Rylia melangkah masuk ke dalam gerbang hitam yang mengarah ke sebuah rumah besar. Suasana riang anak-anak kecil yang berlarian dan bermain-main langsung menyambutnya.
Tiba-tiba, suara seorang pria memanggil namanya.
"Rylia!" Rylia berbalik dan menemukan Firza berdiri di hadapannya. Firza menggunakan bahasa isyarat untuk bertanya,
"Kamu sedang apa?"
Rylia tersenyum dan mereka berdua memutuskan untuk mencari tempat yang lebih tenang untuk berbicara. Rylia menceritakan semuanya, termasuk alasan kedatangannya ke tempat itu.
Firza mendengarkan dengan saksama sebelum bertanya, "Iya benar, disini sedang butuh guru kebutuhan khusus tapi apa kamu yakin?"
Rylia mengangguk dengan pasti. "Ada satu lagi," tambahnya dengan menggunakan jemari untuk berbicara, "Aku bisa bicara."
Firza tidak menunjukkan ekspresi terkejut. Sebaliknya, dia tersenyum dan mengatakan,
"Aku tahu." Rylia terkejut dan mengerutkan
keningnya. "Yah, aku sudah tahu sejak kita masih sekolah," tambah Firza.
Rylia penasaran. "Bagaimana bisa?" tanyanya.
Firza memandangnya dengan mata yang dalam.
"Mungkin kamu tidak mengingatnya, tapi aku mengingatnya dengan jelas. Saat hujan, kamu menangis di atap gedung. Aku ada disana. Aku mendengar suara kamu yang merintih dalam derasnya hujan."
Rylia terdiam, mengingat kembali kenangan lama itu. Firza melanjutkan, "Sejak saat itu, aku penasaran dengan kamu. Rasanya aku ingin terus disisimu, aku ingin tahu apa alasan mengapa kamu memilih untuk membisu. Tapi sayang, aku tidak tahu jika hari itu adalah hari terakhir aku melihatmu."
"Maaf, aku tidak bermaksud membohongimu," Rylia mengucapkan kata-kata itu dengan nada yang lembut.
Firza mengelengkan kepalanya, "Tidak, aku tahu kamu pasti memiliki alasan untuk itu. Aku tidak akan bertanya jika kamu tidak ingin mengatakannya."
Rylia tersenyum, merasa lega karena Firza tidak menanyakan lebih lanjut. Dia memang pria yang baik, selalu menenangkan dan memahami
"Mau aku antar melihat tempat ini?" Firza menawarkan dengan senyum.
Rylia mengangguk, dan mereka berkeliling melihat setiap sudut tempat itu. Firza menjelaskan beberapa hal tentang sekolah khusus ini, dan Rylia mendengarkan dengan saksama.
"Jadi anak-anak disini sudah tidak memiliki orang tua?" Rylia bertanya dengan nada yang lembut.
Firza mengangguk, "Bukan hanya tidak memiliki orang tua, tetapi hampir semua anak disini mempunyai kekurangan. Tapi mereka masih sangat semangat."
Rylia memandang Firza dengan mata yang penuh rasa ingin tahu. Firza melanjutkan,
"Mungkin kamu akan mengerti nanti. Mereka tidak membiarkan kekurangan mereka membuat mereka patah semangat."
Disisi lain seorang pria mengepal tangan nya, dia bersmirik.
Di tempat yang jauh dari Rylia dan Firza, seorang pria berdiri dengan wajah yang gelap. Dia mengepal tangannya dengan kuat, seolah-olah ingin menghancurkan sesuatu. Bibirnya melengkungkan senyum sinis, menunjukkan kepuasan yang tidak biasa. Matanya berkilauan dengan niat jahat, seolah-olah dia sedang merencanakan sesuatu
"Akhirnya, rencana ku mulai terwujud," katanya pada dirinya sendiri dengan nada yang berbisik.
"Dia telah terjebak dalam permainan ku," lanjutnya dengan senyum licik. "Dan saat itu, aku akan menikmati setiap detiknya."
Jehan duduk di ruangannya, terlihat tidak fokus. Pikirannya terus melayang ke Rylia, yang akhir-akhir ini semakin dingin padanya.
Dia tidak bisa mengerti apa yang terjadi, dan itu membuatnya merasa tidak nyaman.
Tiba-tiba, suara Rio memecah kesunyian.
"TUAN!!" panggilannya membuat Jehan terkejut.
Jehan tersadar dan menatap Rio. "Ada apa?" tanyanya dengan nada yang sedikit terganggu.
Rio masuk ke ruangan dan menyerahkan beberapa dokumen kepada Jehan.
"Ini berkas yang harus ditanda tangani tuan, dan ini adalah dokumen pengajuan investasi di salah satu panti asuhan."
Jehan mengambil dokumen dan mulai membacanya. "Pengajuan investasi? Untuk apa? Memang apa yang akan kita lakukan dengan panti asuhan itu?" tanyanya dengan nada yang penasaran.
Rio menjelaskan, "Pak Chandra bilang, panti asuhan itu dalam tahap pembangunan dan membutuhkan investasi."
Jehan membaca dokumen lebih lanjut, dan tiba-tiba matanya terfokus pada satu kalimat.
"Tunggu... Bukannya ini tempat yang harusnya dijadikan pembangunan?" tanyanya dengan nada yang terkejut.
Rio mengangguk. "Iyah, betul tuan. Tapi setelah rapat terakhir waktu itu, pak Chandra memutuskan untuk tidak mengusur nya dan pengajuan investasi ini diajukan oleh pak Chandra."
Jehan memandang Rio dengan mata yang tajam.
"Kalau begitu, tolak saja pengajuan investasi itu. Bila perlu, gusur tempat itu," katanya dengan nada yang tegas.
Rio terkejut, tapi dia tidak berani membantah.
"Baik, tuan," jawabnya sebelum keluar dari ruangan.
Jehan meraih ponselnya dan mencoba menelpon Rylia, tapi gadis itu tidak mengangkatnya. Dia merasa kesal dan tidak sabar untuk berbicara dengan Rylia.
Malam hari tiba, dan Jehan sudah pulang ke rumah. Dia menyiapkan makan malam, menunggu Rylia pulang. Suara pintu terbuka terdengar, dan Jehan melihat Rylia berdiri di ambang pintu.
"Kamu sudah pulang? Ayo kemari, makan," katanya dengan senyum.
Rylia menatap meja yang penuh dengan makanan, tapi dia tidak menolak. Dia duduk dan mulai makan, tapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Jehan mencoba memecahkan keheningan.
"Bagaimana pekerjaanmu hari ini?" tanyanya.
Tapi Rylia tidak menjawab. Dia hanya diam, menyendok makanannya dan melahap.
Jehan merasa kesal dan ingin berteriak, tapi dia tidak melakukan itu. Dia mencoba lagi.
"Baiklah, lupakan. Kalau begitu, bagaimana dengan ayahmu? Apa kondisinya sudah jauh membaik?"
Rylia mengehentikan makannya dan menatap Jehan dengan mata yang tajam. "Kamu tahu dari mana tentang ayah?" tanyanya dengan nada yang curiga.
Jehan terkejut. "Aku... Dokter Herman yang memberitahu aku," jawabnya.
Rylia menatapnya dengan mata yang semakin tajam.
"Kamu mengawasiku lagi?" tanyanya dengan nada yang marah.
Jehan buru-buru menjelaskan. "Tidak, aku tidak mengawasimu. Aku tahu dari ayah..."
Rylia terlihat bimbang, berjuang dengan emosinya sendiri. Di satu sisi, dia masih merasakan sakit dan kemarahan karena perlakuan Jehan di masa lalu. Namun, di sisi lain, dia melihat perubahan pada Jehan dan merasa ragu untuk memulai kembali dari awal.
Rylia mengambil napas dalam-dalam, mencoba untuk memproses emosinya. Dia tahu bahwa membalas rasa sakitnya tidak akan membuatnya bahagia, tapi memulai kembali dari awal juga membuatnya takut untuk terluka lagi.
"Apakah aku harus memberikan kesempatan kedua pada Jehan?" Rylia bertanya pada dirinya sendiri, mencari jawaban yang tepat.
Rylia menghela napas dalam-dalam, memutuskan untuk tidak memberikan kesempatan kedua pada Jehan.
"Tidak, jika aku lemah lagi, dia pasti akan menyakitiku," katanya dalam hati, mencoba untuk mempertahankan kekuatan emosinya.
Saat itu, Jehan berdiri dan mengambil beberapa paper bag, kemudian mendekati Rylia dengan senyum di wajahnya.
"Aku tidak tahu kamu suka atau tidak, tapi aku ingin membelikan kamu hadiah atas pekerjaanmu," katanya, menawarkan paper bag tersebut dengan tangan terbuka.
Rylia menatap paper bag itu dengan rasa ingin tahu yang besar, namun ego dan kebanggaannya tidak memungkinkannya untuk menerima itu dengan senang hati
mencoba untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.
"Apa ini?" tanyanya dengan nada yang datar, berusaha untuk tidak menunjukkan rasa ingin tahunya.
Jehan tersenyum dan membuka salah satu paper bag, mengeluarkan sebuah kotak kecil yang berkilauan.
"Aku melihat ini di toko dan aku langsung teringat kamu," katanya, membuka kotak tersebut dan mengeluarkan sebuah kalung yang indah.
Rylia menatap kalung itu dengan mata yang lebar, merasa terkejut dan kagum. Dia tidak menyangka bahwa Jehan akan membelikan sesuatu yang begitu indah untuknya. Namun, dia masih ragu-ragu untuk menerima hadiah itu, takut bahwa itu hanya sebuah trik untuk membuatnya luluh
"Apa yang kamu ingin dapatkan dengan memberikan aku hadiah ini?"
Jehan menatap Rylia dengan mata yang sedih, seolah-olah dia telah kehilangan harapan.
"Aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku peduli padamu, Rylia," katanya dengan suara yang lembut. "Aku tahu aku telah menyakitimu dan aku ingin memperbaiki itu ."
Rylia menatap Jehan dengan mata yang skeptis, tidak yakin apakah dia harus percaya pada kata-katanya. Dia masih merasa ragu-ragu, tidak tahu apa yang harus dilakukan.
"Apa yang membuat kamu tiba-tiba peduli padaku sekarang?"
Jehan menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.
"Aku menyadari bahwa aku telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga ketika aku menyakitimu," katanya. "Aku menyadari bahwa aku tidak bisa hidup tanpamu, Rylia. Kamu adalah bagian dari hidupku, dan aku ingin memperbaiki kesalahanku dan membuatmu bahagia."
Rylia menatap Jehan dengan mata yang lebar, merasa terkejut dengan pengakuan yang dia dengar. Dia tidak menyangka bahwa Jehan akan mengakui perasaannya dengan cara yang begitu jujur dan terbuka.
Namun Rylia menepis perasaannya dan mencoba untuk tidak terpengaruh oleh kata-kata Jehan. Dia tidak ingin terjebak dalam perasaan yang sama lagi, perasaan yang membuatnya terluka dan sakit.
"Tidak ada yang bisa kamu lakukan untuk memperbaiki kesalahanmu," kata Rylia dengan nada yang dingin.
"Aku tidak percaya pada kamu lagi, Jehan. Kamu telah menyakitiku terlalu banyak."
Jehan menatap Rylia dengan mata yang sedih, namun dia tidak berusaha untuk membela diri. Dia hanya menatap Rylia dengan penuh perhatian, seolah-olah dia ingin membuat Rylia melihat bahwa dia telah berubah.
"Aku tidak meminta kamu untuk percaya pada aku sekarang," kata Jehan dengan suara yang lembut. "Aku hanya meminta kamu untuk memberikan aku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku telah berubah."
"Apa yang kamu ingin lakukan untuk membuktikan itu?" tanya Rylia, masih dengan nada yang hati-hati.
Jehan menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku ingin menjadi orang yang kamu butuhkan, Rylia. Aku ingin menjadi orang yang kamu percayai. Aku ingin membantu kamu dalam segala hal, "
Rylia tidak lagi bicara, dia bangun dari tempat duduk nyameninggalkan Jehan yang masih berdiri di tempatnya. Dia tidak menoleh ke belakang, tidak ingin melihat reaksi Jehan atas kepergiannya yang tiba-tiba.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments