Bab 15

Mayra melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Terhitung sudah lebih dari dua jam ia terlambat pulang ke rumah.

"Kenapa?" kali ini Arsene yang bertanya setelah melihat ekspresi wajah Mayra yang berubah setelah melirik arloji.

"Tidak apa-apa," jawab Mayra dengan memaksakan senyuman di wajahnya.

"Kalau begitu, coba kamu jelaskan bagaimana kamu bisa menebak dengan benar tentang perasaanku pada Rere?" tanya Arsene antusias, ia masih begitu penasaran dengan jawaban Mayra.

"Sebenarnya, terlihat jelas dari cara Kakak menatap Rere saat mengobrol di Mall waktu itu," jawab Mayra pelan-pelan.

Arsene kembali mendesah kasar, " Kalau kamu saja bisa dengan jelas menyadari perasaanku, lalu kenapa Rere malah tidak bisa menyadarinya," keluh Arsene sambil membenturkan punggungnya pada sandaran kursi.

"Rere sudah punya Kevin, Kak Arsene tentu tahu itu, kan?"

"Kakak menyukai Rere jauh sebelum Kevin dan Rere bersama," jawab Arsene cepat.

"Kalian masih memiliki hubungan persaudaraan, tentu saja Rere tidak menyadari perasaan, Kak Arsene," Mayra bergumam pelan tanpa menatap wajah Arsene.

Arsene yang masih bisa mendengar gumaman Mayra hanya bisa tersenyum miris.

"Apa Rere sudah tahu tentang perasaan, Kakak?" Mayra kembali bertanya sambil melirik arloji di pergelangan tangannya.

"Kakak sudah berusaha mengungkapkan perasaan Kakak pada Rere sekitar satu Minggu yang lalu... " Arsene berhenti untuk men jeda kalimatnya. "Tapi... "

"Tapi, Rere menolak kakak dan malah menghindari kakak?" tebak Mayra lagi.

Kali ini Arsene tidak terkejut, pria itu bahkan menganggukkan kepalanya. "Rere menolak, bahkan menghindari Kakak sejak saat itu," jawab Arsene lesu.

Mayra terdiam, melihat Arsene yang tampak sedang tidak baik-baik saja membuat Mayra merasa kasihan. Sebuah masalah percintaan yang terbilang rumit bagi Mayra.

"Biarkan saja dulu, Rere juga butuh waktu untuk menenangkan diri. Semakin Kakak mendekatinya, Rere pasti akan semakin tidak nyaman," saran Mayra kemudian.

Arsene kembali menganggukkan kepalanya. Pria itu setuju dengan ucapan Mayra untuk membiarkan Rere lebih dulu sebelum kembali mendekatinya.

"Sudah cukup lama mengobrol, sebaiknya Kakak antar aku pulang sekarang!" pinta Mayra yang sudah merasa tidak nyaman terlalu lama mengobrol bersama Arsene. Sebenarnya, bukan karena Mayra tidak suka mengobrol dengan Arsene, tetapi karena Mayra khawatir, Agam sampai ke rumah lebih dulu sebelum dirinya.

"Masih siang, May. Kamu juga belum makan siang, bukan?" cegah Arsene.

"Tidak perlu makan siang. Mayra akan pulang bersamaku sekarang!" ucap Agam tiba-tiba.

Arsene dan Mayra kompak menoleh, tampak Agam tengah berdiri tegak di samping meja dengan wajah datar, namun dengan kilat mata tajam saat menatap Arsene dan Mayra bergantian.

"Aa-Agam... Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Mayra tergagap. Menatap Agam penuh rasa takut.

"Harusnya aku yang bertanya, Kenapa kamu bisa ada di sini, Mayra?" Agam balik bertanya dengan intonasi yang membuat Mayra menelan keras saliva-nya.

"Aa-Agam... Aa-aku... "

"Ayo pulang!" Agam lebih dulu memotong kalimat Mayra sambil menarik paksa Mayra untuk ikut pulang bersamanya.

Melihat tindakan kasar pemuda tidak jelas yang tiba-tiba muncul lalu memaksa Mayra pulang, tentu saja membuat Arsene tidak bisa tinggal diam. Arsene beranjak dari kursinya lantas menarik keras lengan Agam agar pemuda itu melepas tangan Mayra.

"Jangan kasar jadi cowo!" bentak Arsene. Beruntung Rooftop kafe sedang dalam keadaan sepi, sehingga keributan mereka tidak mengganggu pengunjung lain.

Agam menoleh, menghempas keras tangan Arsene yang masih memegang lengannya setelah lebih dulu melepas tangan Mayra. "Jangan ikut campur!" ucapnya menatap tajam wajah Arsene.

Mayra yang panik melihat Arsene dan Agam yang saling bertatapan penuh aura permusuhan bergegas berdiri di tengah-tengah kedua pria berbeda usia itu untuk merelai pertikaian yang mungkin saja terjadi.

"Kak Arsene... Mayra pulang duluan ya, Kak," pamit Mayra. Buru-buru Mayra menarik tangan Agam agar segera pergi menjauh dari Arsene.

Sambil berjalan keluar kafe, Mayra masih terus menarik tangan Agam. Agam sendiri tidak keberatan saat Mayra terus menggenggam sambil menarik tangannya hingga mereka sampai di parkiran.

"Ayo pulang!" Mayra berkata sambil melepas tangannya yang baru ia sadari terus menggenggam tangan Agam.

Agam tidak berkata apapun, pemuda itu lantas merogoh saku celananya untuk mengambil kunci mobil.

***

Di dalam mobil yang Agam kendarai, Agam tidak berhenti mengoceh. Meluapkan kekesalannya pada Mayra yang kembali membangkang perintahnya, padahal Agam sudah mewanti wanti Mayra untuk langsung pulang ke rumah sepulang sekolah tadi, tetapi Mayra malah ikut pergi bersama pria lain. "Bukannya sudah kubilang untuk langsung pulang ke rumah, kenapa kamu malah pergi jalan sama Om-Om mesum?" Agam kembali mengulang ocehannya yang entah sudah berapa kali ia lontarkan.

Mayra yang sedari tadi hanya diam mendengarkan ocehan Agam, lama-lama menjadi tidak tahan sampai perutnya terasa bergejolak.

"Agam, tolong hentikan dulu mobilnya. Perutku mual, rasanya seperti ingin muntah," pinta Mayra yang sudah tidak tahan dengan rasa tidak nyaman di perutnya yang semakin terasa kuat.

Agam menepikan kendaraannya di pinggir jalan yang terlihat sepi, hanya terdapat hamparan sawah dan kebun di sisi jalan.

Mayra melepas sabuk pengaman yang dipakainya, membuka pintu mobil kemudian buru-buru keluar dari dalam mobil untuk memuntahkan isi perutnya.

Sambil berjongkok tak jauh dari mobil, Mayra memuntahkan seluruh isi perutnya, meski sebagian besar isi perut Mayra hanya didominasi oleh air, karena Mayra belum sempat mengisi perutnya siang ini.

Melihat Mayra yang masih berjongkok sambil terus muntah, Agam bergegas mendekati Mayra. Dipijatnya tengkuk Mayra agar Mayra lebih mudah mengeluarkan isi perutnya.

"Sudah lega?" tanya Agam sambil menyodorkan sebotol air mineral yang ia ambil dari dalam mobil.

Mayra mengangguk tipis, tangan kanannya meraih botol air mineral yang Agam sodorkan. Keduanya kembali saling diam sembari duduk berdua di sebuah saung bambu yang berdiri tidak jauh dari tempat mereka menepi tadi.

Tadinya, setelah Mayra selesai memuntahkan isi perutnya, Keduanya berniat kembali melanjutkan perjalanan pulang. Namun saat Agam hendak kembali melajukan mobilnya, mesin mobil itu tiba-tiba tidak mau kembali menyala. Agam sudah berusaha untuk memperbaikinya, namun karena keterbatasan alat yang dibutuhkan, Agam pun gagal memperbaiki mobil pinjaman milik Ridho.

Agam dan Mayra terpaksa harus menunggu kedatangan orang-orang suruhan Ayah Vino untuk menjemput mereka. Sebelumnya, Agam memang menghubungi Ayah Vino untuk meminta bantuan.

"Sebaiknya, kita menunggu di dalam mobil saja," ajak Agam sambil mengibaskan celananya yang terlihat kotor.

Mayra menggeleng pelan. "Aku lebih suka di sini, melihat Matahari yang sebentar lagi tenggelam." Kedua mata Mayra menatap ke arah Matahari yang mulai beranjak turun di ufuk barat.

Agam mengalah, pemuda itu lantas mendudukkan dirinya di samping Mayra, keduanya duduk diam menatap Matahari yang perlahan membenamkan diri.

"Jangan diulangi lagi," ucap Agam memecah kesunyian, sedari tadi hanya ada suara binatang-binatang khas area pesawahan yang mulai berbunyi nyaring menyambut petang.

"Aku tidak janji," jawab Mayra sambil tersenyum. Jelas Mayra tahu maksud perkataan Agam, karena itu Mayra sengaja meledek Agam.

Agam hendak kembali mengomel, namun urung ia lakukan saat menatap wajah cantik Mayra yang tengah tersenyum manis. "Cantik," pujinya dalam hati.

"Namanya, Arsene, dia Kakak sepupu Rere. Kak Arsene masih muda, belum pantas kamu panggil Om-Om," terang Mayra yang kemudian terkekeh geli saat mengingat Agam sempat menyebut Arsene dengan sebutan Om-Om.

"Cih, dia memang sudah terlihat tua! Apa kamu berencana untuk jadi sugar baby-nya?" tanya Agam yang mulai tidak suka saat Mayra menyebut nama Arsene di depannya.

Ekspresi wajah Mayra berubah sendu, tidak menyangka jika Agam bahkan tega menuduhnya berniat menjadi sugar baby bagi Arsene.

Untuk sesaat keduanya saling terdiam. Matahari sudah semakin turun, langit sudah semakin berubah jingga.

"Kenapa menuduhku seperti itu?" tanya Mayra lirih. Mayra menundukkan kepalanya, ucapan Agam seolah membuka kembali luka hati yang selama ini berusaha Mayra tutupi. "Aku memang tidak terlahir sebagai putri orang kaya, bahkan kehadiranku pun tidak diharapkan oleh kedua orangtuaku. Tapi... Aku sama sekali tidak berniat untuk menjadi sugar baby seperti yang kamu tuduhkan," lanjut Mayra dengan kedua mata yang berkaca-kaca.

Agam menghela nafasnya, sepertinya ia sudah salah berucap hingga menyinggung perasaan Mayra.

"Jika kamu tidak merasa seperti itu, baguslah!" ucap Agam tanpa merasa bersalah.

Mayra mendongakkan wajahnya, menatap Agam yang kini tengah menatap fokus ke depan.

Plak...

Mayra menggeplak keras bahu Agam. "Dasar tidak punya perasaan. Pantas saja Rere menjuluki mu Mr. Ice Boy," umpat Mayra dengan begitu kesal. Bagaimana Mayra tidak semakin kesal, bukannya meminta maaf, Agam malah berkata santai seperti orang yang tidak bersalah. Padahal jelas-jelas Agam sudah menyinggung perasaan Mayra.

Agam terkekeh, kali ini ia memutar wajahnya untuk menatap wajah kesal Mayra. "Sudah?" tanyanya santai.

"Apanya yang sudah?" Dengan polosnya, Mayra malah balik bertanya, masih tidak mengerti dengan maksud perkataan Agam barusan.

Agam menoyor kepala Mayra, "Bodoh, kenapa harus bersedih hanya karena ucapan bodohku itu," ujarnya penuh penekanan.

"Satu lagi... Jangan pernah merasa berkecil hati! Apalagi hanya karena kedua orang tuamu yang tidak bertanggungjawab itu. Ingat, kamu adalah bagian dari keluarga Mahardika," lanjut Agam.

Mayra kembali tertunduk lesu. Ucapan Agam memang benar. Harusnya ia jangan terbawa perasaan, bukankah ia sudah terbiasa mendengar ucapan sarkas Agam.

Keduanya kembali terdiam, menatap detik-detik Matahari yang menenggelamkan diri, langit mulai menggelap, udara semakin terasa dingin, ditambah suara binatang malam yang mulai berbunyi nyaring.

Mayra mengeratkan kedua tangannya, memeluk tubuhnya sendiri yang mulai terasa dingin. Melihat Mayra yang mendekat erat tubuhnya sendiri, Agam lantas melepas jaket yang dipakainya untuk selanjutnya ia kenakan pada tubuh Mayra. Beruntung keadaan sekitar tempat mereka duduk tidaklah terlalu gelap. Terdapat lampu penerangan jalan yang cukup menerangi mereka di saung itu.

"Berapa lama lagi mereka datang?" tanya Mayra sambil mengelap hidungnya yang mulai berair karena suhu udara yang semakin dingin.

"Mungkin sekitar 10 menit lagi, Ayah Vino baru saja mengirimkan pesan," jawab Agam sambil melirik arloji di pergelangan tangannya. "Sebaiknya, kita tunggu mereka di dalam mobil saja! Udara semakin dingin, juga banyak binatang yang mulai keluar dari sarangnya saat malam hari," saran Agam.

Mayra mengangguk patuh, kali ini ia tidak menolak ajakan Agam. Ucapan Agam memang benar, selain udara yang semakin dingin, berada di luar saat malam hari memang cukup berbahaya.

Agam lebih dulu beranjak dari duduknya, kemudian disusul oleh Mayra yang juga ikut beranjak meninggalkan saung menuju mobil. Namun baru beberapa langkah Mayra berjalan, salah satu kaki Mayra tersandung rumput liar yang tumbuh cukup tinggi. Mayra hampir saja terjatuh, jika Agam tidak cepat menangkap tubuh Mayra.

Agam pikir, ia sudah berhasil menangkap tubuh Mayra dengan sempurna, namun tubuh Agam tiba-tiba kehilangan keseimbangannya saat salah satu kaki Agam terjerembab ke sebuah selokan kecil saat hendak kembali melangkah, hingga akhirnya.

Brugh...

Tubuh Agam terjatuh, terlentang di atas rerumputan dengan mata terpejam, sementara tubuh Mayra tepat berada di atas tubuh Agam, karena secara tidak sengaja, Agam sempat menarik tubuh Mayra saat hendak terjatuh tadi, hingga akhirnya mereka sama-sama terjatuh.

Agam membuka mata, nafasnya terasa berat karena tubuh Mayra berada tepat di atas tubuhnya. "Mayra..." bisiknya. Berharap Mayra membuka mata kemudian segera beranjak dari atas tubuhnya.

Mayra membuka mata, kedua pasang mata itu pun saling bertemu. Mayra yang merasa malu, lalu memalingkan wajahnya meski tubuhnya masih berada di atas tubuh Agam. Namun saat Mayra mengalihkan pandangannya, ia malah melihat seekor hewan berkaki seribu tengah merayap mendekat ke arahnya. "Aa-ada hewan berkaki banyak," teriak Mayra panik.

Mayra yang kembali panik, berusaha untuk beranjak dari tubuh Agam. Alih-alih berhasil, gadis itu malah bergerak liar di atas tubuh Agam, yang tentu saja membuat Agam semakin tersiksa.

Mayra terus bergerak liar, hingga akhirnya.

Cup...

Tanpa disengaja, kedua bibir itu saling bertemu bahkan saling bersentuhan.

*****

Terpopuler

Comments

Filanina

Filanina

belum makan udah muntah. ga enak nih Agam ngendarain mobilnya.

Atau biasanya Agam pendiam sekalipun bareng Mayra, Tiba-tiba cerewet jadi bikin mual?

2025-03-06

1

FT. Zira

FT. Zira

justru org yg di tuju lebih sering gak peka/Joyful//Joyful/

2025-03-08

0

Tini Timmy

Tini Timmy

jangan ngebut ngapa gam kasian Maura blm mam loh

2025-03-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!