Rylia membuka pintu rumah dengan perlahan, dan mereka berdua masuk ke dalam dengan kondisi basah kuyup. Rylia langsung melepas payungnya dan menatap Jehan dengan mata tajam. "Kamu ngapain coba hujan-hujanan, lihat kita jadi basah," omelnya, suaranya penuh dengan kesal.
Dia tak terima harus ikut basah karena Jehan, dan langsung melanjutkan omelannya. "Lain kali tidak usah seperti itu, kalau sakit gimana? Nanti repot." Jehan tidak menjawab, dia hanya tersenyum lebar, seolah-olah mendengar ocehan Rylia membuatnya senang. Baginya, Rylia yang bisa menjaga dirinya dan berbicara dengan jujur jauh lebih menyenangkan daripada Rylia yang bisu, lemah, dan hanya diam.
"kenapa senyum-senyum emang ada yang lucu" katanya ketus Rylia
Jehan mengeleng. "Tidak,"
"Terus kenapa senyum-senyum?"
Jehan lagi-lagi mengeleng, dia berjalan mendahului Rylia. Menuju kamar mandi,
"Dasar menyebalkan!" Teriaknya. Namun Jehan tetap pergi tanpa menoleh kebelakang, dia hanya tersenyum mendengar suara kesal Rylia yang berteriak.
•••
"Aku perhatikan kamu jaga sekali masak, kamu belajar dari mana?" Tanya Rylia saat melihat Jehan memasak makan malam untuk nya.
"Aku belajar sendiri, "
"Serius? Itu tidak mungkin apalagi seorang pria."
"Memang nya apa yang salah jika seorang pria?" Katanya "Memasak itu menyenangkan bagiku." Tambah nya.
Betul juga tapi aneh saja jika dipikir kembali, Jehan yang begitu sibuk masih punya waktu untuk belajar memasak. Hebat sekali pria ini.
"Tidak juga tap..."
"Lebih baik kamu bantu aku biar makanan cepat matang," katanya Jehan yang langsung memotong perkataan Rylia. Pria itu memberikan sepatula pada Rylia.
"Aduk jangan sampai hangus," kata Jehan.
Rylia menurut gadis itu mengaduk-aduk sayur nya.
"Jehan, ini gimana? Udah mendidih mau tambahin apalgi"
"Itu bumbu yang samping kompor, masukan ke dalam sop nya"
"Bumbu?"Rylia melihat dua mangkuk berisi bumbu jadi, "Yang aman ini atau in..."
"Ini," Ucapan Jehan yang kini tiba-tiba berada dibelakang Rylia.
DEG!!
Jantung Rylia berdegup kencang, seolah-olah berhenti berdetak untuk sesaat. Kedua bola mata mereka bertemu dalam pandangan yang intens, seolah-olah waktu telah berhenti. Udara di sekitar mereka terasa tegang, dipenuhi dengan emosi yang tidak terucapkan. Rylia merasa seperti terkena sambaran petir, hatinya bergetar dengan perasaan yang tidak terdefinisi.
Dengan gerakan yang cepat dan tidak terduga, Rylia mendorong Jehan dengan kekuatan yang tidak biasa. Jehan terkejut dan terjatuh ke belakang, menabrak wastafel . Rylia sendiri terkejut dengan tindakannya, seolah-olah dia tidak bisa mengontrol emosinya lagi.
"Ahkkk," pekik Jehan kesakitan saat dirinya tidak sengaja menabrak wastafel.
"Maaf aku tidak bermaksud, kamu baik-baik aja kan?" Tanyanya.
Jehan menatap Rylia dengan mata yang sedikit terkejut, tapi tidak marah. Dia mengambil napas dalam-dalam, kemudian mengangguk pelan. "Aku baik-baik saja," ucapnya dengan suara yang tenang. Dia memandang Rylia dengan mata yang penuh pertanyaan, seolah-olah ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Yaudah biar aku aja yang lanjutin masak nya, kamu duduk dimeja aja dulu."
Jehan mengangguk patuh, kemudian berjalan menuju meja makan dan duduk di atasnya. Dia memandang Rylia yang kini sibuk melanjutkan memasak, dengan mata yang penuh perhatian. Suasana di dapur kini terasa lebih tenang, setelah sebelumnya terjadi insiden yang tidak terduga.
Tak lama kemudian masakan matan.
Rylia mematikan api kompor dan mengangkat wajan dari atasnya. Dia memandang Jehan dengan senyum,
"Sudah matang, mau makan bersama ?" tanyanya, sambil mengatur makanannya di atas piring.
Jehan mengangguk pelan, kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan menuju tempat makan. Dia duduk di seberang Rylia, dan memandangnya dengan senyum tipis.
"Kenapa duduk nya pindah?"
Jehan menatap Rylia dengan sedikit terkejut, kemudian menjawab dengan suara yang pelan,
"Aku pikir kita bisa makan bersama, seperti biasa." Dia memandang Rylia dengan mata yang bertanya,
"maksud aku di meja makan ini? Biasanya kan kamu tidak mau lihat aku kalau lagi makan?" Ketus Rylia.
"Ohhh... Aku pikir kita akan makan satu piring bersama." Ucapannya terdengar kecewa
Rylia meletakkan piring berisi makanan didepan Jehan. Dia menatap pria itu dan berkata...
"Kenapa sekarang kamu ingin berada disisiku?" Rylia menatap Jehan yang kini duduk disampingnya
"Bukannya aku sudah bilang, aku akan membuktikan nya. Aku akan berubah menjadi Jehan yang baru,"
"Untuk apa? Disaat semua nya sudah terlambat... Saat aku tidak lagi memiliki perasaan padamu?"
Air mata Rylia mengalir begitu saja, entah apa yang membuat nya menangis.
Jehan mengulurkan tangannya, mengusap lembut pipi Rylia.
"Maaf membuat kamu menangis lagi."
Aneh, rasanya begitu aneh. Seberapa keras Rylia untuk menutup hati nya, Jehan selalu masuk kedalamnya. Apakah semua ini memang sudah takdir?
•••
Jehan mengantar Rylia hingga kedepan panti, pagi tadi sebenarnya Rylia ingin pergi sendiri tetapi Jehan terus menerus mendesak nya hingga akhirnya dia terpaksa menerima, Jehan mengantarnya.
"Sudah, sekarang pergilah." Kata Rylia sembari melepaskan sabuk pengaman.
Rylia turun dari mobil, Namun dia juga melihat Jehan yang keluar dari mobil.
"Kamu ngapain?" Tanya Rylia ketus.
"Mengantar istriku,"
"Jangan main-main Jehan, cepat masuk, tidak enak jika dilihat orang"
"Kenapa tidak enak, apa yang salah memang nya, kamu istriku kan?"
Rylia menjadi kesal.
"Rylia," Panggil Firza yang juga baru sampai.
"Eh Firza..."
"Ayo masuk," Ajaknya.
"Iyah" Rylia mengangguk, " sudah sana pergi," kata Rylia pada Jehan.
Mata Jehan membesar, dan wajahnya berubah menjadi pucat. Dia menatap Rylia dan Firza dengan ekspresi yang campur aduk antara kekecewaan, kesal, dan sedikit rasa sakit. Dia terdiam, tidak bisa mengucapkan sepatah katapun, hanya memandang mereka berdua dengan mata yang terasa seperti terbakar.
Jehan menatap layar komputernya dengan mata yang kosong, pikirannya masih terpaku pada gambar Rylia dan Firza yang berjalan bersama. Hatinya terasa gelisah, seperti ada yang mengganggu di dalam dada. Dia merasa kesal pada dirinya sendiri, karena tidak bisa menghilangkan perasaan cemburu yang mengganggu. Dia mengambil napas dalam-dalam, berusaha untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang tidak diinginkan, tapi tidak berhasil.
Pria itu mengetik sesuatu diponselnya dan tak lama setelah itu Rio datang.
Rio masuk ke ruang kantor Jehan dengan langkah yang santai, kemudian menatap Jehan dengan mata yang penasaran. "Ada apa, Tuan? Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya, sambil berjalan menuju meja Jehan. Jehan menatap Rio dengan mata yang serius, kemudian meletakkan ponselnya di atas meja.
"Aku butuh bantuanmu, Rio," katanya dengan suara yang rendah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments