Bab 17 Kesempatan

Keesokan paginya, Rylia berangkat bekerja dengan wajah yang masih terlihat serius. Dia tidak ingin memikirkan tentang Jehan dan perasaannya yang masih bercampur aduk. Dia ingin fokus pada pekerjaannya dan melupakan semua masalah yang ada di rumah.

depan gerbang panti. Dia tidak menyangka bahwa ada sesuatu yang terjadi di tempat ini. Dengan rasa ingin tahu yang besar, Rylia mendekati Firza yang sedang berdiri di sampingnya.

"Firza, apa yang terjadi?" tanya Rylia dengan nada yang penasaran.

"Mengapa ada banyak orang di sini?"

Firza menatap Rylia dengan wajah yang serius.

"Ada berita bahwa panti ini akan dijual kepada sebuah perusahaan swasta," kata Firza dengan suara yang pelan.

"Orang-orang di sini tidak ingin itu terjadi, karena mereka khawatir bahwa panti ini akan ditutup dan mereka akan kehilangan tempat tinggal."

Rylia terkejut mendengar berita itu. Dia tidak menyangka bahwa panti ini akan dijual. Dia merasa khawatir tentang nasib orang-orang yang tinggal di sini.

Ketua yayasan panti uni, Ibu Sri, menatap Rylia dengan wajah yang sedih.

"Rylia, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Semua ini terjadi begitu tiba-tiba. Aku baru saja menerima surat dari pengacara perusahaan swasta yang ingin membeli panti ini."

Rylia menatap Ibu Sri dengan mata yang tajam.

"Siapa yang berani melakukan hal seperti ini? Apakah mereka tidak tahu bahwa panti ini adalah tempat tinggal bagi anak-anak yang tidak memiliki orang tua?"

Ibu Sri menghela napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu, Rylia. Tapi aku tahu bahwa kita harus melakukan sesuatu untuk menghentikan rencana ini. Kita tidak bisa membiarkan panti ini dijual dan anak-anak ini kehilangan tempat tinggal mereka."

Rylia mengeleng dengan tegas, matanya berkilauan dengan tekad yang kuat. "Berikan padaku dokumen itu, Bu," katanya dengan suara yang penuh keyakinan. "Aku akan mendatangi perusahaan itu dan menghentikan semua ini."

menerima dokumen dan matahari seolah berhenti untuk sesaat ketika dia melihat nama yang tertulis di sana. Jehan. Lagi-lagi, dia. Rylia terdiam, napasnya terhenti sejenak.

Dengan langkah yang pasti dan mantap, Rylia menuju kantor Jehan, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi.

Ditemani Firza, Rylia berjalan dengan langkah pasti menuju kantor Jehan. Semua mata di ruangan itu tertuju padanya, takjub melihat istri CEO dan menantu direktur perusahaan Brawijaya itu berdiri di depan mereka.

Tanpa ragu, Rylia membuka pintu ruang meeting, tanpa mempedulikan apakah pertemuan sedang berlangsung atau tidak.

Semua mata di dalam ruangan itu terarah padanya, terutama Jehan yang tertegun melihat Rylia berdiri di depannya.

"Kita perlu bicara, Jehan," ucap Rylia dengan suara tegas dan mantap, tidak ada keraguan di matanya.

Jehan terlihat bingung dan tidak bisa menolak permintaan Rylia. Dia berdiri dan mengikuti langkah Rylia, meninggalkan pertemuan yang sedang berlangsung untuk dihandle oleh Rio. Suasana di ruangan itu terasa tegang dan menegangkan.

Yang tak terbendung. Gadis itu tidak menunjukkan sedikitpun rasa takut, hanya keberanian yang menggebu-gebu.

"Apa yang kamu lakukan, Rylia?" Jehan bertanya dengan nada yang berusaha tenang.

"Harusnya aku yang bertanya, Jehan Brawijaya," Rylia melawan dengan nada yang tegas.

"Kamu ingin menghancurkan hidupku seperti apa lagi?"

"Aku tidak mengerti maksudmu, Rylia. Kamu datang tiba-tiba dan menyalahkan aku,"

Jehan mencoba mempertahankan diri.

"Panti itu, kenapa kamu ingin mengusirnya?" Rylia menekan dengan pertanyaan yang tajam.

"Panti..." Jehan bergumam, matanya terlihat berpikir. "

Rylia menatap Jehan dengan mata yang terbakar amarah. "Panti itu, kenapa kamu ingin menggusurnya?" tanyanya dengan lantang.

"Kamu tidak pikir anak-anak di sana, ibu mereka akan kemana?"Jehan terlihat bingung, tidak mengerti apa yang terjadi.

"Panti? Maksudmu...?" katanya, mencari-cari kata yang tepat.

Rylia tidak memberinya kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya. "Tidak perlu pura-pura bodoh, Kamu tidak suka aku bekerja, maka Kamu melakukan ini, kan?" tanyanya, suaranya penuh dengan kebencian.

Jehan mengangkat tangannya, mencoba untuk menenangkan Rylia.

"Tunggu, aku sangat tidak mengerti, Rylia," katanya, wajahnya penuh dengan kebingungan.

Saat Jehan berbicara, pintu ruangan terbuka paksa, membuat mereka berdua terkejut. Suasana menjadi semakin tegang.

Saat Rylia tengah menggebu dengan amarahnya, seseorang tiba-tiba masuk. Dia adalah Chandra, pria paruh baya yang menatap keduanya dengan ekspresi serius.

"Kalian berdua, ikut Ayah," katanya dengan nada yang tegas namun lembut.

Tanpa penolakan, Rylia dan Jehan mengikuti Chandra ke ruangan pribadinya. Suasana hening, hanya terdengar langkah kaki mereka yang berderak di lantai.

"Jadi, apa masalahnya?" tanya Chandra, memecah kesunyian.

Jehan menjawab dengan wajah datar, "Bukan urusan Anda!"

Chandra menghela nafas, lalu menatap Rylia dengan mata yang penuh kebaikan.

"Rylia, bicaralah. Tidak apa-apa."

Rylia mendongak, sedikit heran tetapi bisa masuk akal. Mungkin Chandra sudah tahu bahwa Rylia bisa bicara.

"Jadi, kau bohong lagi, kau tahu dia bisa bicara!" Jehan menyahut dengan nada tinggi.

"Rylia..." Chandra memotong.

"Aku ingin berpisah dengan Jehan, yah. Tapi dia tidak mau dan selalu ingin menghancurkan hidupku," Rylia mengungkapkan dengan suara yang bergetar.

"Aku tidak begitu, Rylia... Aku bahkan tidak tahu jika kamu bekerja di panti itu," Jehan membela diri.

"Sudah tenang dulu, Jehan," Chandra menenangkan.

"Aku tidak perlu diadili seperti ini! Kami sudah dewasa, tidak perlu diatur!" Jehan melawan.

"Jehan, tolong berhenti! Kamu membuat kepala kami sakit! Rylia bahkan terlihat takut padamu, sekarang!" Chandra memotong dengan nada yang tegas.

"Baiklah, apa yang kamu inginkan?" Tanya Jehan dengan suara lembutnya

Rylia mengangkat alisnya, mata tajamnya masih menatap Jehan dengan kecurigaan.

"Apa yang aku inginkan?" dia mengulangi pertanyaan Jehan dengan suara yang sedikit keras.

"Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, Jehan. Aku ingin tahu apa yang kamu sembunyikan dariku."

Rylia melangkah lebih dekat kepada Jehan, suaranya menurun menjadi bisikan, "Aku tidak suka dibohongi, Jehan. Aku tidak suka merasa seperti aku tidak bisa percaya pada orang yang aku cintai."

Jehan benar-benar terperjerat dengan kata "cintai" yang keluar dari bibir Rylia. Jehan merasa seperti jantungnya berhenti berdetak, dan napasnya terhenti. Dia tidak bisa mengedipkan mata lagi, karena dia takut akan kehilangan momen ini, momen di mana Rylia mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya.

Rylia seolah-olah telah meledakkan bom yang telah lama dipendam. Kata-kata yang tidak terduga itu keluar dari mulutnya, dan dia sendiri tampaknya tidak siap untuk menghadapi. konsekuensinya. Gadis itu segera menjauhkan diri, seolah-olah ingin melarikan diri dari kebenaran yang baru saja diungkapkan.

"Aku tidak mau membahas ini lagi," ucapannya terputus, seolah-olah dia tidak bisa menahan emosi lagi.

"Aku akan pergi, tapi tolong jangan gusur Panti itu." Dengan itu, dia berjalan keluar, meninggalkan Jehan yang masih mematung.

Chandra, yang menyaksikan adegan itu, tersenyum tipis. Dia seolah-olah telah melihat Rylia yang baru, Rylia yang pemberani dan tidak takut untuk mengungkapkan perasaannya. Senyum itu mengungkapkan kekaguman dan kebanggaan Chandra terhadap Rylia.

Chandra berbicara dengan suara yang lembut,

"Dan Jehan, sepertinya ayah harus bicara dengan kamu."

Tapi sebelum Chandra bisa melanjutkan, Jehan sudah tersadar dan memotongnya. Tatapan matanya menajam, wajahnya datar . "Tidak perlu, kau tidak perlu menjelaskan apapun itu," ucapannya dingin dan tegas.

Jehan melangkah pergi, meninggalkan Chandra yang merasa bingung dan kecewa. Chandra hanya bisa menghela nafasnya, merasa tidak tahu harus bagaimana lagi untuk menjelaskan pada Jehan bahwa dirinya tidak pernah menyakiti ibunya.

Kesunyian yang tegang menggantung di udara, seperti awan hitam yang siap mengguyurkan badai.

Jehan mengejar Rylia dia meraih lengan tangannya.

"Kamu mau kemana,"

"Bukan urusanmu."jawab singkat nya.

"Aku tahu, aku salah, aku minta maaf tapi apa sedikit saja kamu tidak bisa memberikan aku kesempatan?"

Rylia berhenti berjalan dan menoleh ke arah Jehan, mata tajamnya menembus jiwanya.

"kesempatan?" ucapannya dingin dan tegas. "Apa yang kamu ingin aku berikan kesempatan? Untuk menyakitiku lagi? Untuk membohongiku lagi?"

Rylia menarik lengan tangannya dari genggaman Jehan, dan melanjutkan berjalan.

Bersamaan dengan itu suara petir menggelegar, Rylia langsung masuk kedalam taksi dan tak lama kemudian hujan turun dengan derasnya.

Rylia menoleh ke belakang, melihat Jehan masih terdiam di tempatnya. "Apa yang dia lakukan? Apa dia bodoh?" Rylia merasa tidak enak melihat Jehan yang berdiri di sana, tanpa pikir panjang dia turun dari taksi yang berhenti karena macet itu. Dia berlari dengan payungnya, menghampiri Jehan.

"Apa kamu bodoh? Kamu mau sakit?" Omel Rylia, suaranya meninggi karena kesabaran yang mulai habis.

Jehan hanya diam, menatap Rylia dengan ekspresi yang tidak terbaca, sementara air hujan mengalir deras di wajahnya. Rylia merasa tidak nyaman dengan diamnya Jehan, dan melangkah lebih dekat kepadanya, payungnya tidak bisa menahan air hujan yang deras, membuat mereka berdua basah kuyup.

"Baiklah aku berikan kamu kesempatan," katanya. dengan suara yang lembut, tapi mata tajamnya masih menembus jiwanya. Jehan menatapnya dengan seolah-olah dia telah diberikan kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahan.

"Terima kasih," ucapannya pelan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!