai sekarang, jangan pernah menganggap dirimu sebagai orang asing. Kamu sudah mengambil peran yang penting dalam hidupku. Kamu adalah penyelamatku, Yuri." Bram mengecup kening Yuri sekali lagi. Kali ini lebih cepat dari yang pertama.
"A-aku melakukannya dengan senang hati. Kumohon, jangan menganggap ini sebagai sesuatu yang istimewa." Yuri menurunkan tangan Bram dari wajahnya. Gadis itu segera beranjak, hendak meninggalkan kamar laki-laki itu.
Yuri berdebar. Ia tidak sanggup berdekatan lama-lama dalam kondisi seperti itu. Yuri merasa bahagia. Kecupan kening itu dilakukan secara sadar oleh Bram dan ditujukan khusus kepadanya.
"Selamat tidur Mas," Yuri mengucapkan kalimat itu sebelum ia menutup pintu kamar Bram.
"Selamat tidur Yuri," balas Bram sambil tersenyum dengan manis.
Yuri pun menutup pintu kamar Bram. Namun, gadis itu tidak segera beranjak. Ia masih berdiri pada posisinya, sambil menyandarkan punggungnya di pintu. Yuri masih berdiri di sana, sambil memikirkan sesuatu dan tersenyum dengan bahagia.
--------------
Selamat membaca! Jangan lupa dukung terus cerita ini ya, teman-teman! Terima kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Becky D'lafonte
meleleh hati anak orang, tanggung jawab km bram
2023-03-25
0
lili
sweetnya kalian bikin baper sambil guling"bacanya bayangin kalian....
2023-02-25
0
Byla
Masssss amuuu sweett aneet sihhh.. Bungkus sini yuk #Eh
2022-03-07
0