HAPPY READING... 🌹🌹🌹
Malam ini, Rumah kami masih ramai dengan para pelayat yang berdatangan dari berbagai tempat, Kepergian Bapak yang terhitung mendadak membuat semua tetangga dan kenalan Bapak baik dari kalangan Guru maupun organisasi yang Bapak ikuti merasa tak percaya, mereka pun datang berbondong-bondong ke rumah kami untuk mendo'akan dan menguatkan keluarga kami tentunya.
Waktu menunjukan pukul 09:30 malam. Suasana sunyi mulai terasa saat para tamu benar-benar sudah tak tersisa. Hanya Ibu, Aku, kedua Saudariku serta Paman Arif yang menginap di rumah kami malam ini. Paman berencana kembali ke Jogja besok lusa setelah mampir ke rumah mertuanya, dia tidak bisa berlama-lama di sini mengingat anak dan istrinya tidak ikut bersamanya.
Istri Paman Arif memang orang Tasik juga hanya berbeda kecamatan saja, Tapi semenjak menikah, Paman memboyong semua keluarganya ke Jogja, Usia Bapak dengan Paman jauh sekali jaraknya, sekitar 12 tahun, sehingga anak Paman Arif masih kecil-kecil. Anak pertamanya laki-laki berusia 8 tahun dan anak keduanya Perempuan berusia 3 tahun.
Aku kembali ke kamarku setelah selesai mencuci piring dan gelas-gelas kotor bekas menjamu para tamu. Ku lihat Sulis sudah terbaring di tempat tidur sambil memeluk guling, mungkin dia kelelahan setelah menangis seharian. Matanya yang tertutup masih terlihat sembab, bantal yang dia gunakan pun sedikit basah karena air mata bercampur dengan keringat yang keluar dari keningnya.
Ku dudukan bokongku di kursi belajarku, tak sengaja, pandanganku tertuju pada sebuah amplop berwarna coklat yang ku selipkan di balik deretan buku-buku pelajaranku. Ku ulurkan tanganku untuk mengambilnya dan membukanya perlahan. Air mataku kembali keluar menatap amplop yang berisi berita gembira yang belum sempat aku kabarkan kepada Bapak ini. Rasa sesal terus saja menyelimutiku, Ku bayangkan senyum bahagianya saat aku memperlihatkan amplop ini kepadanya, namun..., semua itu kini hanya tinggal kenangan, tak kan ada lagi senyum Bapak untukku di sela-sela nasihatnya yang selalu meresap ke dalam hatiku.
Aku menundukkan kepalaku ke atas meja Belajar dengan amplop yang masih setia di tanganku. Tak terasa isakanku semakin kencang membuat Paman mengetuk pintu kamarku.
"La...," Panggilnya.
Aku segera mengangkat kepalaku, meletakkan amplop di atas meja dan segera mengusap air mata yang mengalir di kedua pipiku dengan kedua tanganku. Lantas berdiri dan membuka pintu. "Iya Paman?" ucapku sambil tertunduk menyembunyikan air mataku.
Paman mendorong pintu kamar hingga terbuka lebar, aku mundur beberapa langkah, lalu Paman pun menghampiriku, "Sudah, La! Jangan terus di tangisi! itu akan memberatkan Bapakmu di sana," ucap Paman sambil mengusap pelan punggungku.
Aku semakin tertunduk, karena bukannya berhenti, air mataku justru kembali keluar mendengar ucapan Paman.
"Apa ini, La?" tanya Paman kemudian saat melihat amplop coklat yang tergeletak di atas meja.
Aku tersentak, segera menghapus kasar air mataku dengan kedua tanganku lantas mengangkat kepalaku dan berbalik menghadap Paman. "Itu..., itu bukan apa-apa Paman!" ucapku.
"Universitas, Negeri, Yogyakarta," Ucap Paman sambil membaca kop surat yang tertera di amplop itu.
"Apakah ini panggilan kuliah?" tanya Paman sambil mengacungkan amplop itu.
Aku hanya mengangguk lemah.
Paman membuka amplop itu, lalu membaca surat itu dengan teliti. "Ini surat panggilan kuliah untuk Mahasiswa penerima beasiswa, La?" Tanya Pamanku untuk meyakinkan ucapannya.
"I..., iya Paman," ucapku.
"Alhamdulillahirobbil Aalamiin..., kapan surat ini datang? kamu sudah memberitahu Ibumu?" tanya Paman lagi.
"Belum Paman," Jawabku sambil menggeleng pelan, "Surat itu datang tiga hari yang lalu, tepat sebelum Bapak di bawa ke Rumah Sakit, Ola belum sempat mengatakannya."
"Ya sudah, Paman saja yang bilang," Paman tersenyum.
"Gak usah, Paman! Sepertinya Ola tidak akan ambil beasiswanya," jawabku sambil tertunduk penuh penyesalan.
"Kenapa?"
"Ibu pasti tidak akan mengizinkan, hidup di perantauan kan butuh biaya hidup, meskipun biaya kuliahnya gratis."
"Kamu kan bisa tinggal di rumah kontrakan Paman, La!"
"Tapi, Paman..., nanti Ola merepotkan Paman dan Bibi."
"Sudah! jangan pikirkan itu, Ayo kita bilang kepada Ibumu," Ajak paman sambil menarik tanganku.
Aku mengikuti langkah Pamanku menuju kamar ibu yang pintunya sedikit terbuka. Dengan ragu ku angkat tanganku untuk mengetuk pintu, namun tanganku berhenti saat melihat ibu dari celah pintu yang sedang duduk bersimpuh di atas sajadah membelakangi pintu, punggung nya yang terbalut mukena putih nampak berguncang menyembunyikan tangis yang tertahan.
"Ayo, La!" ucap Paman.
"Sepertinya tidak usah, Paman! Ola tidak mau menambah beban pikiran Ibu," Aku semakin tertunduk.
"Ingatlah, La! ini kesempatan baik untukmu, tidak semua orang mendapat panggilan untuk belajar dengan mendapat beasiswa, dan mendapat uang living kost juga. Mungkin ini adalah jalanmu, agar kamu bisa menjadi kebanggaan untuk kedua orang tuamu." Jelas Paman kepadaku sambil berdiri di depan pintu kamar Ibu.
"Kreeek...!" Pintu kamar Ibu terbuka, rupanya Ibu membukanya dari dalam karena mendengar obrolan kami.
Aku tersentak dan semakin tertunduk.
"Ada apa, Rif? La?" tanya Ibu dengan suara sengau karena habis menangis.
"Ini, Teh!" Paman menyodorkan kertas panggilan itu ke hadapan Ibu.
Ibu mengambilnya, lalu keluar dari kamar dan berjalan menuju kursi, Aku dan Paman mengikutinya. Kami terdiam sesaat menunggu Ibu selesai membaca suratnya.
"Apa ini artinya, kamu akan pergi ke Jogja, La?" tanya Ibu kepadaku, namun aku tak berani mengatakan apa pun, aku hanya tertunduk sambil meremas ujung jilbabku.
"Bukankah itu bagus, Teh!" Jawab Pamanku.
"Tapi, dari mana biaya hidupnya, Rif! kamu kan tahu, Kakakmu baru saja meninggal, Teteh juga harus membiayai sekolah Sulis dan Rifa, belum lagi kalau Rifa harus transfusi darah setiap bulannya," Ucap Ibu nampak frustasi.
"Ola tidak akan pergi, Bu!" jawabku meyakinkan, meski sebenarnya hatiku terus berperang antara egoku, harapanku, masa depanku dan keadaan keluargaku yang serba sempit ini.
"Tidak, La! kamu harus tetap pergi!" ucap Paman meyakinkanku.
"Tapi, Rif!"
"Teh Fuji tenang saja, Teteh tidak perlu memikirkan biaya hidup Ola. Ola adalah tanggung jawabku selama berada di Jogja, biarlah aku ikut menanggung beban Teteh setelah Kang Zaqi tiada. Aku yakin, Ola akan jadi kebanggaan keluarga kita," Ucap Paman.
"Tapi bukankah hidupmu juga serba kekurangan, Rif?" tanya Ibu.
"Aku tau, hidup kami memang jauh dari kata cukup, tapi aku yakin, selalu ada Rezeki untuk niat kita dalam mendukung anak untuk mencari Ilmu," Tutur Paman dengan yakin membuat hatiku terenyuh karena tekadnya untuk membantuku.
Ibu menghela nafas panjang, "Lalu bagaimana dengan istrimu?"
"Aku ini kepala keluarga, aku yakin istriku tidak keberatan," jawab Paman.
"Baiklah kalau begitu, Kamu boleh ikut Pamanmu ke Jogja Besok, La! tapi kamu harus ingat! jangan kecewakan Pamanmu, Ibu dan juga Bapak!" ucap Ibu.
Aku terperanjat menatap Ibu, perlahan aku menggeser tubuhku ke arahnya, lalu meraih tangan Ibu di pangkuannya, dan membungkuk untuk mencium tangan kanannya, "Terimakasih, Bu!" ucapku sambil terisak di pangkuannya yang masih terbalut mukena.
Kurasakan tangan kiri ibu menyentuh pucuk kepalaku, lalu membelainya dengan lembut di balik hijab ku, membuat hatiku merasa terbang jauh merasakan kenyamanan yang luar biasa dari sentuhan tangannya. Aku tetap pada posisiku untuk beberapa saat, ingin lebih lama merasakan kasih sayangnya, sampai ku dengar kembali ucapannya.
"Berterima kasihlah kepada Pamanmu, La! Ibu tidak punya apapun untuk mendukungmu meraih cita-citamu," Ucap Ibu kemudian sambil terus membelai kepalaku dengan tangannya.
"Ola tidak meminta apapun selain restu dan Do'a Ibu, Ola akan berjuang agar Ola dapat mewujudkan harapan Bapak dan Ibu, Ola akan terus berusaha, agar suatu saat nanti, Ola bisa menjadi kebanggaan Bapak dan Ibu" Aku pun terisak di pangkuan Ibuku.
"Baiklah, Ibu benar-benar menaruh harapan besar padamu, La! Dan kamu harus ingat! jaga dirimu baik-baik! jaga akhlakmu! serta nama baik keluargamu!" Ucap Ibu.
Aku mengangguk dalam pangkuan Ibu, "Terimakasih, Bu! dan Maafkan Ola atas semua yang terjadi kepada Bapak, gara-gara kebodohan dan kekhilafan Ola, membuat Bapak di ambil olehNya."
"Sssssttt...! Sudah! ini sudah takdir, Ibu juga minta maaf karena sempat menyalahkan mu. Berjanjilah untuk tidak akan mengulanginya lagi!" ucap Ibu.
"Ibu jangan minta maaf, Ola memang salah, Ola berjanji tidak akan mengulanginya."
"Baiklah! Ayo berterimakasih kepada Pamanmu!" Ucap Ibu kemudian sambil mengangkat pundakku dari pangkuannya.
Aku mengangkat kepalaku dan menatap mata sayu milik ibuku, kini matanya memancarkan kasih sayang yang mendalam untukku, aku tersenyum memandangnya, dan Ibuku juga tersenyum padaku, membuat aku benar-benar berada dalam titik kebahagiaan yang luar biasa saat ini.
***********
Bersambung...❤❤❤⚘⚘⚘
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Ola jadi ke Jogja, Hmm... kira-kira bagaimana kehidupan Ola di Jogja ya? lalu bagaimana dengan Galih? 🤔
Tetap like, vote, rating bintang 5 dan komentar ya 😊
I LOVE YOU READERS...😘😘❤❤⚘⚘
By : Rahma Husnul.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
@InunAnwar
ola ketemu kakak yg waktu ikut tes itu ya😁
2022-01-14
1
🅶🆄🅲🅲🅸♌ᶥⁱᵒⁿ⚔️⃠
jogja oh Jogja Ola datang
2020-12-29
1
༺💥αψᷤαᷧh sᷫɑᷧɪͫԁᷤঔৣ ⃟🌈 ⃟❦
othoor jahat banget,
menulis novel sambil menabur irisan bawang.
2020-12-20
1