HAPPY READING... 🌹🌹🌹
"Ba...Ba...pak...! O...Ola..., Ola.., dan... dia...," Ucapku terbata-bata, lidahku seakan kelu, sulit sekali untuk mengeluarkan satu kata saja di hadapan orang yang sangat aku hormati ini.
Bapak tetap berdiri menatapku, tak satu patah kata pun lagi terucap dari lisannya selain namaku yang sempat beliau sebut saat pertama kali melihatku tadi. Mata keriputnya yang tajam terus memandang mataku seakan menusuk hingga ke dalam ulu hatiku. Seketika aku menghampirinya dan tersungkur di bawah kakinya.
"Maafkan Ola, Pak...! maafkan Ola...," teriakku sambil sesenggukan bersimpuh memegang kedua kakinya yang masih tegap berdiri.
Namun tiba-tiba, ku rasakan kaki tegapnya bergetar dalam pegangan tanganku, aku segera mendongakkan kepalaku menatap wajahnya yang berada di atas kepalaku. Kulihat tangannya mencengkram erat dada bagian kirinya, tubuhnya sedikit membungkuk, wajahnya meringis menahan sakit.
Aku segera berdiri sambil menahan tubuhnya yang semakin lama semakin condong ke depan. "Pak...! Bapaaak...! Bapak kenapa, Pak...? Bapaaaak...!" Teriakku saat tubuhnya benar-benar oleng karena tubuh kecilku tak sanggup menahan beban tubuh beliau yang kehilangan tenaga untuk tetap berdiri.
"Hap...!" Ucap Kak Galih yang tiba-tiba datang ikut menopang tubuh Bapak. "Menyingkir lah! biar aku yang menahan Bapakmu, ambil bantal! kita baringkan Beliau di kursi," Kak Galih menahan tubuh Bapak seorang diri, lalu memapahnya menuju kursi panjang di ruang tamu yang hanya berjarak dua meter saja dari tempat Bapak berdiri.
Aku tersentak mendengar perintahnya, aku pun segera berlari menuju kamar Bapak dan mengambil sebuah bantal, lantas kembali menghampiri Bapak dan membantu Kak Galih untuk membaringkannya.
Cucuran keringat dingin keluar dari kening Bapak, Wajahnya nampak pucat, matanya terpejam menahan rasa sakit yang mungkin teramat sangat.
"Pak...!" panggilku sambil memegang kedua pundaknya, "Bapak kenapa? Pak...?" tanyaku dengan air mata yang mulai mengalir deras di kedua pipiku. Tapi Bapakku tak menjawab, Beliau hanya meringis menahan rasa sakit.
"Bapaaak..., Ola mohon maafkan Ola, Pak...! Ola..., Ola benar-benar Khilaf," ucapku sambil sesenggukan terus mengguncang tubuh Beliau yang masih terpejam dan meringis. "Ola mohon, Bapak bicaralah! marahin Ola, bentak Ola, tampar Ola, bahkan Bapak boleh melakukan apapun atas kesalahan Ola ini, tapi Ola mohon Bapak bangunlah! jangan seperti ini, Ola takut terjadi sesuatu dengan Bapak," Aku terus menangis sambil mengusap keringat yang keluar dari wajah Beliau.
"Ibu...," ucapnya pelan dengan suara serak hampir tak terdengar tanpa membuka kedua matanya.
Aku termenung sejenak mendengar satu kata yang keluar dari mulutnya samar-samar, namun aku cukup mengerti dengan gerakan mulutnya. Aku menoleh ke arah Kak Galih yang sedang berdiri salah tingkah di depanku, wajahnya nampak penuh kekhawatiran.
"Kak Galih! bolehkan aku minta tolong?" tanyaku sambil menatapnya dengan berderai air mata.
"Iya, tentu saja, kenapa, La?" tanyanya langsung tanpa jeda.
"Tolong susul ibu ke kantin sekolah, aku tidak bisa meninggalkan Bapak sendiri di sini," Ucapku setengah memohon ke arahnya.
"Baik!" jawabnya, dan dengan segera ia berlari menuju pintu dan menjauh dari rumahku.
Aku kembali menatap Bapak yang masih memegang dada kirinya. Aku teringat sesuatu, aku pun berdiri dan segera berlari ke dapur untuk mengambil air hangat dari termos air panas yang terletak di meja tempat menyimpan nasi dan lauk.
Segelas besar air hangat sudah berada di tanganku, aku pun kembali menghampiri Bapak dan berusaha untuk memberinya minum. Tubuh bagian atasnya ku angkat, aku pun duduk di kursi untuk menopang kepalanya agar beliau dapat meminum air hangat itu dengan mudah.
Seteguk air berhasil masuk ke tubuhnya, dan Beliau mulai membuka matanya. Ku simpan kembali gelas di tanganku ke atas meja, lantas meletakan kepala Beliau ke atas bantal, dan aku kembali ke sampingnya setengah berdiri dengan lutut bertumpu ke lantai sambil memegang tangannya. Ku lihat ujung matanya basah, membuatku semakin merasa bersalah. Aku mengusap setitik air yang keluar dari ujung matanya dengan tissue yang ada di atas meja ruang tamu.
"Pak..., maafkan Ola, Ola sudah menghancurkan kepercayaan dan harapan Bapak, maafkan Ola...," aku tak sanggup lagi menahan sesak dan air mata yang ku tahan di dalam dadaku. Aku pun mencurahkan semua tangisku di hadapan Bapak sambil membungkuk untuk mencium punggung tangan kanannya.
Tiba-tiba, kurasakan usapan halus di pucuk kepalaku, aku terdiam dan merasakan tangan kiri beliau yang sedang mengusap pelan pucuk kepalaku.
"Tetaplah..., menjadi... cahaya... yang... akan... terus... bersinar... di... keluarga... kita," Ucapnya lirih, dengan nafas tersengal dan terbata-bata untuk mengucapkan kata demi kata.
Aku mengangkat kepalaku sambil mencerna kata-kata yang Bapak Ucapkan, pikirku melayang, mencoba mengartikan maksud dari semua kata-katanya. Hatiku semakin pilu mengingat begitu besarnya harapan Bapak padaku, hingga sekuat tenaga berusaha memberikan pendidikan yang lebih untukku di banding kedua saudariku.
Ya...Aku..., hanya Aku yang Bapak masukan ke pondok pesantren. Kakakku sakit-sakitan, sedangkan Adikku hanya belajar mengaji di pesantren dekat rumah kami. Bukannya Bapak tidak mau memasukan Adikku ke pondok juga tentunya, namun biaya hidup di pesantren tidaklah sedikit, apalagi akhir-akhir ini Bapak harus mengeluarkan uang lebih untuk pengobatan dan transfusi darah Kakakku. Sudah sewajarnya jika beliau menggantungkan harapan besarnya padaku. Tapi Aku? aku malah tak tau malu menghancurkan semua kepercayaan dan harapannya saat ini. Aku pun terus menangis sesenggukan sambil memeluk tubuh Bapak yang terbaring di hadapanku dan terus mengucapkan kata maaf padanya.
Selang beberapa menit, Ibu datang dengan membawa serta Dokter kelurahan untuk memeriksa keadaan Bapak, tak lupa Kak Galih mengintil dari belakang masih dengan wajah cemasnya.
"La...! apa yang terjadi?" tanya Ibu sambil menatapku yang duduk bersimpuh sambil memeluk Bapak dan terus saja mengucapkan kata maaf.
Aku menoleh ke arah ibu, dan langsung menghambur ke pelukannya. Ibu yang belum tau akar masalahnya hanya mengusap punggungku sambil mempersilahkan Dokter untuk memeriksa keadaan Bapak.
Ibu melepaskan pelukanku dan berjalan menghampiri Bapak yang masih terbaring sambil meringis menahan rasa sakit di bagian dada kirinya.
"Sebaiknya kita bawa Pak Zaqi ke rumah sakit, Bu Fuji!" ucap Dokter setelah memeriksa keadaan Bapak.
"Apa yang terjadi dengan Suami saya, Dok?" tanya Ibu cemas.
"Pak Zaqi terkena serangan jantung tiba-tiba, mungkin dia baru saja melihat sesuatu yang membuat jantungnya shock, sehingga terjadi tekanan yang cukup hebat. Beliau harus segera mendapat penanganan medis," Jelas Dokter itu kemudian.
"Baik, Dok! Kami akan segera membawanya," ucap Ibu sambil mengangguk.
Aku berdiri dan terdiam menatap Bapak dan Ibu di hadapanku, sekilas Ibuku menoleh ke arahku, dan melemparkan pandangan penuh tanya. Lantas dia kembali memegang tangan Bapak. "Kita ke Rumah Sakit sekarang ya, Pak! kita pinjam angkot milik Pak Darman," Ucap ibu kemudian.
"E...anu...Tante, bagai mana kalau menggunakan mobil Pamanku saja, aku bisa memin..." Kak Galih menimpali.
"Tidak perlu!" ucap Ibu langsung memotong ucapan Kak Galih tanpa menolehnya, membuat Kak Galih terdiam seketika sambil menelan salivanya.
Ibu kembali menatap Dokter, "Terimakasih, Pak Dokter!" Ucapnya sambil mengangguk.
"Sama-sama, Bu Fuji," Jawab Dokter itu sambil berdiri dan menenteng tas hitam yang di bawanya. Dia berjalan menuju pintu di ikuti oleh Ibuku. Ku lihat beliau memberikan sejumlah uang kepada dokter itu.
"La! Pergilah ke rumah Pak Darman! minta beliau untuk mengantar kita ke Rumah Sakit." ucap Ibu dengan suara datar kepadaku.
"Baik, Bu!" Jawabku sambil melangkah keluar tanpa memperdulikan Kak Galih yang berdiri di depan pintu dengan salah tingkah.
Setengah berlari aku menuju rumah Pak Darman yang hanya terhalang tiga rumah saja dari rumahku, dan Aku bersyukur, ternyata Pak Darman belum berangkat narik angkot ke pasar, beliau pun bersedia untuk mengantar Bapak ke rumah sakit.
Dengan susah payah kami memapah Bapak naik ke dalam angkot yang sudah terparkir di depan rumahku. Untungnya, kehadiran Kak Galih sedikitnya telah membantu kami untuk membawa Bapak.
Setelah Bapak dan Ibu masuk, aku pun ikut naik ke dalam angkot, tetapi ibu mencegahku karena di rumah tidak ada siapapun sedangkan Sulis dan Teh Rifa belum pulang.
Aku pun hanya berdiri mematung, berdiri di pinggir jalan sambil menatap angkot yang membawa Bapak dan Ibuku berlalu dari hadapanku sampai angkot itu hilang di satu titik.
"Maaf...," Suara seseorang terdengar di belakangku.
Aku berbalik dan memandangnya yang sedang berdiri sambil tertunduk penuh dengan penyesalan.
******************
Bersambung...❤❤❤⚘⚘⚘
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Bagai mana nasibmu selanjutnya Ola??? 😢
Tetap berharap Like, vote, rating bintang 5 dan Komentar tentunya. Karna komentar Kalianlah yang membuat saya semangat untuk terus menulis 🤗
I LOVE YOU ALL...😘😘😘❤❤❤⚘⚘⚘
By : Rahma Husnul
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
☘𝕯ɪͪɪͦʀᷤᴀͭ͢ ͤ ⃪ ᷝ𝕷ᴏᴠᴇd⍣ᶜᶦᶠ
semangat olla jadikan semua itu pembelajaran
2021-04-26
1
🅛➊🅝⸙ᵍᵏ
belajarlah dari kesalahan
2021-03-31
1
nuri nurdianti🐊🐊☪️
ola😢😢
2021-03-14
1