HAPPY READING... 🌹🌹🌹
"La...," Panggil Pamanku sontak membuatku terkejut dan segara mengusap air mata yang sempat jatuh di pipiku.
"A...Iya, Paman?" Jawabku sambil menoleh ke arahnya sekilas, lantas menundukkan kepalaku karena merasa malu dengan perbuatanku sendiri.
"Dia kah pemuda itu, La? Pemuda yang membuat Ibumu marah padamu?" tanya Pamanku.
Aku terdiam sambil menatap jari-jariku di atas pangkuanku, kemudian mengangguk pelan.
Ku dengar Pamanku menarik nafas dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan, membuatku merasa bersalah padanya saat ini.
"Maafkan Ola, Paman! Ola benar-benar tak tau diri sudah memiliki perasaan salah ini untuknya. Seharusnya Ola sadar, belum saatnya Ola memikirkan hal itu, Ola...Ola..."
"Tidak ada yang salah dengan Perasaanmu, La! Rasa itu adalah hal yang wajar bagi setiap remaja, hanya saja cara kalian yang salah dalam menyikapi dan mensyukuri rasa yang terlanjur hadir itu."
"Ola tau Paman, Ola pun menyesali semua yang sudah terjadi, Ola janji setelah ini, Ola hanya akan fokus dengan belajar Ola, Ola ingin membuat Ibu dan Bapak bangga."
"Itu lebih baik," Ucap Pamanku sambil mengusap punggung tanganku. Lalu memberikan buku kecil yang sempat Kak Galih tinggalkan tadi di atas kursi ke hadapanku, "Ini!" Ucapnya.
Aku terdiam dan menatap mata Pamanku.
"Ambillah! Ini sengaja dia tinggalkan untukmu," Ucap Pamanku sambil mengangguk dan tersenyum.
"Tapi, Paman..."
"Ambillah, dan bacalah apa yang tertulis di dalamnya, Sebenarnya dia Pemuda yang baik dan memiliki tekad yang kuat untuk berubah menjadi lebih baik lagi. Maaf, Paman sempat membukanya sekilas. Paman pikir ini khusus dia tulis untukmu," ucap Pamanku sambil meraih tanganku dan meletakkan buku itu di atas telapak tanganku.
Aku kembali menoleh ke arah Paman, dan dia pun kembali mengangguk dan tersenyum.
Dengan ragu aku membuka halaman pertama dari buku itu, perlahan ku baca tulisan tangannya yang tertulis dengan rapi.
"Maaf, karena aku sudah terlalu mencintaimu, Naura Fina Mudya"
"Deg!" Jantungku berdetak lebih kencang. Seketika ku tutup kembali buku itu dan menggenggamnya dengan erat di atas pangkuanku.
"Kenapa, La?" tanya Pamanku heran saat melihat ekspresiku.
"Oh..., tidak apa-apa, Paman! Ola pikir, lebih baik nanti saja Ola membacanya," ucapku sambil tersenyum garing ke arah Pamanku dan semakin mempererat genggamanku pada buku kecil yang ku pegang ini.
"Kalau begitu, simpanlah dulu buku itu baik-baik," Ucap Pamanku, lantas dia mulai menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi dan berusaha memejamkan matanya.
Cukup lama aku termenung dengan buku itu masih dalam genggamanku, rasanya aku tak sanggup melanjutkan mataku untuk membaca buku kecil ini, yang mungkin saja berisi semua isi hatinya untukku. Bukan aku tidak menghargai perasaannya ataupun perjuangannya. Aku hanya tidak mau terus terbelenggu dengan rasaku ini, dimana mungkin saja aku tidak akan sanggup melupakan semua kata-kata yang tertulis di dalamnya, yang justru akan mengganggu konsentrasi belajarku nanti. Karena setiap kali aku mengingat perasaan di antara kami maka rasa bersalahku atas semua yang menimpa Bapak dan keluargaku akan muncul kembali.
Aku pun memasukan buku kecil itu ke dalam ranselku, sambil menghela nafas panjang, aku merogoh saku gamisku dimana ada sebuah benda kecil terdiri dari untaian manik-manik yang diikat oleh benang kuat berjumlah 33 buah yang selalu aku simpan di saku gamis atau di saku rokku. Aku pun mulai memegangnya dan menggerakkan jari-jariku untuk menghitung untaian dzikir yang perlahan keluar dari mulutku. Dan aku pun merasakan ketenangan tersendiri dalam jiwaku, sampai tak terasa kereta itu terus berjalan melewati setiap gunung, lembah, pesawahan, perkampungan bahkan perkotaan yang belum pernah aku kunjungi.
***********
(Galih POV)
Perkenalkan namaku Galih Taufik Ismail, Aku anak tunggal dari hasil pernikahan Ibuku Lastriani dan Ayahku Surya Ismail. Aku lahir dan di besarkan di Ibu Kota, hanya sesekali saja aku di bawa Ibuku mudik ke tempat saudaranya di Tasikmalaya, sampai akhirnya Ibu membuat rumah di sana. Ibuku mempunyai Usaha konveksi rumahan yang semuanya di handel sendiri olehnya sehingga beliau sangat sibuk. Semakin lama usaha Ibuku semakin maju, sehingga sering mengabaikan aku juga Ayahku yang hanya seorang karyawan swasta saja.
Tentu saja penghasilan Ibu jauh lebih besar di banding Ayahku, dan tak jarang hal itu menjadi pemicu pertengkaran dari keduanya. Ayahku yang merasa harga dirinya terinjak-injak malah mencari kenyamanan di luar sana, dan puncaknya Ibu memergoki Ayah bersama wanita lain, dan disanalah malapetaka itu hadir.
Aku yang masih duduk di bangku kelas 3 SMU harus menyaksikan pertengkaran hebat antara Ibu dan Ayahku hingga pemandangan menyeramkan terjadi di depan mataku. Ibu yang sedang kalaf berusaha menusukkan pisau dapur kepada Ayah dan berhasil melukai pinggangnya hingga Ayah harus dirawat beberapa hari di rumah sakit, sampai akhirnya mereka bercerai.
Sejak itu, Ibu selalu melampiaskan kemarahannya kepadaku, karena wajahku yang sangat mirip dengan Ayah, dan aku pun hanya bisa diam dan kesal setiap kali Ibu membentak ku.
Semakin hari, aku semakin tidak nyaman berada di rumah, aku mulai mencari kenyamanan di luar rumah, apalagi setelah masuk kuliah aku bertemu dengan teman-temanku, aku merasa mereka membuatku nyaman meskipun aku tau bahwa apa yang kami lakukan itu tidak lah benar.
Ibu sama sekali tidak memperhatikanku, beliau selalu sibuk dengan pekerjaan dan pengembangan bisnisnya, yang aku pikir itu hanyalah ambisinya untuk menunjukan bahwa Ibu bisa hidup lebih baik tanpa keberadaan Ayah di sampingnya.
Semakin lama perilakuku semakin tak terkendali, sampai akhirnya aku diskors selama satu semester, dan Ibuku membawaku ke kampung yang berada di Tasikmalaya ini.
Di sini aku tinggal seorang diri karena Ibu harus kembali ke Jakarta mengurus bisnisnya, hanya seorang tetangga saja yang sering datang ke rumah untuk mengurus semua keperluanku, juga saudara Ibuku yang sesekali datang menjengukku.
Rupanya kehidupanku di kampung tak membuat aku jera, setiap malam aku tetap saja kelayapan ke pusat kota untuk mencari benda terkutuk yang menurutku bisa menenangkan pikiranku yang kacau ini, meski tentu saja akses di kampung tidak semudah di Ibukota untuk mendapatkan benda itu.
Semakin lama aku pun merasa jenuh. Aku sering menyendiri di rumah ditemani gitar kesayanganku sambil duduk di tempat favoritku. Jendela kamarku yang sejuk dan selalu membuatku nyaman dengan memandangi megahnya gunung yang berdiri tegak disebelah Barat.
Suatu hari aku melihat seorang gadis manis berkulit putih yang turun dari mobil angkot sambil menggendong ransel besar dan tas pakaian. Dia datang bersama Ayahnya dan disambut hangat oleh keluarganya membuatku yang tinggal sebatang kara di kampung ini iri melihat kehangatan keluarga mereka.
Aku terus memperhatikan keluarga mereka dari atas jendela dan saat mereka berjalan menuju pintu, gadis itu sempat menoleh ke arahku dan diapun tersenyum padaku, matanya begitu jernih menampakan keramahan yang tersimpan dalam jati dirinya.
Setiap hari aku selalu memperhatikannya dan mencari tahu rutinitas kesehariannya. Gadis itu selalu ceria dan pandai berteman dengan semua orang, dia pula yang menggerakkan muda-mudi di kampung ini untuk mengadakan pengajian seminggu sekali dan bergabung dalam organisasi remaja mesjid yang mereka sebut dengan Risma (Remaja Islam Masjid). Berbagai kegiatan positif mereka lakukan, hingga aku pun mulai bergaul dengan mereka dan mengikuti semua kegiatannya.
Aku mulai dekat dengannya, atau lebih tepatnya akulah yang berusaha mendekatinya, dengan dalih ingin tahu banyak tentang pengetahuan agama, dan dia pun tidak pernah menolak saat aku banyak bertanya.
Semakin lama aku semakin mengaguminya, mata jernihnya saat menatapku dengan ramah membuat pikiranku tak bisa berpaling darinya. Namun aku menyadari siapa diriku, aku hanya pemuda gagal korban perceraian kedua orang tuaku, sedangkan dia? dia adalah gadis ramah, cantik, mandiri, cerdas keluaran pesantren yang tentunya menjadi idaman setiap Pemuda dan orang tua manapun untuk dijadikan menantu di kampung ini.
Aku sering kehilangan rasa percaya diriku saat berada di hadapannya. Namun saat aku mengingat mata jernihnya memandangku dengan tatapan ramah, membuatku tak mampu menahan diri untuk selalu ingin dekat dengannya, hingga aku mencari cara agar aku punya kesempatan lebih banyak untuk berbicara dengannya.
Aku sering mengomentari cara berpakaiannya, gayanya dan terus saja mengusilinya. Dan aku selalu merasa senang saat melihat mata jernihnya mendelik ke arahku karena kesal, membuatku semakin ingin menjahilinya.
***************
Bersambung...❤❤❤⚘⚘⚘
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Tetap like, vote dan komentar ya Readers... 🤗
I LOVE YOU ALL...😗😗😗❤❤❤⚘⚘⚘
By : Rahma Husnul.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
🌻Ruby Kejora
hai thor...q datang mendukung mu dg bawa like.
like back karyaku ya
the Thunder's love
Cinta rasa covid -19
2021-01-22
1
🕌 Afh_annahlaa 🦉
Cieeee.. cinta pandangan pertamaaa..😍😍
2020-12-20
1
[🦉] no name
omg ady sky... aq padamu bang 😍😍
2020-12-19
1