Harapan Bapak...

HAPPY READING... 🌹🌹🌹

Mata hitam dan sayu nya menatapku, mungkin dia agak heran dengan reaksiku yang sedikit berlebihan. Aku menundukkan kepalaku karena malu.

Dia berusaha untuk berdiri dengan berpegangan ke pinggir sofa, lantas dia melangkahkan kakinya perlahan ke arahku. Aku hanya berdiri terpaku menunggu apa yang ingin dilakukannya. Dengan sedikit sempoyongan tubuhnya semakin mendekat dan tangannya terulur ke arahku, seakan berusaha meraih pegangan. Tapi..., tiba-tiba tubuhnya oleng dan hampir jatuh ke lantai.

Aku yang kaget, secepat kilat mendekat dan meraih tubuhnya, tapi tubuhku yang kecil ini tak mampu menahan beban tubuhnya yang tinggi itu, alhasil tubuh kami ambruk ke lantai dengan posisi tubuhku berada di bawah tubuhnya. Aku memejamkan mataku dan berusaha untuk bangkit, namun saat Aku membuka mataku, rupanya wajahnya berada tepat di depan wajahku, matanya menatapku tajam. Sesaat mata kami terkunci hingga suara seseorang menyadarkan kami berdua.

"Den Galih! Ola! Eta kalian lagi ngapain?" tanya Ceu Nani yang tiba-tiba datang dari arah dapur sambil menatap kami heran.

Mataku mengerjap dan seketika mendorong tubuhnya. Aku langsung berdiri dan merapikan pakaianku. "Eu..., tidak Ceu..., ini tidak seperti yang Ceu Nani Pikirkan. Tadi...tadi hanya kecelakaan, iya..., hanya kecelakaan," Ucapku gugup.

"Benarkah?" tanya Ceu Nani dengan tatapan menyelidik.

"Benar, Tadi Kak Galih mau jatuh, jadi Aku membantunya, ternyata..., kami berdua malah jatuh, begitu kejadiannya, Ceu!" Jelas Ku masih dengan gugup sambil menoleh ke arah Kak Galih yang terduduk dengan kedua tangan bertumpu ke lantai di belakangnya untuk menahan tubuhnya sendiri agar bisa duduk dengan tegak. Matanya masih saja menatapku.

"Ow..., kirain kenapa kalian teh, ya sudah! Tapi lain kali hati-hati, kalau kalian terlalu dekat, bisa-bisa yang ketiganya Syetan," Ucap Ceu Nani kemudian.

"Jangan bilang kalau Ceu Nani yang jadi Syetannya ya! ha ha ha...," Ucapku tiba-tiba seakan ada angin segar untuk menggoda Ceu Nani, meski sebenarnya, ucapanku hanya untuk mengalihkan rasa gugup dan maluku saja.

"Ah...! kamu mah ada-ada aja Ola! masa iya ada Syetan seksi siga Euceu," Ucap wanita berusia sekitar 45 tahunan yang hanya hidup seorang diri itu, karena suaminya sudah meninggal 10 tahun yang lalu dan dia belum di karuniai anak.

Ucapan Ceu Nani sontak membuat kami berdua tertawa. Lantas kami mengalihkan pandangan ke arah Kak Galih yang masih setia dengan posisinya.

"Den Galih, ada perlu apa?" tanya Ceu Nani kepada majikannya.

"Saya mau ke kamar mandi, Ceu!" ucap Kak Galih dengan suara lemas nya.

"Enya, sok bantuan atuh, La!" Ceu Nani menoleh ke arahku yang hanya berdiri di sampingnya.

Aku mengangguk dan ikut membantu Ceu Nani untuk memegangi tangan Kak Galih agar berdiri dan memapahnya masuk ke kamar mandi.

Setelah selesai dia pun keluar kembali dari kamar mandi dengan wajah yang basah dan nampak segar karena siraman air Wudhu. Sepertinya Dia sudah bisa berjalan dengan tegak dan meminta di siapkan alat Sholat kepada Ceu Nani.

Ceu Nani segera naik ke lantai atas untuk mengambil sajadah dan kain sarung milik Kak Galih. Sementara Aku hanya berdiri, tak tau apa yang harus aku lakukan saat ini. Akhirnya aku berinisiatif untuk pulang saat tatapanku tertuju pada ranselku yang tergeletak di atas sofa.

Aku berjalan menghampiri sofa untuk mengambil ranselku, lalu menggendongnya. Aku masih terdiam sambil menatap ke lantai atas menunggu Ceu Nani turun hendak meminta izin.

"Terimakasih, La!" Ucap Kak Galih pelan.

Sontak Aku menoleh ke arahnya. "Oh, iya, sama-sama, Kak! Aku... aku pulang dulu, sudah sore," ucapku dengan sedikit menyunggingkan senyum, meski terasa sedikit garing.

Dia pun mengangguk pelan. Tak lama Ceu Nani turun dari lantai atas dengan membawa sajadah yang dia gulung. "Ola mau pulang?" tanyanya kepadaku, setelah melihat ransel yang sudah nemplok di punggungku.

"Iya, Ceu! Ola pamit ya sudah sore, sepertinya hujannya pun sudah sedikit reda," Ucapku.

"Nya sok atuh, nanti orang tuamu khawatir lagi. Tuh pake payung!" ucap Ceu Nani sambil menunjuk ke pojok dapur, di mana ada payung bertengger di sana.

"Gak Usah! Ola lari saja," Ucapku sambil mengulas senyum.

"Anak gadis kok lari-lari?"

"Gak papa, kan rumah Ola cuman beberapa meter saja dari sini Ceu..."

"Ya sudah hati-hati!" ucapnya lagi. Aku pun mengangguk dan melangkah menuju pintu samping rumah besar ini, sekilas kepalaku ku putar ke belakang untuk menoleh ke arah Kak Galih yang ternyata sedang menatap kepergianku.

********

"Dari mana kamu, La?" tanya Ibuku saat aku baru saja tiba di teras rumahku, sambil menjinjing sandal jepit yang ku pakai tadi untuk ku simpan di atas rak sepatu.

"Dari..., dari..., itu tadi Ola kehujanan jadinya ikut berteduh di rumah tetangga, Bu!" Jawabku, tak berani mengatakan yang sebenarnya, karena pastinya ibu akan sangat marah kepadaku seandainya dia tau kejadian yang sebenarnya.

"Sudah Sholat?" tanya Ibu lagi.

"Sudah tadi, Bu! Ikut Sholat di sana," Jawabku sambil berlalu dari hadapan Ibu, karena takut beliau akan bertanya lebih jauh lagi.

Aku berjalan menuju ke dapur lewat pintu samping rumahku. Lalu menyimpan ransel yang sejak tadi setia nemplok di punggungku ke atas meja usang yang biasa kami sebut sebagai meja makan, atau lebih tepatnya meja kecil tempat menyimpan nasi dan lauk yang di tutup dengan tudung saji, karena ukurannya yang kecil dan di sana sama sekali tak ada kursi untuk kami duduk.

Setelah ransel ku simpan di sana, aku menyambar handuk yang tergantung di hanger kecil di samping kamar mandi, lantas aku bergegas masuk ke kamar mandi, karena baju basahku yang menempel di badan cukup membuat tubuhku menggigil kedinginan.

"Eh..., tu anak, Ibunya belum selesai bicara malah nyelonong gitu aja!" Gerutu Ibuku yang bisa ku dengar sayup-sayup dari dapur dan kamar mandi. Tapi, karena rasa dinginku, Aku pun tidak menjawabnya dan kembali melanjutkan kegiatan mandi ku.

"Ada apa bu? Anak baru datang sudah diomelin aja?" Ku dengar lagi suara Bapak yang sepertinya sedang berjalan menghampiri Ibu ke arah dapur.

"Itu, anak kesayanganmu, Pak! Udah pulang sore, hujan-hujanan, eeeeh... ibunya belum selesai bicara udah nyelonong aja," Suara ibu terdengar kesal.

"Biarkan Ola mandi dulu, Bu! kasian dia kedinginan," ucap Ayah.

"Belain aja terus, itu tuh yang bikin dia sering bantah ucapan Ibu," Ucap ibuku lagi.

"MasyaAlloh, Bu! bukan begitu, Bapak cuman meminta Ibu sabar dulu, biarkan Ola mandi dan bersih-bersih dulu, abis itu baru kita tanya."

"Terserah Bapak aja, Ibu sudah capek denger omongan para tetangga tentang Ola, Ibu malu, Pak!"

Aku terdiam di kamar mandi mendengar obrolan kedua orang tuaku tentang diriku. Perlahan tanganku mengambil handuk dan membungkus tubuhku yang kini semakin menggigil setelah tak lagi ku dengar suara keduanya, mungkin mereka kembali ke ruang depan.

Kepalaku celingukan dari pintu kamar mandi, untuk melihat situasi, karena aku yang hanya membungkus tubuhku dengan handuk saja. Setelah dirasa aman, aku pun setengah berlari menuju kamarku dan kamar adikku Sulis.

"Teteh dari mana aja?" tanya Sulis yang sedang duduk di depan meja belajar kami, "dari tadi Ibu cari-cari Teteh," ucapnya lagi sambil menyimpan pencil di atas buku pelajarannya, sepertinya dia sedang mengerjakan PR.

"Kehujanan Lis," jawabku singkat sambil membuka lemari pakaianku dan mengambil baju ganti.

"Berteduh di mana?" tanyanya lagi.

"Di rumah Kak Galih," jawabku jujur.

"Apa?" tanya Sulis heran, seakan tak percaya.

"Ssssst...! jangan keras-keras, Ibu bisa marah!" Ucapku lagi dengan menyimpan jari telunjukku di depan bibirku.

"Kalian hanya berdua? mana hujan-hujan gini lagi. Kalian...?"

"Aduh, Deeeek..., kamu ni mikir apa si? di sana ada Ceu Nani juga," Jelas Ku sedikit kesal.

"Hehe...kirain..."

"Apa? Kamu kira Teteh gadis apaan?" Ucapku sambil mendelik kesal ke arah adikku.

"Iyeee... maafkan adikmu ini Teteh Ku...," ucap sulis sambil cengengesan. Aku hanya mencubit hidung mungilnya dan kembali memakai pakaianku.

"Ceklek," Suara pintu kamar kami di buka dari luar. "La!" panggil Teh Riva, Kakakku.

"Iya, Teh?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya di sela menyisir rambutku yang setengah basah.

"Dipanggil Bapak dan Ibu di depan," jelas Teh Riva.

"Deg!" jantungku berhenti sejenak, ku alihkan pandanganku ke arah Sulis yang hanya menatapku dengan tatapan khawatir.

Aku memang sangat dekat dengan Sulis adikku, mungkin karena kami satu kamar, lain halnya dengan Teh Riva Kakakku, entah mengapa diantara kami seolah ada jarak, padahal usia kami hanya berjarak satu setengah tahun saja.

Sebagai anak tertua, Teh Riva sudah punya kamar sendiri, sedangkan aku satu kamar berdua dengan Sulis. Bukannya Bapak tidak mau memberikan kami masing-masing satu kamar, namun rumah Bapak yang sederhana dan hanya terdapat tiga kamar saja, tidak memungkinkan Beliau untuk membuat satu ruangan kamar lagi untuk kami.

Sebenarnya dulu kamar ini adalah kamar Sulis, karena sejak kecil aku tinggal bersama Nenekku. Bapak bilang, Aku terpaksa di titipkan bersama Nenekku karena waktu itu Ibu tidak sanggup mengurus dua bayi sekaligus. Teh Riva yang masih sangat kecil dan sudah mempunyai adik, juga penyakit leukimia yang dideritanya sejak lahir membuat Ibu sangat repot harus mengurus kami berdua yang hampir terlihat kembar ini. Akhirnya, Nenek menawarkan untuk merawat ku, meskipun biaya kebutuhanku tetap Bapak yang mencukupi.

Nenek sangat menyayangiku, aku tidak pernah menganggap Beliau sebagai Nenekku, tapi Ibu kandungku, Nenek hanya punya dua orang anak laki-laki, yaitu Bapak dan Pamanku yang sedang merantau ke Jogjakarta bersama istri dan dua orang anaknya. Nenek mencurahkan semua kasih sayangnya kepadaku, sehingga, ketika beliau wafat pada saat aku duduk di kelas 5 SD, aku begitu terpukul dan kehilangan dirinya. Dan Aku pun kembali tinggal bersama Bapak dan Ibuku.

"Ada apa teh?" tanyaku kepada Teh Riva sambil memakai kerudung instan ku.

"Kurang tau, La! Kamu samperin aja! mereka di ruang depan," Jawab Teh Riva.

Aku pun mengangguk, dengan hati berdebar, aku menghampiri keduanya. Aku pun mendudukkan diriku diatas kursi usang tepat di hadapan mereka yang sepertinya siap menginterogasi ku. Aku terdiam tak berani memulai pembicaraan.

"Jawab dengan jujur, La! tadi kamu dari mana?" tanya Bapak. Ucapannya yang pelan, namun terdengar tegas seakan menusuk ke dalam lubuk hatiku, aku pun mulai berbicara jujur, tak sanggup menyembunyikan apapun darinya.

"Ola..., dari rumah Kak Galih, Pak!" Jawabku sambil tertunduk.

"Tuh...! bener kan, Pak?" timpal Ibuku.

"Tenang dulu, Bu!" Bapak mengangkat tangannya ke arah Ibu. Lalu kembali mengalihkan pandangannya kepadaku.

"Lalu?" tanya Bapak lagi masih dengan suara tenangnya setia mendengarkan penjelasanku.

"Ola tidak melakukan apapun, Pak! Ola hanya membantu Ceu Nani untuk menyadarkan Kak Galih, abis itu hujan, dan Ola ikut Sholat di sana," Jelas ku masih setia dengan tunduk ku.

"Dan masuk ke kamar Pemuda itu?" tanya Ibu lagi, membuat aku tersentak kaget, apa mungkin Ibu melihatku saat aku sedang mendongakkan kepalaku dari jendela kamar Kak Galih tadi? hatiku bertanya-tanya.

"I...iya, Bu! tadi Aku hanya ikut Sholat di sana, Kak Galih tidak ada di kamar itu, dia berada di bawah bersama Ceu Nani, Ola juga tidak tau kalau itu kamarnya Kak Galih, Ola hanya di suruh Sholat di situ sama Ceu Nani," Jawabku berusaha menjelaskan semuanya dengan cairan bening yang sudah tergenang di kedua mataku, ada rasa sesal, takut sekaligus sakit karena mereka tidak mempercayaiku.

"Ya sudah, kalau begitu kenyataannya. Tapi kamu harus ingat, ada batasan antara laki-laki dan perempuan, meskipun itu hanya berteman, apalagi kalian ini sudah bukan anak kecil lagi, kalian sudah sama-sama dewasa, jangan pernah berkholwat, kemungkinan buruk mungkin saja akan terjadi. Jangan biarkan Syetan tertawa dengan bobroknya moral para pemuda yang menjadi pondasi bangsa dan Agama.

Berkholwat atau yang biasa di sebut pacaran oleh anak muda zaman sekarang adalah sarana untuk melakukan perbuatan zina dan keji. Kebanyakan muda mudi sekarang ini terjerumus dalam zina dan pergaulan bebas dari praktek pacaran ini. Padahal kamu juga tau dalilnya kan, La? Firman Allah dalam Surat Al-Isra ayat 32:

...وَلَا تَقۡرَبُوا الزِّنٰٓى اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً  ؕ وَسَآءَ سَبِيۡلًا...

Janganlah kalian mendekati zina sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." Jelas Bapak panjang lebar, dia menarik nafas panjang, lalu berpindah duduknya ke sampingku.

"La...", ucap Bapak pelan sambil mengusap punggungku yang kini semakin tertunduk. "Bapak memberimu nama, Naura Fina Mudya, dengan harapan besar bahwa kamu kelak akan menjadi cahaya yang terpancar dalam keluarga kita, yang mampu mengangkat derajat keluarga kita, bukan hanya harta, tapi juga kehormatan dan ilmu yang akan membawa keluarga kita menuju Ridho Nya. Kamu anak yang cerdas dan sehat, Bapak yakin sekali, suatu saat kamu akan mewujudkan harapan Bapak ini. Jadi jangan pernah kecewakan Bapak dengan perilaku mu yang akan membuat Bapak malu di hadapan Alloh juga manusia."

Mendengar kata-kata yang Bapak ucapkan, sungguh membuat hatiku begitu malu karena sudah membuatnya kecewa padaku, aku pun mengangkat kepalaku dan memberanikan diri menatap wajah teduhnya dengan kedua mataku yang sudah basah. Bapak nampak membentangkan tangannya ke arahku, dan Aku pun tak sanggup untuk tidak meletakan kepalaku dalam rengkuhan orang yang paling aku hormati ini.

Seketika, aku pun mengeluarkan tangisku dalam pelukan Bapak, dengan untaian kata maaf yang berkali-kali aku ucapkan kepadanya karena rasa maluku.

Ya, seharusnya aku sadar bahwa akulah harapan terbesar mereka, karena Teh Riva sangat lemah baik dalam fisik maupun pemikiran. Meski begitu, Bapak tetap memasukan Teh Riva ke bangku kuliah, meski tak jarang Beliau di panggil ke kampus karena Teh Riva tiba-tiba saja melemah dan tak berdaya dan harus segera transfusi darah.

Memasukan putra putrinya ke pondok adalah impiannya. Namun karena Teh Riva yang sering sakit-sakitan dan tidak di izinkan untuk mondok oleh Dokter, Maka Aku lah yang dimasukan Bapak ke pondok pesantren, meski dengan susah payah, Bapak rela kerja banting tulang sepulang ngajar dari SMP untuk membiayai ku agar aku bisa terus melanjutkan mondok di pesantren sampai lulus SMU.

Gajih Bapak yang sebagai guru di sekolah negri, tentunya tidak mencukupi untuk biaya sekolah kami bertiga. Ibu pun tak luput dari membantu biaya ekonomi keluarga kami, Ibu berjualan di kantin tempat Bapak ngajar, Ibu juga pekerja keras, beliau tidak pernah merasa malu meskipun suaminya ngajar di tempat itu.

****************

Bersambung...❤❤❤🌷🌷🌷

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Assalamualaikum Readers...

Mohon maaf sudah beberapa bulan baru bisa UP lagi cerita ini. Alhamdulillah karya saya yang kedua sudah selesai, insyaAlloh saya akan fokus dengan cerita ini.

Harapan besar saya, semoga karya ke tiga saya ini akan bermanfaat juga di sukai readers sama seperti cerita pertama dan kedua saya...

Tapi, episode ini Selow dulu ya Readers... Olanya sedang memperkenalkan keluarganya dulu. 🤗🤗🤗

Ayo... jangan lupa like, vote komennya selalu ditunggu 🤗.

O ya, malam ini kalian ke GC sy ya, saya akan tebar kotak poin jam 7.30 nanti... 🤗

I LOVE YOU ALL...😘😘😘❤❤❤🌷🌷🌷

By : Rahma Husnul.

Terpopuler

Comments

❦𝓜𝓲𝓼𝓼⋆P࿐u࿐t࿐r࿐i࿐

❦𝓜𝓲𝓼𝓼⋆P࿐u࿐t࿐r࿐i࿐

Makasih ka banyak pesan moral yang bisa di ambil dlm part ini

2021-07-04

1

Lina MarLina ri

Lina MarLina ri

lanjut bunda

2021-04-24

0

Rohma twins

Rohma twins

bagus kak ada pesan moralnya...
semangat kak Rahma💪💪

2021-03-23

0

lihat semua
Episodes
1 Prolog...
2 Mau Sholat...
3 Harapan Bapak...
4 Perasaan Wajar...
5 Diary...
6 Cari Kesempatan...
7 Tentang Rasa...
8 Manusia Tak Berhak Menghakimi...
9 Bisikan Syetan...
10 Maaf...
11 Olla???...
12 Bapak...
13 Kehilangan...
14 Rencana Kuliah...
15 Isi Hati Ibu...
16 Selamat Tinggal Kenangan...
17 Apapun Kulakukan Untukmu...
18 Kenangan Manis...
19 Takut dengan Rasaku...
20 Galih POV...
21 Selamat Datang di Yogyakarta...
22 Kampus Baru...
23 Faiz Khoirul Azzam...
24 Kehidupanku di Kota Gudeg...
25 PENGUMUMAN
26 Perjuanganku...
27 Kebaikan Seorang Teman...
28 Wisuda Mas Azzam...
29 Hadiah Untuk Mas Azzam...
30 Cukuplah Jaga Hatimu Untukku...
31 Hadiah dari Mas Azzam...
32 Aku Tau Siapa Diriku...
33 Bimbang...
34 Mencoba Untuk Membuka Hati...
35 Olimpiade Matematika...
36 Kekasihku Hebat...
37 Saat Mendebarkan...
38 Bersyukur...
39 Siapa Dia???...
40 Galih POV...
41 Keahlian Terpendam...
42 Pulang ke Kampung Halaman...
43 Kehangatan Keluarga...
44 Berangkat Umroh...
45 Jabal Rahmah...
46 Aku Tetap Menunggumu...
47 Galih POV...
48 Candu Bagiku...
49 Diary Galih...
50 Seandainya Aku Bisa Memilih...
51 Mencarinya...
52 Seminar...
53 Seminar part 2...
54 Isi Hatiku...
55 Wisuda...
56 Cincin...
57 Pertemuan (Part 1)...
58 Pertemuan (Part 2)...
59 Pulang Kampung...
60 Perjalanan Panjang...
61 Suasana Rumah...
62 Pesan...
63 Khitbah...
64 Bukan Untuk Menikungnya di Sepertiga Malam...
65 Menjaga Kesucian Hubungan Kita...
66 Melangkah Menyongsong Masa Depan...
67 Perjuangan di Negri Kincir Angin...
68 Tesis...
69 Tiba di Tanah Air ...
70 Menjelang Pernikahan ...
71 Hari Terakhir Masa Lajangku...
72 Aqad (Part 1)...
73 POV Azzam...
74 Aqad (part 2) ...
75 Resepsi...
76 Suasana yang Berbeda...
77 Kamar Pengantin Kedua...
78 Ibadah Terindah...
79 Hakikat Cinta... (Musim ke-1 End)...
80 Musim Ke-Dua...
81 Kejutan...
82 Istri Manjaku...
83 Mas Azzam-Keysha?...
84 Oll-Ga ...
85 Siapa Mereka? ...
86 Sampai di Ibukota...
87 Gang Panjang ...
88 Demi Keselamatanmu...
89 Parangtritis...
90 Memahami Makna Sunset....
91 Kepergian Dia...
92 PENGUMUMAN ...
Episodes

Updated 92 Episodes

1
Prolog...
2
Mau Sholat...
3
Harapan Bapak...
4
Perasaan Wajar...
5
Diary...
6
Cari Kesempatan...
7
Tentang Rasa...
8
Manusia Tak Berhak Menghakimi...
9
Bisikan Syetan...
10
Maaf...
11
Olla???...
12
Bapak...
13
Kehilangan...
14
Rencana Kuliah...
15
Isi Hati Ibu...
16
Selamat Tinggal Kenangan...
17
Apapun Kulakukan Untukmu...
18
Kenangan Manis...
19
Takut dengan Rasaku...
20
Galih POV...
21
Selamat Datang di Yogyakarta...
22
Kampus Baru...
23
Faiz Khoirul Azzam...
24
Kehidupanku di Kota Gudeg...
25
PENGUMUMAN
26
Perjuanganku...
27
Kebaikan Seorang Teman...
28
Wisuda Mas Azzam...
29
Hadiah Untuk Mas Azzam...
30
Cukuplah Jaga Hatimu Untukku...
31
Hadiah dari Mas Azzam...
32
Aku Tau Siapa Diriku...
33
Bimbang...
34
Mencoba Untuk Membuka Hati...
35
Olimpiade Matematika...
36
Kekasihku Hebat...
37
Saat Mendebarkan...
38
Bersyukur...
39
Siapa Dia???...
40
Galih POV...
41
Keahlian Terpendam...
42
Pulang ke Kampung Halaman...
43
Kehangatan Keluarga...
44
Berangkat Umroh...
45
Jabal Rahmah...
46
Aku Tetap Menunggumu...
47
Galih POV...
48
Candu Bagiku...
49
Diary Galih...
50
Seandainya Aku Bisa Memilih...
51
Mencarinya...
52
Seminar...
53
Seminar part 2...
54
Isi Hatiku...
55
Wisuda...
56
Cincin...
57
Pertemuan (Part 1)...
58
Pertemuan (Part 2)...
59
Pulang Kampung...
60
Perjalanan Panjang...
61
Suasana Rumah...
62
Pesan...
63
Khitbah...
64
Bukan Untuk Menikungnya di Sepertiga Malam...
65
Menjaga Kesucian Hubungan Kita...
66
Melangkah Menyongsong Masa Depan...
67
Perjuangan di Negri Kincir Angin...
68
Tesis...
69
Tiba di Tanah Air ...
70
Menjelang Pernikahan ...
71
Hari Terakhir Masa Lajangku...
72
Aqad (Part 1)...
73
POV Azzam...
74
Aqad (part 2) ...
75
Resepsi...
76
Suasana yang Berbeda...
77
Kamar Pengantin Kedua...
78
Ibadah Terindah...
79
Hakikat Cinta... (Musim ke-1 End)...
80
Musim Ke-Dua...
81
Kejutan...
82
Istri Manjaku...
83
Mas Azzam-Keysha?...
84
Oll-Ga ...
85
Siapa Mereka? ...
86
Sampai di Ibukota...
87
Gang Panjang ...
88
Demi Keselamatanmu...
89
Parangtritis...
90
Memahami Makna Sunset....
91
Kepergian Dia...
92
PENGUMUMAN ...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!