"Coba apakah anda bisa mengikuti pergerakan jari saya dalam jarak seperti ini?" Dokter mata itu berbicara sambil menggerakkan jarinya ke kanan dan ke kiri, dalam jarak sepuluh centimeter dari posisi mata Bram.
"Saya tidak bisa melihat jari anda dokter," timpal Bram dengan jujur.
"Bagaimana jika dalam jarak seperti ini?apakah anda bisa mengikuti pergerakan jari saya?" Dokter itu berucap kembali seraya memangkas setengah jarak posisi awal jarinya dari posisi mata Bram, sehingga hanya menyisakan jarak lima centimeter.
"Saya tidak bisa," jawab laki-laki itu kembali, kali ini dengan nada yang lebih tinggi.
"Apa dalam jarak seperti ini juga tidak bisa?" Dokter itu kembali bertanya. Ia hampir saja menempelkan jarinya pada mata Bram.
"Tidak bisa! Tidak bisa! Saya tidak bisa melihat apapun," bentak Bram penuh emosi.
Yuri yang semula duduk agak jauh dari tempat pemeriksaan Bram, langsung berjalan mendekati laki-laki itu. Ia mengelus pundak dan lengan Bram untuk menenangkannya.
"Sabar mas! Kita di sini untuk mencari jalan keluarnya bersama-sama," ucap Yuri kepada Bram dengan lembut. Laki-laki itu pun kembali tenang.
"Maaf, Dokter. Ini terlalu berat untuk suami saya." Yuri menatap Dokter mata di hadapannya dan berucap dengan suara yang lirih.
Semalam, mereka berdua telah sepakat untuk melanjutkan sandiwara. Mereka tidak boleh mengambil resiko dengan menyebutkan identitas yang berbeda, selama masih berada di sekitar area yang dekat dengan desa itu. Mereka berdua juga menyepakati panggilan 'mas' sebagai pengganti 'Tuan' supaya tidak ada yang merasa curiga.
"Saya paham Nyonya. Tidak apa-apa," balas Dokter itu sambil menatap Bram dengan perasaan iba.
Dokter itu kemudian mengambil sebuah senter kecil dan mengarahkan cahayanya pada mata Bram. Tidak ada respon seperti yang terjadi pada mata normal.
Dokter kemudian melanjutkan pemeriksaannya dengan lebih mendetail. Beberapa alat digunakan untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi pada mata laki-laki itu.
------------------
"Baik. Anda bisa duduk kembali, Tuan." Dokter memberi kode kepada salah satu perawatnya guna menyuruh perawat itu untuk memapah Bram kembali ke tempat duduk, yang berhadapan dengan meja konsultasi.
"Tuan dan Nyonya. Dengan berat hati saya harus mengatakan bahwa ada masalah pada kornea mata Tuan Abraham. Hasil pemeriksaan saya menunjukkan bahwa kornea mata Tuan Abraham mengalami cedera yang cukup parah. Sayangnya, pada saat kejadian itu, anda tidak langsung memeriksakan dan mengobatinya hingga terjadi infeksi," kata dokter itu berusaha menjelaskan apa yang terjadi.
"Saat ini fungsi kornea Tuan Abraham sudah menurun hingga hanya tersisa satu persen saja. Dengan berat hati saya harus menyatakan bahwa anda telah kehilangan kemampuan melihat anda, Tuan." Dokter itu mengakhiri penjelasannya mengenai kondisi mata Bram.
"J-jadi saya buta dokter?" Bram mempertajam pertanyaannya.
"Maaf, Tuan. Obat-obatan sekalipun tidak dapat memulihkan mata anda," jawab Dokter mata itu kembali dengan penuh penyesalan.
Bram terdiam. Laki-laki itu sepertinya cukup shock, setelah mendengar penjelasan Dokter itu.
"Apakah tidak ada cara lain untuk mengembalikan penglihatan suami saya Dokter?" Yuri berbicara dengan tenang. Perempuan itu tentu merasa sedih saat mendengar vonis Dokter, tetapi ia harus menyikapinya dengan kepala dingin, jika ingin menolong laki-laki itu.
"Transplantasi kornea mata bisa dilakukan jika ada orang yang mau mendonorkan matanya. Tetapi, tentu itu tidak mudah. Kita harus memastikan bahwa korneanya cocok," jawab Dokter itu dengan penjelasan yang cukup mudah dipahami oleh orang awam.
"Kalau begitu tolong carikan saya pendonornya. Bila perlu dalam waktu satu atau dua minggu ini. Bulan depan, saya akan me..." Bram menghentikan ucapannya. Ia hampir saja membongkar sandiwaranya sendiri dengan mengatakan bahwa ia akan menikahi tunangannya, Rosalie.
"Menjalankan tugas baru. Suami saya akan dipindah-tugaskan ke kota lain. Suami saya adalah seorang Perwira Angkatan Laut," jawab Yuri dengan asal, berusaha menutupi kecerobohan Bram. Gadis itu berusaha berbicara dengan tenang, meski hatinya berkecamuk karena laki-laki itu hampir saja keceplosan.
"Jadi, begini Tuan dan Nyonya. Transplantasi kornea itu adalah proses yang sangat rumit dan membutuhkan banyak waktu. Prosesnya tidak semudah ketika seseorang melakukan transfusi darah. Pada umumnya, para pendonor kornea adalah orang-orang yang sudah meninggal, yang memang telah menyetujui bagian tubuhnya di berikan untuk menunjang kehidupan sesamanya yang lain. Masalahnya di negara ini, hal semacam itu belum familiar dan kalau pun ada yang mau, biasanya cukup sulit dilakukan, karena sering tidak mendapat persetujuan dari pihak keluarga." Dokter itu mulai menjabarkan penjelasannya kembali.
"Kita bisa saja mengambil kornea orang yang hidup. Kadang kala ada orang-orang yang sangat membutuhkan uang sehingga memilih menjual organ tubuhnya.Tetapi, sebenarnya itu ilegal dan melanggar hukum." Dokter itu menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan berat. Tidak mudah memang mendapat pendonor kornea dalam waktu yang singkat.
"Bukan hanya soal pendonor, kecocokan kornea mata juga menjadi hal utama, yang harus diperhatikan. Transplantasi tidak akan bisa dilakukan tanpa kornea yang cocok, sekalipun ada orang yang mau mendonorkan korneanya," imbuh Dokter itu kembali.
"Lalu, saya harus terus hidup dalam kegelapan? Saya harus selalu bergantung pada orang lain seumur hidup saya?" Bram benar-benar merasa putus asa.
"Mas, ini belum berakhir. Dokter pasti berusaha membantu kita. Mungkin prosesnya akan cukup memakan waktu, tapi saya yakin mas pasti bisa melihat kembali," kata Yuri sambil mengelus punggung suami pura-puranya itu.
"Dokter, tolong lakukan yang terbaik untuk menolong suami saya. Kami menunggu kabar baik dari anda," sambung Yuri sambil menunjukkan tatapan mengiba pada Dokter itu.
"Pasti Nyonya. Saya pasti berusaha membantu," jawab Dokter itu sambil tersenyum.
-------------------
Saat ini Bram sudah berada di dalam kamarnya. Laki-laki itu mengatakan kepada Yuri bahwa ia ingin sendiri untuk beberapa saat dan tidak ingin diganggu.
Yuri pun menuruti laki-laki itu. Ia meninggalkan Bram sendiri di dalam kamar yang dulu ditempati oleh ayahnya.
Gadis itu segera menuju ke dapur. Awalnya, ia berniat memasak makanan bagi mereka berdua, hingga terdengar suara keributan dari dalam kamar Bram.
Prangg!!!!
"Aaaaarggghhhhh!!! Sial! Sial!" Bram membanting beberapa barang yang ada di kamar itu.
Bug! Bug! Bug!
Laki-laki itu meninju tembok yang ada di hadapannya berulang kali hingga jarinya berdarah. Ia seperti tidak peduli dengan luka yang ada di tangannya.
Bug! Bug! Bug!
"Mas, apa yang kamu lakukan?" Yuri mencoba menghentikan laki-laki itu. Tembok yang semula putih bersih kini menorehkan noda darah.
"Minggir! Ini bukan urusanmu. Minggir!" Bram berusaha menyingkirkan Yuri dari hadapannya.
"Mas! Jangan begini! Tenangkan dirimu!" Yuri berusaha menggapai tubuh laki-laki itu.
"Tenang? Mungkin seharusnya aku mati saja saat kecelakaan itu. Dengan demikian aku bisa tenang," balas Bram sambil terus berusaha melukai dirinya.
Yuri masih berusaha menghentikan aksi laki-laki itu. Ia mengambil posisi di depan Bram supaya mudah menjangkaunya.
"Aaahh!!!" Satu pukulan tidak sengaja mengenai wajah Yuri hingga perempuan itu terjatuh.
"Yuri!" Bram menyadari apa yang baru saja ia lakukan pada gadis itu. Emosi yang tadinya membuncah kini berganti dengan perasaan bersalah.
"Maafkan aku! Apa kamu baik-baik saja?" Bram mencoba mencari keberadaan Yuri. Ia meraba-raba sekelilingnya.
"A-aku tidak apa-apa. Mari kita duduk," ucap Yuri sambil menyentuh lengan Bram dan mengarahkan laki-laki itu untuk duduk di atas ranjang.
"Tunggu sebentar ya mas! Aku ambilkan obat dan perban untuk lukamu," kata Yuri sambil melangkah meninggalkan Bram.
Beberapa menit kemudian, gadis itu pun kembali dengan membawa sebuah kotak P3K. Yuri kembali duduk di hadapan Bram dan mulai membersihkan luka di punggung tangan laki-laki itu.
"Maaf, aku tidak sengaja memukulmu tadi," ucap Bram mencoba mengawali pembicaraan.
"Tidak apa-apa. Tidak terlalu keras dan tidak meninggalkan bekas," bohong Yuri kepada Bram. Sebenarnya pipi gadis itu membiru dan terasa nyeri. Beruntung Bram tidak bisa melihat.
Gadis itu masih memberikan obat di bagian punggung tangan Bram yang mengeluarkan darah. Ia menyapukan obat yang mengandung antiseptik agar tidak terjadi infeksi.
"Aku tidak tahu apakah aku masih memiliki keberanian untuk menemui Rosalie dalam kondisi buta seperti ini. Aku bahkan tidak tahu apakah Rosalie masih bersedia menikah denganku jika aku buta," jawab laki-laki itu dengan suara lirih.
"Jika dia mencintaimu, dia akan menerimamu mas," balas Yuri sambil membalut tangan Bram menggunakan perban.
"Aku tidak percaya dengan cinta yang menerima seseorang apa adanya. Aku pun tidak mencintainya apa adanya. Mungkin jika ia tidak cantik, tidak pintar, dan tidak lahir dari keluarga yang terhormat, aku bisa saja tidak mencintainya," ucap Bram mencoba realistis.
"Jadi, itu sebabnya anda meragukan perasaan tunangan anda. Apakah anda takut ia hanya menerima laki-laki yang sempurna?" Yuri menghentikan aktivitasnya sejenak dan menatap Bram sementara laki-laki itu hanya terdiam.
"Sekarang jawab dulu pertanyaanku. Apakah anda tidak akan mencintainya lagi saat ia menua, saat ia mulai mudah lupa, atau saat ia mengompol karena usia yang semakin renta?" Yuri menanti jawaban laki-laki itu.
"Tentu saja aku akan tetap mencintainya. Itu adalah hal yang berbeda," jawab laki-laki itu.
"Semuanya sama. Apa bedanya? Dulu anda begitu gagah dengan seragam anda, sekarang anda terlihat lemah karena anda kehilangan penglihatan. Jika ia mencintai anda, ia akan tetap berada di sisi anda Tuan, eh mas," balas Yuri sambil melanjutkan aktivitasnya kembali.
Bram tidak bisa membantah ucapan Yuri. Laki-laki itu membenarkan ucapan gadis itu di dalam hati.
"Kamu, apakah sudah memiliki kekasih?" Bram tiba-tiba bertanya tentang sesuatu yang sifatnya pribadi.
"Jika saya memiliki kekasih, anda tidak mungkin tinggal di sini," jawab Yuri dengan perasaan malu. Kenyataannya ia bahkan belum pernah berpacaran.
"Kenapa?" Bram melanjutkan pertanyaannya.
"Mungkin karena saya tidak memiliki kriteria yang diinginkan oleh laki-laki pada umumnya," tutur Yuri dengan asal. Perempuan itu sebenarnya tidak ingin menjawab pertanyaan Bram.
"Sudah selesai. Ku mohon tenangkan diri anda! Saya yakin pasti ada jalan keluar," ucap Yuri kembali sambil berdiri dan hendak meninggalkan laki-laki itu untuk mengembalikan kotak P3K pada tempatnya.
"Tunggu," kata Bram sambil menarik tangan Yuri dan mendudukkan gadis itu kembali ke hadapannya.
Beberapa detik berlalu. Sepertinya laki-laki itu sedang berpikir untuk melakukan sesuatu.
Bram kemudian memberanikan dirinya untuk menyentuh wajah Yuri. Ia meletakkan jarinya ke alis, mata, hidung, pipi, dan terakhir di bibir gadis itu. Cukup lama ia menyentuh bibir Yuri dan mengusapnya dengan lembut.
Gadis itu merasa gugup seketika. Belum pernah ada laki-laki yang menyentuh wajahnya seperti itu.
"Apa yang anda lakukan tuan?" Yuri mencoba menyingkirkan tangan Bram dari bibirnya, namun laki-laki itu menahan tangannya tetap pada posisi yang sama.
"Kamu... Cantik," balas Bram dengan singkat.
--------------
Selamat membaca!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
lili
walau buta mas tau kalau Yuri cantik
2023-02-25
0
neli nurullailah
tau az sama yg cantik
2021-12-04
0
Nurafni Zalfaalituhayu
ko bram gak buat laporan aja ke kesatuanya kan bisa dapat perawatan yg bagus
2021-06-06
0