"Terima kasih. Menu makan malam hari ini sangat enak." Bram berucap setelah menghabiskan semangkuk nasi lengkap dengan sayur dan lauk di atasnya.
Setelah adegan canggung yang terjadi di antara mereka berdua, Yuri melanjutkan kembali aktivitasnya. Ia memasak, kemudian mencuci bekas alat masak yang habis ia gunakan, dan setelah itu menyantap makan malam berdua bersama dengan Bram.
Dengan hati-hati, Yuri membantu Bram memilah-milah lauk dan sayur yang akan disantap oleh laki-laki itu. Yuri menggunakan mangkuk, supaya makanan yang terhidang di sana tidak jatuh berceceran ketika Bram menyendoknya.
Sebenarnya, Yuri ingin menyuapi laki-laki itu, namun Bram menolak. Bagaimanapun juga laki-laki itu harus membiasakan diri agar tidak terus bergantung pada orang lain, sebab ia tidak pernah tahu kapan kegelapan itu akan meninggalkan dirinya.
Beberapa kali tangan Yuri bersentuhan dengan tangan Bram selama makan malam itu berlangsung, dan pada saat itu terjadi, Yuri merasakan jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.
Laki-laki berparas tampan dan berbadan tegap ini memang memberi banyak pengaruh pada kinerja jantungnya. Hal itu mungkin saja terjadi, karena selama ini gadis itu belum pernah dekat dengan laki-laki selain ayahnya.
"Sama-sama. Saya akan mengantar mas kembali ke kamar," balas Yuri sambil memapah laki-laki itu perlahan-lahan sambil menahan degub jantungnya yang terus melompat-lompat di dalam.
-----------------------
"Belum tidur? Hari sudah sangat larut." Yuri melihat laki-laki itu duduk sambil menghadap ke jendela yang setengah terbuka. Laki-laki itu sedang melamun sambil menikmati udara malam yang masuk dari celah jendela kamarnya.
"Sebentar lagi. Aku masih ingin merasakan udara segar. Lagi pula tidak ada yang terlalu larut dan terlalu terang bagiku. Semuanya sama saja," jawab Bram dengan suara sayup-sayup hampir tak terdengar.
"Jangan lama-lama mas! Angin malam tidak terlalu baik untuk kesehatan," balas Yuri dengan nada khawatir.
Untuk beberapa waktu mereka menghentikan percakapan itu. Bram masih pada posisinya sementara Yuri masih menatap sosok laki-laki yang ada di hadapannya.
"Mas masih memikirkan kak Rosalie, tunangan mas?" Pertanyaan Yuri memecah kebekuan yang tadi sempat tercipta. Gadis itu pun kemudian berjalan mendekati Bram.
"Tidak! Aku hanya tiba-tiba mengingat kembali peristiwa nahas itu. Pesawatku jatuh dan aku masih selamat. Aku bahkan beruntung karena kamu menyelamatkanku. Meski aku kehilangan penglihatan, setidaknya aku masih tinggal di rumah yang nyaman seperti ini. Terima kasih Yuri," tutur Bram dengan sungguh-sungguh.
Gadis itu berpikir sebaliknya. Bagi Yuri, Bram adalah penyelamatnya. Seandainya saja laki-laki itu tidak terdampar di atas karang, mungkin saja Yuri sudah meninggal dan jasadnya sudah mengapung sejak kemarin.
"Yuri?" Bram memanggil gadis itu kembali karena tidak mendapat jawaban.
"Jangan memikirkan hal yang buruk itu lagi. Mari beristirahat! Biar saya membantu mas berbaring," ucap gadis itu sambil membawa laki-laki itu ke atas ranjang dan menyelimutinya.
"Yuri maukah kamu menolongku?" Bram tiba-tiba menahan tangan Yuri saat gadis itu hendak meninggalkannya.
"Selama itu bisa saya lakukan, pasti saya akan menolongmu, mas." Yuri mengusap telapak tangan Bram yang menggenggamnya dengan tangan yang lain.
"Berjanjilah padaku bahwa kamu akan mendampingiku sampai mataku bisa melihat lagi!" Yuri mengerutkan keningnya. Ia merasa aneh dengan permintaan laki-laki itu.
"Maaf mas, tapi apakah keluargamu tidak mengkhawatirkanmu? Mereka pasti sedang mencarimu sekarang. Tidakkah mereka harus mengetahui bahwa mas masih hidup?" Yuri mengingatkan laki-laki itu bahwa pasti ada anggota keluarga yang mengkhawatirkan kondisinya saat ini.
"Apa kamu keberatan jika aku menumpang di sini cukup lama? Apa kamu keberatan karena harus menghidupiku? Kamu bisa menjual jam tanganku untuk membantu biaya hidup kita. Harganya cukup untuk hidup selama enam bulan bahkan satu tahun, jika kamu menghemat." Bram melepas jam tangannya dan memberikan kepada Yuri.
"Bukan begitu maksud saya. Tinggalah di sini selama apapun itu! Saya tidak akan keberatan. Hanya saja, bagaimana dengan keluargamu mas? Saya takut mereka mengira bahwa mas sudah mati," tutur Yuri dengan polos.
Ia menggenggamkan kembali jam tangan Bram ke telapak tangan laki-laki itu. Yuri merasa bahwa ia masih sanggup menghidupi Bram.
"Aku berencana meninggalkan desa ini, saat mataku telah sembuh. Bagaimana pun juga aku tidak ingin muncul ke hadapan Rosalie ataupun ke hadapan keluargaku yang lain dalam kondisi seperti ini. Aku tidak bisa membayangkan reaksi mereka nantinya. Mereka pasti merasa hancur." Bram masih berusaha menyerahkan kembali jam tangannya ke tangan perempuan itu.
"Saya tidak bisa menerima ini mas," tolak Yuri sambil menjauhkan tangannya.
"Jual saja jam tangan ini untuk biaya hidup kita dan biaya pengobatan mataku nantinya!Kamu tidak mungkin menanggung semuanya sendiri kan? Biaya pengobatanku saja pasti memakan biaya yang cukup besar. Ku mohon terimalah!" Bram menyodorkan kembali kepada Yuri.
"Saya hanya akan menggunakan uang hasil penjualan jam tangan ini untuk pengobatan. Saya akan mencatat berapa uang yang saya terima setelah menjual benda ini dan juga mencatat semua pengeluaran pengobatan itu sehingga mas bisa memeriksanya, saat penglihatan mas telah pulih kembali." Yuri menegaskan itu kepada Bram.
"Terserah kamu saja. Aku percaya padamu." Bram merasa tenang karena Yuri mau menerima pemberiannya.
"Jadi, maukah kamu menampungku dan mendampingiku sampai semua proses pengobatan itu selesai aku jalani?" Laki-laki itu bertanya sekali lagi untuk memastikan.
Ia kembali mencari tangan Yuri dan menggenggamnya, tanda bahwa ia menaruh harapan yang sangat besar kepada gadis itu. Ia sungguh berharap gadis itu mau menolongnya sampai ia bisa melihat kembali.
"Tentu mas. Lagi pula saya tidak berniat untuk memecahkan rekor sebagai janda termuda dan tercepat yang pernah hidup di desa ini," balas perempuan itu sambil tertawa.
"M-maksudnya?" Bram masih belum paham.
"Kita sudah menikah. Mas lupa? Bukankah itu yang mas katakan kepada warga kemarin?" Yuri mengingatkan kembali apa yang terjadi di hari kemarin.
"Kau benar. Jika aku meninggalkan rumah ini cepat-cepat, maka di mata orang-orang bodoh itu kamu adalah seorang janda," ucap Bram disusul tawa yang menggelegar.
"Tapi..." Laki-laki itu menghentikan tawanya. Ia teringat sesuatu.
"Bagaimana jika kamu tidak menikah karena orang menganggapmu sebagai janda?" Bram baru saja memikirkan konsekuensi dari tindakan impulsifnya kemarin.
"Tidak perlu memikirkan hal itu. Saya bahkan tidak tahu apakah saya akan menikah atau tidak nantinya," balas Yuri dengan sorot mata yang sendu.
Gadis cantik itu terlalu banyak dilecehkan oleh pria. Ia bahkan sulit mendekatkan diri dengan laki-laki karena selama ini tidak ada yang tulus kepadanya. Hanya Bram yang ia percaya. Tetapi, ia pun tidak mungkin menikah dengan laki-laki itu.
Bram memiliki pemahaman yang berbeda. Laki-laki itu berpikir, mungkin Yuri merasa bahwa dirinya tidak layak untuk menikah, karena statusnya yang buruk di mata masyarakat. Perempuan itu tidak percaya diri untuk membangun rumah tangga, karena masa lalunya yang kelam. Sekarang Bram semakin memahami, mengapa tadi Yuri mengatakan bahwa ia tidak masuk dalam kriteria laki-laki manapun, padahal Bram sangat yakin perempuan itu begitu cantik.
"Selamat tidur, mas! Beristirahatlah!" Yuri menghentikan percakapan mereka. Ia melepaskan genggaman tangan laki-laki itu dan meninggalkannya sendiri. Gadis itu pun masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat.
-----------
Selamat membaca!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Becky D'lafonte
masih aja berfikir buruk ttg yuri
2023-03-25
0
lili
aku maraton bacanya
2023-02-25
0
Byla
Oke bakalan sampai end aku baca Thor!! Mari lanjot
2022-03-07
0